Sunday, July 23, 2023

Roman Cinta dan Sepi II

 


Chapter II

Ia Muncul Lagi

 

Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-kata. Lelaki yang beberapa tahun lalu sempat hadir dalam hidupku sebagai khayalan. Lelaki yang saat itu terasa sangat nyata namun tiba-tiba menghilang entah kemana. Menyisahkan tanya yang tak terjawab dalam diriku. Rel kereta memanjang seperi fikirannya yang jauh, tak terlihat ujungnya olehku. Dari kejauhan, aku hanya bisa memandangnya, meski ada dorongan dari dalam hati untuk menghampirinya, namun langkahku kaku. Aku tak dapat beranjak dari tempatku.

Lalu, disebelahku muncul ayah. Dan segera kupeluk Ayah dengan erat. Ayah mengelus-elus kepalaku seperti kecil dulu. Dari mataku, tiba-tiba ada yang mencair menjadi air. Mungkin itu gunung es, atau semacam kesedihan, kerinduan dan kenangan yang lama beku kini mencair karena kehangatan tubuh ayah.

“aku dan ibu merindukanmu, yah!” masih memeluk

“Ayah juga begitu, Sha (Alisha). Ayah rindu kalian.”

lama aku tak lepas pelukanku pada ayah, seandainya ibu ada disini mungkin ibu akan melakukan hal yang sama. diam-diam, selama ini ibu selalu merindukan ayah. Namun ibu selalu menyembunyikan perasaan itu dariku karena Ibu tidak ingin terlihat sedih di depanku.

“apa yang sedang kau alami Sha (Alisha)?”

“aku kesepian Yah (ayah). Aku merasa kesepian. Dan ini menyiksa”

“bersabarlah ...”

Tiba-tiba, kereta datang dari kejauhan dengan lampu sorotnya yang semakin dekat semakin terang. lalu, lelaki yang ada di ujung peron itu berdiri. Tak lama setelah lelaki itu masuk, kereta kembali bergerak meninggalkan peron. Sesaat sebelum hilang, lelaki itu sempat memandang kearahku dari balik jendela dengan tatapan yang sendu.

“Lish!”

Suara ibu membuatku terbangun dari mimpi. Mimpi yang singkat, mimpi yang aneh, mimpi yang terasa seperti nyata.

“Lish, cepat bangun, ibu sudah siapkan sarapan” terdengar suara ibu dari dapur.

“baik bu” jawabku, masih dengan keadaan setengah mengantuk. Sebelum turun, aku sempat melamun karena teringat kembali mimpi tadi, Sosok Ayah, dan seorang lelaki.

Ya, seorang lelaki ...

Di luar, hujan berlangsung deras pagi itu. suaranya yang merdu membuatku senang, sebuah kebahagiaan kecil bagiku mendengar suara hujan. Di meja makan, aku dan ibu menyantap roti bakar dan telur dadar. Serta segelas susu putih. Kami makan tanpa saling bicara, itu lah kebiasaan aku dan ibu, sarapan tanpa bicara. Namun setelah sarapan, biasanya ibu banyak bicara karena memastikan apakah aku lupa sesuatu atau tidak sebelum berangkat kerja. setelah aku mentandaskan segelas susu, aku memulai pembiacaraan.

“Bu, hari ini ibu tidak usah mengantarku”

“apa kau cuti?”

“ya hari ini aku cuti. Mungkin nanti aku akan pergi ke toko buku di pusat kota.”

“mau diantar sampai mana nanti?”

“tidak usah bu, aku naik angkutan umum saja ke terminal”

“Baiklah. Jika kau akan berangkat, payungnya akan ibu siapkan di depan pintu”

“terimakasih Bu”

Suara hujan yang tidak terlalu deras berbaur dengan suasana lengang pagi hari yang tenang. Seperti bunga yang mekar, hujan menarik hatiku yang selama ini tertutup. Aku selalu membukakan pintu untuk hujan. Lewat kaca jendela, aku mengamati rintik-rintiknya yang jatuh dikaca jendela. Pagi ini, aku mengambil cuti sampai dua hari kedepan. Entah mengapa, tiba-tiba setelah bangun tadi, perasaanku sangat sensitif. Mungkin karena mimpi tadi. Seolah-olah aku menangis dalam diriku sendiri. Bertemu kembali dengan ayah terasa sangat nyata. Tapi rasanya mimpi itu bukan tentang pertemuanku dengan ayah saja, ada seorang lelaki yang aku dan ayah perhatikan di peron itu. Tapi aku tidak patut membesar-besarkan mimpi. Bukankah mimpi hanyalah bunga tidur?

Hari pertamaku cuti, aku ingin berjalan-jalan mengelilingi kota. Juga mungkin nanti aku akan naik kereta menempuh rute dulu saat aku masih bekerja di tempat lama. Ya, setelah beberapa bulan halusinasi tentang lelaki itu tidak terjadi lagi, aku di mutasi ke tempat lain sehingga rute perjalanan kerjaku berubah. Tak terasa, sudah 3 tahun Rute terbaru kujalani.

Menikmati suasana kota dan kesendirianku, keduanya rasanya memiliki persamaan. Jika kota mengalami kesepian diantara keramaiannya, aku mengalami keramaian diantara kesepianku. Kota mengalami kesepian karena keramaian orang-orang yang ada didalamnya kebanyakan bergerak bukan untuk kota itu sendiri. mereka bergerak untuk diri mereka masing-masing, kebanyakan mereka tidak peduli dengan kota itu sendiri. sedangkan aku, aku mengalamai keriuhan dalam kesepianku karena ketidakhadiran sesesorang yang tak henti-henti membuat pertanyaan dan menciptakan harapan-harapan serta penantian panjang dalam diriku yang akhirnya menjadi kegaduhan dalam diriku.

Seketika, aku teringat dengan seorang lelaki yang beberapa waktu yang lalu tiba-tiba menghilang. Atau mungkin lelaki yang hanya ilusiku saja barangkali. Pertentangan antara logika dan imajinasi itu nyatanya tidak pernah selesai. Aku merasa sedih karena itu. Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa selama aku bertemu dengan lelaki yang tak kukenal namanya itu hanyalah halusinasi saja. Selama ini aku sudah berusaha menyembuhkan diriku dengan pergi beberapa kali ke psikolog. Namun hasilnya tetap sama, aku tidak dapat mengalahkan imajinasi itu. Sehingga keyakinanku bahwa lelaki itu adalah hal yang nyata tetap ada.

Itu juga yang melatarbelakangi aku mengambil cuti tiga hari kedepan ini. Aku ingin menenangkan diriku dengan berjalan-jalan dan singgah di tempat-tempat yang kusukai. Pertama-tama aku mungkin akan berkunjung ke museum-museum yang ada di kota, lalu aku mungkin akan mempir ke sebuah minimarket dan toko buku, masuk ke stasiun dan naik kereta di luar jam kerja. tentu suasananya beda dengan kereta di jam kerja yang biasanya kunaiki. Aku ingin merasakannya, suasananya pasti menyenangkan. Apalagi jika hujan tetap turun hingga siang nanti, pasti lebih menyenangkan. Pintaku dalam hati

Setelah selesai berdandan seadanya dan mengenakan jaket parka abu, aku menemui ibu dan mencium tangannya. Setelah itu pamit dan menutup pintu kembali, benar saja, selain menyiapkan bekal dan vitamin buatku dimeja, ibu juga telah menyiapkan payung. Dan aku mengenakannya saat pintu kubuka. Bagiku, payung adalah penghubung antara aku dengan sahabat yang bernama hujan. Mengenakan payung, bukan berarti aku menghindari hujan, tetapi dengan payung, aku dapat menikmati hujan, menikmati suasana yang diciptakannya di bawah guyurannya. Itulah asumsi yang kumiliki tetang menikmati hujan dengan berpayung.

Setelah sampai di jalan raya, dan mendapatkan angkutan kota ke terminal, aku menutup payung sementara, mengganti cara menikimati hujan dengan melihatnya dari balik jendela angkot. Sesampainya di terminal aku sambung dengan bus Transjakarta arah harmoni, dari halte harmoni aku transit ke bus arah Balaikota. di halte Monas, aku turun. Tiba pada tempat pertama, Musem Nasional. Dengan hujan masih berlangsung.saat keluar halte aku membuka kembali payung untuk menyeberang. Dan sesampainya di lobby Museum Nasional, aku menutupnya lagi. lalu membeli tiket masuk. di lantai dasar, ada miniatur tentang kehidupan purba, dan jenis-jenis fosil manusia purba yang ditemukan di nusantara. Sesekali aku mengambil foto dengan kameraku.

Setelah puas berkeliling dan mendapat beberapa gambar, termasuk patung gajah pemberian dari kerajaan Thailand yang ada diluar Museum, aku keluar dan bergegas ke tujuan berikut. Aku membuka payung lagi dan berjalan di bawah hujan, menekan tombol dan menunggu Pelican Crossing berwarna hijau, saat kendaraan-kendaraan berhenti di belakang zebracross dan Pelican Crossing berwarna hijau dengan suara hitung mundurnya yang keras tiba aku lekas menyeberang ke halte Transjakarta. tidak untuk naik, aku kembali menekan tombol Pelican Crossing untuk menyeberang ke Area trotoar Kawasan Monumen Nasional (Monas) yang ada di seberang. Ya, tempat selanjutnya adalah Monumen Nasional. Aku ingin ke museum yang ada di cawannya dan akan naik ke puncaknya untuk melihat suasana jakarta saat hujan dari ketinggian. Tidak ada banyak orang yang berkunjung ke Monas saat hujan turun. Di tamannya pun tidak ada yang duduk-duduk seperti biasanya saat hari cerah.

Di dalam Museum Monumen Nasional, ada beberapa orang yang sudah tiba lebih dulu. Ada yang duduk-duduk, mungkin sudah selesai dengan kunjungannya dan sedang menunggu hujan reda diluar sana. sesekali mereka naik keluar cawan untuk melihat keadaan. Aku setelah selesai melihat semua replika yang ada, lekas ke lift menuju puncak. Di dalam lift ada petugas khusus yang tugasnya menemani pengunjung di dalam lift. Di dalam lift Cuma ada beberapa angka. Dan tombol tutup dan buka.

Saat ada di puncak, aku mendapati pemandangan yang sangat indah. Pemandangan hujan dari ketinggian kurang lebih 132 meter. Angin yang lebih terasa dan gemuruh hujan yang lebih keras terdengar, seperti nyanyian angin diatas bukit. Haha, sial, aku bahkan tidak pernah naik keatas bukit. Aku hanya mengimajinasikannya saja dari bacaan novel yang pernah kubaca.

Dengan teropong besar yang tersedia, aku dapat melihat Pemandangan kota yang basah diguyur hujan, buram oleh hujan, menjadi hal menarik tersendiri bagiku. Hujan seolah-olah ingin memandikan kota dari kotoran-kotoran yang melekat padanya. Menjadikan genangan-genangan di jalanannya, dan menjadikan arus deras di sungai-sungai yang melintas di ibukota. Dan di ketinggian ini, aku tiba-tiba merasa khidmat pada keheningan. Lantas aku memejamkan mata dan berdoa.

Dalam doa itu, aku berharap seseorang datang bukan sebagai Halusinasi, tetapi sesuatu yang nyata...

Masjid istiqlal yang megah terlihat kecil dari atas sini. Lalu lintas di jalan medan merdeka pun seperti lalu lalang semut, bergerak tanpa suara. Yang ada hanya suara hujan dan angin dari atas sini. Lalu suara kereta sayup-sayup terdengar, melintas di sebelah istiqlal dengan rel layangnya.

Puas dengan pemandangan ibu kota dari ketinggian kurang lebih 132 meter, aku kembali turun dan meninggalkan area Monas. Aku kembali memasuki halte bus, dan menunggu di pintu koridor arah sebaliknya, arah Harmoni. Di depanku, juga menunggu seorang perempuan paruh baya dengan tongkat, tenang menunggu kedatangan bis. Tenang melihat hujan yang turun dengan damainya, tak ada yang mampu mencegah rintiknya. Kita mungkin dapat berlindung dari basahnya, namun kita tidak dapat menghindar dari batin hujan yang selalu mengundang rindu.

Aku Rindu halusinasi itu ...

Jika memang hanya halusinasi, tidak apa-apa. Aku ingin halusinasi itu datang lagi ...

Ah! Semenyedihkan ini kah aku ?

 

Saat Bus Transjakarta datang, aku membantu perempuan paruh baya itu memasukkna langkahnya ke dalam bus. Dan petugas keamanan Bus langsung mencarikan kursi dari penumpang lain yang mau merelakan kursinya untuk prioritas. 10 detik kemudian, bus kembali melaju menuju halte terakhirnya. Aku tidak turun di halte terakhir. Di halte harmoni aku turun dan naik Bus Transjakarta arah Blok M. Aku ada janji dengan seorang teman di kedai kopi waralaba sekitar Sarinah.

Kota yang basah oleh hujan akan menjadi pemandangan yang sangat indah, dan penuh lirih. Genangan dan basah hujan yang menempel pada setiap bagian di kota ini adalah pelipur. Aspal yang jadi lebih ramah saat basah, lampu lalu lintas yang seakan tersenyum saat basah , tiang listrik dan kabel-kabel yang basah seakan pohon-pohon dan rerantingannya yang sedang bersemi, zebra cross yang basah dan putih mengkilap terlihat lebih hidup, pembatas jalur pada jalan yang basah jadi lebih nyata, juga wiper-wiper pada mobil yang melambai-lambai bagaikan anak-anak yang kegirangan hujan turun. Padahal didalam mobil, dibalik kacanya, seseorang mungkin menggerutu hujan turun dan berlangsung lama.

Dihalte Sarinah, akupun turun, membuka kembali payung dan meneruskan langkah-langkahku  di bawah hujan yang masih turun kekanak-kanakan. Hujan masih gembira dengan rintik-rintik yang terdengar merdua, terdengar seperti nyanyian yang terlahir saat perpisahan diingatkan kembali oleh pertemuan lalu melahirkan kebahagiaan yang bercampur dengan air mata. Air mata adalah pisau yang memiliki dua mata. Kebahagiaan dan kesedihan

Aku lantas menyeberang dari arah Champ Resto Indonesia ke arah Starbucks di seberangnya yang dipisahkan oleh Jalan Wahid Hasyim. jalanan sepi dari pejalan kaki. Saat menyeberang, hanya ada aku yang mengenakan payung. Pejalan kaki lainnya terlihat memadati tempat-tempat berteduh sambil memesan taksi online dengan Smartphone nya.

Saat aku sampai di kedai dan membuka pintu masuk,, Mirari telah duduk di sebuah meja yang masih kosong. nampaknya, ia belum memesan minuman karena menunggu aku. Sekian lama menghilang, akhirnya Mirari kembali muncul lagi. beberapa hari yang lalu ia menelponku dan meminta bertemu. Kebetulan, aku ada cuti dan kami membuat janji hari ini.

Untuk pertemuannya sendiri, aku tidak tahu apa tujuan Mirari, katanya Ia hanya ingin  bertemu saja denganku, sudah lama tak bertemu katanya.

“apa kabarmu Lish?” Sapa Mirari saat aku baru saja duduk

“aku baik, semoga kau juga baik”

Kemudian Mirari menyodorkanku daftar menu. Aku memilih salah satu minuman dan diikuti Mirari. Mirari memintaku sekalian memesan makanan karena ia ingin juga makan siang bareng denganku. Namun aku menolak. Aku mengatakan padanya bahwa aku punya bekal sendiri. Akhirnya hanya Mirari yang memesan makanan. setelah itu Mirari bangkit dan menuju meja pelayan untuk menyampaikan pesanan kami. Dan nampaknya, Mirari juga langsung membayarnya.

Mulanya kami membicarakan hal-hal yang klise dan mungkin basa-basi sambil menunggu pesanan kami datang. Setelah pesanan datang, aku mengeluarkan bekal yang dibuatkan ibu serta sebutir Vitaminnya.

Setelah Mirari selesai dengar burger besarnya, aku selesai dengan Bekal dan vitaminku, kami mulai masuk ke pembicaraan yang lebih terarah. Lebih serius.

Mirari mulai membahas tentang kepergian dirinya yang dulu tiba-tiba. Mirari pergi ke Belanda, rumah neneknya saat itu karena ingin melarikan diri. Namun saat aku bertanya lebih rinci mengenai hal itu, ia tidak bersedia menjelaskannya. Mirari hanya mengatakan ia hanya ingin melarikan diri dari sebuah rasa takut yang menimpa dirinya.

“walaupun pada akhirnya, ketakutan itu tidak pernah terjadi. Dan aku seharusnya tidak pernah melarikan diri”

Meski tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mirari, aku berusaha menanggapinya dengan kalimat yang umum.

“yang sudah terjadi tak perlu di sesali. Lebih baik menatap kedepan”

Tidak menanggapi. Mirari hanya tersenyum sinis padaku. Seperti sedang menertawakan sesuatu.

Karena kepergiannya itu, Mirari kehilangan pekerjaannya dan kini masih belum memiliki pekerjaan. dari penuturan Mirari, Ayahnya sempat meminta Mirari untuk bantu-bantu di perusahaannya, namun Mirari menolak, katanya Mirari ingin menghabiskan waktu dulu dengan bersantai dan lebih banyak beristirahat. Mirari banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman EO nya.

lalu Mirari beranjak ke topik perbincangan lainnya. Mengenai Erwin. Sampai saat ini, menurut Mirari Erwin masih belum dapat mencintainya sungguh-sungguh. Erwin masih seperti dulu. Seperti masih berharap kepada seseorang. Dan perbincanganpun mulai terasa berat.

“Jika saat ini Erwin masih berharap kepadamu, apa pendapatmu?”

“Aku tidak peduli” jawabku, ketus.

“tapi ia tetap peduli. Ia tetap berharap padamu selama Kau masih sendiri seperti ini”

Aku mulai membaca arah pembicaraan ini. Mirari masih khawatir dengan Erwin yang menurutnya masih mencintaiku. Aku sendiri, tidak pernah menyukai Erwin. Sejak dulu Erwin sudah kuanggap teman dan tidak lebih dan bahkan sampai sekarang.

Lalu seorang pelayan membunyikan bel dan menyebutkan nama Mirari, pesanan kami telah selesai dan tersedia. Mirari pun bangkit dan mengambil minuan kami. Sesaat, ada jeda diantara perbincangan yang mulai canggung itu.

Diluar, hujan masih berlangsung, seperti urung reda...

“oh iya. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu Lish” Ujar Mirari, mengganti topik pembicaraan yang mulai tidak menyenangkan tadi. aku pun menunggu apa yang ingin Mirari katakan.

“masih ingat terakhir kali kita bertemu malam itu?”

“Ya, aku ingat. 3 (Tiga) tahun yang lalu. Kenapa Mir?”

“waktu itu aku membeli dua kopi. dan satu kuberikan kepadamu. Lalu apakah kau meminum kopi itu?”

“Oh kopi itu. Ya aku ingat. Apa karena sekarang kita sedang minum kopi kau jadi membahas itu?”

“haha... ya mungkin. Aku jadi teringat lagi malam itu. Aku membelikanmu kopi namun kondisinya masih panas. Dan sampai aku turun dari kereta kau belum meminumnya. Nah, yang ingin aku tanyakan, apakah setelah itu kau meminumnya?”

Kenapa tiba-tiba Mirari menanyakan itu. Aku tidak mungkin mengatakan aku membuang kopi itu tanpa sempat mencicipinya. Aku sangat merasa bersalah karena itu, seperti aku tidak menghargai pemberian Mirari. Namun saat itu, ketika aku ingin meminum kopi dari Mirari aku teringat pesan lelaki itu, lelaki yang muncul dari halusinasiku itu di malam sebelumnya. dimana ia memintaku untuk tidak minum kopi. Dan bodohnya, aku menurutinya. Aku membuang kopi pemberian Mirari saat itu tanpa pernah mencicipinya. Saat itu aku masih tidak tahu kalau ternyata lelaki yang sering aku temui di stasiun adalah hanya halusinasiku saja.

“jika aku bisa memutar waktu, aku ingin melakukannya” jawabku, singkat. Membuat Mirari menarik badannya dan kini bersandar di punggung kursi.

“jadi benar kau tidak meminumnya sedikitpun.”

“maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk ...”

“kau tidak perlu minta maaf Lish. Aku memang kurang baik dimatamu bukan. Bahkan pemberianku pun tidak layak untukmu” ujar Mirari Sinis, dan raut wajahnya tiba-tiba berubah.

“Bukan Mir, bukan seperti itu”

Setelah menghela nafas dalam, Mirari nampak seperti menenangkan dirinya sendiri. Pada akhirnya Mirari tidak mempermasalahkannya lagi. Entah dia memakluminya atau hanya tidak ingin mempermasalahkannya saja.

Setelah itu Mirari banyak cerita, dan aku lebih banyak mendengarkan. Mirari bercerita tentang kisahnya selama ini dengan Erwin yang seolah jalan di tempat. Lalu tentang orangtuanya yang mulai menanyakan masa depannya dan juga tentang idenya untuk membuka sebuah usaha. Sesekali aku mengomentari atau sekedar memberi pendapat saat Mirari meminta. Rencana kedepannya Mirari akan coba membuka usaha sendiri.

Mirari mengatakan bahwa ia mungkin akan membuka sebuah toko buku yang di dalamnya terdapat Coffee Shop sekaligus. Dan dia perlu bantuanku untuk mengelola yang bagian bukunya. Menurutnya, aku termasuk orang yang suka baca buku dan mungkin akan bisa membantu niatnya itu. Aku sendiri tertarik dengan itu, namun aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku. Mendengar itu, Mirari malah berani menawarkan gaji yang lebih besar dari tempat kerjaku yang sekarang. Meski begitu, aku tidak dapat mengiyakannya hari itu juga. Kukatakan padanya bawa aku butuh waktu dan melihat perkembangan rencana tersebut dulu sebelum memutuskan.

Sejam telah berlalu, kami akhirnya beranjak dari kedai tersebut. Mirari menawarkan aku untuk pulang bareng dengannya menggunakan mobil, kebetulan ia sedang membawa mobil. Katanya sedang malas menggunakan transportasi umum di hari hujan seperti ini. aku jelas menolaknya, bagiku hujan turun jauh lebih menyenangkan dari hari cerah yang biasanya.

Sampai ketika kami akan sama-sama bangkit dari kursi, Mirari mencetuskan sebuah pertanyaan.

 “apa yang menyebabkan kau tidak minum Kopi pemberianku saat itu? Kali ini aku minta jawaban yang jujur darimu. Aku mengenalmu. Kau bukan tipe orang yang tidak menghargai pemberian orang lain.”

“percaya atau tidak, sehari sebelumnya ada seorang lelaki yang memintaku untuk tidak minum kopi”

“Lelaki ...?” jelas terlihat keraguan pada Mirari, namun itulah kenyataannya. Sesuai yang aku katakan.

“Ya, sebelum hari itu, setiap selasa malam aku bertemu dengan seorang lelaki di stasiun. Kami sering bersama menunggu jemputan di peron dua”

“Siapa dia, apa dia ?”

“Namun ternyata itu hanya halusinasiku saja. Lelaki itu tidak pernah ada.”

“Halusinasi?” Mirari nampak semakin bingung

“Ya. Ia hanya ada di imajinasiku saja. Bodoh bukan?”

“tetapi ...” belum sampai Mirari meneruskan kata-katanya, aku segera memotongnya. Dengan rasa malu yang teramat, aku mengakui semua kekhawatiranku.

“kau pasti terkejut. Aku yang terlihat baik-baik saja, ternyata jiwanya seperti ini. memiliki gangguan jiwa sampai-sampai berhalusinasi dan bahkan menuruti permintaan halusinasi”

“jadi, hanya halusinasi?” ujar mirari dengan suara yang masih terdengar penuh ketidakpercayaan

“Aku duluan!. Maaf tak bisa bareng denganmu”

“kau mau kemana  Lish?”

“aku ingin jalan-jalan sebentar ke Book Store. Kau duluan saja”

Aku pun beranjak dari tempat duduk. Bergegas meninggalkan kedai. Sesaat sebelum aku membuka pintu keluar, Mirari memanggilku, lantas ketika aku berhenti ia menghampiriku. Mirari menatapku, matanya berkaca-kaca, aku fikir ia akan mengatakan sesuatu. Namun tak satupun kata keluar dari mulut Mirari. Ia malah memelukku erat-erat. Sangat erat sehingga aku merasakan sesak.

Dan yang tak kuduga, ada isak tangis beberapa saat ketika Mirari memelukku. Sepertinya Mirari sedih dengan keadaanku. Mungkin ia sedih dengan kondisiku dan halusinasi yang kualami. Ia mungkin ingin mengatakan sesuatu namun memilih untuk menahannya karena ia bukan psikolog. Jadi apapun yang akan Ia katakan padaku mungkin tak akan berpengaruh terhadapku. Jadi ia lebih memilih untuk diam dan hanya bisa memelukku saja.

Meski begitu, aku sangat bahagia karena Mirari mengkhawatirkanku sampai seperti ini. Aku senang karena ada yang peduli padaku ternyata.

“terimakasih telah berusaha mengerti dan percaya dengan ceritaku tadi” tidak ada tanggapan dari Mirari, ia terus memeluk erat diriku. dan meminta maaf sambil menangis. Entah maaf untuk apa. mungkin maaf untuk rasa bersalahnya karena tidak dapat membantuku untuk lepas dari keadaan jiwaku yang seperti ini.

Ya, mungkin saja ...

Dipersimpangan itu, Aku menunggu lampu lalu lintas berwarna merah, lampu penyeberangan berwarna hijau. Saat itu pejalan kaki di sekitarku tidak ada. Hanya aku dan seorang lelaki yang berada di seberang sana yang juga mengenakan payung berwarna transparan. Sementara lalu lintas dipenuhi sebagian besar oleh mobil-mobil yang terus melaju cepat dibawah rimis hujan. Di atas, langit mendung membuat perasaan lebih sensitif, cendrung sedih, Cendrung sendu.

Saat lampu merah akhirnya tiba, dan kendaraan-kendaraan telah berhenti sepenuhnya di belakang garis-garis putih (Zebra Cross), aku melangkah perlahan ke depan. Di seberang, seorang lelaki secara bersamaan melangkah maju.

Aneh, saat itu hanya kami saja yang menyeberang, orang-orang lain tidak ada yang menyeberang. Mereka ada di halte menunggu bus kota dan taksi. Yang lainnya di pinggir trotoar sedang menelpon dengan payung. Dan lebih banyak lagi di dalam gedung-gedung yang meski hujan membuat udara dingin, mereka tetap menghidupkan mesin pendingin ruangan di kantor-kantor dan store mereka.

Saat berada hampir di tengah-tengah, aku sedikit menaikkan payungku yang tadi sempat menutupi mataku saat menunggu lampu berubah merah. Saat itu, secara tidak sengaja aku melihat wajah lelaki itu dari balik payung transparannya. Pandangan kami pun tiba-tiba saling bertemu.

Untuk beberapa detik, aku tidak dapat berpaling darinya. Aku tiba-tiba berhenti di tengah jalan, begitu juga dengan lelaki itu. Kini kami berdiri saling membelakangi, aku terpaku dan hanya diam di tengah-tengah jalan. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Sementara itu, waktu penyeberangan bagi pejalan kaki semakin berkurang, angka digital pada lampu penyeberangan semakin mengecil bilangannya. Menunjukkan bahwa waktu semakin sedikit tersisa bagi pejalan kaki yang menyeberang.

Saat sebuah percik hujan yang tertiup angin terasa menyambar pundakku, aku ingat sesuatu. Aku menyadari sesuatu. Sosok yang selama ini kucari, sosok yang aku kenal, lelaki yang ada di belakangku, yang sedang menyeberang denganku. Ia adalah lelaki itu, lelaki yang ada di halusinasiku.

Jelas,

wajahnya sangat jelas kukenal.

Wajah yang selama ini kurindukan, setelah lama hilang kini tiba-tiba muncul dibawah hujan. Dibawah langit dan kota yang dingin oleh cuaca. Tak terasa, air mataku tiba-tiba menetes, jatuh ke kakiku dan bercampur dengan tetesan hujan. Rasa kesepianku selama ini tiba-tiba terasa hilang. Kebahagiaan tiba-tiba mekar di dalam dadaku.

Saat itu juga, waktu rasanya berhenti.

Aku tak bisa bergerak dan hanya diam karena perasaan yang campur aduk berlangsung dalam diriku. Aku lihat ke arah lelaki itu yang kini telah berada di seberang, di tempatku tadi. Benar, tidak ada yang salah, itu benar lelaki itu. lelaki yang selalu melihat kelangit malam ketika di peron. Lelaki yang selalu menemaniku saat menunggu jemputan di stasiun disetiap selasa malam dulu. Lelaki dengan rambut lurusnya yang tak tersisir, dan mata sayu nya. Jelas bahwa itu adalah lelaki itu, lelaki yang tak kuketahui namanya.

Sesaat aku kembali ragu apakah sosok lelaki itu hanya halusinasi saja atau kenyataan. Kali ini aku sangat yakin bahwa lelaki itu adalah sosok yang nyata. Kini aku melihatnya langsung, ia ada di depan mataku. Muncul tiba-tiba di bawah hujan. Dan air mataku, setetes demi setetes jatuh bercampur dengan hujan cuaca sebagai sendu.

Seketika, aku teringat dengan mimpiku semalam ...

kereta datang dari kejauhan dengan lampu sorotnya yang semakin dekat semakin terang. Lalu, lelaki yang ada di ujung peron itupun berdiri. Tak lama setelah lelaki itu masuk, kereta kembali bergerak meninggalkan peron. Sesaat sebelum hilang, lelaki itu sempat memandang kearahku dari balik jendela dengan tatapan yang sendu sebelum akhirnya ia menghilang di ujung rel bersama kereta.

aku bahkan tidak sadar bahwa lampu hijau telah kembali redup dan berganti dengan lampu kuning kemudian merah. Kendaraan-kendaraan kembali melaju. Aku kesulitan untuk meneruskan langkah. Sayup-sayup terdengar suara klakson dari mobil-mobil yang menungguku. Suaranya lebih mirip bisikan.

Setetes hujan tiba-tiba berhasil menyelinap melewati payung dan jatuh di dahiku, hanya setetes, membuatku kembali sadar. Saat kulihat, mobil-mobil itu telah bersiap menabrakku. Bahkan suara klakson mereka terus memakiku tak henti. Aku melanjutkan langkahku ke seberang setelah beberapa mobil tak henti mengklakson saat melewatiku karen kesal. Tapi aku seolah tidak mendengarnya. Perhatianku hanya terpaku pada sosok lelaki di seberang sana.

Namun jalan kembali sibuk dan sebuah bus tingkat lewat di hadapanku lalu berhenti tepat di depanku karena macet. Ketidaksabaran tiba-tiba melandaku. Aku ingin melihat lelaki itu, rasa resah semakin tidak karuan dan aku ingin bus di hadapanku ini kembali jalan agar aku bisa melihat lelaki itu. Melihat kearah mana ia pergi, melihat lagi seperti apa tatapannya, apakah ia mengenaliku atau tidak.

Dan sepanjang jalan yang kutempuh setelahnya, sebanyak langkah demi langkah yang kuciptakan setelahnya, pada akhirnya aku tak bisa menghapus wajah lelaki itu. tidak dapat menghapus ingatan saat-saat bersamanya dulu. Argumen tentang lelaki itu yang selama ini coba kubangun dan kuyakini sebagai halusinasi belaka kini mulai runtuh. Aku mulai meragukan bahwa itu hanya halusinasi karena hari ini aku benar-benar bertemu dengannya lagi. Setelah tiga tahun menghilang

Namun, mengapa lelaki itu tidak berbalik dan menghampiriku?

Mengapa lelaki itu tidak mengatakan apa-apa setelah sekian lama tidak bertemu

Mengapa lelaki itu tidak berusahan menunggu bus di depanku berlalu, kenapa ia hilang begitu saja saat bus yang menghalangi pandanganku telah pergi.

Dan mengapa ia muncul tiba-tiba di siang hari dibawah hujan, di hari selasa yang seharusnya hari kerja ...

Sepanjang perjalanan ke toko buku aku tidak dapat menyingkirkan fikiran-fikiran liar tentang kejadian di penyeberangan tadi. dibawah hujan, di dalam lindungan payung aku menatap langit yang mendung, hujan membasahi seisi kota. Membasahi kabel-kabel dan tiang listrik, atap-atap halte bus dan wajah trotoar-trotoar yang sepi, seperti diriku yang entah akan seperti apa kedepannya setelah hujan reda.

Di dalam toko buku aku sibuk membaca judul-judul buku yang dipamerkan di rak-rak depan sebagai cetakan baru. Aku berpindah dari satu rak ke rak lain dan terus membaca judul buku lalu meninggalkannya, seperti aku sedang mencari ketidakpastian yang disebabkan dari dalam diriku. saat ini, aku seperti kehilangan arah. Diluar hujan masih berlangsung, di dalam toko buku, orang-orang seperti kehilangan kata-kata pada lisannya. Mereka lebih banyak membatin dalam membaca kata-kata yang ada dalam setiap buku. Begitulah cara membaca di dalam toko buku atau bahkan perpustakaan. Disini seseorang harus membaca sendiri untuk bisa mendapatkan pengetahuan atau cerita yang mereka cari. Seseorang yang hanya ingin mendapat mentahan cerita atau penjelasan bukan disini ruangnya.

Aku mengambil sebuah majalah sastra terbitan bulan ini. Aku membaca hanya puisi-puisinya. Lembar demi lembar kulalui dengan hujan yang tetap berlangsung di luar bahkan di dalam hatiku. Detik terus berlangsung di jam dinding bahkan di detak jantungku. Samar-samar, lirih bernyanyi dari kesepian diriku dan menyamar sebagai gumam lembut, kadang juga dalam hela nafas yang sengaja ku bunyikan. Seperti baru saja aku melalui sesuatu yang melelahkan.

Ya, kesepian itu melelahkan.

Kurasa Rindu ini Mimpi

Aku terlelap, lupa membuka mata

Di jarum jam aku sulit membedakan mana detik mana rasa sakit

 

Mencintai itu menghidupkan sukma

Kita akan sering berbicara dengan diri sendiri di beranda sepi

Dan bunga-bunga bermekaran tanpa menunggu musim semi

Lalu percakapan tumbuh sebagai taman

Dan puisi sebagai pohon-pohon yang teduh

 

Namun jika hanya sepihak

Mencintai adalah cara paling manis untuk mati

Lalu bertahan adalah kubur dengan nisan tanpa nama

Dan senja akan melayatnya setiap kali, tanpa jingga ...

 

Hydn

 

Usai kubaca, kututup majalahnya dan segera kumenuju kasir. Dalam antrian, aku bicara pada diriku sendiri bahwa apa yang terjadi hari ini mungkin nyata mungkin tidak. Meski hati kecilku selalu mengatakan bahwa semua tentang lelaki itu adalah nyata, namun aku tidak berani untuk menyimpulkan hal itu. Ketakutan-ketakutan selalu muncul, dan membingungkanku. Kalaupun ia benar-benar ada, apakah ia mengenaliku? apakah ia peduli denganku? Lalu, apakah ia ...

mencintaiku?

dengan hanya lelaki itu di fikiranku, aku menangis tanpa suara saat berhadapan dengan petugas kasir dan mesin scan barcode nya sehingga terjadi jeda cukup lama. Lalu Aku mengusap air mata yang menetes dengan tangan kananku, majalah kuberikan ke kasir dan pembayaran berlangsung hingga petugas kasir memberikan uang kembaliannya. Aku mengahadap ke belakang dan menundukkan kepala sedikit, meminta maaf ke antrian di belakangku karena aku sempat memakan waktu cukup lama tadi.

dalam perjalanan pulang menggunakan kereta, aku kembali teringat dengan lelaki itu. secara tidak sadar, aku telah menganggap bahwa lelaki itu bukan halusinasi. Bahwa lelaki itu benar-benar ada dan aku berharap bisa kembali bertemu dengannya. Hari ini adalah hari selasa, pukul 17:30. Aku menaiki kereta dari stasiun gondangdia. Perjalanan nostalgia pun dimulai saat kereta arah bogor datang. Keinginan untuk bertemu dengan lelaki itu pun kembali muncul.

Saat tiba di stasiun manggarai aku kemudian turun dan kembali menaiki kereta di peron 5 arah Tanah Abang, Duri Angke. 15 menit menunggu di peron lima, kereta akhirnya tiba dan membawaku menuju Stasiun Duri. Tiba Di stasiun duri aku kembali transit ke peron 5 arah Tangerang. Dan kembali menunggu kereta. Ketika kereta Tangerang tiba, aku dan ratusan penumpang lainnya pun memadati gerbong-gerbong kereta yang terang oleh deretan lampu neon itu.

Sekitar jam tujuh petang aku telah sampai di stasiun kalideres, tempat dulu ibu menjemputku setiap harinya. Langit telah gelap bagai lautan dalam. Bahkan lebih dalam. Jika lautan terdalam seperti palung mariana yang berkedalaman 10.924 mungkin menyimpan banyak jenis makhluk purba yang tak diketahui manusia, maka langit malam dengan kedalamannya menyimpan banyak rahasia yang bahkan memiliki kedalaman lagi yang tidak cukup hanya dengan mengetahuinya. Seseorang harus menyelam lagi untuk benar-benar tau, atau seseorang harus mati di dalamnya.

Dengan dorongan rasa ingin kembali bertemu dengan lelaki itu, secara ceroboh aku memutuskan untuk bertahan, berlama-lama di stasiun Kalideres sampai waktu itu tiba. Bahkan ketika logika mengatakan kemungkinannya sangat kecil, aku bersikukuh untuk tetap melakukannya. Tak peduli jika harus menunggu hingga 3 jam kedepan. Perasaanku telah mengalahkan logika sepertinya, bahkan aku ragu akan hal itu sehingga menggunakan kata ‘sepertinya’ untuk membuat kesimpulan tadi. Kereta arah Duri tiba di peron satu, aku mampir di kedai Roti, memesan roti dan segelas minuman dan duduk untuk beberapa waktu lamanya.

Kereta demi kereta datang dan berlalu, pengguna kereta yang naik dan turun silih berganti, suara petugas dari pengeras suara berkali-kali menginformasikan posisi dan jadwal kereta bahkan anjuran ke masinis untuk kembali menutup gerbong saat kereta telah diijinkan berangkan dan juga anjuran kepada penumpang yang naik dan turun untuk tidak lupa dengan barang bawaannya, juga tentang kursi prioritas yang mesti di berikan kepada yang berhak.

Namun, sampai pada pesanan minum ketiga tadi, lelaki itu tidak juga ada, tak nampak di peron 2 sana. Padahal jam telah menunjukkan pukul 22:19. Mungkin memang tidak mungkin lelaki itu ada. Mungkin memang benar ini semua hanya sia-sia. Mungkin memang benar segala mengenai lelaki itu hanya halusinasi. Namun aku tidak dapat mengatakan bahwa pertemuan saat menyeberang tadi sebagai halusinasi. Aku sangat yakin bahwa orang yang kulihat adalah lelaki itu. Meski ada kemungkinan hanya mirip. Karena banyak sekali orang di dunia ini wajahnya hampir mirip satu dengan lainnya. Meski begitu, aku masih bersikeras bahwa lelaki itu memang ada, bahwa lelaki yang kutemui saat menyeberang siang tadi adalah lelaki yang sama yang sering kutemui di stasiun Kalideres setiap selasa malam jam sepuluhan di kala itu. kuambil telpon genggam, dan kukirim sebuah pesan pada ibu.

Dengan langkah yang sedikit lemah karena rasa kecewa, aku menyeberang ke peron 2. Duduk di bangku peron terujung, mengulang masa-masa itu. Masih berharap lelaki itu akan muncul, walau tahu itu sia-sia. Untuk beberapa menit, aku larut dalam lamunan tentang lelaki itu lagi. layaknya misteri-misteri pada langit malam, lelaki itu adalah bagian dari misteri di langit malam sana yang kedalamannya tak terukur. Aku tidak memiliki alat ukurnya, sehingga hanya bisa mengira-ngira dengan alat ukur seadanya, yaitu asumsi. Asumsi nya yaitu kemungkinan bahwa lelaki itu adalah hal nyata tapi sulit ditemukan atau lelaki itu adalah hal yang tak nyata yang terasa nyata karena kejiwaanku yang mungkin terganggu.

Lagi,

aku menggunakan kata ‘mungkin’ dalam sebuah kalimat kesimpulan yang seharusnya tegas, yang seharusnya lebih berani.

Sambil memandang, bahkan tenggelam di langit malam yang gelap, pikiranku bercampur. Bahagia dan kecewa bagaikan teman akrab yang sedang menikmati teh di beranda. Aku bahagia karena sekali lagi dapat bertemu dengan lelaki itu saat menyeberang siang hari tadi. Namun tidak dapat berbohong bahwa aku juga kecewa karena keberadaan lelaki itu tidak seperti yang aku fikirkan. Saat aku berfikir dapat bertemu dengan lelaki itu dengan cara yang sama seperti dulu, aku malah membuang waktu berjam-jam hanya untuk menunggu sesuatu yang tak pernah terjadi. Tak pernah nyata.

Apakah aku akan tetap pada keyakinan tentang lelaki itu bahkan setelah hari ini berakhir seperti ini? tetapi itu sudah lebih dari cukup. Tidak masalah jika lelaki itu tidak muncul pada kemungkinan yang ku uji coba malam ini. Berpapasan dengannya dan saling bertatapan siang tadi sudah lebih dari keajaiban.

Aku telah memutuskan, saat kereta yang menutupi penyeberangan itu lewat aku akan melanjutkan langkah, menyeberang dan terus berjalan ke arah pintu keluar. Menghampiri ibu yang telah menungguku di luar, lalu pulang ke rumah. Ke kamar kecil milikku yang sederhana dan dipenuhi serpihan-serpihan sepi, aku akan melebur semuanya sebagai pupuk untuk menumbuhkan mimpi musim semi dalam tidur malam yang terasa tak seperti biasanya.

End ...

Jakarta, 2019

Shane Idate


IG : Syarifhidate
Facebook : Syarif Hidayat

Roman Cinta dan Sepi

Chapter I

 Lelaki Itu

 

Akhir-akhir ini, aku sering pulang larut malam. Pekerjaan mejelang akhir tahun sangat menyita waktuku. Sehingga lembur di akhir pekan saja tidak cukup. Aku harus lembur hampir setiap harinya untuk bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanku. Sehingga aku selalu pulang tanpa bisa melihat senja.

Senja,

Ah! Aku selalu merindukannya

Kenangku setiap melihat keluar jendela yang gelap ketika kereta malam membawaku dalam perjalanan pulang yang begitu panjang.

Ketika kereta tiba di stasiun manggarai, aku akan turun dan menyeberang ke peron lima. Transit ke kereta arah Tanah Abang - Duri Angke. Aku harus transit dulu di Duri untuk sampai ke Stasiun Kalideres. Begitulah rute perjalanan pulangku. Sebaliknya, perjalanan pergi juga. Namun aku selalu menikmatinya. Meski kadang merasa ada kekosongan, tapi pergerakan orang-orang yang turun dan naik ke kereta dan orang-orang yang menunggu di peron-peron menjadi kesenangan tersendiri. Setiap orang memiliki gerak gerik dan sifat berbeda-beda layaknya lembar-lembar pada buku yang saling berbeda isi dalam tiap lembarnya. Memperhatikan gerak-gerik dan tingkahlaku banyak orang jadi seperti membaca lembaran buku-buku.

                Selasa, Jam 21:49

Aku baru sampai di Stasiun Kalideres malam itu. Ketika penumpang yang baru saja turun dari kereta langsung menyeberang menuju pintu keluar, aku menepi di sebuah tempat duduk di belakang peron dua yang berada di ujung. Bersandar pada tembok pembatas yang tak pernah mengeluh betapa beratnya permasalahan yang ada di diriku, yang kusandarkan padanya.

                Disana aku menunggu. Menunggu Ibu yang akan menjemputku. Sambil menunggu, aku sering berdiam diri. Menikmati kesunyian yang meliputiku. Kadang, aku juga menatap rembulan saja ketika ia tak malu-malu hadir diatas langit. Hanya menatap saja, tanpa alasan yang pasti. Aku suka dengan hal-hal yang terkesan hampa seperti itu. Entahlah, aku selalu menikmati suasana yang seperti itu. peron yang mulai sepi, waktu yang terus menua, dan malam yang kian larut. Aku bergulir dengan kesendirianku.

Tak terasa, sepuluh menit berlalu. Kereta berhenti dan menurunkan penumpang di peron yang ada di hadapanku. Seketika suasana yang semula sunyi, kembali ramai dengan penumpang-penumpang yang turun dari kereta dan bergegas menyeberang ke pintu keluar.Kulihat jam tangan, pukul 22:01. Aku masih tidak melakukan apa-apa selain menunggu. Kulihat ke sebelahku,

Lelaki itu lagi.

Seperti selasa malam-selasa malam sebelumnya. Ia duduk di sebelahku. Rambut lurusnya yang jatuh tanpa pernah tersisir, matanya yang sayu, jam tangan hitam yang melingkari pergelangan kirinya, juga sebuah gelang cokelat yang terbuat dari tali nilon. Gelang itu sangat mirip dengan yang kupunya dulu. Yang hilang beberapa bulan yang lalu entah dimana. Dan ia tak melakukan apa-apa. Ketika aku melihatnya, ia akan tersenyum seperti biasanya. Ketika aku mulai bertanya, barulah ia akan berkata-kata. Cair dari sikapnya yang dingin

“lembur lagi?” tanyaku memulai perbincangan

Dan ia membalasku dengan tersenyum. Aku pun mengerti arti dari senyumnya itu. ia selalu menjawab seperti itu juga di pertemuan-pertemuan sebelumnya.

“bagaimana denganmu?” ia balik bertanya

“ya, seperti biasa” jawabku singkat.

Setelah itu ia tidak akan banyak bertanya lagi.

Meski tidak banyak pembicaraan. Aku senang bersama dengannya. Ada rasa nyaman tersendiri kurasakan. Meski ia hanya duduk di sebelahku sambil membaca langit malam, atau kadang melakukan hal yang sama denganku, tidak melakukan apa-apa. Tapi aku merasa seakan ia mengerti diriku.

Memang, aku tidak terlalu suka perbincangan yang panjang jika itu hanya sekedar basa-basi atau pertanyaan-pertanyaan retorika yang membosankan. Ia lelaki yang simpel. Ia lelaki yang tidak terlalu mementingkan hal-hal semacam itu. Dan anehnya, aku tidak pernah merasa jenuh dengan itu. Entah sejak kapan aku mulai sering berdua duduk menunggu di peron seperti ini, mungkin sejak aku pulang larut malam disetiap selasa malam. Kadang aku yang duluan duduk disini, kadang juga dia duluan yang ada disini ketika aku tiba lebih malam.

Aku hanya bisa bertemu dengannya di hari selasa.

Ya, hanya dihari selasa. Selain hari itu, aku tak pernah menemukannya meskipun aku pulang larut maupun pulang lebih cepat. Mungkin jadwalnya tidak pasti. Tapi jika di hari selasa, ia selalu pulang hampir larut sekitar jam sepuluh malam. Dan kami sering bertemu di hari itu. kadang aku memang sengaja pulang di jam itu setiap hari selasa. Dan cerita kami berdua hanya dapat ada di hari tersebut.

                Mulanya aku agak takut bertanya padanya karena sikapnya yang dingin. Namun ketika mulai terbiasa, ia jadi terasa hangat bagiku. Kesunyiannya dan kesunyianku menyatu. Dan kami menikmatinya berdua saja. Ya, berdua saja. Batinku dalam hati kadang, karena tak ada seorangpun yang mengusik kami ketika kami berdua. Mungkin tidak ada yang berani terjebak dalam kesunyian kami. Kadang orang-orang hanya menatapku sebentar, lalu tak peduli dan melanjutkan langkahnya. Meski ada juga yang kadang melihatku dengan alis yang mengernyit ketika aku menunggu jawaban dari lelaki di sebelahku. Mungkin orang itu heran dengan cara kami bicara yang tanpa melihat.

                “kau sudah dijemput?” tanyaku, pertanyaan yang masih biasanya

                “belum. Kau sendiri?”

                “Ibuku sedang dalam perjalanan ke sini. Mungkin beberapa menit lagi sampai”

                “bagus. Bersabarlah menunggu disini” jawabnya. Masih sama dengan biasanya

Pertanyaan pertanyaan yang selalu sama, jawaban-jawaban yang selalu sama, selalu saja kami dialog kan. Dan anehnya, kami tidak pernah bosan untuk mengulangnya lagi dan lagi setiap bertemu ketika sama-sama menunggu. Selebihnya kami lebih banyak diam tanpa-kata-kata. Duduk berdua dengannya tanpa banyak kata-kata. Tak banyak kata-kata adalah sebuah kata-kata yang tak berwujud. Tak tertulis dan tak terungkapkan.

******

 

Hari selasa Malam rabu ini aku kembali pulang larut malam. Turun dari gerbong, aku menuju tempat duduk biasanya diujung sana. Aku ingin segera duduk dan bersandar menumpahkan lelah hari ini. Bukan hari yang menyenangkan bagiku, hari ini aku mendapati banyak permasalahan. Perkerjaan yang semakin menumpuk, rekan kerja yang menyebalkan serta atasan yang selalu menyalahkanku. Hari ini aku merasa sangat tertekan. Bahkan di perljalan pulang tadi, aku sempat salah turun, aku terlewat satu stasiun sebelum akhirnya kembali ke arah semestinya.

Aku membuka ponselku, melihat pesan yang ku kirim ke Ibuku lewat WhatsApp. Sudah terkirim, namun belum dibaca. Aku segera menghubunginya. Tapi tidak juga di angkat. Hanya ada nada menyebalkan dari seberang sana, nada ponsel tak terangkat.

“Mungkin Ibumu sedang sibuk”

Tiba-tiba seorang lelaki ada disebelahku. Ah, ternyata dia. Lelaki yang tanpa pernyataan telah menjadi temanku. Teman dalam menunggu, teman dalam menyepi, dan teman dalam membekukan kata-kata.

                “Oh, kau rupanya. Mengagetkan saja”

                “Maaf jika aku mengagetkanmu” ujarnya, datar

                “Tidak apa-apa. Aku saja yang terlalu sibuk, hingga tidak menyadari kehadiranmu”

Bukankah setiap kehadirannya aku tidak pernah menyadari, tiba-tiba ia selalu sudah ada di sebelahku ketika aku lengah. Kalau tidak seperti itu, biasanya dia yang sudah ada duluan di peron. Ujarku dalam hati. Mempertanyatakan keanehannya yang telah ku maklumi. Tapi tadi, aku benar-benar terkejut karena bukan hanya ada tiba-tiba di sampingku, juga karena ia bertanya kepadaku duluan.

                “kau lembur lagi?” tanyaku dengan pertanyaan yang biasanya

Dan ia membalasku dengan tersenyum. Aku pun mengerti arti dari senyumnya itu. ia selalu menjawab seperti itu juga di pertemuan sebelumnya.

“bagaimana denganmu?” ia balik bertanya

“ya, seperti kemarin” jawabku singkat.

Selalu saja, aku merasakan semacam Djavu setiap kali mengulang pertanyaan itu. tapi bukan untuk basa-basi. Aku merasa perlu menanyakannya lagi dan lagi setiap kali bertemu dengannya. Mungkin aku selalu ingin tahu tentangnya. Barangkali juga, aku sebenarnya selalu ingin mendengarnya bicara. Bicara tentang dirinya.

                Aku menatap rembulan yang di malam itu bersinar dengan wujud sempurnanya. Sambil mengurai benang-benang kusut yang ada difikiranku. Perasaan-perasaan yang kacau.

                “Sepertinya kau sedang tidak baik” tanyanya. Kali ini pertanyaan berbeda dari biasaya

                “Aku baik-baik saja kok” jawabku, mengelak. Tanpa melihat ke arahnya, aku terus memandang langit.

                “Dari matamu, aku bisa melihatnya” ujarnya lagi tanpa melihatku. Ia ikut menatap purnama

                “Melihat apa?”

                “Permasalahan” tegasnya

Kulihat dia, sangat percaya diri setelah mengatakannya. Ternyata dia mudah sekali mengerti dengan apa yang sedang terjadi pada diriku. padahal aku tipe orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Ketika ada masalah aku lebih memilih diam, dan menatap ke suatu tempat. Meskipun sebenarnya aku tidak menatap selain kekosongan. Tatapan yang mengambang entah dimana.

                “Aku sedang banyak permasalahan dikantor” akhirnya aku jujur padanya.

Setelah mendengarnya, Ia malah diam. aku sempat bingung, kenapa setelah aku mengatakannya, ia tidak bertanya lebih. Tidak menggali lebih. Padahal biasanya kalau orang lain akan melanjutkan ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam. Apa Ia tidak peduli?. Tanyaku dalam hati sambil menatapnya bingung. Tapi beberapa saat kemudian aku sadar. Ia diam bukan karena tidak peduli, Ia diam untuk membiarkanku bercerita kepadanya.

Akupun panjang lebar bercerita padanya. Mulai dari pekerjaanku, kekesalanku kepada rekan-rekan kerjaku yang tidak bisa melihat situasiku kalau bercanda. Sampai tekanan atasanku yang memberatkan fikiranku. Aku tidak tahu apakah ia faham dan mengerti dengan apa yang aku ceritakan. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku terus bercerita, mendongeng panjang lebar dan dia selalu setia sebagai pendengar. Sebagai tempat sampahku.

                Kereta arah Tangerang pun tiba di peron, berhenti di peron. Penumpang-penumpang pun turun dan bergegas menyeberang untuk menuju pintu keluar. Suara langkah dan obrolan-obrolah penumpang yang turun membuatku menghentikan sementara ceritaku. Dan kulihat lelaki itu, ia diam, menatap lurus kedepan. Kurasa ia mengerti mengapa aku berhenti bercerita.

                “bising” katanya, tanpa melihatku. Suaranya sebenarnya pelan, namun entah kenapa aku selalu dapat mendengar suaranya.

                “iya” timpalku
kami bersama-sama melihat gerombolan penumpang yang bermacam-macam. Ada yang jalan sambil mengenakan earphone di telinganya. Ada yang sambil, melihat layar ponsel, ada yang saling ngobrol dengan teman-temannya, pasangannya. Dan ada juga yang menatap kosong ke depan.

Ah, seperti diriku saja!. Batinku.

Mataku beralih ke orang yang lain. Kali ini seorang perempuan, langkahnya tenang dan Gemulai. Rambut panjangnya terurai bebas di punggung, Kepalanya menunduk melihat handphone di tangannya dengan earphone menyumbat telinganya. Sepertinya dia perempuan profesional. Ia berjalan diantara yang lainnya. Semakin lama semakin mendekat kearahku.

Ketika perempuan itu tepat di depanku, ia melihat ke arahku juga. Sekilas, kami saling memperhatikan. Aku memperhatikan dirinya sambil mencari-cari apa yang dapat aku baca dari orang sepertinya. Mulai dari gerak, cara memegang handphone, cara melihat sekitar dan lainnya. Seketika, aku pun beralih ke orang berikutnya.

Namun, ternyata perempuan yang tadi,tidak segera benyeberang. Ia berbalik ke arahku. Apa yang ia lakukan?. Tanyaku dalam hati. Ia semakin mendekat kearahku

                “Hai Lish!” perempuan itu menyapaku. Dan juga membuka earphone dari telinganya.

Untuk beberapa saat, aku tak bisa bicara. Segera aku perhatikan wajahnya, rambutnya, matanya, dan ...

                “hai Mir” aku balik menyapa setelah mengenalinya. Dia Mirari, temanku semasa kuliah.

Jarang sekali kami bertemu setelah bekerja. Dan malam ini tanpa sengaja kami bertemu di sini.

                “kau naik kereta juga?” tanya Mirari

“iya Mir. Setiap hari”  jawabku

                “Baru tahu aku. Kenapa kita jarang bertemu ya?” ia memasukkan handphone ke saku sweaternya.

                “mungkin karena aku berangkat lebih pagi darimu”

                “aku berangkat jam 8 pagi sih memang”

                “aku jam 6 pagi”

                “pantas saja, haha...  “ Mirari pun tertawa. Entah untuk apa

Tanpa sadar, aku pun ikut tertawa mengikuti Mirari.

                Aku pun untuk sesaat mengabaikan Lelaki di sebelahku yang berjarak satu langkah yang juga sedang duduk sepertiku. aku melihat kearahnya, ternyata dia tidak terganggu sedikitpun. Ia masih menatap purnama dengan tatapan yang lurus. Tapi, ia sempat melirik kearahku, sebelum akhirnya kembali ke purnama.

                “kau melihat siapa?” Mirari melihatku bingung

                “Tidak, tidak melihat ke siapa-siapa” jawabku, dusta. Aku enggan memperpanjang pertanyaan Mirari jika aku menjawabnya dengan jujur. Aku tidak mau Mirari meledekku dengan bertanya lebih dalam tentang lelaki di sebelahku itu.

                “kau yakin?” Mirari masih tidak percaya

                “iya, tentu saja” jawabku sambil menganggukkan kepala.

Meski begitu, Mirari nampak masih tidak percaya. Ia melihat kearah sebelahku, ke arah Lelaki itu. aku mulai khawatir ia akan banyak bertanya siapa Lelaki itu. lama ia melihat ke arah lelaki itu. tapi pada akhirnya ia tidak bertanya apa-apa lagi tentang itu.

                “Kau sedang menunggu seseorang?” Mirari beralih ke pertanyaan yang lainnya.

                “Ibuku, aku menunggu Ibu menjemputku”

                “owh....  kau di jemput”

Mirari sempat menawarkan diri untuk mengantar, tapi aku menolaknya.aku bilang bahwa ibuku sudah dalam perjalanan ke sini. Akhirnya Mirari pun tak lama kemudian pamit duluan. Sebelum berlalu, ia sempat melihat ke arah samping aku dengan tatapan yang agak bingung. Mungkin ia masih curiga dengan Lelaki di sebelahku. Mungkin ia masih ingin bertanya ‘siapa sebenarnya lelaki itu, apa hubungannya denganku’.

                “tadi itu temanku” aku kembali bicara padanya (lelaki itu). Peron telah kembali sepi. Orang-orang sudah berpindah ke pintu keluar otomatis. Yang tersisa di peron 2 hanya kami berdua.

                “kau tidak mencurigai sesuatu?” tanyanya tiba-tiba. Bukan pertanyaan yang aku harapkan

                “curiga apa?”

                “temanmu tadi menatapku seperti .... “ belum sempat ia meneruskan kata, aku segera memotongnya

                “Biarkan saja! Mungkin ia hanya penasaran denganmu”

Tidak ingin membahasnya lebih jauh, aku mulai bercerita lagi. Dan ia mendengarkan lagi dengan baik. Dengan tidak memotong ceritaku. Dia akan bicara jika aku bertanya padanya.

                Telpon aku tiba-tiba berdering, ternyata Ibuku menelpon. Ia menjelaskan bahwa tadi ia sedang rapat Ibu-ibu PKK sehingga tidak dapat segera membaca pesan dan tidak bisa mengangkat telponku karen Handphone nya di Silent. Ternyata ia sedang menuju Stasiun untuk menjemputku. Akhirnya Ibu menjemputku juga. Aku melihat jam tanganku. Pukul 22: 33. Dan stasiun pun sudah semakin sepi. Hanya ada beberapa petugas kemanan yang selalu bersiaga di pinggir peron dan juga petugas kebersihan yang sesekali menutur sampah.

                “maaf, tadi Ibuku menelpon. Akhirnya ia akan datang menjemputku”

                “Tentu, Ibumu orang yang baik.” Ujarnya

                “Tentu saja. Bagiku dia Ibu yang baik”

                “Tak lama lagi ia akan mengakhiri penantianmu. Ia akan menjemputmu dari keisengan ini, Kesunyian ini”

                Meski tidak mengerti pernyataannya tadi, aku berpura-pura mengerti. Aku tidak ingin terlihat bodoh dihadapannya. Bahkan balik bertanya padanya.

                “kau sendiri, apa kau akan dijemput?”

                “ya, seperti biasa”

Sama sepertiku mungkin, dia selalu dijemput oleh salah satu keluarganya setiap hari kerja di stasiun ini. Ia memang tidak pernah mengetakan seperti itu. tapi aku yakin dia sama denganku. Duduk dalam waktu yang lama di bangku peron setelah turun kereta apalagi kalau bukan menunggu.

                Ketika Ibuku datang, aku mengakhiri kebersamaan dengannya. Akupun pamit dengan cara seperti biasanya. Berkata ‘aku duluan ya’ sambil melambaikan tangan kearahnya. Tidak tinggi, aku hanya mengangkat tangan sedikit dan memutar telapak tanganku yang jemarinya terbuka kearahnya. Entah itu bisa disebut melambaikan tangan atau tidak. tapi itulah caraku berpisah denganya. Dan Ia akan meng’iya’kannya dengan tersenyum dan sedikit mengangguk. Begitulah cara kami. Sederhana dan tanpa banyak kata. Dan aku menyukainya.

                Ketika aku akan menyeberang, petugas PKD Stasiun melihatku dengan penuh heran. Sama seperti Mirari, petugas itu juga sempat melihat ke arah tempatku duduk tadi. Apa petugas itu juga ingin tahu siapa Lelaki itu?, usil sekali!. Batinku. Sambil memikirkan alasan petugas itu. mungkin saja Petugas itu merasa aneh dengan cara kami berpisah. Simpulku dalam hati. dan lekas menyeberang ke peron satu lantas keluar melalui pintu otomatis.

                Sebelum keluar, aku sempat melihat kearah lelaki itu, Dia masih menatap kesuatu tempat dengan tatapan yang rasanya sangat jauh. Dan aku tak mampu menyelaminya. Lelaki itu kini seperti biasa, setelah aku pergi, ia akan sendirian disana. Ah! Mungkin aku salah. Ia tidak pernah sendirian. Ketika melihat matanya, kau akan tahu bahwa ada banyak kenangan yang menggenangi lamunannya. Diamnya.

*****

 

Entah sudah berapa lama aku selalu melakukannya. Menyengajakan diri pulang lebih larut meski kadang pekerjaanku tidak menuntutku untuk lembur. Aku hanya berfikir untuk pulang malam setiap hari selasa, dan bertemu dengan seseorang disebuah stasiun terakhirku. Entah sejak kapan juga aku mulai merasa bahwa aku menyukai setiap pertemuan dengan lelaki itu di hari yang biasa, di stasiun yang biasa, di jam yang biasa, di perbincangan yang biasa, di langit malam yang biasa, di peron yang biasa, dan di suasana aneh yang biasa. Meski pernah sekali aku tidak bertemu dengannya meskipun aku pulang larut di selasa malam. Tapi hampir setiap selasa malam aku dapat bertemu dengannya.

Aneh?

Ya, aku merasa kebersamaan kami aneh dimata orang lain. Aku baru menyadarinya ketika pertemuan dengan Mirari kemarin. Ditambah lagi, petugas stasiun yang berjaga di penyeberangan peron selalu memandangku dengan pandangan yang aneh. Bahkan beberapa orang juga sempat melakukan hal yang sama.

Apa mungkin karena kami terlihat akrab, tapi tidak seperti pasangan sahabat atau bahkan pasangan kekasih pada umumnya? Batinku

Tentu saja setiap persahabatan memiliki caranya yang berbeda-beda. Ada yang bersahabat dengan cara yang sangat hangat, setiap kali bertemu selalu bertegur sapa dan bersalaman akrab sambil menanyai kabar, lantas berlanjut ke obrolan yang panjang. Ada juga yang bersahabat dengan cara yang selalu terlihat ceria dan semacamnya. Dan ada juga yang bersahabat dengan cara yang biasa-biasa saja. Bertemu, bertanya singkat, lalu hanya duduk diam secara bersama-sama memandangi lamunannya masing-masing. seperti yang aku jalani bersama lelaki itu.

Jika pasangan kekasih biasanya bertemu di suatu tempat mereka akan berpelukan, aku mungkin juga melakukannya. Bedanya, aku memeluk bayangannya. Memeluk nya dari lamunanku yang sering mengada-ada setiap kali aku kehabisan pembicaraan dengannya.

Kekasih?

Aku tersentak, secara tidak sengaja, alam bawah sadarku mengakuinya. Mengakui bahwa aku ingin menjadi kekasihnya, mengakui bahwa aku menyukai lelaki itu. Dan kini aku tahu alasan mengapa selama ini aku selalu ingin pulang di jam yang sama di hari selasa. Itu karena aku ingin bertemu dengannya. Bertemu, dan bercerita banyak pada lamunanku tentang kekagumanku pada Lelaki itu setiap kali duduk bersamaan dengannya.

Pukul 21:58

Aku tiba di stasiun terakhirku, turun dari gerbong dengan puluhan orang lainnya. Lalu duduk di bangku peron yang biasa, sendirian. Di jam selarut itu, aku tidak menemukan orang lain selain aku yang menunggu seorang diri di bangku peron. Tentu saja penumpang kereta yang lain langsung menyeberang karen sudah di tunggu jemputannya di depan stasiun. Ada juga yang lekas keluar stasiun dan naik transportasi ojek untuk bisa cepat-cepat pulang kerumah menemui keluarganya di rumah yang sudah menunggu.

Duduk sendiri di bangku peron, aku memejamkan mata untuk beberapa menit. Dalam suasana yang sunyi itu, aku menyadari betapa menyedihkannya diriku yang selalu terdampar dikesepian seperti ini hanya untuk bertemu seseorang. Seseorang yang bahkan tak kukenal dekat. banyak yang tak kuketahui tentangnya. Tentang rumahnya, asalnya, tempat kerjanya, dan bahkan namanya.

Namanya?

Aku baru menyadari, selama ini sering bertemu dengannya dan berbincang singkat dengannya, aku belum tahu namanya. Ya, kami tidak pernah menanyakan hal-hal mengenai diri kami masing-masing. kami selalu berbincang seolah sudah saling kenal sehingg tak perlu menanyakan hal-hal yang bersifat profil.

Mungkin juga karena kami tak pernah memikirkan hal-hal sepele seperti perkenalan nama dan basa-basi lain yang menyertai setelahnya. Mungkin itu pula yang membuat kesan aneh lainnya tentang persahabatan kami. Bahkan istilah persahabatan yang aku pakaipun tak pernah kami resmikan secara langsung. Aku hanya merasa istilah itu sudah tidak perlu di timbang-timbang lagi.

Saat aku membuka mata, aku telah menemukan lelaki itu sudah ada di sampingku dengan jarak beberapa jengkal saja. Seperti biasa. ia dengan rambut lurus yang tak tersisir dan jam tangan juga gelang tali yang melilit di pergelangan kirinya, Serta matanya yang menatap jauh ke langit malam. Dan aku tidak langsung mengusiknya. Aku membenarkan posisi duduk, lalu meniru gayanya menatap langit. Meski aku tak pernah bisa menatap langit malam sejauh tatapannya. Aku hanya bisa melihat rembulan saja. Kalau dia, dia mungkin bisa melampaui masa lalunya.

“lembur lagi?” tanyaku tanpa melihatnya.

“Iya. Kau sendiri?” jawabnya, dan balik bertanya padaku

Kuperhatikan matanya diam-diam, hitam pada kantung matanya, meski samar membuatku lupa pada pertanyaan Rain yang tadi. dan bukannya menjawab, aku malah melontarkan pernyataan yang terkesan sok tahu. tapi itulah yang kufikirkan.

“kau kelihatannya lelah” kataku

Tidak ada jawaban. Rain diam bisu, seperti ada yang difikirkan. Aku kembali menatap langit, aku masih malu melihatnya secara terang-terangan. Kemudian, sunyi kembali menghampiri kami. Sunyi yang menyenangkan, hanya ada kami, hanya ada aku dan Rain.

“kau belum dijemput?” tanyaku mengalihkan pembicaraan

Lelaki itu hanya menggeleng, pelan. Ia masih menatap kelangit malam. Aku sebenarnya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya ia pandangi selain langit malam yang selalu penuh misteri dan rembulannya yang kadang ada kadang tidak. Ia selalu nampak tenang dan mempesona.

Mempesona?

Aku mulai tertarik lebih dalam terhadapnya ternyata. Malam ini, aku mungkin bisa mengenalnya lebih jauh. Aku pun bertekad untuk membuat perubahan besar malam ini. Sebelum Ibuku datang menjemput, sebelum aku berpisah dengannya, aku harus tahu tentang nya lebih jauh. Minimal mengenal namanya.

Tentu itu tidak mudah. Aku selalu takut untuk memulai pertanyaan yang sakral itu. setiap kali bertekad untuk bertanya, keberanianku langsung ciut tatkala melihat wajahnya yang sendu tiba-tiba. Ia sering seperti itu. kadang terlihat tenang, kadang terlihat sendu. Seperti ketenangan dan sendu selalu bergantian menemani dirinya selain ragaku disini. Langit malam yang selalu ia tatap mungkin tahu jawabannya.

Dalam ketakutan dan ketidakberdayaan menghadapi diamnya, aku melihat wajahnya diam-diam. menerawang dalam diamnya yang seperti lorong gelap tanpa cahaya. Dan aku berjalan hanya mengandalkan langkah yang buta. Tatapan yang tak mengerti apa-apa tentang nya.

Tiba-tiba, dia menoleh kearahku. Seketika mata kami segaris lurus. Bertatapan tanpa sengaja. Beberapa detik aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. tak tahu harus bersikap seperti apa. beberapa saat kami terdiam. Aku kikuk sendiri. dan Ia, lelaki itu malah nampak biasa-biasa saja. Tetap tenang, dan kalem. Kemudian dia kembali menatap langit malam lagi. Hal itu membuat aku senyum-senyum sendiri, malu sendiri. rasaanya seperti kencan beberapa detik.

“hey, kita sudah sering bertemu bukan?” tanyaku memberanikan diri

Tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Dan kini menatapku juga akhirnya. Matanya seperti ingin bertanya juga.

“tidakkah aneh jika kita tidak saling kenal nama?” kali ini aku lebih berani. Tanpa sadar aku menggigit bibirku sendiri ketika mengatakannya.

“Sebenarnya, aku tidak terlalu mementingkan sebuah nama” ketusnya

“kenapa?”

William Shakespeare mengatakan ‘What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet’, ”

Mendengarnya, aku tak bisa berkata lagi. Dia benar-benar tidak mementingkan sebuah nama. Mungkin benar apa yang ia katakan. Bahkan jika ia tanpa nama pun, aku akan tetap mengenalnya. Seperti bunga mawar yang sekalipun aku ganti namanya, Ia akan tetap wangi. Seperti Lelaki itu. meskipun ia memberitahu namanya dan aku mengganti namanya, ia akan tetap mempesona dimataku.

“Namaku Alisha” cetusku. Dia diam sesaat, alisnya mengernyit. Seperti Ia sedang memikirkan sesuatu.

“Turunan dari kata ‘Aaleasha’ dalam bahasa yunani” Ujarnya tiba-tiba. Entah apa maksudnya. Membuatku penasaran.

“Maksudnya?”

“Namamu”jawabnya singkat

“Namaku?” aku semakin tak mengerti

“Namamu Alisha. Turunan dari kata Aaleasha dalam bahasa yunani yang artinya jujur”

Tentu saja aku terkesan dengan jawabannya. Bagaimana ia tahu sejauh itu tentang namaku, sedangkan aku sendiri tidak pernah tahu sampai sejauh itu. Aku hanya tahu namaku diberikan ayah . kata ibu, mungkin ayah memberiku nama itu agar aku menjadi seorang wanita yang baik. Aku tidak tahu namaku berasal dari bahasa yunani.

Apa Ibu juga tahu?

Entahlah!

“Ibumu sudah menjemput?”

“sedang di jalan” jawabku, sekenanya. Sebenarnya aku berharap Ibuku tidak segera datang, karena aku masih ingin lebih lama dengan lelaki itu. lebih lama lagi melewati malam yang semakin larut bersamanya.

Angin malam berhembus semakin sering. Menerpa kehampaan udara, menerpa kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan senja dan orang-orang yang mengobati kelelahan yang diciptakan pagi hingga siang harinya. Juga kami, angin menerpa kami yang semakin terbiasa dengan perbincangan tanpa kata-kata dalam hening, dalam renungan masing-masing. Dia dengan renungannya, dan aku dengan renungan aku tentangnya.

Bukankah itu menyakitkan?

Malam larut, dan suara telpon genggamku berbunyi memecah keheningan. Dari layar telpon genggamku, tertera tulisan ‘Ibu’

Akupun pamit dengan cara seperti biasanya. Berkata ‘aku duluan ya’ sambil melambaikan tangan kearahnya. Tidak tinggi, aku hanya mengangkat tangan sedikit dan memutar telapak tanganku yang jemarinya terbuka kearahnya. Entah itu bisa disebut melambaikan tangan atau tidak. Tapi itulah caraku berpisah denganya. Dan Ia meng’iya’kannya dengan tersenyum dan sedikit mengangguk. Dan petugas keamanan stasiun tersenyum setelah melihat perbuatanku yang seperti itu. aku menyeberang peron dengan perasaan yang sulit kumengerti. Ada harapan tersendiri untuk bisa melihatnya lagi di selasa depan.

Selasa Depan?

Tidak!

Aku rasa tidak hanya selasa depan saja.

Aku ingin melihatnya Selasa depan, Selasa depannya lagi, selasa depannya lagi dan lagi...

Sampai aku tahu, apa artinya itu semua ...

Sebelum meninggalkan stasiun, aku sempat melihat lagi ke dalam stasiun. Ke arah tempatnya menunggu. Aku harus menunggu seminggu lagi untuk bertemu dengannya.

“siapa yang kau lihat?” ucap Ibu, mengagetkanku

“teman Bu, hanya teman” dustaku

“benarkah?” tanya Ibu, tak percaya

“iya Bu. Hanya teman” ujarku meyakinkan Ibu.

“apa petugas keamanan stasiun itu temanmu?” tanya Ibu, ragu

Mendengar hal itu, aku hanya tertawa kecil, membayangkan bagaimana bisa Ibu berfikir seperti itu. tanpa memperpanjang hal itu, Ibu menarik gas motor matic nya secara perlahan dan meninggalkan stasiun.

Hari berlalu dengan meninggalkan banyak pertanyaan-bertanyaan baru diantara pertanyaan-pertanyaan yang bahkan belum terjawab. Dan yang belum selesai dengan jawabannya.

Malam itu, dadaku berdebar-debar dan tak bisa tidur lebih cepat seperti biasanya. Fikiranku berkelana kesana-kemari berkelut dengan pertanyaan-pertanyaan dan momen-momen kebersamaan dengan seseorang yang semakin aku ingin tahu lebih jauh.

*****

Selasa Malam ini, aku bertemu lagi dengan Mirari. Dia lembur hari ini sehingga bisa bertemu denganku. Kami bertemu di stasiun transit. Stasiun Duri. di perjalanan, ia banyak bercerita kepadaku. Mulai dari masalah pekerjaan, keluarga, liburan sampai hubungannya dengan seseorang. Seperti biasanya ketika menghadapi seseorang, aku lebih banyak diam mendengarkan. Aku lebih banyak mendengarkan cerita Mirari. Sesekali aku bicara ketika ia meminta pendapatku. Di tengah perbincangan, Mirari bertanya padaku. Pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya...

“Kekasih, apa kau sudah punya kekasih?”

Saat itu aku tidak tahu harus menjawab seperti apa. beberapa saat aku diam, tak bisa menjawab. Tak bisa menangani kebingunganku. Aku bahkan melamun tak memperhatikan Mirari yang masih menunggu jawabanku. meski penasaran dengan jawabanku, ternyata Mirari cukup mengerti, ia tak mendesakku untuk segera menjawab. Ia memilih menunggu saja.

“Belum. Sampai saat ini aku belum memikirkan hal seperti itu”

“Begitu rupanya. Kau masih sama seperti dulu. Tidak terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu”

Saat selesai menjawab, tiba-tiba aku teringat dengan lelaki itu. Dengan tatapan yang selalu mengundang tanya, mengandung misteri yang dalam. Sekitar jam sepuluh malam, aku dan Mirari sampai di stasiun pemberhentian kami. Kami turun dari gerbong hampir berbarengan langkah. Dari kejauhan, aku melihat seseorang yang sudah menunggu di bangku tunggu peron pojok sana. aku mempersilahkan Mirari untuk keluar stasiun duluan karena aku akan menunggu seperti biasa di bangku tunggu terpojok itu.

Namun bukannya meninggalkanku, Mirari malah mengikuti langkahku. Ketika aku berbalik kearahnya, ia menjelaskan bahwa ia juga sedang menunggu seseorang menjemput. Jadi ia ingin menunggu bersama sama denganku. Ia tidak mempermasalahkan aku memilih tempat menunggu yang jauh itu.

Aku memilih duduk diantara Mirari dan lelaki itu. Aku menyapanya (lelaki itu) hanya dengan senyuman kecil lantas duduk. Mirari langsung duduk saja di sebelahku tanpa memperdulikan ada seseorang yang sudah lebih dulu duduk disana. Dan lelaki itu, ia seperti tidak terganggu sedikitpun dengan kehadiran kami. Setelah membalas senyumku tadi dengan senyuman kecil, ia kembali menatap langit malam seperti biasanya.

Sempat ada fikiran untuk memperkenalkan Mirari ke lelaki itu. aneh rasanya jika aku tidak mengenalkan orang yang aku sama-sama kenal. Namun melihat situasi, Mirari dan lelaki itu seperti tidak saling ingin mengenal. Bahkan saling melihatpun mereka tidak lakukan. Seperti mereka hanya menganggap keberadaanku saja disana selain diri mereka. aku sempat teringat beberapa hari lalu saat Mirari sempat melihat kearah lelaki itu dengan tatapan bingung. Dan ketika aku melihat lelaki itu dengan niat mengenalkan Mirari, lelaki itu malah menggeleng pelan, tanda tidak setuju. Saat itulah aku yakin untuk tidak melakukannya. Membiarkan situasi berjalan seperti ini. tidak saling mengenalkan.


mengenalkan?

Bahkan aku belum mengenal nama lelaki itu

 

Meski begitu, aku masih khwatir jika tiba-tiba Mirari bertanya siapa lelaki itu kepadaku. Aku masih belum menemukan jawaban yang tepat jika ia bertanya pertanyaan itu. itulah kenapa aku tidak mengajak bicara lelaki itu. Seperti dirinya, aku lebih banyak diam. Dan Mirari, ia juga nampak larut dalam lamunan.

“hari ini Ia menjemputku” ucap Mirari memecah kesunyian. Seketika aku melihat kearahnya. Mempersilahkannya untuk melanjutkan cerita.

“Pacarmu?” tanyaku, singkat. sekaligus membiarkan Mirari memperpanjang ceritanya lagi.

“Iya. Pagi tadi dia datang ke rumahku dan mengantarkanku ke stasiun ini. Ia juga bilang akan menjemputku. Itu sebabnya aku menunggu bersamamu disini. Padahal biasanya aku akan langsung menyeberang peron untuk keluar dari stasiun lantas ke parkiran mengambil sepeda motorl dan langsung pulang.”

“Bukankah itu bagus?”

“Ya kau benar. Ini sebuah kemajuan dari hubungan kami yang sebelum-sebelumnya hanya jalan di tempat.”

Kuperhatikan mata Mirari, seperti sedang menerawang ke alam bawah sadarnya yang sangat dalam. Seperti larut dalam lamunan yang jauh. Dan aku berfikir tatapan Mirari sekarang mirip dengan lelaki yang juga duduk di sebelahku saat ini. Aku lantas melihat ke arah lelaki itu, dan Lelaki itu melihat kearahku seketika. Aku lihat matanya lebih dalam, dan aku masih tidak dapat menyelaminya. Tidak dapat membaca isi di dalamnya.

“Apa menurutmu cinta bisa terbiasa?” tanya Mirari tiba-tiba. Menyadarkanku dari lamunan. Bukan lamunan ternyata. Aku mengakhiri keterpukauanku terhadap Lelaki itu. Dan mencoba mencerna pertanyaan Mirari.

“Kenapa kau bertanya seperti itu” ujarku, mendalami pertanyaan Mirari tadi

“Sejak awal, aku tidak merasakan Erwin mencintaiku. Dia mungkin hanya kasihan padaku. Tidak enak kalau menolakku, karena keluargaku telah banyak membantu keluarganya. Ayah kami sudah lama berteman. Sehingga ketika ayah Erwin mengalami kebangkrutan dulu, Ayahku sebagai teman langsung membantu keluarganya tanpa diminta. Ayah Erwin yang terlilit banyak hutang akibat perusahaannya bangkut, di berikan pinjaman oleh ayahku untuk melunasi hutang-hutangnya dan membangun kembali bisnisnya. Meski dari kecil-kecilan. Bahkan ayahku sampai menjual beberapa aset perusahaannya untuk membantu ayahnya Erwin. Keluarga Erwin yang semula kehidupannya susah, lama-lama mulai stabil lagi. Mereka berhasil mengembangkan bisnisnya dan kini mulai kembali Normal. Meski tak sebesar dulu”

“Bukankah kau memang mencintai Erwin sejak kecil dulu?”                 

“Iya, aku memang mencintainya sejak dulu. Tapi aku merasa Erwin hanya menganggapku sebagai teman saja. Sahabat dekatnya.”

“Kenapa kau bisa berfikir seperti itu?” aku masih terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengulik ke Mirari.

“sejak SMA, Dia sebenarnya suka dengan seorang perempuan. Tapi ... “ tiba-tiba perkataan Mirari putus. Dan pandangan matanya perlahan merambah ke langit malam.

Sebagai teman, aku mencoba mengerti apa yang sedang dirasakan Mirari. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, mungkin itulah yang sedang dialami Mirari. Mungkin sudah berlangsung lama.

Memang sangat sulit menghadapi situasi seperti itu. orang yang mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan akan merasa rendah diri. bukan hanya itu, Mereka bahkan akan menutup diri dengan hal-hal yang berurusan perasaan. Kadang sulit bagi mereka membuka hatinya untuk yang lain.

Tapi yang sedang dialami oleh Mirari mungkin jauh lebih sulit dari itu. orang yang disukai Mirari, yaitu Erwin, ia tidak menolak Mirari. Yang membuat Mirari sulit adalah karena Erwin memaksakan diri untuk mencintai Mirari meski hatinya tidak benar-benar mencintai Mirari. Itulah letak kesulitannya. Dari luar nampak Erwin mencintai Mirari, namun dalam hatinya mungkin Erwin masih belum bisa menerima orang lain, termasuk Mirari. Mungkin karena Erwin masih mencintai seseorang yang dikatakan Mirari tadi. Jadi, Erwin yang cintanya bertepuk sebelah tangan, mencoba memaksakan diri mencintai Mirari.

Bukankah itu jahat!

Secara tidak langsung, Erwin membuat Mirari jauh lebih menderita dari dirinya. Mungkin secara fisik Mirari dapat memiliki Erwin, tapi Mirari tak pernah dapat memiliki hatinya Erwin. Itulah yang menyakitkan.

Seketika aku teringat dengan diriku sendiri ...

Kadang, hal yang tak nampak jauh lebih berarti dari yang nampak. Dan sandiwara, jauh lebih menyakitkan dari kejujuran yang ingin ditutupi sandiwara itu sendiri.

Hah! Betapa lucunya hidup ini! Gumamku

Lalu kemudian, aku memandangi Mirari, dan juga Lelaki disebelahku, kemudian kami bertiga, bersama-sama memandang langit malam itu. larut dalam suatu keheningan yang terasa nyaman. Dan tentram. Dan dalam hati, sempat muncul pertanyaan. Bagaimana dengan perasaanku terhadap lelaki yang ada disampingku ini. Namun cepat kemudian aku buang. Aku tidak ingin hal itu merusak suasana.

Telpon genggam Mirari berdering. Sepertinya sebuah panggilan masuk. dan Mirari mengangkatnya

“aku masih di dalam” jawab Mirari ke penelpon yang ada di seberang sana. Mirari lantas melihat kearahku. Cukup lama, sebelum akhirnya ia berkata lagi kepada lawan bicaranya di telpon.

“Kau masuk saja ke dalam. Aku di peron Dua”

Cepat kemudian, Mirari menutup telponnya. Setelah itu, ia menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan-lahan. Terlihat sangat berat apa yang sedang dialaminya. Aku sempat bertanya siapa yang menelpon tadi. Dan Mirari bilang, Erwin yang menelpon. Erwin ternyata sudah menjemputnya. Dan kini Erwin sedang memarkirkan Mobilnya di bahu jalan stasiun dan lekas masuk ke dalam stasiun. Di stasiun kami, parkiran hanya bisa menanmpung sepeda motor. Jadi jika ada yang menjemput dengan mobil, mereka akan memarkirkannya di bahu jalan sebentar saja yang tak jauh dari stasiun. Atau bahkan tidak parkir lagi jika yang dijemput sudah ditemukan, melainkan langsung menaikkan jemputannya di depan pintu stasiun dan langsung beranjak lagi setelahnya dari stasiun.

“kenapa kau yang menyuruhnya masuk? bukankah seharusnya kau yang keluar?”

“kau mengusirku?”

“bukan seperti itu, maksudku... “ aku jadi salah tingkah sendiri. tak kusangka perkataanku akan membuat Mirari tersinggung

“hahaha... Just Kidding. Santai saja” ucap Mirari sambil menepuk pundakku. “aku hanya ingin Erwin melihatmu saja” lanjut Mirari

“untuk apa?”

Lama tak ada jawaban, Mirari malah menatap dalam-dalam mataku, membuatku jadi kikuk sendiri karenanya.

“mungkin hanya untuk bernostalgia saja. Bukankah kita sudah lama tidak bertemu”

Meski sempat kurang puas karena Mirari menggunakan kata ‘Mungkin’ tapi aku segera mengerti maksudnya. Ya, sebagai teman semasa sekolah SMA dulu aku memang sudah lama tak berjumpa dengan Erwin. Seperti Nostalgia kecil-kecilan.

Setelah itu, Mirari dan Erwin pun pergi meninggalkanku. Mirari melambaikan tangan kearahku setelah berada diseberang peron. Dan Erwin hanya melihatku saja tanpa melambai seperti Mirari. Tapi Erwin cukup lama melihatku, sampai ketika Mirari berhenti melambaikan tangan kearahku, Erwin masih kaku melihatku sehingga nampak Mirari menarik tangan Erwin untuk menyadarkan Erwin. Aku bahkan sampai takut kalau-kalau Erwin curiga dengan aku yang terlihat nyaman duduk bersebelahan dengan seorang lelaki.

Erwin tadi sempat mengajakku untuk ikut bersama dengannya. Tapi aku menolaknya. Aku menolak karena aku masih ingin bersama Lelaki yang bahkan sekarang masih disebelahku. Kadang aku heran, bagaimana bisa Mirari dan Erwin begitu abai dengan Lelaki ini. Apa karena mereka sangat yakin bahwa aku tidak pernah tertarik kepada laki-laki sehingga setiap laki-laki yang ada di dekatku tak pernah mereka pertanyakan, dan mereka mungkin hanya menganggap itu orang asing yang kebetulan sedang menunggu juga.

Tidak ada salahnya juga mereka bersikap seperti itu. aku juga tidak terlalu nyaman jika mereka sampai banyak bertanya tentang lelaki Disebelahku ini. Karena pasti akan membuatku gugup dan kesulitan menjawabnya.

Kini kami tinggal berdua saja. Dan jam menunjukkan bahwa hari sudah semakin malam. Sudah semakin larut. Tapi kami, kami masih sama-sama menunggu.

“bagaimana menurutmu?” tanyaku kepada lelaki itu. pertanyaan yang merujuk pada apa yang dialami Mirari

“secara kasat mata, temanmu nampak bahagia menerima lelaki itu. Tapi sepertinya dia tidak sebahagia itu. Ada kekalahan yang Ia rasakan”

“Erwin mungkin merasa hutang budi kepada Mirari dan ayahnya. Mungkin Erwin bermaksud ingin membalas budi kepada Mirari dan keluarganya atas apa yang selama ini telah dilakukan oleh Keluarga Mirari terhadap keluarganya”

“Bisa saja keluarganya yang mendorong lelaki itu untuk meminang temanmu”

“tidak, Erwin tidak seperti itu. Ia pasti berinisiatif sendiri melakukan itu tanpa disuruh oleh ayahnya. Aku kenal dia. Dia akan melakukan apa yang menurutnya pantas dilakukan”

“tapi lelaki itu masih menyimpan seseorang dimatanya” Ujarnya tegas, dan penuh penekanan

“mungkin cinta dari masa lalunya”

Tak ada jawaban lagi. Setelah itu, Lelaki itu diam dan melihat langit lagi.

Tidak!

Ternyata dia tidak melihat langit seperti yang aku kira. Ketika aku ingin melihatnya, ternyata tatapannya kearahku. Ia menatapku begitu dekat kali ini, begitu detail. Seperti ia sedang mendalami sesuatu di dalam mataku. Seperti ia sedang mencari jawaban dari sebuah pertanyaan. Aku tak berdaya seketika. Akhirnya, aku menjatuhkan pandanganku ke kerikil-kerikil rel. Aku mengalami gugup yang sangat luar biasa.

Untung saja, Ibu menelponku sehingga aku memiliki alasan untuk beranjak dari tempat itu. hari itu tidak senyaman biasanya. Aku lebih nyaman melihatnya yang sedang memandang langit malam dengan tenangnya. Ketika aku menggantikan posisi langit malam dimatanya, aku jadi sangat gugup dan salah tingkah, sehingga sangat tidak membuatku nyaman.

Tapi aku tetap mengaguminya...

Tetap ingin duduk menunggu bersamanya lagi ...

Sebelum menyeberang peron, aku sempat melihatnya, lamat-lamat. Sayup-sayup angin berhembus dan suara kereta dari kejauhan terdengar semakin mendekat. Dan petugas kemanan stasiun mengarahkan tangannya kearahku dengan gerakan mengajak, memintaku untuk segera menyeberang karena Kereta akan segera datang...

Dari seberang, aku bahkan melihatnya lagi. Membayangkan betapa sepi yang ia rasakan di sana. seorang diri menempuh penantian. Seorang diri menyepuh warna keabu-abuan dari kesendirian yang tak lepas begitu saja hanya dengan bergantinya malam ke pagi. Ia pasti telah mengalami kesepian yang panjang. Ia seperti sangat kesepian, seperti tak memiliki teman dalam hidupnya. Langit malam dan isinya, selalu dijadikan penghiburnya.

Perlahan, aku  mulai mengerti apa yang ia rasakan ...

Hari berikutnya, mungkin aku akan beruntung dan tahu siapa nama Lelaki itu ...

*****

Jum’at Malam,

Aku kembali bertemu dengan Mirari. Kami satu gerbong, di gerbong yang penuh. Kami sama-sama berdiri. Bergantung tangan kami pada tali pegangan gerbong. Sepanjang perjalanan, kami bercerita banyak. Mulai dari pekerjaan, kegiatan di luar itu, dan yang paling hangat adalah tentang hubungannya dengan Erwin. Mirari mengetakan bahwa entah mengapa ia selalu merasa Cinta Erwin kepadanya seperti ada yang mengganjal. Meskipun Mirari mengakui, sebenarnya tidak ada yang salah dengan Erwin. Ia selalu ada untuknya. Selalu menyediakan diri untuk Mirari. Tapi Mirari merasa itu terlalu wajar, terlalu prosedural. Meskipun sebenarnya aku tidak mengerti apa yang dimaksud Mirari dengan terlalu Prosedural.

“Untuk orang yang mencintai, Erwin terlalu prosedural dalam mencintaiku”

“apa maksudnya terlalu prosedural?”

“Erwin hanya menjalankan hal-hal yang telah lumrah dalam hubungan”

Aku yang masih tidak mengerti maksud Mirari, diam tak menjawab.  Dan hanya bisa membiarkan Mirari melanjutkan penjelasannya.

“setiap malam minggu atau akhir pekan kami selalu keluar. Entah sekedar makan malam, jalan-jalan maupun sekedar refreshing dan ngobrol-ngobrol santai di sebuah Coffee shop. Ketika aku butuh Erwin ia selalu ada dan meluangkan waktunya”

“menurutku itu bagus. Karena tak banyak perempuan yang mendapat perlakuan seperti itu dari lelakinya”

“memang kelihatannya sangat bagus. Aku juga menyadarinya. Bahkan aku sempat berfikir apakah aku yang salah karena terlalu berfikir curiga terhadap Erwin. Sampai-sampai menganggap cintanya terhadapku terlalu Prosedural. Tapi perasaanku selalu mengatakan seperti itu. selalu mengatakan bahwa ada yang kurang. Ada yang kurang dari apa yang telah diberikan erwin terhadapku.

“apa yang kurang?” tanyaku

“Erwin mungkin bisa memberikan semuanya untukku. Raganya, waktunya, pikirannya dan apapun yang ia miliki”

“lantas?”

Kereta perlahan mengurangi kecepatan. Suara seorang masinin dari pengeras suara memperingatkan bahwa kereta tak lama lagi akan berhenti di stasiun terdekat. Tak lupa juga masinins itu memperingatkan kepada penumpang untuk berhati-hati dan memperhatikan langkahnya ketika keluar gerbong. Tak lupa juga meminta penumpang untuk memeriksa tiket dan barang bawaannya agar tidak tertinggal di rangkaian kereta. Suara roda kereta yang di rem pun berdercit keras, memekakkan telinga untuk sesaat.

“lihatlah, orang-orang itu turun dari kereta tanpa pernah menoleh ke belakang. setelah mereka meloloskan langkah terakhirnya dari gerbong, mereka sudah beranjak ke tujuan selanjutnya. Mereka sesegera mungkin meninggalkan peron dan keluar stasiun. Mereka menge-Tab kartu di pintu keluar otomatis juga tanpa melihat lagi kebelakang. Mereka selalu bergegas dengan tujuannya. Seakan mereka ingin secepat-cepatnya berlalu dari kereta dan stasiun yang telah mengantarkan mereka dalam menjalani aktifitas pekerjaannya”

Aku sebenarnya mengerti apa yang dikatakan Mirari. Sama sepertiku, ternyata Mirari pun mencintai kereta dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. kami selalu merasa ada ucapan terima kasih yang tidak pernah bisa kami sampaikan kepada masinis, gerbong, rel, peron-peron, bangku tunggu, petugas PKD, pintu masuk dan keluar otomatis, petugas loket dan bahkan mesin C-VIM (Commuter Vending Machine).

Meskipun sebenarnya di dalam lubuk hati, aku menyimpan ketakutan tersendiri tentang kereta...

Setelah kereta kembali melaju untuk sampai ke stasiun berikutnya, kami kembali melanjutkan perbincangan yang sempat teralih. Aku memulainya lebih dulu

“Erwin telah memberikan segalanya untukmu. Lalu apalagi yang kurang darinya”

“sebenarnya ada satu yang tidak benar-benar diberikan Erwin kepadaku” jawab Mirari, dengan intonasi yang lambat, pelan...

“apa?” tanyaku menggantung

“hatinya” jawaban Mirari seperti angin. Pelan, berhembus sebentar, lalu menghilang ke arah selatan. Atau mungkin menghilang ditelan kesunyian malam.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan Mirari sehingga ia berkata seperti itu. tapi jelas terlihat dari rautnya. Ada kecemasan sekaligus ketidakberdayaan Mirari dengan apa yang baru saja ia katakan. Terlihat sangat alamiah kecemasannya. Bukan kecemasan yang dibuat-buat. Kecemasan itu muncul dari dalam dirinya secara alamiah. Wajahnya yang murung, pandangannya yang tiba-tiba jatuh. Jelas mendeskripsikan keresahannya.

Jika aku ada diposisinya, mungkin aku pun akan sama sepertinya. Tidak tahu harus berbuat apa untuk menyikapi keraguan semacam itu. Meskipun sebenarnya aku pun sedang merasakan keraguan terhadap sesesorang yang seakan tidak dapat kujangkau. Dia begitu dekat, namun ketika melihat pandangannya, semakin lama rasanya ia semakin menjauh. Ada sesuatu yang sangat jauh yang ada dimatanya. Lebih jauh dari masa lalu yang menurutku adalah hal yang paling jauh karena kita tidak dapat mengunjunginya kecuali dengan kendaraan kenangan.

“aku tak pernah merasa ia memberikan hatinya setiap kali bersamaku. Aku hanya merasakan raganya saja. Tapi tidak merasakan hatinya ada untukku”

Tidak dapat berkomentar banyak, aku lebih memilih diam dan terus mendengarkan Mirari. Tentu saja, suasana yang menjadi sangat sentimentil membuatku tidak boleh salah dalam berucap. Aku harus berhati-hati jika ingin berkomentar atau mengucapkan pendapat maupun pertanyaan.

Meskipun sebenarnya aku sendiri tidak tahu harus mengatakan apa ke Mirari. Aku mengerti perasaannya. Setiap perempuan memiliki insting batin yang sangat kuat. Dan aku juga tidak bisa begitu saja menuduh Erwin yang tidak-tidak karena dalam penuturan Mirari Erwin sebenarnya telah melakukan hal yang sudah semestinya. Ini hanya masalah perasaan Mirari yang seperti tak merasakan Erwin benar-benar mencintainya.

Dan ini adalah hal yang abu-abu. Hal yang samar-samar karena tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung apa yang dirasakan Mirari mengenai perasaan  Erwin terhadapnya. Secara nampak, tentu Erwin mencintai Mirari. Dan aku pun berpendapat seperti itu sebenarnya. Bagaimana mungkin Mirari tidak percaya dengan Erwin. Aku rasa Mirari terlalu berlebihan dalam menyikapi kecurigaannya yang dibuat-buat itu.

Tapi aku tidak akan mengatakan itu kepada Mirari. Aku kenal Mirari, dia adalah orang yang tidak gampang mencurigai sesuatu yang belum pasti. Sehingga aku juga berfikir bahwa Mirari pasti memiliki alasan yang sangat kuat yang membuatnya curiga seperti itu. mungkin batinnya mengatakan Erwin belum mencintainya karena alasan tertentu. Mungkin karena Mirari terlalu terbebani dengan istilah balas budi dimana Mirari menganggap bantuan yang diberikan keluarganya kepada keluarga Erwin adalah faktor utama Erwin mau menerimanya sebagai balas budi yang baik.

Entahlah!

Semakin memikirkannya, semakin aku merasakan bingung

Kereta tiba di stasiun kami. Aku dan Mirari turun lantas duduk di bangku tunggu peron. Aku melihat ke arah ujung, barangkali ada sebuah keajaiban dimana aku bisa bertemu lelaki itu selain di hari selasa.

Haha...

Sungguh konyol diriku

Bagaimana aku bisa mengabaikan begitu saja temanku Mirari ketika turun dan langsung berharap ada lelaki itu di sini

Aku merasa semakin tak terkendali setiap kali memikirka lelaki itu

Harusnya Ia (lelaki itu) lemburnya tidak hanya hari selasa, agar aku bisa menemukannya

Apa ia pulang malam setiap hari selasa karena lembur?

Apa lagi kalau bukan itu!

Semakin lama, semakin fikiranku bertanya kemana-mana. Entah bertanya kepada siapa. Mungkin kepada diriku sendiri. kepada ketololanku sendiri

Segera aku menghapus fikiran itu. dan kembali ke Mirari. sekarang, Mirari mulai bercerita lagi. Kelihatan ia sangat terbebani dengan apa yang melanda fikirannya.

“aku merasa, Erwin masih mencintai perempuan yang dulu ia cintai diam-diam”

“kenapa kau seyakin itu”

“mulanya aku tidak yakin”

“lantas?”

“ketika Erwin bertemu dengan wanita itu setelah sekian lama tak bertemu, jelas terlihat bahwa Erwin masih menaruh perasaan”

Sebenarnya aku ingin bertanya kepada Mirari apakah iya Yakin dengan apa yang baru ia ucapkan. Karena sebenarnya ada kemungkinan Mirari hanya salah paham. Karena meskipun dulu pernah memiliki perasaan, ketika sudah lama tidak bertemu dan bertemu lagi di suatu waktu, tentu siapa pun akan merasakan hal yang unik. Entah itu perasaan sungkan, heran, kikuk dan hal-hal semacamnya yang membuat keduanya grogi dan terlihat serba salah.  Aku takut Mirari hanya sedang dikuasai perasaan cemburu saat menyimpulkan hal itu

“kenapa kau membiarkan mereka bertemu jika kau cemburu seperti itu”

“aku tidak cemburu” jawabnya, lembut. kalem

Sungguh tidak bisa dikatakan bahwa Mirari adalah tipe orang yang pencemburu. Mirari termasuk perempuan yang dapat mengendalikan emosinya. Dapat mengendalikan fikirannya dengan tenang. Meski aku berpendapat bahwa saat ini Mirari sedang dikuasai rasa curiga dan cemburu yang tidak biasanya, Mirari tetap terlihat tenang. Terlihat biasa-biasa saja. namun dalam hatinya jelas ada seasuatu yang salah. Sesuatu yang mungkin sedang menghancurkan dirinya.

Dan sekarang aku bingung harus seperti apa menanggapinya. Beberapa hari lalu aku merasa mengerti apa yang dirasakan Mirari. tapi hari ini aku berbalik tidak mempercayainya, atau lebih tepatnya meragukan Mirari.

Begitulah cinta, ia tidak hanya membuat repot orang yang menjalaninya. Ia kadang juga dapat membingungkan orang lain dengan segala bentuknya yang kadang rumit dan kadang terlalu sederhana. Dan cerita cinta Mirari dan Erwin ini tergambar di pikiranku sebagai sebuah bentuk yang rumit.

Lima belas menit kemudian, handphone Mirari berdering. Ternyata Erwin yang menelpon. Setelah menjawabnya dengan senyum yang sempat tersungging, Mirari segera menutupnya. Dan ketika itu, Mirari langsung menatapku dengan pandangan yang sangat menyedihkan. Tatapan yang membuatnya sangat lemah. Seperti yang dikatakan lelaki itu tempo hari. Mirari seperti mengalami sebuah kekalahan dalam dirinya. Dan Mirari seketika memelukku. Seperti sedang mengadu kepadaku atas segala kegundahan yang menderanya tanpa menggunakan kata-kata. Hanya menggunakan bahasa pelukan. Tanda ia sangat ingin dimengerti dan tidak ingin sendiri.

“berasabarlah Mir. Aku yakin Erwin lambat laun akan benar-benar mencintaimu dan melupakan perempuan dari masa lalunya itu”

“terimakasih karena sudah mencoba mengerti aku”

“kau temanku. Sudah seharusnya aku melakukannya”ku usap pundak Mirari dengan pelan dan penuh pengertian.

Dan seketika, aku seperti sedang memeluk diriku sendiri. sedang mencoba menenangkan diriku sendiri dari sesuatu yang perlahan semakin membuatku resah juga.

Setelah menyeberangi peron dan keluar dari pintu otomatis, Mirari menghampiri Erwin yang telah menunggunya. Mirari melambaikan tangan kearahku, berpamitan. Begitu juga denga Erwin. Erwin melambaikan tangan kearahku dan tersenyum entah untuk apa.

Erwin, tidakkah ia mengerti apa yang sedang dirasakan kekasihnya?

Dari kejauhan keduanya mulai menghilang ditelan keramaian jalan. Dan menyisahkan aku seorang diri di peron ini. Seorang diri dalam menunggu.

Aku sampai lupa untuk mengabari Ibuku bahwa aku sudah sampai di stasiun. Segera aku menelponnya. Setelah itu, aku kembali diam. lebih banyak melamun. Melamuni temanku Mirari dan kisah nya, juga melamuni diriku yang malam ini rasanya sangat kesepian. Kulihat jam tangan menunjukan pukul 22:03, dan kulihat kekosongan disebelahku.

Dalam hati aku berharap, seseorang tiba-tiba ada disebelahku dan menyapaku dengan tanya “lembur lagi?” seperti apa yang biasa terjadi di malam rabu. Tapi aku sadar, malam ini bukan malam rabu. Malam ini adalah jum’at malam sabtu. Ia tak mungkin ada di malam ini.

Mungkin ia sudah ada dirumahnya sejak beberapa jam yang lalu. Sedang memandang rembulan dari teras rumahnya sendirian. Dan aku, aku sendiri disini memandangi rembulan dengan perasaan rindunya

Kenapa aku menginginkan seseorang hadir sekarang?

Kenapa aku sangat gelisah, dan sangat ingin melihat seseorang yang jauh disana?

Aku bertanya dalam hati.

Sejak kapan aku merasakan kesepian yang keterlaluan?

Sejak kapan aku semakin menginginkan kabar seseorang?

Dan aku semakin sering bertanya-tanya seterusnya,

Sampai aku sadar bahwa hal itu mungkin bernama Rindu...

 

*****

Selasa, 21:45

Aku dan Mirari turun dari kereta. sejak beberapa minggu ini aku dan Mirari selalu pulang bersama. Di sela waktu menunggu jemputan kadang Mirari masih membahas tentang Erwin. Untung saja, hari ini Handphone Mirari bedering lebih cepat dari biasanya. Ternyata Erwin sudah datang menjemput lebih cepat dari biasanya. Mirari bergegas menutup telpon dan memasukannya kedalam tas. Ia pun bangkit dari duduknya. Namun ternyata Mirari tak segera beranjak. Dengan posisi membelakangiku Mirari berkata :

“apa kau tahu siapa orang yang dulu diam-diam disukai Erwin?”

“siapa?” tanyaku, pelan. Sekaligus penasaran

Tak ada jawaban, Mirari hanya diam saja beberapa lama. Sebelum akhirnya ia berbalik ke arahku. Dan berkata lagi,

“kau mungkin tak akan percaya”

“kalau kau yang mengatakannya, aku percaya” tegasku

Bukannya menjawab, Mirari malah membalasku dengan tersenyum. Membuatku semakin tidak mengerti

Ia pun menyeberangi peron dan keluar dari pintu otomatis. Dari kejauhan Erwin telah menanti Mirari di depan stasiun. Merekapun melambaikan tangannya kearahku. Bahkan Erwin sempat tersenyum kepadaku. Meski samar terlihat

Kini, Mirari jadi lebih sering diantar jemput oleh Erwin. Dan kurasa itu baik untuk mereka berdua

Untuk sesaat, aku larut dalam renungan mengenai hubungan mereka berdua. Bagaimana bisa hubungan yang terlihat harmonis itu ternyata di dalamnya tertanam bom waktu yang bisa meledak kapan saja. itu bukan mengenai Mirari saja. Bom itu juga mungkin milik Erwin yang diam-diam masih menyimpan perasaan terhadap orang lain seperti yang disangka Mirari.

Ternyata hidup memang tidak selamanya datar. Seperti apapun keadaan seseorang pasti akan menemui kesulitan. Kesulitan itu adalah batu loncatan yang apabila berhasil di lalui maka orang tersebut akan dapat berada di permukaan yang lebih tinggi lagi.

“suatu saat mereka mungkin akan saling terbuka”

Suara itu tiba-tiba datang secara mengejutkan lagi. ya, lelaki itu tiba-tiba sudah ada di sebelahku kali ini. Aku tak sempat mencerna ucapannya karena kaget.

“kau?, mengagetkan saja”

Bukannya menjawab, lelaki itu malah membuang pandangannya ke langit malam. Ke lautan gelap yang menyimpan beribu misteri yang tak diketahui umat manusia.

Dan lelaki itu, lelaki itu mungkin bagian dari misteri itu. karena aku tak pernah dapat mengetahuinya lebih jauh

Mulanya aku ingin membuka perbincangan dengan menanyakan sejak kapan dia ada di sebelahku. Tapi setelah kupertimbangkan lagi, mungkin aku saja lengah dan tak sadar dia sudah ada di sebelahku sejak tadi. Meski sebenarnya aku yakin ketika masih ada Mirari, lelaki itu belum ada. Mungkin ia datang ketika aku terpaku ke Mirari saat Mirari menyeberang dan berlalu bersama Erwin di luar stasiun sana.

“lembur lagi hari ini?” akhirnya hanya pertanyaan murahan itu yang keluar dari mulutku. Padahal aku sudah tahu jawabannya. Karena Lelaki itu memang setiap selasa selalu lembur.

Dan Lelaki itu, hanya menjawab dengan senyum. Senyum yang membingungkan. Entah itu membenarkan atau menertawakan. Menertawakan karena aku terlalu basa-basi dalam bertanya mungkin. Ya mungkin begitu.

“kenapa kau selalu melihat langit malam?” tanyaku. Kali ini lebih memberanikan diri.

“menurutmu?”

Aneh, seharusnya aku yang bertanya dan dia yang menjawab. Tetapi kali ini aku malah bingung dengan pertanyaanku sendiri karena dia melemparkan pertanyaanku ke diriku sendiri.

“mungkin kau menyukainya?” jawabku sekenanya. Semaunya

“seperti lautan dalam, langit malam menyimpan banyak hal-hal yang tidak kita ketahui”

Sangat kentara, ia menjawab dengan penuh penghayatan. Saat itu wajahnya yang tersorot lampu peron sangatlah mengagumkan. Dan tak terasa pipiku me-merah membuatku sangat malu untuk menatapnya. Sehingga aku hanya bisa menjatuhkan pandangan ke permukaan peron. Terlihat, seekor semut berjalan cepat sambil membawa sebuah benda yang ukurannya tiga kali lipat dari tubuhnya sendiri.

“bagiku, lautan dalam dan langit malam sangatlah menyeramkan” akhirnya aku mengatakan sesuatu.

“kau takut kedalaman?” tebaknya.

“kedalaman dan juga ketinggian” jawabku melengkapi.

Dan tak ada jawaban lagi darinya. Dia terdiam. Membuat suasana hening, sangat hening. Rasanya, saat waktu seperti berhenti, angin yang berhembus berhenti, orang-orang yang lewat berhenti, suara dari ruang informasi berhenti, lalu lintas jalan di sekitar stasiun berhenti.  Semua berhenti. Petugas keamanan stasiun yang berjaga di penyeberangan peron kaku mematung seperti orang-orang lainnya. Tak ada suara, kecuali suara gemericik air yang jatuh dari tepi atap peronke dalam genangan. Suara itu sangat dekat denganku. Terdengar jelas di telingaku saat bulir itu pecah di permukaan peron.

Namun semua itu tak berlangsung lama. Semua kembali bergerak setelah itu. Semua kembali berjalan seperti seharusnya.  Waktu kembali berjalan, angin kembali berhembus, orang-orang yang lewat kembali bergerak, suara dari ruang informasi kembali terdengar, lalu lintas jalan di sekitar stasiun kembali sibuk dan bising.  Semua kembali seperti semula. Petugas keamanan stasiun yang berjaga di penyeberangan peron dan orang-orang lainnya kembali bergerak.

kulihat, lelaki itu menganggkat tangan kanannya dan menggosokkan lengannya ke wajahnya. Mungkin ke matanya. Apa dia menangis? Tanyaku dalam hati. tapi kenapa?

“kau baik-baik saja?”

Ada isak yang ditarik dari hidungnya. Pemandangan itu mengingatkanku dengan peristiwa dimana ayah menangis sehari sebelum ia meninggalkanku untuk selamanya. hari itu ayah mengajakku ke sebuah taman dan duduk di sebuah ayunan. Dia bercerita banyak kepadaku saat itu. mulai pertama kalinya ia bertemu ibu, lalu jatuh cinta dan menikah. Lalu cerita ketika ayah bekerja di tempat baru setelah menikah, dan cerita kesehariannya dan ibu yang berubah drastis ketika aku lahir. Kata ayah, dia dan ibu sangat bahagia ketika aku lahir. Aku sangat merasakannya saat itu ayah sangat bahagia menceritakannya. Sangat jarang aku melihat wajah ayah yang seperti itu. karena biasanya ayah adalah orang yang pendiam. Orang yang selalu terlihat datar dan ekspresi yang kaku. Orang yang tertutup. Aku selalu melihat ayah seorang yang selalu menyimpan derita seorang diri. Tapi hari itu, hari itu ayah sangat berbeda dari biasanya. Hari itu aku mengenal sisi ayah yang lain. ayah yang hangat, ayah yang ceria.

Namun, sehari setelah hari itu, ayah mengalami kecelakaan. Saat dalam perjalanan ke luar kota dalam urusan pekerjaan, kereta yang ayah tumpangi mengalami insiden tabrakan dengan truk kontainer yang menerobos palang pintu perlintasan kereta. lokomotif dan dua gerbong penumpang tergelincir keluar rel dan mengalami rusak berat. Puluhan orang meninggal, termasuk masinis dan asistennya. Dan ayahku yang berada di gerbong penumpang deretan depan menjadi salah satu diantara korban penumpang yang meninggal.

Ternyata obrolan dengan ayah saat itu adalah obrolan pertama dan terakhirku dengannya...

“kau baik-baik saja?”

Tiba-tiba dia (lelaki itu) balik bertanya padaku. Seketika lamunanku pecah. Berakhir. Segera kuusap mataku yang terasa seperti akan ada yang menetes.

Aneh rasanya, padahal sebelumnya dia yang terlihat tidak baik-baik saja. lantas keadaan terbalik dan malah aku yang sekarang tidak baik-baik saja.

“tentu, aku baik-baik saja” jawabku, sambil mengusap mataku yang rasanya ingin menumpahkan sesuatu itu.

Kulihat, wajah lelaki itu penuh dengan kekhawatiran.

Tapi siapa yang di khawatirkannya?

Apa aku yang di khawatirkannya?

Memangnya dia tahu perasaanku?

Tentu saja tidak!

Suasana kembali sunyi.

Lelaki itu kembali melihat ke langit malam. Dan seperti biasanya aku tidak dapat menerka apa yang ia fikirkan ketika memandang lautan langit malam itu. dalam hati aku masih sangat ingin mengetahui tentangnya lebih jauh lagi. tapi rasanya sangat sulit. Ia bahkan menolak untuk memberi tahu namanya beberapa minggu yang lalu ketika aku membahas perkenalan. Selain namanya, aku juga masih penasaran dengan tempat kerjanya dimana. Karena aku tak pernah satu gerbong dengannya meski tiba di stasiun ini sering dengan jadwal kereta yang sama. aku juga penasaran dengan kenapa aku hanya bisa bertemu dengannya di hari selasa malam rabu saja. kalau memang lembur, kenapa Ia lemburnya hanya hari selasa atau selalu hari selasa. Dan yang paling penting adalah, aku ingin tahu apa yang difikirkannya tentangku.

“boleh aku meminta sesuatu kepadamu?”

Lelaki itu berkata seolah memohon. Dan aku meng’iya’kannya.

“Besok, jangan minum kopi”

Seketika ia menatapku. Membuat pipiku memerah. Sungguh aku dalam kondisi tidak siap saat itu. kami jarang bertatapan langsung seperti ini. Rasanya seperti konfrontasi langsung. Tapi ini bukan dengan musuh. Tapi dengan seseorang yang selama ini membuatku ...

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa”

Lelaki itu seperti menyembunyikan sesuatu. Dia tiba-tiba saja mengeluarkan permintaan yang aneh dan tidak memberikannya penjelasannya. Lagi pula aku bukan type yang sering minum kopi. Aku hampir tidak pernah minum kopi di hari kerja, kecuali di akhir pekan. Ketika aku sedang ingin mencari suasana tenang biasanya aku mengunjungi Coffee Shop . Itu pun sangat jarang, aku lebih sering memesan cokelat panas ketimbang kopi. Dan itu pun mungkin dua bulan sekali.

“Aku harus tahu alasannya dulu” jawabku kini, lebih pelan tanpa melihatnya

“Alasannya tidak lain untukmu”

“Untukku?”

“Ya, untukmu” tatapannya semakin mendalamiku.

Dari caranya bicara, ia terlihat sangat serius dan tulus. Tapi nampak jelas ia tidak bisa menjelaskan sesuatu sehingga ia hanya bisa mengatakan permintaannya saja tanpa dibarengi dengan penjelasannya. Entah apa yang ada di fikirannya.

Mendengar ia mengatakan semua itu untukku, entah mengapa aku bisa yakin begitu saja kepadanya. aku bahkan tak bertanya lagi kepadanya mengenai alasannya. Aku mengangguk dan menerima permintaannya begitu saja tanpa protes lagi. ada sesuatu yang tulus yang ingin ia berikan kepadaku rasanya. Tapi aku tentu tidak tahu seperti apa bentuknya itu.

“terimakasih” malu-malu, aku mengatakannya sambil menundukkan kepalaku. Menyembunyikan rasa maluku.

Angin berhembus lagi entah yang keberapa. Merembas kebisuan yang melandaku dan lelaki itu. kami cukup lama terjebak di keheningan tanpa kata-kata. Aku memandang lelaki itu. kuperhatikan baik-baik wajahnya. Entah mengapa aku seperti melihat luka dan duka yang menyelimutinya dari suatu tempat yang jauh. Seakan ia telah dan akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya. Meski begitu, lelaki itu selalu tersenyum sambil melihat langit malam. Senyum yang kali ini begitu sendu

“Oh iya, teman perempuanmu yang itu, apa hubungannya dengan kekasihnya sudah membaik?”

“Terakhir kali kami bertemu, dia memelukku sambil menangis”

“Sejauh mana kau terlibat dengan hubungan mereka?”

“Aku hanya sekedar temannya Mirari. Teman curhatnya. Kenapa kau bertanya hal itu”

“Tidak. Aku hanya mengkhawatirkan sesuatu”

“Apa itu?”

Dia kembali melihatku. Kali ini lebih singkat sebelum ia membuang pandangan lagi ke langit malam. Sial, seandainya aku bisa menjadi langit malam, aku ingin bisa di lihatnya secara terus menerus tanpa harus malu dan kikuk. Aku ingin lelaki itu bisa melihatku meski aku sangat jauh. Dengan begitu aku tidak perlu mengalami rasa malu dan grogi seperti yang selama ini menimpaku tatkala lelaki itu menatapku.

“Apa kau sudah tau wanita yang dicintai Erwin?”

“Belum”

“Kenapa kau tidak mencari tahunya?”

“Aku percaya Mirari. Pada saatnya Mirari akan memberitahuku juga”

Seiring dengan detik yang terus melaju dan waktu yang semakin menua. Malam semaik larut dan berbagai pertanyaan dan pernyataan harus diistirahatkan seperti kita mengistirahatkan raga kita.

Ya.

Pertanyaan adalah salah satu bentuk raga yang terus mengalami perubahan. Mengalami naik turun kondisi dirinya. Seperti tubuh, pertanyaan juga bisa sakit apabila ia tidak mendapatkan jam istirahat yang baik. Pertanyaan harus diistirahatkan sejenak lalu keesokan harinya harus digunakan lagi sebagai alat maupun peluang bagi orang lain.

Seperti pertanyaanku tentang lelaki ini. Sekarang ia sudah lelah dan butuh istirahat. Karena jika tidak ia akan membangkitkan pertanyaan petanyaan yang baru lagi. jika pertanyaan baru terus bermunculan maka aku tidak bisa beristirahat. Oleh sebab itu aku harus menikmati saat-saat bersamanya bukan dengan bertanya. Tapi dengan perbincagan. Meski sebenarnya perbincangan kami tidak sebanyak perbincangan sahabat pada umumnya, aku selalu menikmatinya.

hanphone ku pun berdering. Kurasa Ibu ingin tahu posisiku sudah dimana. Aku angkat telpon tersebut. Ternyata Ibu telah sampai di stasiun. Padahal aku belum mengabarinya, tapi ibu telah berinisiatif menjemputku lebih awal ternyata.

“Ternyata ibuku telah menjemput”

Lelaki itu sempat terlihat agak kaget. Tapi cepat kemudian dia kembali membenarkan ekspresinya. Aku pun bangkit dan bersipa meninggalkannya. Sangat disayangkan memang, ketika aku masih ingin lebih lama lagi dengannya, Ibu malah lebih cepat menjemputku dari biasanya. Padahal hari ini lelaki itu mulai bicara lebih banyak dari biasanya.

“Aku duluan” bangkit, dan pamit ke lelaki itu.

“Hati-hati” ucapnya, pelan.

Aku hanya mengangguk seperti biasa.

Aku pun beranjak meninggalkannya menuju penyeberangan peron. Saat akan menyeberang, seorang petugas membentangkan tangannya. Ternyata akan ada kereta yang datang sehingga aku tidak diizinkan untuk menyeberang dulu. Akupun terpaksa menunggu sampai kereta selesai menurunkan penumpang dan kembali melaju meninggalkan peron stasiun. Suara alarm palang pintu terus berbunyi. Dan pemberitahuan dari ruang informasi dilakukan berulang-ulang. Meminta penumpang yang akan naik agar menunggu penumpang yang akan turun terlebih dahulu.

Dari jalur satu kereta commuterline tujuan akhir stasiun Duri, Stasiun duri. Kepada para penumpang yang akan naik agar menunggu penumpang yang akan turun terlebih dahulu. Dan kepada para penumpang yang akan turun untuk periksa kembali barang bawaan anda agar tidak ada yang tertinggal di rangkaian kereta. Jalur Satu Kereta Commuterline tujuan akhir Stasiun Duri

Aku yang berada di jalur Dua untuk menyeberang pun menunggu kereta di jalur satu selesai menurunkan dan menaikkan penumpang. Sesekali aku melihat kearah lelaki itu. kali ini lelaki itu melihat kearahku. Masih kearahku. Posisinya sama seperti ketika aku pamit di hadapannya tadi. Tidak biasanya dia begitu. Padahal biasanya ketika aku melihatnya lagi, Ia pasti sedang menatap langit malam. Tapi ternyata kali ini aku malah yang menjadi pusat perhatiannya. Aku yang malu segera membuang muka dan menunduk. Lalu melihat gerbong kereta di depanku tanpa jelas bagian mana yang kulihat. Karena aku hanya menghindari pandangan lelaki itu saja. ketika kereta berlalu, aku pun melihat lagi ke arah lelaki itu dan lelaki itu masih melihatku. Kulambaikan tanganku seperti biasa. dan ia menbalas dengan kaku sama sepertiku. Penuh malu-malu. Petugas yang tadi menahan langkahku saat kereta masuk di jalur satupun melihat ku dengan alis yang terangkat

“Lagi melambai ke siapa mba?” sambil melihat kearah lelaki itu.

Tidak kujawab karena malu. Aku melirik sebentar ke petugas itu dan langsung menggeleng tanpa kata-kata. Cepat kemudian menyeberangi peron menuju pintu keluar otomatis. Pada saat keluar dari pintu otomatis stasiun, aku kembali melihat kearah lelaki itu. dan aneh, lelaki itu masih melihat kearahku. Rasanya hari ini adalah hari yang paling mengejutkan bagiku. Aku diperhatikan sangat lama olehnya. Aku yang malu, spontan tersenyum lalu membuang muka dan langsung menghampiri ibu yang telah menunggu di samping stasiun.

Besoknya, Mirari mengirimiku WA dan meminta untuk pulang bareng. Ketika pekerjaan ku hari itu selesai, aku pun bergegas pulang. Aku janji dengan Mirari bertemu di stasiun Duri sekitar jam setengah delapanan.

Ternyata memenuhi janji itu tidak mudah. Jam 19:25 aku masih berada di manggarai dan kereta arah Sudirman, Tanah Abang Duri masih belum tiba di peron 5. Kebanyak yang masuk di jalur lima malah kereta arah Bogor dan depok. Aku terus berkirim pesan ke Mirari sambil meminta maaf. Mirari bersedia menungguku.

Baru pada pukul 20:14 kereta arah Sudirman, Tanah Abang Duri masuk di peron 5. Setelah pintu kereta terbuka secara otomatis, penumpang yang sudah berdiri di depan pintu langsung keluar dan turun dari kereta. kemudian setelah penumpang yang turun selesai, penumpang yang naikpun segera memasuki gerbong. Tepat setelah dua puluh detik kereta berhenti di peron 5, kereta kembali berangkat meinggalkan peron 5 stasiun manggarai.

Aku kembali mengirim pesan ke Mirari. dia sudah tiba empat puluh menit yang lalu di Stasiun Duri. aku bersyukur dia teman yang sabar dan mau menungguku selama itu. Baru pada pukul 20: 38 aku tiba di stasiun duri. Segera kutemui Mirari yang menunggu ku di peron jalur 5 Stasiun Duri. Peron Jalur 5 adalah peron untuk kereta arah tangerang. Malam itu Mirari mengenakan jaket parka dengan kepalanya yang ditutupi oleh bagian penutup kepala dari jaket parka tersebut yang memiliki bulu di bagian yang melingkari kepalanya. Selain itu Mirari juga mengenakan masker yang menutupi bagian dagu, mulut hingga sebagian hidungnya. Mungkin dia sedang flu.

Dari ruang informasi, diberitahukan bahwa kereta Duri-Tangerang jadwal berangkat dari Stasiun duri pada pukul 20:32. Saat ini kereta masih berada di stasiun kalideres menuju Stasiun duri. di peron, penumpang yang menunggu kereta tersebut perlahan mulai padat. Apalagi ketika di jalur satu kereta arah jatinegara berhenti menurunkan penumpang, banyak penumpang yang turun langsung transit ke peron 5.

Peron 5 pun seketika padat oleh calon penumpang kereta arah tangerang. Aku dan Mirari Memilih menunggu di bangku peron yang jaraknya menjauh dari peron. Letaknya Di bawah eskalator yang ada di jalur 5 dan di sana ada sebuah ruangan mirip dengan loket pembelian tiket namun belum beroperasi. Kaca-kacanya masih di tutupi dengan kertas sehingga bagian dalam ruangan tidak terlihat.

“Mir, apa kau sedang sakit?”

“Apa karena pakaianku?”

“Ya, aku kira begitu”

“Tenang Lish, Aku baik-baik saja. ini hanya style

“Baguslah kalau kau baik-baik saja”

Terlihat, Mirari senang karena aku mengkhawatirkannya. Setelah memastikan keadaan Mirari baik-baik saja, aku tidak lagi usil dengan penampilan Mirari. dia memang perempuan yang kadang Modis. Sejak SMA, Mirari terkenal dengan penampilannya yang selalu mengikuti tren. Sehingga banyak Pria yang dulu tertarik dengannya. Ternyata kebiasaan itu masih berlanjut ketika sudah bekerja. Begitu juga dengan perasaan nya kepada seorang pria. Tidak pernah berubah sejak SMA. Meski ketika SMA tidak ada yang tahu Mirari menyukai Erwin karena dia menyembunyikannya rapat-rapat ketika itu.

“Lish,”

Mirari memberikan sebuah cup Es Kopi yang sejak tadi ia pegang. Meski mengenakan masker, suara Mirari masih bisa kudengar dengan jelas. Mungkin karena logat Mirari yang tegas dan suara bass nya yang jernih.

“Untukku?” tanyaku ragu

“Iya. Saat menunggumu tadi aku sempat keluar dan membelinya”

“Kau meminumnya saat menungguku di dalam stasiun?”

“Tidak. awalnya aku minum di depan minimarket tempat ku membelinya. Namun karena kau lama, dan kopi yang ku beli sudah habis, aku membelinya lagi. Saat kau mengabariku kau sudah hampir sampai sini, sekalian saja aku beli untukmu juga”

“Terimakasih Mir”

“Sama-sama”

Aku memutar-mutar minuman kopi tersebut. Masih terasa panasnya ketika aku pegang. Sehingga aku tidak bisa meminumnya langsung. Mirari pun mengatakan bahwa jangan diminum langsung karena masih panas. Bisa-bisa lidahku melepuh jika meminumnya langsung. Meski begitu ada yang sedikit aneh. ketika secara tidak sengaja aku mengendus kopi tersebut, baunya aneh. Bukan bau kopi, tapi baunya seperti jus apel. Kufikir itu varian baru dari rasa kopi fikirku. Meski sebenarnya aneh, karena sejauh ini aku tidak pernah menemukan kopi memiliki rasa buah-buahan. Atau mungkin Mirari yang salah mengambilnya. Mungkin Mirari salah mengambil, yang seharusnya dari mesin Kopi tetapi diambil dari mesin malah Jus apel.

“Apa kau tidak salah ambil Mir?” sambil mengangkat Cup kopi yang ada di tanganku

“Tentu saja tidak. Nanti kau coba saja” jawab Mirari sambil tersenyum

Meski sempat ragu-ragu, akhirnya aku tidak mengambil pusing hal tersebut. Sekarang Mirari mulai bercerita lagi. inilah tujuannya mengajak pulang bareng. Agar bisa bercerita banyak kepadaku. Apalagi kalau bukan tentang hubungannya dengan Erwin.

Pukul 20:25 kereta tiba di peron 5 Lima. Seketika kereta langsung penuh oleh penumpang yang memang sudah banyak yang menunggu kehadirannya. Dalam hitungan detik kereta tersebut telah penuh oleh penumpang baru. Termasuk aku dan Mirari. kami tidak kebagian kursi kereta dan harus berdiri bersama penumpang lainnya yang tidak kebagian kursi kereta. Aku dan Mirari berdiri di dekat pintu keluar. hari

Mirari pun mulai bercerita panjang lebar tentang Erwin. Sebenarnya lebih banyak cerita yang diulangnya. Hanya saja kali ini ia lebih merincikan tentang asumsi dari firasatnya yang mengatakan bahwa Erwin masih menyukai perempuan yang pada masa SMA dulu Erwin suka secara diam-diam sehingga Erwin sampai sekarang tidak bisa benar-benar mencintai dirinya (Mirari).

Aku sempat menanyakan kembali dasar asumsi Mirari tersebut. Namun Mirari mejawab seperti sebelum-sebelumnya. hanya berdasarkan hatinya. Berdasarkan nalurinya sebagai wanita.

“Oh iya, Lish. Ada yang harus kuberitahu padamu”

“Apa Mir”

“Sebenarnya orang yang disukai Erwin secara diam-diam sejak SMA itu...”

Mendengar kata-kata Mirari yang terputus itu, rasa penasaranku pun tak terbendung. Aku memandang Mirari sambil menunggu Mirari melanjutkannya.

Bukannya lekas menyelesaikan perkataannya tadi, Mirari malah menjatuhkan pandangannya ke bawah. Ada rasa berat yang sulit ia keluarkan. Sempat ia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya lagi. Tapi Mirari tidak juga mengatakannya lagi. Belum melanjutkannya lagi.

“Siapa Mir?” tanyaku penuh penasaran

Ditengah obrolan kami, Mirari sempat mengingatkanku perihal kopi. Dia menyarankan agar aku mencicipinya nanti setelah sampai di kalideres. Kalau sudah di kalideres mungkin sudah tidak panas lagi kata Mirari. aku pun menganggukinya saja.

“Orang yang disukai Erwin sejak SMA itu adalah Alisha”

“Siapa?”

“Kau orangnya Lish”

Saat itu, rasanya hatiku menjadi kosong tiba-tiba. Aku merasakan juga ada yang runtuh di dadaku. Penyesalan yang mendalam dan juga rasa bersalah. Semua bercampuran dalam diriku yang kini tidak tahu harus berbuat apa- tidak tahu harus merespon Mirari seperti apa.

Lantas aku teringat dengan saat ketika Mirari meminta Erwin yang saat itu datang menjemputnya untuk masuk ke dalam stasiun langsung dan bertemu denganku. Mungkin saat itu Mirari ingin meyakinkan dugaannya tentnang perasaan Erwin terhadapku. Apakah masih ada atau tidak. atau apakah masih sama atau tidak. dan bayangan Erwin yang menatapku saaat itu lantas menjadi terang sekarang. Menjadi jelas.

Aku juga mulai memahami mengapa setelah hari itu, Erwin lebih sering menjempur Mirari dan selalu tersenyum kepadaku ketika akan keluar stasiun.

Dan keresahan Mirari selama ini  setelah bertemu denganku juga kini terjawab sudah. Akulah penyebab semua itu. akulah yang menyebabkan semua itu. tanpa aku sadari, aku telah menjadi penyebab mengapa sahabatku merasa tidak dapat memiliki orang yang dicintainya.

Seketika, aku mengingat pelukan Mirari saat itu. aku baru benar-benar paham makna pelukan Mirari sekarang. Seketika, aku ingin memeluk balik Mirari persis seperti ia memelukku waktu itu. Aku ingin memeluknya untuk mengungkapkan perasaan bersalah dan ucapan maaf kepada Mirari karena tidak mengetahui masalahnya selama ini.

Gerbong kereta dipenuhi oleh orang-orang yang pulang dari kantornya. Semakin bertambah ramai ketika kereta berhenti di stasiun Grogol dan pesing. Jumlah penumpang yang turun lebih sedikit dibanding penumpang baru yang naik dari masing-masing stasiun. Mereka semua memiliki tujuan masing-masing. tempat pulangnya masing-masing. dan dunianya masing-masing. sebagian besar penumpang tidak memperdulikan penumpang lain. ada yang asik mendengarkan musik dari earphone nya, ada yang asik dengan drama korea di Handphone nya, dan ada yang asyik dengan buku bacaannya tentang leadership. Sebagian sibuk dengan kantuk dan lamunannya.

Sedangkan aku dan Mirari, setelah kata-kata terakhir Mirari yang mengejutkanku tadi, kami sudah saling diam. berat rasanya bagi kami untuk bicara lagi. tentu karena situasi sudah berubah. Aku sudah mengetahui posisiku dalam hubungan mereka. Mungkin Mirari tidak akan berkata-kata lagi. aku yang harus memberikan tanggapan sekarang.

Tapi,

Aku tidak bisa berkata apa-apa

Aku tidak bisa memberikan respon kepada Mirari. bahkan aku mulai takut untuk melihat Mirari. rasas bersalah itu selalu muncul dan membuatku mundur untk melakukannya.

Meski wajahnya sebagian tertutup oleh masker dan bulu-bulu pada tutup kepala dari jaket parka nya, tapi aku dapat menangkap kesedihannya. Mirari mungkin sedang merasakan kontradiksi pada dirinya. Disatu sisi ia cemburu kepadaku, disatu sisi ia tidak bisa menyalahkanku karena aku sahabatnya, dan lagi aku tidak tahu menahu mengenai perasaan Erwin kepadaku.

Ketika kererta tibadi stasiun bojong indah, dan bersiap berangkat kembali, Mirari berkata padaku

“Lish, aku duluan ya”

“Kau tidak turun di kalideres?”

“Tidak, aku turun setelah ini (Stasiun Rawa Buaya). Hari ini aku ada urusan lain. Dan lelaki itu juga akan menjemputku disana.”

Entah  urusan apa yang dimaksud dengan  Mirari itu. dan ketika pintu kereta tertutup secara sempurna, dan kereta kembali melaju perlahan-lahan meninggalkan stasiun bojong, Mirari berpindah ke dekat pintu kelur sebelah kiri. Tak lama setelahnya, suara seorang masinis menggema dari pengeras suara yang ada di gerbong.

Selanjutnya, kereta akan berhenti di Stasiun rawan buaya, Stasiun Rawa Buaya. Bagi penumpang yang berada di gerbong pertama dan kedua dari belakang agar bergeser ke gerbong lainnya karena  gerbong pertam dan kedua dari belakang tidak mendapatkan peron di stasiun Rawa Buaya. Pintu yang akan di buka adalah pintu sebelah kiri dari arah laju kereta. bagi para penumpang yang akan turun agar mengecek kembali barang bawaan serta tiket perjalanan anda. Stasiun Selanjutnya, Stasiun Rawa Buaya. Pintu yang akan di buka adalah pintu sebelah kiri.

Beberapa penumpang lain pun bergeser ke pintu sebelah kiri seperti yang dilakukan Mirari. mereka yang akan turun di stasiun rawa buaya yang ada di gerbong pertama dan kedua dari belakang pun bergeser kedepan dan memadati pintu-pintu sebelah kiri di gerbong ketiga dan keempat. Mirari ada di salah satu dari mereka.

Ketika kereta berhenti di Stasiun rawa buaya, aku melihat kembali kearah Mirari, seperti ingin mengucapkan salam perpisahan dan permintaan maaf secara bersamaan. Tapi, Mirari malah berlalu begitu saja. ia bergegas meninggalkan gerbong dan sedikitpu tak menoleh kearahku.

Apa dia marah kepadaku?

Kupandangi cup kopi yang ada di tanganku pemberian Mirari tadi, seperti nya sudah tidak sepanas awal tadi. mungkin aku bisa meminumnya setelah sampai di Stasiun kalideres nanti sebagai permintaan maaf ke Miarai. Meski sebenarnya tidak ada hubungannya. Tapi aku ingin menghargai apa yang sudah diberikan Mirari kepadaku.

Ketika tiba di stasiun kalideres, dan telah membebaskan langkah terakhirku dari gerbong, aku lantas teringat dengan seorang lelaki yang kemarin masih ada di bangku peron itu menemaniku. Kini bangku peron itu sepi. Tentu hari ini lelaki itu tidak akan ada. Aku hanya bisa bertemu dengannya di hari selasa malam rabu. Meskipun malam ini aku minum kopi pemberian Mirari sampai habis agar tidak kantuk dan bisa menunggunya hingga larut, lelaki itu pasti tetap tidak akan ada, tetap tidak akan muncul tiba-tiba seperti biasa.

Saat orang lain bergegas menuju penyeberangan dari jalur dua ke jalur satu lalu mengantri di pintu keluar otomatis, saat itu aku malah melamun sehingga menghalangi orang lain yang ingin lewat. Akhirnya aku memilih duduk juga di bangku peron itu.

Saat aku akan meminum kopi yang diberikan Mirari, lantas aku teringat dengan perkataan lelaki itu kemarin kepadaku. Permitaan tepatnya

“Boleh aku meminta sesuatu kepadamu?”

Lelaki itu berkata seolah memohon. Dan aku meng’iya’kannya.

“Besok, jangan minum kopi”

Meski alasannya tidak jelas, pada akhirnya aku menurutinya. Dan saat ini, aku lebih memilih mengabulkan permintaan lelaki itu ketimbang menghargai pemberian Mirari. aku membuang kopi tersebut ke tong sampah yang tak jauh dari bangku peron.

Saat kuingat lagi, bagaimana lelaki itu bisa tahu aku akan punya kopi hari ini. kemarin ia secara spesifik memintaku agar Besok (hari ini) jangan minum kopi.

Siapa dia sebenarnya. Apa dia peramal?

Bagaimana dia bisa meminta permintaan aneh semacam itu dan malam ini terbukti

Kalaupun benar dia tahu malam ini aku dapat kopi, kenapa dia tidak ingin aku meminumnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu pun menjadi liar di dalam fikiranku. Satu lagi sisi kemisteriusan lelaki itu yang ingin aku tahu. dan aku semakin berharap waktu melaju semakin cepat agar aku bisa tiba lebih cepat di hari selasa dan bertemu dengannya.

*****

Setelah hari dimana aku tahu bahwa orang yang disukai Erwin sejak SMA sampai sekarang ternyata diriku sendiri, aku tidak lagi bertemu dengan Mirari di hari berikutnya. Dan hari-hari selanjutnya pun aku tidak lagi bertemu dengan Mirari. aku sempat mengirimkan pesan kepada Mirari untuk meminta maaf atas keadaan dan kondisi yang membuatku sulit untuk bersikap. Tapi saat itu Nomor Mirari malah tidak aktif lagi. pesanku melalui SMS maupun WhatsApp tidak pernah sampai ke Mirari. aku juga mencoba untuk pulang di jam biasa aku bertemu dengan Mirari, berharap kami bertemu di perjalanan kereta, tetapi tidak juga aku bisa bertemu dengan Mirari.

Saat itu, Mirari menghilang begitu saja dari duniaku. Dan aku tidak bisa berbuat apapun dengan hal itu. akun media sosial Mirari pun tak pernah aktif lagi. dan pesan ku pun tidak pernah terjawab. Dan aku menerima kehilangan Mirari itu dengan sewajarnya. Mungkin karena aku sudah terbiasa seperti itu. di tinggalkan sahabat sejak dulu adalah hal biasa. bahkan aku akrab dengan Mirari pun beberapa minggu ini saja. Sebelum-sebelumnya aku juga hanya sendiri. Jadi aku seperti kembali ke awal lagi ketika Mirari hilang.

Namun,

Yang sangat kusesali setelah hari dimana aku tahu bahwa orang yang disukai Erwin sejak SMA sampai sekarang ternyata diriku sendiri, adalah bukan hanya kehilangan Mirari. Setelah itu aku juga kehilangan seseorang yang sangat ingin aku temui di setiap hari selasa malamnya.

Ya,

Lelaki itu ikut menghilang bersamaan dengan hilangnya Mirari dan Erwin dari hidupku. Entah apa yang ada di balik semua itu. Aku sangat menyesalinya. Hari selasa yang ku tunggu-tunggu akhirnya datang juga kala itu. aku pulang jam setengah sembilan dari kantor dan tiba di stasiun kalideres sekirar jam sepuluh lewat. Biasanya lelaki itu sudah ada di bangku peron sepi itu.

Tapi, kali ini bangku peron itu malah di isi oleh orang lain, sepasang kekasih yang sedang duduk sambil melihat Handpone bersamaan dengan telinga mereka yang berbagi Earphone. Mungkin mereka sedang melihat sebuah film drama dari Korea Selatan.

Aku lantas berdiri di dekat bangku peron tersebut. Aku berharap nanti lelaki itu datang dan aku mudah ditemui olehnya karena berada tidak jauh dari bangku peron tempat biasanya kami duduk. Menit demi menit berlalu, tapi malam itu ia tidak juga datang. Panggilan dari ibu aku abaikan. Aku duduk di bangku peron tersebut setelah sepasang kekasih tadi pergi dan menyeberang lalu keluar stasiun. Aku terus menunggu kehadiran lelaki itu. sambil berprasangka bahwa, mungkin lelaki itu malam ini lemburnya lebih lama sehingga pulang lebih larut dari biasanya

Sampai pada akhirnya kereta jurusan Duri-Tangerang terakhir tiba pada pukul 23: 35, akhirnya Aku sadar dan tiba pada kesimpulan, Lelaki itu tidak akan datang malam ini. Lelaki itu tidak akan ada disini malam ini. Aku menunggu nya, tapi hanya kesepian yang terus datang menjemputku sebagai jawaban. Hanya semilir angin yang datang silih berganti. Hari-hari yang telah ku tunggu-tunggu akhirnya hanya berlalu sebagai Sepi. Sebagai penantian yang terjawab dengan cara yang tidak memuaskan.

Panggilan telpon dari ibu kembali datang, aku akhirnya mengangkatnya. Mengatakan maaf pada ibu karena tidak bisa mengangkat telponnya. Aku mengerti ibu khawatir karena sampai larut aku belum memberi kabar untuk minta dijemput. Akhirnya aku berdalih bahwa aku tadi ketiduran di bangku peron stasiun duri. dan baru bangun ketika kereta Tangerang yang terakhir datang. Saat itu juga aku mengatakan pada ibu bahwa aku baru akan naik ke kereta. Dan ibu pun bergegas untuk berangkat ke Stasiun Kalideres. Padahal aku sudah berada di stasiun Kalideres sudah sejak beberapa jam yang lalu. Aku tidak mungkin mengatakan demikian ke ibu karena akan menimbulkan pertanyaan besar bagi ibu nanti.

Malam itu, sambil menunggu kedatangan ibu, aku memandang langit malam dengan perasaan yang kalut dan perasaan yang larut dalam kesedihan. Kerikil-kerikil pada rel yang diam, lampu-lampu peron yang keisengan, tiang-tiang peron yang berdiri sendiri-sendiri secara rapih serta bangku-bangku peron yang tak berpenghuni kecuali diriku, semua seakan ingin membantuku mendeskripsikan sepi yang sedang berlangsung dalam diriku. Dalam Stasiun DIPO pada diriku yang sedang menanti keretanya kembali.

Bahkan, selasa-selasa malam berikutnya pun, aku tidak lagi bisa menemukannya. Meski seberapa keraspun aku berusaha untuk bisa menemukannya. Aku tetap tidak lagi bertemu dengannya. Meski aku pulang lebih cepat pada hari selasa aku tetap tidak bertemu dengannya di Stasiun kami. Bahkan ketika aku menyengajakan diri pulang cepat dan menunggunya dari hari lepas senja hingga larut ia tak pernah ada di antara penumpang-penumpang yang turun dari kereta arah Duri-Tangerang. Yang ada hanya suara langkah-langkah yang terburu-buru turun dari gerbong dan suara pintu-pintu kereta yang terbuka dan tertutup lagi secara otomatis.

Dan pada dercit suara kereta yang mengerem saat akan berenti dan klakson kereta yang akan jalan meninggalkan peron aku menemukan diriku yang kesepian.

Aku sudah melakukan berbagai cara agar bisa bertemu dengannya. Tetapi tidak juga bertemu dengannya. Mungkin takdir telah menghapus lelaki itu dari takdirku sekarang. aku kehilangan lelaki itu tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. tak berdaya di hadapan takdir yang tegas.

Suatu hari di hari selasa, aku meliburkan diri dari pekerjaan. Aku berangkat ke stasiun seperti biasanya. Duduk di bangku peron tempat biasanya kami bertemu. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu di Stasiunku itu hanya menunggu seseorang yang mungkin sudah tak lagi ada di dunia ini. sejak awal terbersit dalam diriku bahwa ia mungkin tidak pernah nyata bagiku. Mungkin ia hanya khayalan yang ada pada diriku yang sering melamun sedirian. Khayalan yang tidak dapat di lihat oleh Mirari, oleh Erwin, Oleh ibu, Oleh petugas PKD Stasiun serta tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang lewat dan melihat ku dengan tatapan penuh tanya setiap kali aku berbicara dengan lelaki itu dulu.

Hari itu juga, setelah larut malam dan stasiun hampir tutup, aku menetapkan hati bahwa aku tidak akan pernah berusaha bertemu lagi dengan lelaki itu. aku telah memutuskan bahwa lelaki itu selama ini tidak lebih hanyalah imajinasiku saja. Hanya sebatas khayalanku saja. Ia khayalan yang muncul sebagai refleksi dari diriku, sebab itu ia banyak kemiripan denganku. Sikapnya yang lebih banyak diam, dan juga gelang cokelat yang terbuat dari tali nilon yang ada di pergelangan tangan kirinya. Itu adalah gelang milikku warisan ayah yang sudah lama hilang dan muncul kembali pada dirinya sebagai refleksi yang ada di diriku. Khayalan tentang Lelaki itu muncul karena perasaan kesepian yang sudah lama melanda diriku sehingga tanpa sadar aku tiba pada satu titik dimana aku merasa jenuh tapi tidak juga bisa menghentikan kesepian itu. akhirnya khayalan itu muncul dari alam bawah sadarku sebagai bentuk perlawanan dan jawaban dari titik jenuh itu.

Aku kembali mengingat momen mengganjal mengenai lelaki khayalanku itu ketika Mirari tidak merasakan keberadaannya padahal lelaki itu duduk disebelah Mirari. Dan ketika petugas PKD Stasiun melihatku dengan penuh heran saat aku melambaikan tangan kearah lelaki itu saat akan menyeberang. Lalu saat ibu mengira bahwa petugas PKD stasiun adalah temanku karena aku selalu melihat kearah lelaki itu tetapi lelaki itu tidak bisa dilihat oleh ibu dan hanya terlihat petugas PKD stasiun yang memang searah dengan Lelaki itu.

Sebagai seseorang yang kesepian, aku merasa sangat menyediahkan sampai harus mengalamai khayalan tentang seseorang secara berlebihan seperti itu. mengkhayalkan seorang lelaki seolah-olah ia nyata dan bahkan jatuh cinta padanya sampai-sampai berharap jauh terhadapnya. Padahal lelaki itu hanya khayalan. Hanya halusinasi. Atau mungkin itu adalah cara yang ajaib yang diberikan Tuhan untuk menyadarkanku dari kesepian ini .

Dan itu telah menjadi kesimpulan sepihak dariku yang tak ingin kuberitahu siapapun lagi. Karena jika kuberitahu yang lain, aku akan dianggap gila. Atau kurang waras dan menyedihkan. Aku tidak ingin di lihat dengan tatapan kasihan oleh orang-orang yang ada disekitarku karena aku berkhayal tentang seseorang yang kuinginkan. Kurindukan.

 

Disuatu malam setelah beberapa minggu, aku bermimpi lagi bertemu dengan Lelaki itu. Namun ketika pagi tiba, aku segera lupa dan sengaja tak ku ingat kepingan-kepingan mimpi itu. aku menuju kamar mandi dan berkaca, lalu menutup dua buah pintu yang masing-masing adalah pintu kamar mandi dan pintu dalam dadaku.

 

The End ...

 

Jakarta, Februari-Agustus 2018

Shane

 

End ...


 

Jakarta, Februari-Agustus 2018

Shane


IG: Syarifhidate

Facebook : Syarif Hidayat

 

 

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...