Wednesday, January 11, 2012

Sarana Retorika, Bahasa Kiasan dan Diksi dalam Puisi

Sarana Retorika, Bahasa Kiasan dan Diksi dalam Puisi

 
0
 
0
 
i
 
Rate This
Quantcast
Bahasa puisi sebagai salah satu unsur dalam bangun struktur karya memiliki bagian-bagian antara lain; diksi, citraan, bahasa kiasan dan sarana retorika (Alternbernd dalam Sukamti Suratidja, 1990:241).
Sarana retorika yang dominant adalah tautology, pleonasme, keseimbangan, retorika retisense, paralelisme, dan penjumlahan(enumerasi), paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik, klimaks, klimaks, kiasmus (Pradopo, 1990:241)
Telah disampaikan di atas, bahwa selain sarana retorik, dalam bahasa puisi juga dikenal bahasa kiasan atau figurative language yang menyebabkan sajak menjadi menarik, menimbulkan kesegaran, terasa hidup dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan menjelaskan atau mempersamakan suatu hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup.
Jenis-jenis bahasa kiasan adalah:
  1. perbandingan (simile)
  2. metafora
  3. perumpamaan epos (epic simile)
  4. personifikasi
  5. metonimia
  6. sinekdok
  7. allegori
(Pradopo, 1990: 62)
Perrine dalam Waluyo (1987: 83) menerangkan bahwa bahasa figurative dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair, karena (1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) bahasa figuratif adalah cara untuk imaji tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak jadi konkret dan menjadikan puisi lebih dinikmati dibaca, (3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair, (4) bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa singkat.
Di samping retorika dan bahasa kiasan, disinggung juga dalam wilayah bahasa puisi adalah diksi. Meskipun buku yang ditulis Gorys Keraf berjudul “Diksi dan GAya Bahas”” sehingga mengesankan kedua istilah itu  dua hal yag berbeda, namun dalam praktiknya, pendiksian yang akurat dari seorang pengarang dan penyair tidak pernah lepas dari soal berupaya habis-habisan menghasilkan ungkapan-uangkapan dan eksposisi yang benar-benar memikat, indah, mempesona, sugestif. Secara esensial ini adalah bentuk lain dari gaya bahasa juga, hanya mungkin tanpa label nama-nama sehingga stude tentang stilistika pun tidak menganggap ha lasing persoalan diksi. Kata diksi memang sering diterjemahkan dengan ketepatan pilihan kata. Dalam konsep itu terkandug unsur kecermatan, kejituan ,keefektifan sehinggadiharapkan timbul ungkapan yang benar-benar bernas, cerdas, dan selektif.
Gorys Keraf dan Widyamartaya (1995: 44) merumuskan diksi sebagai kemmpuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yangsesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbedaharaan kata bahasa itu. Sementara itu dalam bukunya ynag berjudul Diksi Gaya Bahasa, Gorys Keraf (1995: 87) berbicara tentang diksi/ketepatan pilihan kata sebagai berikut:
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Sebab itu, persoalan ketepatan pilihan kata akan menyangkut pula masalah makna kata dan kosakata seseorang. Kosakata yang kaya-raya memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat memiliki pikiranya. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis atau pembicara untuk megetahui bagaimana hubungan antara bentuk bahasa (kata)dengan referensiinya.
Ketepatan adalah kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperi apa yang dirasakan atau dipikirkan penulis  atau pembicara, maka setiap penulis atau pembicara harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapau maksud tersebut.bahwa kata yang dipakai sudah tepatakan tampak dari reaksi selanjutnya, baik berupa diksi verbal maupun aksi non-verbal dari pembaca atau pendengar. Ketepatan tidak akan menimbulkan salah paham.
Beberapa butir perhatian dan persoalan berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan katanya itu.
(1). Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi
(2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim
(3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaan.
(4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri
(5) Waspadalah dengan penggunaan akhiran asing terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut.
(6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digubakan secara ideomatis
ingat akan bukan ingat terhadap, berharap, berharap akan, mengharapkan bukan mengharap akan; berbahaya, berbahaya bagi, membahayakan sesuatu buakan memahayakan bagi sesuatu (lokatif).
(7) untuk menjamin ketepatan diksi penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus
(8) Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus.
(9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.
(10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.
(Gorys Keraf, 1995: 88-89)
Pembicaraan tentang diksi bisa kita perluas mengenai penjelasan yang bisa kit abaca dalam kamus Istilah Sastra Indonesia. Dalam buku tersebut Eddy (1991:55) menerangkan persoalan diksi sebagai berikut
Diksi adalah pilihan kata yang dilakukan oleh seorang pengarang utnuk mengungkapkan pikiran,perasaan dan poengalamannya dalam karya yang ditulisnya.
Dalam karya sastra diksi tidak hanya mengacu pada ketepatan pemilihan kata untuk mengungkapakan sesuatu, tetapi juga untuk mengundang atau ,membangkitkan imajinasi pembaca, sehingga apa yang diungkapkan terasa hidup dan memikat.
Kalau kita bandingkan diksi karya nonsastra dengan diksi karya sastra akan tampak seperti table berikut:
Diksi Karya nonsastra  Diksi Karya Sastra
Ditekankan pada pemilihan kataDiusahakan agar kata pilihan itu bermakna tunggal dan akurat Brfokus pada makna Di samping ketepatan pemilihan kata, juga diusahakan agar kata itu dapat membangkitkan imajinasi.Diusahakan agar kata pilihan itu bermakna ganda dan bernilai asosiatif serta imajinatif Berfokus pada makna dan daya evokasi (daya gugah), atau lebih difokuakan pada gaya gugahnya.
Diksi dan perbedaan diksi dalam kaya sastra dan karya nonsastra akan jelas kelihatan dalam konteks kalimat yang utuh. Contoh:
1. Di atas laut. Bulan perak bergetar. (Abdul Hadi, dalam puisi “Prulude”) merupakan diksi sastra (puisi),
Dipermukaan laut, bulan yang terang benderang seakan-akan bergerak: merupakan diksi nonsastra.
2. Angin akan kembali dari buit-bukit, menyongsong malam hari. (Abdul Hadi, dalam puisi “Prelude”): diksi sastra(puisi),
Angin akan bertiup lagi dari bukit pada malam hari: diksi nonsastra.
Diksi ialah pemilihan dan penyusunan kata dalam puisi. Perkara yang diutamakan dalam pemilihan dan penyusunan diksi ialah ketepatan, tekanan, dan keistimewaan. Perhatian istimewa diberikan terhadap sifat-sifat kata seperti denotatif, konotatif, bahasa kiasan, dan sebagainya. (http://esastera.com/kursus/kepenyairan.html#Modul11). Menurut Sudjiman (1993:7) pengkajian stilistika meneliti gaya bahasa sebuah teks secara rinci secara sistematis memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antara hubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika. Ciri yang dikatakan oleh Sudjiman dapat berupa atau bersifat fonologis (pola bunyi bahasa, mantra, rima). Leksikal (diksi), atau retoris (majas, citraan).

asal usul bahasa indonesia

Asal-usul Bahasa Indonesia

Bahasa Melayu diketahui sebagai akar dari lingua franca Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana, dalam bukunya Sedjarah Bahasa Indonesia, mengutarakan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara.

Menurut Alisjahbana, persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. “Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan,” tulisnya. Faktor lain, bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.
Pada era pemeritahan Belanda di Hindia, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam korespondensi dengan orang lokal . Persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda pun semakin ketat. Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat.
Meski demikian, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu di Indonesia. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang saat itu Direktur Departemen Pengajaran, berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.

Akhirnya persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa Melayu. Bagaimanapun bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang. Kemudian di Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangakan sebagai bahasa dan sastra Indonesia.

Pada Kongres Pemuda II 1928, diikrarkan bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda. James Sneddon, penulis The Indonesia Language: Its History and Role in Modern Society terbitan UNSW Press, Australia mencatat pula kalau butir-butir Sumpah Pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu Tinggi. Sneddon menganalisis dari penggunakan kata ‘kami’, ‘putera’, ‘puteri’, serta prefiks atau awalan men-.
20 Oktober 1942, didirikan Komisi Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun tata bahasa normatif, menentukan kata-kata umum dan istilah modern. Pada 1966, selepas perpindahan kekuasaan ke tangan pemerintah Orde Baru, terbentuk Lembaga Bahasa dan Budaya di bawah naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan. Lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional pada 1969, dan sekarang berkembang dengan nama yang dikenal, Pusat Bahasa.

Tanggung jawab kerja Pusat Bahasa antara lain meningkatkan mutu bahasa, sarana, serta kepedulian masyarakat terhadap bahasa.

sumber : http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1329/asalusul-bahasa-indonesia

Monday, January 2, 2012

puisi tipografi

puisi tipografi

adalah perwajahan puisi(tipografi),yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipengaruhi kata-kata,tetapi kanan kiri,pengaturan barisnya,hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.
hal tersebut sangat mempengaruhi pemaknaan terhadap puisi. bisa kita lihat pada beberapa puisi 'sutardji calzoum bachri'. salah satunya adalah puisi di bawah ini ;


TAPI

aku bawakan bunga padamu

tapi masih kau bilang aku
bawakan resah padamu

tapi kau bilang hanya aku
bawakan darah padamu

tapi kau bilang cuma aku
bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski aku
bawakan dukaku padamu

tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir aku
bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu


Sutardji Calzoum Bachri
O Amuk Kapak,1981


dengan tipografi seperti di atas bisa kita simpulkan bahwa perwajahan puisi tersebut menggambarkan sebuah pernyataan antara 'Aku' dan 'Kau' sehingga apapun yang dibawa oleh 'Aku' selalu kandas dan terjatuh(tak bermakna) di mata 'Kau'. seperti di gambarkan dalam baris yang anjlok ke bawah dan menjorok ke dalam. tipografi barisnya yang anjlok dan menjorok kedalam seolah menggambarkan apa yang dimiliki 'Aku' sangat di remehkan,tiada apa-apanya dalam pandangan 'Kau'.

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...