Friday, July 27, 2012

PENGERTIAN ARBITRASE

ARBITRASE (pengertian dan dasar hukum)

PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM ARBITRASE
1. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
B. Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa :
“Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
C. Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
- Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
- Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
- Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
E. Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:
“Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 :
“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”.
Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
H. Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
I. Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
J. UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.

Keuntungan Arbitrase

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Kecepatan dalam proses
Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase … harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.”) Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.”
Catatan: Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta dan penerapan hukumnya. Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung.)
Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award, irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as binding and,… shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun ia dijatuhkan.
b. Pemeriksaan ahli di bidangnya
Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan lain-lain.
Catatan: Sebagaimana diketahui dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan ada kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya sangat teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar belakang yang sama, yakni berasal dari bidang hukum, sehingga mereka hanya memiliki pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) di bidang lainnya dan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit lainnya.
c. Sifat konfidensialitas
Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”
Catatan: Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.
Sebagai perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. kerahasiaan sengketa para pihak dijamin;
b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Penjelasan UU No. 30/1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu satunya kelebihan arbitrase dibandingkan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak dipublikasikan. Selanjutnya, di dalam Penjelasan disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.
Berdasarkan penelitian penulis tentang keefektifan penggunaan arbitrase dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga;
b. dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan
c. kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
Dengan beberapa alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebih efektif daripada penyelesaian sengketa di pengadilan. Namun demikian, selain beberapa keuntungan atas pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa kelemahan yang perlu mendapat perhatian dari para pihak yang bersengketa dan penasehat hukumnya, para praktisi hukum lainnya, dan dari kalangan akademisi, termasuk ahli arbitrase. Jika beberapa kelemahan tersebut (lihat uraian kelemahan arbitrase) tidak diantisipasi, maka hal itu dapat membuat arbitrase kehilangan baik daya guna (keefektifan) maupun hasil guna (efisiensi)-nya.

Kelemahan Arbitrase

Beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut:
a. Hanya untuk para pihak bona fide
Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan. Catatan: Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase…”)
b. Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).
Catatan: Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan. Artinya, itu merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter (yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka.
c. Tidak ada preseden putusan terdahulu
Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
Catatan: Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama.
d. Masalah putusan arbitrase asing
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.

Pengaturan Arbitrase Sebelum UU No. 30/1999

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 s.d. Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum acaranya Rv.
Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW dan WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J. Burns (di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional antara Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji. Menurutnya telah terjadi ironi dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri. Identitas tersebut (termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan.
Catatan: Walaupun aturan-aturan hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia kemudian menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata setelah Indonesia merdeka.
Selanjutnya, ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg disebutkan bahwa: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.”
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau arbitrase;
b. juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan
c. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa.
Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab I (dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).
Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 615 s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.
2. Pasal 624 s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.
3. Pasal 631 s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.
4. Pasal 641 s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
5. Pasal 648 s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.
Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi. Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan ”sehari-hari” dalam kegiatan bisnis internasional.
Masalah-masalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv contohnya adalah perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3), diizinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1), larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua itu bertentangan dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini. Dengan demikian, perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu conditio sine qua non.

Tuesday, July 24, 2012

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup



     Sebagai pandangan hidup, Pancasila merupakan kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa dan diyakini kebenarannya. Oleh karena itu pada akhirnya dituntut untuk mewujudkan hal tersebut adalah penting bagi suatu bangsa. Sehingga pada saatnya negara itu akan berdiri kokoh dan mengetahui akan kemanah arah dan tujuannya yang hendak dicapai.

     Dengan pandangan hidup bangsa akan menghadapi persoalan yang dihadapinya, kemudian  menentukan arah serta memikirkan bagaimana cara pemecahannya secara tepat. Tanpa memiliki pandangan hidup tersebut, suatu bangsa akan terombang-ambing dalam menghadapi persoalan besar dimana saja, dan kapan saja persoalan tersebut timbul.


Pancasila sebagai pandangan hidup dapat diberi penjelasan lebih lanjut sebagai berikut ;

Pertama
Pancasila sebagai pandangan hidup berarti pancasila digunakan sebagai pedoman hidup. Sebagai pandangan hidup dipedomani untuk bersikap, bertingkah, berprilaku dalam sehari-hari, dan berkehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Kedua
Pancasila sebagai pandangan hidup adanya untuk ditumbuh kembangkanbersamaan dengan bertumbuh kembangnya bangsa Indonesia yang diangkat untuk dipedomani dan dijadikan modal dasar.

Ketiga
Pancasila sebagai pandangan hidup adalah sesuatu yang sudah baku dalam kaidah-kaidah dalam pandangan hidup tersebut mempunyai sangsi sosial/moral.

Keempat
Pancasila sebagai pandangan hidup adalah sudah tidak bisa dan tidak mungkin lagi dari kehidupan bangsa Indonesia, karena merupakan suatu jiwa dan kepribadian bangsa indonesia.


Peranan-peranan Lainnya dari Pancasila

     Setelah membahas persoalan diatas, maka fungsi lain dari pancasila adalah sebagai berikut ;
  1. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Artinya dengan pancasila bangsa Indonesia dapat mengembangkan dirinya dengan harapan menuju ke arah kemajuan dan kebahagiaan kesejahteraan hidup rakyat Indonesia, karna unsur-unsur pancasila adalah unsur kepribadian indonesia itu sendiri. Dan dengan demikian, sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, pancasila akan hidup dan berkembang menuju arah kemajuan.
  2. Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Secara historis pancasila sebagai pandangan hidup bangsa telah disepakati sejak 18 Agustus 1945. Dalam konteks apa yang disepakati itu, itulah yang disebut perjanjian luhur tersebut. Karna dicantumkan pancasila sebagai dasar negara, maka rakyat dan bangsa Indonesia senantiasa menjunjung tinggi perjanjian luhur tersebut.
  3. Pancasila sebagai sarana persatuan Indonesia. Pada saat jaman dahulu Indonesia dikalahkan oleh penjajah(Belanda) karna belum bersatu. Sedangkan penjajah menggunakan politik adu domba(pemecah belah). Oleh karnanya dengan sadar bangsa Indonesia bersatu padu dan membuat pergaulan satu sama lain sebagai peningkat persatuan dan kesatuan. Sehingga indonesia dalam berbagai macam ragam kemajemukan, suku, etnis, adat istiadat, bahkan bermacam-macam kepercayaan. Dengan demikian dihimpun menjadi satu sebagaimana yang diungkapkan dalam semboyan 'BHINEKA TUNGGAL IKA'. Dibawah naungan pancasila, terbukti bangsa Indonesia dapat bersatu dan dikagumi dunia.
(catatan kuliah pendidikan pancasil)
 

Sunday, July 22, 2012

UUD 1945

Pembukaan
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan
inikemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN

Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota
negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Pasal 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari
ada haluan negara.
BAB III
KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARA

Pasal 4(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Pasal 5
(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya.
Pasal 6(1) Presiden ialah orang Indonesia asli.
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
yang terbanyak.
Pasal 7Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali.
Pasal 8
Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,
ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
Pasal 9
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
"Janji Presiden (WakilPresiden):
"Sayaberjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan seluruslurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."

Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pasal 11
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan
dengan undang-undang.
Pasal 13(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden menerima duta negara lain.
Pasal 14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Pasal 15
Presiden memberi gelaran, tanda jasa ,dan lain-lain tanda kehormatan.
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Pasal 16
(1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.
BAB V
KEMENTERIAN NEGARA

Pasal 17
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
(3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.
BAB VI
PEMERINTAHAN DAERAH

Pasal 18
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

BAB VII
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal 19
(1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Pasal 20(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 21
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
BAB VIII
HAL KEUANGAN

Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
(2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
(3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
(4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang.
(5) Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 24(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
BAB X
WARGA NEGARA

Pasal 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
BABXI
AGAMA

Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
BAB XII
PERTAHANAN NEGARA

Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
(2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.
BAB XIII
PENDIDIKAN

Pasal 31
(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 32
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
BAB XIV
KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara.
BAB XV
BENDERA DAN BAHASA

Pasal 35Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Pasal 36
Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia.
BAB XVI
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

Pasal 37
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir.
ATURAN PERALIHAN
Pasal 1
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia .
Pasal II
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III
Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
ATURAN PERTAMBAHAN(1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

Sunday, July 8, 2012

ETIMOLOGI

Etimologi

Etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata. Misalkan kata etimologi sebenarnya diambil dari bahasa Belanda etymologie yang berakar dari bahasa Yunani; étymos (arti sebenarnya adalah sebuah kata) dan lògos (ilmu). Pendeknya, kata etimologi itu sendiri datang dari bahasa Yunani ήτυμος (étymos, arti kata) dan λόγος (lógos, ilmu).
Beberapa kata yang telah diambil dari bahasa lain, kemungkinan dalam bentuk yang telah diubah (kata asal disebut sebagai etimon). Melalui naskah tua dan perbandingan dengan bahasa lain, etimologis mencoba untuk merekonstruksi asal-usul dari suatu kata - ketika mereka memasuki suatu bahasa, dari sumber apa, dan bagaimana bentuk dan arti dari kata tersebut berubah.
Etimologi juga mencoba untuk merekonstruksi informasi mengenai bahasa-bahasa yang sudah lama untuk memungkinkan mendapatkan informasi langsung mengenai bahasa tersebut (seperti tulisan) untuk diketahui. Dengan membandingkan kata-kata dalam bahasa yang saling bertautan, seseorang dapat mempelajari mengenai bahasa kuno yang merupakan “generasi yang lebih lama”. Dengan cara ini, akar bahasa yang telah diketahui yang dapat ditelusuri jauh ke belakang kepada asal-usul keluarga bahasa Austronesia.

Daftar isi

Ide dasar dalam etimologi

  • Kata-kata biasanya dimulai dengan bentuk yang lebih panjang dan kemungkinan juga lebih rumit, yang kemudian menjadi lebih sederhana atau lebih singkat. Misalnya, mesa (“kerbau”) dalam Bahasa Jawa Krama berasal dari bahasa Sanskerta mahisa.
  • Sebaliknya dengan butir di atas, kata-kata yang pendek dapat diperpanjang dengan penambahan imbuhan pada kata itu. Misalnya, kata, kedokteran berasal dari ke+dokter+an (dokter berasal dari Bahasa Belanda).
  • Kata-kata slang (yang tidak resmi) dapat diterima menjadi bahasa resmi. Kadang-kadang yang sebaliknya juga terjadi, kata-kata yang resmi menjadi slang.
  • Kata-kata yang "kasar" atau "kotor" dapat menjadi eufemisme, dan bisa juga eufemisme menjadi "kasar".
  • Kata-kata yang tabu mungkin dihindari dan kemudian lenyap, seringkali digantikan oleh eufemisme atau pengandaian kata.
  • Kata-kata dapat dilebur menjadi kata portmanteau, seperti misalnya polda, sebuah peleburan dari kata polisi dan daerah.
  • Kata-kata dapat dimulai sebagai akronim, seperti SIM (“Surat Izin Mengemudi”).
  • Bunyi dalam sesuatu perkataan bisa didisimilasikan. Misalnya, laporan berasal dari “rapport” (Bahasa Belanda), tetapi pertama bunyi r sudah diganti menjadi l untuk membedakan bunyi itu dari r nomor dua.
  • Bunyi bisa ditambah kedalam satu perkataan, sesuai dengan morfologi Bahasa Indonesia: Maret (Bahasa Belanda: “Maart”) atau dihilangkan (bius dari Bahasa Parsi “bihausi”).
  • Bunyi asing bisa diindonesiakan, seperti petuah (Bahasa Arab: “fatwa”).
  • Kata-kata dapat diciptakan dengan sengaja, seperti perkataan Anda.
  • Kata-kata dapat pula diambil dari sebuah tempat tertentu (toponim, misalkan lombok yang berarti "cabai") atau dari nama orang tertentu (eponim, mis. urat Achilles).

Etimologi bahasa Indonesia

Sebagai sebuah bahasa, bahasa Indonesia berasal dari rumpun Melayu, salah satu bagian Austronesia, walaupun kosakatanya di masa kini mencakup kata-kata dari berbagai bahasa. Akar bahasa Melayu dan Austronesia dapat dilihat dalam kemiripan sebutan untuk angka dalam bahasa Indonesia dan misalnya Indonesia: dua = Tagalog dalawa, tiga = telu (Jawa dan Bali) = tilu (Sunda) tello' (Madura) = tatlo (Filipina), dan telingga = tainga (Filipina), sedangkan hidung dalam bahasa Filipina berarti ilong. Walaupun begitu, perubahan bahasa telah menguras banyak unsur gramatikal, seperti sistem morfologi: dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Filipina (Tagalog) masih ada infiks sedangkan dalam bahasa Indonesia sudah disederhanakan. Beberapa unsur khusus dalam kosakata, banyak dipinjam dari bahasa-bahasa Sanskerta, Belanda, Arab, dan Spanyol. Misalnya, saya berasal dari bahasa Sanskerta, sedangkan awak masih memiliki akar Austronesia.
Ketika Belanda menjajah Indonesia dari abad ke-17, Bahasa Belanda ikut dibawa bersama mereka. Kelas penguasa berbicara dalam bahasa Belanda, sementara para petani menggunakan bahasa Melayu, bahasa Jawa atau bahasa daerah lain masa itu. Hal ini menyebabkan banyak kata yang berpasangan dalam bahasa Indonesia dan Belanda. Contohnya, polisi mirip dengan Bahasa Belanda politie; handuk dengan handdoek, yang memiliki arti "lap (doek) tangan (hand)". Sepeda berasal dari Belanda vélicopède (yang dipinjam Belanda dari Bahasa Perancis). Sesudah Belanda keluar dari Indonesia, banyak perkataan pinjaman Belanda sudah dilatinisasikan: misalnya, kwalitet (Bld. “kwaliteit”) sering diganti menjadi kualitas (Latin “qualitas”).
Dalam bidang agama, ratusan kata berasal dari Bahasa Arab.
Sebelumnya, Bahasa Sanskerta sudah memasukkan banyak perkataan dalam bahasa Indonesia, terutamanya dalam bahasa Jawa. Contohnya: kusuma berarti “bunga”, wijaya berarti “yang menang”, kota berarti “benteng”, pahala berarti “buah”, "hasil" atau “pala”, maha berarti “besar” dan ratusan yang lain.
Bahasa Indonesia terbukti mampu mengakomodasi kata-kata dari banyak bahasa: Arab, Belanda, Inggris, Latin, Perancis, Sanskerta, Spanyol, Tionghoa, Yunani dan lain lain.

Etimologi populer

Etimologi populer (atau etimologi rakyat) berarti "etimologi palsu" yang diciptakan oleh masyarakat karena etimologi tersebut diduga mungkin benar, walaupun ternyata keliru.
  • Perkataan telpon berasal dari telefoon/telephone (Belanda/Inggris). Menurut etimologi populer, perkataan itu kadang-kadang diduga berasal dari "tali pohon", tapi itu tidak benar.

Sumber-Sumber

  • J. Gonda, Sanskrit in Indonesia, Nagpur 1952
  • Drs Mohamad Ngajenan, Kamus Etimologi Bahasa Indonesia, 19923

Tuesday, July 3, 2012

Sisi lain Dalam Menunggu

Menunggu mungkin sesuatu yang kurang mengasyikan bagi sebagian orang. Dimana kita harus berjemuh dengan waktu yang terus bercucuran diantara rasa bosan yang kian menghardik. Dalam kata lain kita harus membuang-buang waktu. Apalagi dalam menunggu itu kita tak memiliki keegiatan yang mengasyikan. Hanya termenung, membayangkan kejenuhan menunggu. Seringkali hal itu menyebabkan rasa kesal dan emosi yang dikarnakan ketidak pastian yang masih mengambang. Jika menunggu dalam sebuah janji, mungkin itu akan semakin menyebalkan. Karna jika sudah ada janji, namun kita mesti menunggu lebih di waktu yang sudah disepakati, ada hal yang bernama ingkar atau melanggar sebuah ketetapan yang jarang kita kehendaki. disitulah rasa bosan dan kesal mungkin akan semakin besar.

Tapi taukah kita, bahwa dalam menunggu ada hal yang sebenarnya mengasyikan. Menunggu akan memberikan kita waktu senggang. Dan dalam waktu senggang itulah kita bisa mendapatkan sisi mengasyikannya jika kita antusias. Bayangkan saja, jika kita menggunakan waktu senggang itu untuk membaca buku ataupun sebuah nalar yang sebelumnya belum kita lakukan dan fikirkan dalam waktu biasa yang menyibukkan kita. entah itu disibukkan dengan target-target dan tujuan, maupun kegiatan yang sudah dan mesti kita rutini. Kesenggangan waktu yang ada dalam menungu inilah yang bisa kita manfaatkabn untuk mencari dan memikirkan hal-hal yang mengganjal atau bahkan mengganggu fikiran kita.

Kadangkala dalam menunggu, kita dapat berfikir lebih tajam dan bebas dari pada ketika kita berfikir dalam waktu rutinitas kita. Waktu senggang yang kita dapatkan dalam menunggu lebih bebas dan fleksibel. sehinggga jika kita mencoba berfikir, maka fikiran itu akan bergerak lebih bebas tanpa ada faktor fikiran lain yang mengganggu. mungkin sama dengan berfikir ketika baru saja bangun tidur ataupun sebelum tidur malam. Di waktu -waktu tersebut, beban fikiran kita sudah tak terlalu banyak sehingga otak kita bekerja dengan efisien dan fokus hanya pada apa yang kita fikirkan saat itu. Sehingga jalan fikiran lebih melumas dalam bekerja. Dan begitu juga orang-orang cerdas memilih cara dan situasi dalam berfikir. Mereka mencoba membebaskan fikiran-fiiran yang mengganjal dan memfokuskannya hanya pada apa yang ia kehendaki saat itu.

Terkadang ketika dalam menunggu, kita dapat menemukan hal-hal yang sebelumnya tak dapat tercapai atau tertemui. Karna seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa waktu menunggu memiliki faktor-faktor yang mendukung kita untuk lebih baik dalam berfikir. Dalam melihat keadaan dalam menunggu pun mungkin bisa menjadi mengasyikan. Dimana kita bisa melihat sebuah potret maupun sketsa yang mungkin sebelumnya tak kita ketahui maupun sadari dalam waktu dan keadaan normal dalam titik batasan atau waktu yang biasa yang kita miliki. dan tak jarang keadaan-keadaan dan kejadian itu bisa menjadi sebuah hal baru yang sebelumnya belum kita ketahui. atau bahkan menjadi sebuah ide dalam memecahkan masalah yang kita alami.

Waktu menunggu adalah dimana suatu keadaan yang memiliki dua sisi. Ada sisi baik atau menyenangkan bagi sebagian orang, ada juga sisi kurang baik atau menjenuhkan bagi sebagian orang juga. Menunggu sama halnya dengan hal-hal lain. Jika dijalankan dengan suasana yang menyenangkan maka ia akan ikut menyenangkan. Dan apabila Dilalui dengan rasa yang kurang antusias, maka menunggupun akan menjadi sebuah hal yang bisa membuat sekitar kita, juga waktu akan menjadi acuh dan jenuh dengan keberadaan kita. Maka dari itu kita hendaknya menyikapi dengan sewajarnya, tanpa merusak diri kita.

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...