Monday, November 25, 2013

Cerpen Kompas : Lukisan Bergetar

Jangan bertanya padaku si anak durhaka mengenai Ibu, perempun yang disapa dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu. Aku tak mau mengenal Ibu. Aku telah dititipkan Ibu pada saudara sepupunya, perempuan bawel yang mempekerjakanku serupa budak. Aku lari dari keluarga perempuan bawel itu, dan menemukan duniaku sendiri, bekerja, hingga membeli rumah tua yang kini kutempati.
Aku terperanjat ketika datang ke rumahku seorang gadis dengan pandangan yang berkaca-kaca. Ia mencari ibu kandungnya. Perempuan dalam lukisan di ruang tamuku, dikatakan sebagai sosok Ibu yang dicarinya. Ditatapnya lekat-lekat lukisan itu. Sebuah lukisan perempuan berbaju hijau lumut, berkain, duduk menyamping di kursi ukir. Lukisan itu telah dipakukan di dinding ruang tamu, barangkali setua bangunan ini. Tak kutemukan keterangan apa pun mengenai lukisan itu, hingga datang seorang gadis, yang bertanya, di mana perempuan dalam lukisan itu.
Sama sekali aku tak mengerti, di mana sekarang perempuan dalam lukisan itu tinggal. Apa peduliku dengan perempuan itu? Pada Ibu yang melahirkanku, ketika ia sakit dan meninggal dunia, tak kutengok sekejap pun. Ia dimakamkan, tanpa kehadiranku. Dua adik perempuanku yang tak pernah disia-siakan Ibu sepertiku berkali-kali meneleponku. Tak kubalas.
Lalu, apa artinya kini, melacak seorang ibu dari sebuah lukisan? Lukisan itu telah menjadi satu dengan dinding, semenjak rumah tua itu kubeli. Sama sekali aku tak terganggu dengan lukisan itu, sampai datang seorang perempuan muda itu dari kota yang jauh. Ia mencari pemilik rumah, seorang ibu yang dilukis dan terpasang di dinding ruang tamu. Melacak wanita dalam lukisan, yang lengkung alisnya tergores lembut, dengan sepasang mata memendam perhatian. Garis bibir dan dagu menampakkan kesepian yang panjang dan tertahan.
Lukisan itu selalu bergetar pada saat angin berembus lewat pintu ruang tamu yang terbentang. Lukisan itu tepat berhadap-hadapan dengan pintu, dan setiap saat angin menggetarkannya. Perempuan dalam lukisan itu seperti bergerak dari bingkainya.
Perempuan muda itu memandangi lukisan yang bergetar dengan mata yang berkejap. Sepasang mata yang penuh harap.
Antarkan aku ke rumah Ibu!
Aku masih tergagap. Merasa asing dengan permintaannya. Tak pernah aku mendatangi Ibu. Apalagi mencarinya. Hingga Ibu jatuh sakit, terbaring koma lebih dari sepuluh hari, dan pada akhirnya meninggal di hari kesebelas, aku tak menengoknya. Telepon rumah berdering berkali- kali. Tak berhenti berdering. Kututup kembali. Kubiarkan mereka dua adik perempuanku  menelepon dan mencaci-maki. Aku tak peduli.
Maaf, aku tak bisa menemanimu.
Kalau begitu, beri aku alamat Ibu.
Perempuan muda itu memendam sorot mata yang penuh harap dan cemas. Hari sudah larut. Ia belum beranjak dari rumahku, wajahnya tampak ragu. Tapi aku tak mau jatuh iba padanya. Aku tak ingin melihat dia bertemu dengan ibunyaĆ¢€”wanita yang telah melahirkannya.
Telah kuputuskan mencari Ibu. Tak kusangka akan sesulit ini. Sekalipun Ibu telah membuangku, tak akan kucemooh dia. Aku ingin bertemu dengannya.
Di pelataran rumah, dia masih membujukku untuk menemani mencari ibunya. Kutolak. Kali ini suaraku dingin. Mungkin ketus. Aku memang harus memperlihatkan pendirianku padanya. Aku tak suka melihat raut wajahnya yang cengeng.
Lelaki pemilik rumah itu sungguh menjengkelkan. Dia tak mau mengantarkanku mencari alamat Ibu. Baru pertama kali aku menginjakkan kaki di kota kecil kelahiranku ini. Dua puluh tiga tahun orangtua angkatku membawaku meninggalkan kota kecil yang sepi ini. Baru seminggu yang lalu, ketika aku hendak dilamar calon suami, kedua orangtua angkatku berterus terang. Kau masih memiliki seorang ibu ya, perempuan yang mengandung dan melahirkanmu. Ia tinggal di sebuah rumah tua, dengan arsitektur lama. Kulacak. Kutemukan rumah yang kokoh, tinggi, dan kusam. Tapi aku tak menemukan Ibu. Rumah itu sudah dijualnya. Dan lelaki muda yang telah membeli rumah Ibu, alangkah tolol dia. Sama sekali tak mau menolongku.
Hanya lukisan tua itu yang menghiburku. Setidaknya, aku sudah melihat wajah Ibu semasa muda. Bermata teduh, dan sekelam lumpur yang dalam. Mungkin lumpur itu menenggelamkan seseorang. Aku tak paham, barangkali lelaki-lelaki terperosok ke dalam lumpur mata itu. Orangtua angkatku tak memberi tahu siapa ayahku. Aku hanya diberi tahu tentang Ibu. Dan Ayah, bahkan namanya pun tak disebutkan. Apalagi wajahnya, sungguh tak kukenal.
Ketika kutemukan rumah tua, sesuai dengan alamat yang diberikan orangtua angkatku, aku merasa lega. Apalagi di dinding ruang tamu pemuda itu terpasang wajah Ibu. Wajah wanita yang menanggung kesepian yang terpendam. Kurasa aku sudah dekat bersua Ibu. Tapi aku cuma menemukan lukisannya. Sama sekali tak kutemukan jejaknya. Mungkin aku masih jauh bersua dengannya.
Mestinya pemuda pemilik rumah itu bisa membantuku. Dia memilih tak mau tahu persoalanku. Ia menutup diri, dan aku telah gagal membuka hatinya. Ia tenggelam ke dalam dirinya sendiri. Dan aneh, bagiku, bagaimana mungkin seorang lelaki yang mencapai usia tiga puluh seperti dia, tanpa istri dan anak, malah berhasrat memenjarakan diri?
Larut malam, tak ada taksi yang bisa kusewa untuk melacak rumah Ibu. Kota kecil ini sungguh sunyi. Kutemui beberapa becak yang diparkir di tepi jalan raya dengan pengayuh yang tertidur di dalamnya. Mereka tak memerlukan penumpang. Ini kota tua. Kota yang mati pada malam hari. Orang tak berani melintas di jalanan. Lampu-lampu pun remang-remang, dan kelelawar berseliweran dengan kepak sayap yang memperpekat sunyi. Langit di atas kota serupa selubung kain yang mudah koyak.
Kudapatkan sebuah hotel kecil, tua, dengan kamar yang melapuk pintunya, aus catnya, dan berdebu. Kecoa berseliweran. Nyamuk berdenging merubung tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur di kamar serupa ini? Segelas teh dan sepotong kue yang dihidangkan pun terasa basi. Tak mungkin aku beristirahat dengan suasana jorok macam ini.
Berjalan-jalan meninggalkan kamar hotel, aku ingin menghirup udara malam kota tua ini. Barangkali aku akan menemukan rumah Ibu. Ingin kutebus kehinaanku sebagai perempuan tak beribu, yang hanya mengenal orangtua angkat. Getir rasa hatiku tak mengenal ibu kandung. Aku ingin sebagaimana layaknya seorang gadis yang dipinang calon suami, bisa mempertemukan dengan ibu kandung. Bahkan mungkin bisa mempertemukan dengan kerabatku. Tak hanya orangtua angkat yang bisa kutunjukkan pada keluarga mempelai lelaki.
Tapi kini, di kota tua ini, aku mesti berjalan sendirian mencari Ibu. Kalaupun calon suamiku memutuskan untuk meninggalkanku, karena aku tak memiliki ibu kandung yang bisa kupertemukan dengannya, aku harus rela. Aku tak berhak mencegahnya.
Terus melangkah dalam sunyi malam yang gelisah, sampailah aku di alun-alun, di bawah pohon beringin, di dekat penjual wedang ronde. Seorang lelaki tengah duduk mencangkung. Menikmati kesunyiannya. Aku merasa sangat mengenal lelaki itu. Memang betul. Dialah pemilik rumah tua, yang baru saja kutinggalkan. Duduk seorang diri. Terperanjat sebentar menatapku. Kutemukan lelaki muda itu tengah menyendoki wedang ronde. Hati-hati, pelan sekali, ia meletakkan minumannya, seperti tak pernah mengenalku. Mungkin ia tak mau bertemu dengan siapa pun. Lelaki itu terasing dan memilih jalan sunyi. Ia memang berpura-pura tak mengenalku. Sepasang matanya mengusir, menolak, bahkan memusuhiku.
Aku masih berharap kau mau menemaniku mencari Ibu, pintaku.
Larut malam begini?
Bila tak kuantar, aku tak tahu jalan.
Memandangiku dengan mata yang keropos, lelaki itu mencairkan kebenciannya padaku. Mata itu berkabut. Aku menatapnya dengan hangat. Dan kabut dalam mata itu lenyap. Lama. Lambat-lambat. Matanya mulai bersahabat. Dia tak lagi menyembunyikan muka dariku.
Kami berjalan bersama dalam samar cahaya bulan, tanpa tegur sapa. Dia melangkah dengan suara kaki yang pasti. Tak seorang pun kami temui di jalan. Hanya anjing-anjing buduk yang mengais-ngais sampah, sesekali melintas. Kami melangkah dalam diam. Menyusur jalan lengang, berkelok-kelok, kian jauh dari jantung kota, dan memasuki perkampungan.
Langkah kakiku sudah penat ketika kami mencapai sebuah rumah yang diduga pemuda itu ditempati Ibu. Tengah malam lewat, kami memasuki pelataran rumah tua dengan tembok mengelupas dan berlumut. Gelap. Kusentuh pintunya. Berderit terbuka. Di dalam pun tak terlihat seseorang. Tanpa cahaya. Kelelawar terbang menerobos celah pintu. Laba-laba bergerak menggetarkan jaring-jaringnya.
Dengan cahaya korek api kami menjelajahi seluruh ruangan. Rumah tua ini memang sudah ditinggalkan penghuninya. Debu, lumut, dan lembab udara, menyesakkan dada. Aku berhenti lama di depan pintu sebuah kamar. Barangkali di sinilah Ibu tidur. Kupandangi. Dan kubayangkan Ibu tergolek. Sendiri. Tatapannya menerawang. Kalau Ibu tengah terbaring di kamar ini, tentu aku akan menyempatkan diri bertanya. Kenapa Ibu memberikanku pada orang lain?
Barangkali pertanyaan ini akan menyakitkan Ibu. Tapi ini akan meruntuhkan beban yang menekan bergelayut dalam kepalaku. Toh Ibu kata orangtua angkatku tak memiliki anak selain aku. Apa lagi yang dirahasiakannya dariku?
Mari kita pulang! ajak pemuda itu, pelan.
Pulang?
Ya. Menginaplah di rumahku.
Membayangkan perempuan muda itu, sambil memandangi lukisan yang bergantung di ruang tamu, aku mulai sadar kini, mereka memang mirip. Malam itu ketika perempuan muda itu tidur di kamar depan, aku sempat memandanginya. Aku tersihir. Terkesima. Dialah perempuan dalam lukisan itu. Tubuhnya bergeletar. Aku seperti terisap untuk mendekatinya, lebih lekat, lebih lekat, menyatu ke dalam kesunyian yang mula-mula lembut, dan lambat laun bergelora, mengempas-empaskanku.
Tak kutemukan perempuan muda itu saat aku terbangun. Dia sudah menghilang. Mungkin sudah kembali pulang. Mungkin ia mencari ibu kandungnya. Aku tak berselera melakukan apa pun. Cuma memandangi perempuan dalam lukisan itu. Tiap kali angin berhembus, lukisan itu bergetar. Tapi kali ini dadaku pun bergetar. Tak bisa kuredakan.
Malam ketiga setelah perempuan muda itu menghilang, aku tak kuasa menahan diri. Aku menanti fajar untuk melakukan perjalanan. Telah kuputuskan untuk melacak perempuan muda itu. Tak mungkin kutunda lagi. Aku merasa keropos. Tak ingin kurasakan kekeroposan hati kian menjalar melapukkan seluruh persendianku. Ingin kutemukan rumah tempat tinggal perempuan itu. Ini sungguh mendebarkan, serupa memasuki permainan masa kanak-kanak bersama teman-temankuĆ¢€”sebelum aku direnggut dari dunia itu untuk mengikuti saudara sepupu Ibu. Akan kucari perempuan titisan lukisan di ruang tamu. Biar kuajak dia ke rumahku, dan kutemani mencari ibu kandungnya ke mana pun, sampai ketemu.

Pandana Merdeka, Agustus 2005

Sunday, November 17, 2013

Cerpen Pilihan : Pelajaran Mengarang

Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.

***
  
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.
“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.

***

Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.
Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
“Mama kerja apa, sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
     
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00

   
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.

***

Empat puluh menit lewat sudah.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia  juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.
“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:
Ibuku seorang pelacur…
                     
Seno Gumira Ajidarma 
Palmerah, 30 November 1991

Saturday, November 9, 2013

Cerpen

Hari-hari tetap seperti biasanya. Matahari masih terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat. Semilir angin masih menghiasi hiruk pikuk dunia yang semakin tua ini. Kicauan burung tiada henti bersahut-sahutan dari dahan satu ke dahan lainnya.
Matahari perlahan-lahan naik ke puncaknya. Namun, sengatan panas sang mentari itu mampu diredam pohon akasia besar yang sudah sepuluh tahun berdiri tegak. Seorang gadis kecil duduk sambil menggenggam secarik kertas usang. Mata mungilnya masih tertuju pada genggaman sambil sesekali melihat ke langit biru yang terbiaskan cahaya merah matahari. Mulutnya menggumam ucapan kecil nan pelan yang tertiup oleh semilirnya angin dan terbawa jauh ke pelosok negeri.
“Hey!” Sebuah suara dari mulut mungil menyapa gadis kecil berkerudung itu. Gadis kecil itu menoleh dengan senyum terpaksa.
“Kamu kenapa?” tanyanya. Si gadis kecil tetap tak bergeming. “Aku punya es krim. Mau?”
“Ya,” Jawaban polos keluar dari mulut mungilnya. Mereka lalu terlihat akrab dalam tempo singkat, sambil menikmati es krim.
“Nama kamu siapa?” tanya gadis manis berkulit putih itu.
“Terserah kamu. Kamu boleh panggil aku dengan sebutan apa aja.”
“Ya udah. Aku panggil kamu puteri kerudung, ya?”
“He’em,” jawabnya singkat. “Kalo gitu, aku panggil kamu teman cantik!” Mereka lalu tertawa renyah sambil bersalaman.
Hari-hari terus dilewati sang puteri kerudung dengan gembira. Teman barunya telah membawa keramaian dalam hidupnya. Setiap hari sepulang sekolah, mereka bertemu di bawah pohon akasia yang senantiasa menjadi pelindung mereka. Setiap sore, sang puteri kerudung mengirim surat dengan balon terbang atas saran sang teman cantik. Menerbangkan surat untuk ibunya di sisi Allah.
Sembilan tahun puteri kerudung tinggal di sebuah desa kecil. Sembilan tahun itu pula ia hidup tanpa kasih sayang seorang ibu. Hidup dalam kesendirian dan hanya ditemani seorang ayah.
“Ayo terbangin balonnya!” teriak temannya kegirangan. Itu yang mereka lakukan setiap hari, diselingi canda tawa. Mereka lalu bercerita, berlari-larian, dan sesekali menerbangkan cita-cita keduanya di atas awan. Meski berbeda keyakinan, ini tak menjadi penghalang keduanya untuk saling bersahabat. Sang puteri kerudung pemegang teguh islam yang kuat tak segan untuk bermain dan bersahabat dengan seorang protestan.
“Puteri kerudung,” panggil sang teman cantik.
“Ya.”
“Aku mau pergi.”
“Maksud kamu?” tanya gadis kecil itu sambil merapikan kerudungnya.
“Ya, aku harus kembali ke Bengkulu. Tugas ayahku udah selesai. Tapi kamu jangan sedih, aku pasti sering-sering main ke Lampung, kok.”
Keduanya lalu berpelukan, isak tangis mengiringi perpisahan mereka. Si puteri kerudung pun harus rela hidup dalam kesepian lagi, seperti hari-hari sebelumnya.

Perjalanan waktu begitu cepat. Sepuluh tahun telah berlalu, namun keadaan desa kecil itu masih seperti sepuluh tahun sebelumnya. Desa yang terpencil, asri, jauh dari keramaian kota. Juga pohon akasia itu, masih tegak berdiri, masih kokoh tanpa penghalang.
Seorang gadis manis duduk bersandar di bawah pohon akasia yang rindang itu. Gamis yang ia kenakan dibiarkan mengenai rumput yang basah oleh embun-embun pagi. Buku agenda tak pernah lepas dari jemarinya yang lentik. Sesekali ia menulis dan membuka laptop pribadinya.
“Assalamu’alaikum Mba’ Nafira,” sapa salah seorang gadis sebayanya. Perilakunya yang kelihatan sopan dan anggun dengan pakaian tertutup membuat senyum di wajah gadis yang disapa Nafira. Jilbab coklat sang gadis tertiup angin pagi yang menyejukkan suasana.
“Nggak nyangka ketemu Mba’ Nafira disini. Saya Marisa,” ujarnya memperkenalkan diri. Nafira menyambut tangan si cantik Marisa. Meski mereka baru bertemu, namun sudah terlihat akrab.
“Saya suka tulisan Mba’ Naf, tulisannya memotivasi. Oh ya sebentar,” Marisa bergegas menuju mobilnya dan mengambil sebuah novel. “Minta tanda tangannya dong, mba’.”
Nafira hanya tersenyum dan melakukan permintaan Marisa, menandatangani novel karyanya.
“Nggak usah terlalu berlebihan lah. Saya cuma manusia biasa, sama seperti Mba’ Marisa. Toh saya bukan artis atau selebritis yang diperebutkan tanda tangannya.”
“Nggak apa-apa lah mba’. Jarang-jarang, loh, ketemu penulis.”
“Jangan panggil mba’, ah. Kesannya nggak akrab,” jawab Nafira yang sejak tadi tak luput dari senyum.
“Iya, deh. Ternyata bener kata orang.”
“Kenapa?” tanya Nafira lembut.
“Nafira itu orangnya ramah, cepet akrab, nggak sombong pula.”
“Biasa aja. Saya juga manusia seperti Anda. Jadi nggak ada istimewa, kok.” Nafira memang selalu merendah. Ia tidak terlalu suka dipuji, karena baginya manusia itu sama dihadapan Allah. Lagipula Nafira bukan berasal dari golongan petinggi, pejabat, atau apapun itu. Ia hanya seorang gadis yang dibesarkan dengan ketulusan kasih sayang, bukan oleh gelimang harta.
“Eh, kok Naf disini? Bukannya tinggal di Jakarta?”
“Ini kampung halaman saya. Dulu saya tinggal disini, dan ini bisa dibilang tempat favorit saya. Saya sering kesini, ke bawah pohon akasia.”
Marisa terdiam, menatap Nafira lamat-lamat. “Oh, ya? Kenapa bisa sama, ya?”
“Anda tinggal disini?”
“Dulu saya pernah disini, tapi nggak terlalu lama. Ikut ayah kerja,” jawabnya.
Nafira terdiam sejenak. “Ayah anda bekerja di Bengkulu?”
“Ya… Kok Naf bisa tau?” tanya Marisa bingung, namun segera ia abaikan. Nafira pun segera menepis fikiran itu. Karena seingatnya, sahabatnya itu berbeda keyakinan dengannya.
“Oh, enggak. Cuma ada temen dari Bengkulu. Sudah, lupain aja,” Nafira mengalihkan pembicaraan. Sejenak hening, mereka terdiam dan menatap ke langit, mengulang memori yang pernah tercipta dahulu.
“Apakah seorang Nafira itu puteri kerudung?” tanya Marisa tiba-tiba.
Nafira menoleh tak percaya. Namun ini seperti meyakinkannya. Seorang sahabat yang telah sepuluh tahun pergi, dan sekarang kembali. Sahabat yang mengubah hidupnya dari kegelapan, yang meyakinkan dan memberi semangat baginya.
“Teman cantik,” ucap Nafira lirih.
“Ya, aku Marisa, teman cantikmu.”
Mereka larut dalam tangis haru. Keduanya berpelukan, melepas rindu yang terpendam. Semilir angin masih seperti dulu, menerbangkan mereka dalam kedamaian.
“Tapi,” Nafira melepas pelukan Marisa. “Maaf, bukannya kamu seorang protestan?”
Marisa terdiam dengan senyum mengembang. “Aku muallaf.”
“Alhamdulillah..”
“Mungkin ini jalan terbaik yang Allah berikan. Aku mendapat hidayah dari sahabatku, sahabat terbaik yang pernah aku temukan. Dan jalan yang Allah berikan, tidak dapat terfikir oleh akalku. Aku masih menganggap ini sebagai kebetulan, kebetulan yang berulang—dan tak pernah habis.”
“Alhamdulillah. Tapi, orang-tuamu bagaimana?”
“Mereka nggak tahu,” jawab Marisa santai. Nafira mengernyitkan dahi.
“Ya, awalnya mereka nggak mengizinkan aku untuk masuk Islam. Tapi aku pergi, aku memutuskan sendiri, dan semoga ini pilihan terbaik yang aku ambil.
Aku mulai mendalami Islam saat aku nggak sengaja beli novel kamu. Aku pikir itu novel motivasi biasa. Tapi ternyata perkiraanku salah. Dari sana aku mulai membeli buku-buku Islam, mencari artikel-artikel tentang Islam, hingga sampai pada keputusan mutlakku.”
“Setidaknya kamu memberi tahu orang-tuamu tentang ini.”
“Aku memang sengaja pergi dari mama-papa, izin untuk dua minggu dengan alasan mencari bahan skripsi,” Marisa tertawa kecil.
“Itu berarti kamu membohongi orang-tua? Apalagi ini bukan hal yang main-main, Marisa. Kamu tahu Islam, kan? Islam membenci kebohongan.”
“Ya, aku salah. Maaf.”
“Minta ampun lah pada Allah dan kalau bisa secepatnya pulang,” ujar Nafira dengan nada menasehati.
“Ya, deh. Aku besok pulang, aku selesaikan semuanya. Aku janji,” Marisa mengangkat kelingking kanannya. Nafira lekas mengangkat jarinya, menyatukan dengan Marisa. Keduanya lalu tertawa riang.
Sebuah perjalanan dua anak manusia. Dan kita percaya bahwa sahabat selamanya tetap sahabat. Sahabat yang sejati, persahabatan yang abadi, akan menyatu dan beterbangan seiring terbangnya daun akasia terbawa angin. Angin yang membawa mereka berjalan ke tempat abadi, terbang menuju padang keabadian yang tak akan pernah lenyap termakan waktu.

Cerpen Karangan: Sofia Octaviana

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...