Monday, February 24, 2014

Cerpen : Kucing Ditengah Hujan

Cerpen Ernest Hemingway

Hanya ada dua orang Amerika di hotel itu. Mereka tidak mengenal siapa pun yang mereka jumpai di tangga saat mereka meninggalkan atau pulang ke kamar mereka. Kamar mereka di lantai dua menghadap laut. Ia juga menghadap taman dan monumen perang. Ada pohon-pohon palem besar dan bangku-bangku di taman itu. Ketika cuaca bagus, selalu ada pelukis di sana bersama kuda-kuda penyangga kanvasnya. Para pelukis menyukai palem-palem yang menjulang dan warna cerah hotel yang menghadap taman dan laut. Orang-orang Italia datang dari tempat-tempat jauh untuk melihat monumen perang. Ia terbuat dari perunggu dan berkilau diguyur hujan. Sekarang sedang hujan. Hujan menetes dari pohon-pohon palem. Air menghadirkan genangan-genangan di jalan setapak berkerikil. Laut menciptakan garis memanjang di tengah hujan, yang bergulung ke arah pantai dan pecah di sana, dan menciptakan kembali garis memanjang di tengah hujan. Motor-motor meninggalkan alun-alun di samping monumen perang. Di seberang alun-alun seorang pelayan berdiri di pintu kafe memandangi alun-alun yang kosong.

Si istri Amerika berdiri di jendela memandang ke luar. Di luar, tepat di bawah jendela kamar mereka, seekor kucing meringkuk di bawah salah satu meja hijau yang kehujanan. Kucing itu berusaha meringkuk sekecil mungkin agar tidak tepercik air hujan.

“Aku akan turun dan mengangkat kucing itu,” kata perempuan itu.

“Biar aku saja,” suaminya menawarkan diri dari ranjang.

“Tidak, aku saja. Kucing malang itu berlindung di bawah meja.”

Si suami melanjutkan membaca, berbaring dengan dua bantal penyangga di bagian kaki ranjang.

“Jangan sampai kebasahan,” kata lelaki itu.

Si istri turun dan pemilik hotel berdiri dan membungkuk saat ia melintasi ruang kantor. Meja orang itu di bagian paling dalam ruangan kantornya. Ia lelaki berperawakan sangat tinggi.

Il piove,” kata perempuan itu. Ia menyukai si penjaga hotel.

Si, si, Signora, brutto tempo. Cuacanya buruk sekali.”

Ia berdiri di belakang mejanya di bagian dalam ruangan kantor yang remang. Perempuan itu menyukainya. Ia menyukai kesungguhan orang itu dalam menerima segala jenis keluhan. Ia menyukai penampilannya yang bermartabat. Ia menyukai caranya menawarkan bantuan. Ia menyukai cara orang itu menghayati dirinya sebagai penjaga hotel. Ia menyukai paras tuanya yang muram dan tangannya yang besar.

Dengan perasaan suka kepadanya, perempuan itu membuka pintu dan memandang ke luar. Hujan kian deras. Seorang lelaki berjas hujan sedang menyeberangi alun-alun menuju kafe. Kucing itu mestinya ada di samping kanan. Perempuan itu bisa berjalan di sepanjang teritisan. Saat ia berdiri di ambang pintu, sebuah payung terbuka di belakangnya. Rupanya seorang pelayan mengikutinya saat ia keluar dari kamar.

“Anda tidak boleh kebasahan,” perempuan itu tersenyum, bicara dalam bahasa Italia. Tak pelak lagi, penjaga hotel itulah yang mengirimkan perempuan ini.

Dipayungi oleh pelayan itu, si istri berjalan di atas setapak berkerikil sampai ia tiba di bawah jendela kamarnya. Meja itu ada di sana, hijau cerah dibasuh hujan, tetapi si kucing sudah pergi. Ia tiba-tiba merasa kecewa. Pelayan mengamatinya.

Ha perduto qualque cosa, Signora?”

“Ada kucing di situ,” kata perempuan Amerika itu.

“Seekor kucing?”

Si, il gatto.”

“Seekor kucing?” pelayan itu tertawa. “Seekor kucing di tengah hujan?”

“Ya,” katanya, “di bawah meja.” Kemudian, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku menginginkan seekor kucing kecil.”

Ketika berbicara bahasa Inggris, muka si pelayan menegang.

“Mari, Signora,” katanya. “Kita harus kembali ke dalam. Anda akan kebasahan.”

“Kurasa begitu,” kata perempuan Amerika.

Mereka kembali menyusuri setapak berkerikil dan masuk ke pintu. Pelayan tetap di luar menutup payung. Saat perempuan Amerika melewati kantor, si padrone membungkuk dari mejanya. Ada sesuatu yang terasa begitu kecil dan mengkerut di dalam diri perempuan itu. Si padrone membuatnya merasa sangat kecil dan pada saat yang sama sangat penting. Sesaat ia merasakan dirinya sungguh amat penting. Ia melangkah ke tangga. Ia membuka pintu kamar. George di atas ranjang, membaca.

“Kau dapatkan kucing itu?” tanyanya seraya meletakkan buku.

“Ia sudah pergi.”

“Aneh ke mana ia pergi,” katanya, melepaskan pandangannya dari bacaan.

Perempuan itu duduk di ranjang.

“Aku sangat menginginkannya,” katanya. “Aku tidak tahu kenapa aku sangat menginginkannya. Aku menginginkan kucing malang itu. Tidak enak jadi seekor kucing di luaran sana di tengah hujan.”

George membaca lagi.

Perempuan itu berpindah dan duduk di depan cermin meja rias, mengamati dirinya sendiri dengan sebuah cermin kecil. Ia meneliti wajahnya sendiri, mula-mula satu sisi, kemudian sisi yang lain. Kemudian ia meneliti bagian belakang kepala dan lehernya.

“Bukankah bagus menurutmu jika aku memanjangkan rambutku?” tanyanya, meneliti wajahnya lagi.

George mengangkat muka dan melihat bagian belakang leher istrinya, potongan rambutnya pendek seperti anak lelaki.

“Aku suka seperti itu.”

“Aku bosan dengan ini,” katanya. “Aku bosan sekali berpenampilan seperti laki-laki.”

George mengubah posisinya di ranjang. Ia tidak memperhatikan istrinya sejak perempuan itu memulai pembicaraan.

“Kau terlihat manis sekali,” katanya.

Perempuan itu memasukkan cermin kecilnya di laci dan melangkah ke jendela dan memandang ke luar. Hari mulai gelap.

“Aku ingin memanjangkan rambutku dan mengikatnya di punggung sehingga aku bisa merasakannya,” katanya. “Aku ingin mempunyai kucing yang bisa kupangku dan mendengkur saat kubelai.”

“Yeah?” kata George dari ranjang.

“Dan aku mau makan dengan perabotan makanku sendiri dan lilin di meja makan. Dan aku ingin membiarkannya tumbuh apa adanya dan aku ingin menyisir rambutku di depan cermin dan aku menginginkan seekor kucing dan aku menginginkan pakaian-pakaian baru.”

“Oh, tutup mulutmu dan carilah bacaan,” kata George. Ia membaca lagi.

Istrinya memandang ke luar jendela. Sudah betul-betul gelap sekarang dan hujan masih membasuh pohon-pohon palem.

“Bagaimanapun, aku menginginkan kucing,” katanya. “Aku menginginkan kucing. Aku menginginkan kucing sekarang. Kalaupun aku tidak bisa memanjangkan rambutku atau mendapatkan kesenangan yang lainnya, aku bisa memelihara kucing.”

George tidak mendengarkan. Ia terus membaca bukunya. Istrinya memandang ke luar dari jendela ke arah cahaya yang mulai menerangi alun-alun.

Seseorang mengetuk pintu.

Avanti,” kata George. Ia melongok dari balik bukunya.

Di ambang pintu berdiri si pelayan. Ia mendekap seekor kucing besar berwarna coklat kehitaman yang tampak meronta hendak turun.

“Maaf,” katanya, “padrone meminta saya membawa ini untuk Signora.”

***

Diterjemahkan oleh A.S. Laksana
Dari “Cat in The Rain”, dalam Ernest Hemingway: The First Forty-Nine Stories, diterbitkan terbatas oleh The Franklin Library, Franklin Center, Pennsylvania: 1977

Tuesday, February 11, 2014

Cerpen Kompas : Bau Laut

Bau Laut

Cerpen Ratih Kumala (Media Indonesia, 9 Februari 2014)
Bau Laut ilustrasi Pata Areadi
KETIKA lelaki itu pulang dari melaut, ia menemuiku. Kupikir ia sudah mati ditelan laut.Tubuhnya legam. Air asin dan matahari telah memanggang kulitnya. Rambutnya kemerahan. Matanya menyipit dan cekung. Aku melihat ceruk ketakutan di situ, sekaligus sejuta perlawanan. Aku memang tidak mengerti laut, meski sepanjang umur aku hidup di tepi laut.Aku tidak paham apa yang mesti ditakuti di laut yang tak ada apa-apa selain ikan, air, dan matahari. Mungkin karena tidak ada apa-apanya itulah ia menjadi takut.
Namanya Mencar, anak nelayan yang menjadi dewasa di dalam kapal. Sejak dia kecil, ayahnya telah membawanya ke laut. Dia bisa melihat ikan dari kejauhan, matanya tajam dan awas. Hingga dewasa, dia terus bertugas memberi tahu awak kapal di mana mereka bisa menemukan gerombolan ikan untuk ditangkap. Dia akan naik ke tiang kapal, bergelantungan serupa layar, dan berteriak dengan semangat sambil menunjuk ke satu titik. 
“Ikaaan…!” Mencar dan aku tak pernah akur.
Semasa kami bocah, ia anak yang menyebalkan. Menakut-nakutiku dengan kepiting besar hingga aku lari menghindarinya. Aku menghindari Mencar sampai aku remaja. Hingga suatu sore aku melihat ayah Mencar mengajak bocah itu melaut. Di tepi pantai, ia memandangku. Ada yang salah pada tatapan matanya. Meski tubuhnya masih anak-anak, sorot matanya telah menjadi mata lelaki dewasa. Aku bahkan lebih tinggi darinya, tapi sorot mata itu membuatku jengah.
Beberapa hari kemudian Mencar kembali. Laut memang penyihir yang maha dahsyat, mampu mengubah semua orang. Mencar, teman kecilku itu, berubah menjadi lelaki pada suatu hari sepulang melaut. Tak ada lagi tanda-tanda bocah di tubuhnya. Badannya liat dan terbakar. Tubuhnya menjadi lebih tinggi. Sorot matanya masih sama, seperti menelanjangiku. Malamnya, itulah yang dilakukannya. Kami bercumbu dengan alas pasir dan atap bintang, serta bau laut yang menerpa wajah kami. Bibirnya terasa asin.
Mencar menjadi kekasihku.
Pada suatu malam, Mencar bercerita, ia bermimpi dengan seorang perempuan yang muncul dari laut.
“Apakah itu Nyai Ratu Kidul?” tanyaku.
“Bukan. Aku tahu itu bukan Nyai Ratu Kidul.”
“Siapa?”
Penjelasan Mencar tak bisa dipercaya.
“Dia perempuan yang tak punya kaki, tapi ekor ikan yang menjuntai dari pinggang ke bawah.” Aku tak pernah memercayai adanya Putri Duyung. “Dia menyuruhku untuk minum air laut di ujung geladak dan buritan sebelum aku melaut lagi besok.”
Para nelayan terbiasa membaca tanda-tanda alam, seaneh apa pun itu. Sore keesokan harinya, para perempuan melepas laki-laki mereka untuk melaut. Mencar menuruti mimpinya. Dia mengambil segelas air dari ujung geladak dan buritan kapal yang ditumpanginya. Para awak kapal bertanya-tanya apa yang dilakukan Mencar. Meski awalnya menganggap itu aneh, mereka mengikuti juga apa yang dilakukan Mencar. Ia turun sejenak dari kapal, berlari dan memegang tanganku.
“Sepulang dari melaut ini, aku akan meminangmu,” ia memelukku demikian erat, hingga dipanggil lagi oleh ayahnya untuk segera kembali ke kapal.
Keesokan malamnya, badai datang. Semua perempuan melongokkan kepala ke luar rumah demi memastikan benarkah badai yang tengah bertandang. Setelah itu mereka masuk ke rumah masing-masing dan bersembunyi sambil merapalkan doa. Selepas badai kami mendengar kabar tentang kapal-kapal yang hancur. Hatiku menjadi suwung. Ibu Mencar setiap hari membawakan sesaji untuk laut dan menangis setiap sore, memohon pada samudra untuk mengembalikan suami dan anaknya.
Beberapa hari kemudian, sebuah keanehan terjadi. Satu per satu nelayan terdampar. Mereka seolah dikembalikan oleh lidah ombak, termasuk ayah Mencar yang pulang dengan utuh. Setelah semua nelayan yang terdampar terkumpul, kami memastikan mereka adalah awak kapal tempat Mencar turut serta. Sementara awak kapal lain menyisakan janda-janda dan anak-anak yatim yang kini harus bertahan sendiri tanpa kepala keluarga.
Semuanya kembali, kecuali Mencar!
Lebih dari sebulan aku dan ibu Mencar setiap sore pergi ke bibir laut dan menyuguhkan sesajen agar Mencar kembali. Saat aku berpikir sudah tak ada lagi harapan, tiba-tiba lidah ombak menggulung seseorang dari tengah laut.Kami menghampiri sosok yang tergeletak itu.
“Mencar! Mencar anakku!” teriak Ibu Mencar. Aku tak memercayai ini, Mencar kembali dan masih utuh. Kupandangi Mencar yang belum mau bicara. Mulutnya diam seolah tak mengerti bahasa manusia. Tapi matanya, mata itu nyalang dan menyimpan sejuta cerita yang tak terkatakan.
Beberapa malam kemudian, aku tak menyangka. Mencar datang mengetuk jendela kamarku. Seperti malam-malam sebelum dia pergi melaut, sebelum badai itu menghantam, inilah yang biasa dia lakukan: mengajakku pergi ke bibir pantai dan bercumbu di bawah bintang.
Mencar, lelakiku, telah kembali.
“Kupikir kau sudah mati ditelan laut.” Mencar diam. Kupandangi ceruk matanya yang sedalam samudra. Aku seolah berenang dalam sorot mata yang telah menjadi keabu-abuan. Matanya kini menjelma liar.
“Apa yang telah terjadi?”
“Maafkan aku, aku sudah kawin dengan Putri Duyung. Aku tak bisa menikahimu.“
***
Mencar tak pernah lagi melaut. Berita bahwa ia sudah kawin dengan Putri Duyung telah menyebar seperti jamur.Dan tiba-tiba, setiap pagi rumahnya penuh oleh para nelayan. Mereka memberikan pundi-pundi pada Mencar. Kini Mencar hanya perlu turun ke halaman rumahnya, lalu mencium bau laut dalam-dalam, dan ia akan membisikkan kepada seorang nelayan ke arah mana mereka harus melaut. Di situlah mereka akan menemukan gerombolan ikan. Hidungnya telah demikian tajam sehingga ia tak perlu lagi melihat ke laut untuk mengetahui letak ikan. Matanya telah melihat laut yang sesungguhnya, seolah dirinya sendiri adalah peta samudra.
Tak lama, keluarga Mencar hidup bagai keluarga raja. Mereka tak perlu lagi bekerja. Mencar menjadi sumber penghasilan bagi orangtuanya. Ibunya melelang keahlian Mencar mencium bau laut setiap pagi. Siapa yang memiliki pundi paling besar, dialah yang akan diberi tahu letak gerombolan ikan di laut. Mencar tak pernah benar-benar keluar dari rumahnya. Ibunya pun selalu berseloroh kepada orang-orang kampung, “Anakku menikah dengan Putri Duyung. Dia Pangeran Laut yang hidup di darat.“
Aku tak tahu apakah benar atau tidak, tapi ada nelayan yang pernah melihat Mencar ke laut tengah malam, dan yakin benar bahwa perempuan berekor ikan menemuinya di bibir pantai. Aku hanya mendengarkan, sambil menelan olok-olok orang-orang yang menanyakan apakah aku akan mencari pacar baru atau bersaing dengan Putri Duyung.
Itu semua membuatku merasa seperti ombak yang pecah di tepi karang, berpencar dan pasrah pada samudra yang menarik kembali air asin yang telah menjadi keping. Seperti itulah sakit hatiku. Retak. Rusak.
Hingga suatu malam, ketika aku yang rentan sedang meresapi kesedihan, seseorang mengetuk jendela kamarku.Aku tahu itu pasti Mencar. Ketika kubuka jendelaku, tanganku menghambur memeluk tubuh Mencar.
“Kupikir kau takkan pernah mengetuk jendelaku lagi.“
“Menikahlah denganku,“ ucap Mencar.
“Tapi Putri Duyung itu?“
“Aku mencintaimu meskipun Putri Duyung itu telah menyelamatkan nyawaku. Temui aku dari pintu depan.“
Aku menutup jendela. Tak lama, terdengar ketukan pintu depan. Ayahku yang sedang membersihkan jala bertanya siapa gerangan mengetuk pintu demikian keras di malam buta.
Kubuka pintu, dan Mencar berdiri di situ.
“Mau apa kamu?“ tanya ayahku, ketus.
“Saya ingin menikahi putrimu, karena saya mencintainya.“
“Kamu sudah menikah dengan Putri Duyung, dan kamu sudah membuat saya kelaparan karena kamu mampu mencium bau laut, sedangkan saya tak mampu membayar keahlianmu. Kamu cuma memperkaya saudagar ikan dan membuat nelayan kecil macam saya makin tercekik.”
“Akan kuberikan mas kawin segerombolan ikan yang bisa menghidupimu seumur hidup. Kau bisa memanennya besok ketika kembali melaut. Dan, kapanpun kau melaut, ikan-ikan akan menghampirimu.”
Setelah Mencar meyakinkan ayahku, kami pun dinikahkan. Adikku menjadi saksinya. Malam itu juga Mencar membawaku ke bibir pantai, dan di bawah bintang kami bercumbu. Ia mengembalikanku ke rumah di tengah malam buta, dan berkata pada ayahku; besok ia akan ikut melaut, menghadiahiku dan keluargaku, ikan yang akan menghidupi kami seumur hidup. Aku tak percaya pendengaranku, Mencar akan kembali melaut.
Aku melepas Mencar, suamiku, yang pergi melaut bersama ayahku. Aku menunggu dengan was-was di bibir pantai, setiap pagi dan sore. Beberapa hari kemudian, ayahku kembali tanpa Mencar. Ia membawa kapal penuh dengan tangkapan laut serta sejumput cerita yang kemudian menjadi legenda di kampung kecil kami: Setelah Mencar menunjukkan di mana ikan-ikan berada, dia berjanji bahwa ayahku akan menjadi saudagar besar, dan di manapun ia berada, ikan akan selalu mendatanginya. Lalu, ayahku melihat sosok perempuan cantik dengan ekor ikan yang menggeliat di sekitar kapalnya. Mencar segera terjun ke laut. Ayahku berusaha mencegahnya, tapi sosok itu memegang tangan Mencar dan menariknya jauh ke dalam laut. (*)


Ratih Kumala, lahir di Jakarta, 1980.Menulis novel, cerpen, dan skenario. Novel terkininya Gadis Kretek (2012).

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...