Wednesday, March 26, 2014

Lagu Ost Doraemon (Nobita's Dorabian Nights) : Yume no Yukue



Yume no Yukue (Ost. Doraemon Movie  (Nobita's Dorabian Nights Ending)


Artist/band: Shiratori Emiko
Album: Ost. Doraemon
Genre: Soundtrack

Anata mahou wo kaketa deshou
Dakara fushigina koto ga okiru
Hito de afureta machi ha
Toki ga tomari dare mo ga ugokanai
Sabaku no youni shizumari kaetta yuugure no machi de
Anata no koe dake watashi wo yondeiru
Nishi no yozora sasori kei no seiza ga nobori
Koishita ne to oshiete kureta

Anata kore ha kitto yume
Naze ka kinou no watashi janai
Tooi mukashi ni kiita
Monogatari wo futari de tadotteiru

Yogisha ha yuku hoshikuzu no naka kiteki wo narashite
Miorosu machi no tomoshibi marude ten no kawa
Higashi no sora remoniro shita mikkatsuki ukabi
Shiawase ni ne to sasayaiteiru

Yogisha ha yuku hoshikuzu no naka kiteki wo narashite
Doko he yuku no ka anata mo shiranai
Inoru kotoba tatta hitotsu anata to futari
Fushigina tabi owarasenai de



Terjemahan Indonesia



Sendirian untuk sementara waktu saya telah mencari melalui gelap,
Untuk jejak cinta Anda meninggalkanku di dalam hati kesepian.
Menenun dengan mengambil potongan-potongan yang tetap,
Melodi kehidupan - cinta kehilangan menahan diri.

Kami jalan-jalan mereka melakukan cross, meskipun saya tidak bisa mengatakan hanya mengapa.
Kami bertemu, kami tertawa, kami mengadakan cepat, dan kemudian kami mengucapkan selamat tinggal.
Dan yang akan mendengar Gema dari cerita-cerita yang pernah diberitahu?
Biarkan mereka berdering keras sampai mereka terungkap.

Dalam kenangan saya tercinta, saya melihat Anda mengulurkan tangan untuk saya.
Meskipun Anda pergi, Saya masih percaya bahwa Anda dapat memanggil namaku.

Suara dari masa lalu, bergabung dengan Anda dan saya.
Menambahkan lapisan harmoni.
Dan begitulah dia berlalu, dan.
Melodi kehidupan,
Ke langit luar burung terbang - selamanya dan di luar.

Sejauh ini dan pergi, melihat burung seperti itu berlalu.
Meluncur melalui bayangan awan naik di langit.
Saya telah meletakkan kenangan saya dan mimpi atas sayap mereka.
Meninggalkan mereka sekarang dan melihat apa yang besok membawa.

Dalam kenangan tersayang, Apakah Anda ingat mencintaiku?
Itu nasib yang membawa kita dekat dan sekarang meninggalkan saya?

Suara dari masa lalu, bergabung dengan Anda dan saya.
Menambahkan lapisan harmoni.
Dan begitulah dia berlalu, dan.
Melodi kehidupan,
Ke langit luar burung terbang - selamanya dan pada.

Jika saya harus meninggalkan kata kesepian ini di belakang,
Suara Anda masih akan teringat dimelodi kami.
Sekarang kita akan meneruskan.
Melodi kehidupan,
Datang lingkaran dan tumbuh dalam hati kita, asalkan kita ingat

Untuk mendownload lagunya, Klik Disini

Cerpen Kompas : Jalan Sunyi Kota Mati


Cerpen Radhar Panca Dahana (Kompas, 23 Maret 2014)

Jalan Sunyi Kota Mati ilustrasi
KOTA adalah tempat bagi semua yang pergi. Seperti hari itu. Ashar sudah lama lewat dan halte yang kudekati dijejali orang-orang yang tak kukenali. Kutatap mereka satu-satu, seolah saudara dekat yang besok tak kutemui lagi. Tapi, mengapa semua berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam waktu. Tiap kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Tak seperti got di sisi semua jalan, manusia di kota tak pernah berhenti. Bahkan di halte. Halte ini bernyawa. Lalu mati. Bernyawa lagi. Mati lagi…
Aku memejam mata, berusaha tak peduli. Bersandar di tiang besi, mengeja yang nyata dengan alifbata terbata. Mengejan kata dengan huruf tak terbaca. Detik bersiur tanpa angka. Suara-suara berdesak tanpa makna. Aku menghirup udara sehabis hujan, memrosesnya menjadi air di tenggorokanku. Tapi kota tak membutuhkan waktu. Ia memperalat atau mungkin membunuhnya.
Tetes gerimis masih jatuh dalam rombongan-rombongan kecil, seperti tertib peziarah di petilasan, ketika seorang tua yang sudah pensiun cukup lama menyeberang dengan tangan kanan membawa bungkusan. Tiga karyawan sebuah perusahaan bercakap di sisi kiriku seperti tiga radio. Yang seorang menatap tekun LCD smartphone, lainnya mengamati seksama iklan di dinding halte, dan seorang lainnya seperti tukang obral yang rajin mengelilingkan matanya.
Beberapa klakson terdengar, kakek pensiunan sudah menyeberangi sepertiga jalan, saat sebuah motor yang masih baru cicilannya meliuk dengan gerengan mesin yang telah diubah. Satu suara memekik dari dalam sebuah angkot. Lalu suara keras mengejutkan, benturan menyakitkan benda-benda keras dan lunak. Sejenak semua suara hilang, kepala-kepala berpaling, mata terdiam, hati tercekat: motor cicilan baru itu terseruduk angkot yang sedang keras menyalip. Tubuh pengendara motor terbang seperti potongan kertas koran, bodi motor meluncur deras berderit di aspal dengan laju 30 km/jam, dan menghantam satu tubuh yang rapuh. Kakek pensiunan memejam matanya pasrah ketika pengendara motor berdebam di aspal basah yang ia warnai dengan darah kental dari kepalanya. Ban mobil sebuah sedan setengah milyar perak telah melindas kepala itu, lengkap dengan helmnya.
Siang mulai rubuh, ketika waktu yang pucat terpaku dipecah teriakan, seruan, jeritan dan gerak cepat beberapa orang menuju titik-titik kejadian. Dengan refleks wajar, aku melaju ke arah tubuh tua pensiunan. Dia jatuh, lemas, tapi tanpa luka. Kubopong ia ke tepi, memberinya air putih yang dibawa dalam bungkusannya dan kembali pada seorang ibu yang dengan tubuh rapuhnya menampung luncuran bodi motor tadi. Aku coba mengangkatnya, tapi membuat tasnya terjatuh dengan isi berserak yang memerlihatkan plastik obat dan sebuah tester penanda kehamilan. Aku memandang wajah wanita yang bertele di lengan kananku. Matanya rapat terpejam bagai kuburan.
Tetes gerimis terakhir jatuh sendiri di ujung mataku yang sepi.
Seorang anak muda, baru tiga bulan menjadi sales executive distributor peralatan elektronik rumah tangga, memasuki sebuah warung yang menjual kopi dan seduhan mi instan, 15 meter dari halte. Ia meminjam lap dan sebotol air bersih. Lima pengunjung warung menatapnya seperti adegan suspence sebuah film Bollywood. Lelaki setengah tua dengan peci sedikit kucal coba menahannya.
”Ada yang mati, mas?” tanya si peci.
”Kurang tahu,” jawab pemuda itu ringkas.
”Supirnya, kabur?” sela pemuda berkaus ”barcelona” di ujung kursi.
”Bagaimana kabur? Nyawanya masih ada apa nggak juga belum jelas.”
”Barcelona” menggeleng kepala. ”Hari kalau celaka bukan sakitnya yang membuat pedih, tapi ongkos berobatnya.” Entah keluh, kesal atau frustrasi, ”barcelona” monyongkan bibir untuk menghirup kopi sampai ampasnya.
”Semua gara-gara motor kelewat banyak,” sambung seorang tua yang nongkrong di pojokan, ”karenanya mereka saling salip, rebutan ruang yang makin ciut. Sama saja dengan ruang di warung ini, yang tambah sesek sama ocehan.”
”Bukan salah motor. Tapi kakek goblok yang nyeberang seenaknya,” si peci coba mencoba menyanggah.
”Tapi kalau angkot nggak ugal-ugalan, kecelakaan nggak hebat begini.” Kali ini seorang pemuda tiga puluhan, tampaknya tukang kredit, memberi tanggapan.
”Yang keterlaluan ya pengemudi sedan mahal itu. Dia kurang cepet ngerem sampai pengendara motor hancur kepalanya kelindes,” sambung yang lain.
”Semua salah! Semua ini gara-gara polisi nggak kerja. Pemerintah nganggur,” seorang pemuda seakan menggeram untuk dirinya sendiri.
”Kota segede ini memang terlihat kayak dedemit, monster.”
Seekor cecak jatuh. Percakapan terhenti. Entah kenapa.
Kejadian tak kalah seru juga terjadi di sebuah kafe modern penuh kaca, di lantai dua sebuah gedung, 30 meter dari kejadian.
Hampir setengah pengunjung kafe melompat saat terdengar suara keras tubrukan, untuk menonton apa yang terjadi dari balik kaca rayban kafe itu. Seseorang yang tetap duduk namun dapat mengintip di sela-sela badan, justru merilekskan tubuhnya, menelekan punggung ke kursi dan sambil menghisap rokok mildnya.
”Di detik yang sama di negeri ini mungkin ada sepuluh kejadian serupa kecelakaan di luar itu. Mungkin ribuan di semua kota dunia. Kenapa masih gatel menontonnya? Kurang kerjaan!” katanya ketus, seperti pada diri sendiri.
”Kalau kita tidak bisa atau tidak sempat ikut menolong, setidaknya kan bisa bersimpati. Untuk itu kita perlu tahu dengan jelas peristiwanya.” Pengunjung lain, dengan dasi yang disampirkan di pundak, melirik tajam orang di kursi.
”Apa bedanya simpati pada tontonan di balik kaca ini dengan tontonan di layar kaca TV? Simpati saja tampaknya tidak cukup. Karena ini bukan fiksi. Kalau mampu, kenapa tidak berbuat?” Satu anak muda dengan rambut acak menggerung, lalu segera meninggalkan kaca rayban itu, menuruni tangga, dan keluar.
”Anak itu ngapain sih? Mau jadi hero? Jangan-jangan dia yang terlalu diracuni Rambo atau Bollywood. Kesiangan. Makanya sering bangun pagi.” Dengan tubuh agak lunglai, seorang wanita 30-an awal kembali ke kursi, di sisi kiri lelaki dengan mild tadi.
”Kalau anak muda itu pahlawan kesiangan, lalu kamu apa? Kamu kerja apa gak berlagak jadi pahlawan bagi keluarga?” Kali ini seorang pekerja yang tampak senior, berbalik dari kaca dan menghadap wanita yang tampaknya teman sekerja.
”Masak bekerja saja dianggap pahlawan, sih? Aku kerja ya kerja saja, sekadar sebagai kebutuhan alamiah. Seperti tidur atau buang air,” wanita itu coba menyanggah sambil meraih gelas tehnya.
”Tak ada yang alamiah, ketika ia sudah menjadi ilmiah. Semua sudah artifisial. Buang air pun sekarang menjadi komoditas,” seorang anak muda yang dahinya rajin berpikir, seperti bergumam, bersender di kaca membiarkan peristiwa di jalan terus berlangsung di baliknya.
”Mungkin itu masalahnya. Hidup yang sakral sudah mati. Hidup dunia tinggal hanya materi, hari ini. Tidak heran kalau di Eropa 80 persen anak muda atheis atau agnostik. Kita pun segera menuju ke situ.” Mungkin yang bicara ini seorang mahasiswa filsafat dari perguruan tinggi ternama. Ia duduk saja sedari tadi, dengan majalah kafe di depan matanya. Bergeming dari semua peristiwa.
”Lagakmu seperti pemikir, anak muda. Makan kentang goreng pun kamu harus berhitung dengan kiriman bulanan orangtua,” seorang bussiness woman menyambut ketus.
”Haha…kalau setiap bertindak kamu menggunakan sipoa, seharusnya kamu jangan naik tangga itu untuk nongkrong di sini.” Mahasiswa itu tersenyum nyinyir tanpa menyingkap majalah di mukanya.
”Anak muda sok begini yang bikin sesak napas,” wanita bisnis itu mulai menderu.
”Waktu di zaman seperti ini memang macam kaus kodian, tidak lentur, membuat kita susah bernapas. Tapi siapa yang bisa lepas dari kaus kodian? Apalagi hanya dengan membaca.” Seorang pria setengah tua, seperti memberi argumen yang membela rekan wanita bisnis sekaligus menyergap pikiran sang mahasiswa.
”Hahaha….” sekonyong pria dengan mild tertawa. Di saat yang sama, pemuda yang tadi turun tangga kini sudah kembali ke atas dan duduk di mejanya. Semua diam memandang pemuda itu yang segera kembali ke mejanya dan cepat menghirup kopi susu dinginnya. Gerimis kecil jadi burung pelatuk di kaca rayban.
Sirene yang meraung menjadi monolog di kafe itu.
”Mengapa sih kamu kalau nyupir selalu terlalu dekat dengan mobil di depan?!” seorang nyonya menyorotkan matanya dengan tajam ke wajah lelaki di sebelahnya yang masih kosong menatap ke depan.
”Sudah tahu mobil ini baru mulai cicilannya, sudah nabrak. Keras lagi. Pasti bonyok. Memangnya kamu punya anggaran untuk ke bengkel, di akhir bulan begini. Ceroboh!” Nyonya itu menampilkan wajah yang sangat tidak puas bahkan pada kata-katanya sendiri.
Lelaki agak tua di sebelahnya masih terpaku.
”Kenapa bengong kaya macan mabok begitu? Keluar segera. Lihat seberapa parah mobil kita? Siapa yang harus bayar perbaikannya?”
”Ya, seharusnya mobil di depan. Dia berhenti mendadak,” lelaki yang suami sang nyonya itu akhirnya bersuara.
”Dia itu tabrakan, pasti ada penyebabnya. Motor itu? Kita minta ganti sama pengendara motor itu? Sudah mati kali dia.”
”Apa benar dia mati, Ma?” suara lima belas tahunan terdengar dari kursi belakang.
”Apa peduliku?” tukas nyonya sambil membenahi gelung rambutnya yang jadi sedikit kacau. ”Yang harus dipedulikan justru papamu yang brengsek ini. Kita dibikinnya telat ke resepsi, malah mungkin harus nongkrong di bengkel. Nyebelin.”
”Siapa yang mau celaka seperti ini, Ma? Siapa bisa menolak nasib, apalagi di kota begini. Gak mungkin ayah nyupir lima puluh meter di belakang mobil depan sesuai aturan. Kita akan terus disalip orang, dan pasti lambat sampai di tujuan.”
”Siapa yang suruh lima puluh? Sepuluh meter kan bisa?”
”Gak mungkin. Kita tetap disalip. Bukan cuma mobil, tapi juga bajaj atau motor-motor. Mungkin kita yang akan nabrak motor seperti angkot di depan.”
”Itu karena gayamu kayak anak muda, kayak supir angkot. Nyupir ugal-ugalan. Seperti kalau kamu jalan sendiri atau sama teman-temanmu di mal, ugal-ugalan. Lirik kanan kiri, cowel kanan kiri. Anakmu dua tauk, rambutmu itu penanda tua, tauk!”
”Polisi datang, papa.” Kembali ada suara kecil dari sepuluh tahunan terdengar di jok belakang.
”Kenapa selalu harus melebar kemana-mana sih, Ma?”
”Bukan melebar, tapi memang itu keadaannya, rumah tangga suka kacau karena gayamu, perbuatanmu, yang gak ngerti umur.”
”Umur cuma sekadar angka, Ma.”
”Dasar lelaki boyot. Umur kok angka, umur itu tanda. Tanda kamu itu tua, kamu itu punya tanggung jawab, kamu itu…bisa mati kapan aja. Kalau angka itu kuitansi di bengkel nanti. Dasar!”
”Pa, boleh aku keluar? Pengen tahu.” Suara sepuluh tahunan mengiba.
”Mama ini memang sebaiknya dulu nerusin bakatnya di teater. Hidup kok didramatisir terus,” suami itu seperti senyum, tapi tak berani mengejek.
”Apa katamu? Kamu yang melarang aku! Kamu yang melarang! Bukan aku yang membuat hidup kita dramatis. Justru kamu! Pikirlah sedikit. Pikirlah!!”
Suara pintu mobil terdengar terbuka.
”Dik, jangan!” Suara lima belas tahunan terkejut coba mencegah.
Anak kecil sepuluh tahunan sudah berlari ke lokasi kejadian.
”Prama!! Gila anak itu!” Suami bergegas buka pintu dan mengejar anaknya.
”Itulah produk papanya. Sama-sama gila.”
Nyonya masih membenahi gelung rambutnya. Menyemprot sedikit spray.
Lima belas tahunan tenggelam dalam LCD gadget terbarunya.
Dengan terengah aku berhasil membawa tubuh wanita hamil itu ke mobil polisi yang baru saja datang. Mereka tidak segera membawanya pergi, tapi menunggu ambulans yang katanya segera datang. ”Kenapa Anda tidak dahulukan saja ibu ini ke rumah sakit?” Aku menyatakan keheranan. ”Tenaga saya lebih diperlukan di sini. Dan lagi memang tugas saya ini. Soal korban, itu tugas tenaga medis.” Polisi muda itu segera meninggalkan mobil dinasnya. Ia tampaknya mencari ”korban” yang lain.
Aku pun tak mungkin tinggal di situ. Masih banyak yang harus ditolong. Di tempat kejadian, darah pengendara motor masih ada yang mengental tak tercairkan sisa gerimis. Kulitku menangis. Ingin aku membersihkan segera darah manusia yang membuatku selalu merinding keras dan lemas. Untung sisa gerimis membantu mengalirkan dan membersihkannya.
Mataku sekonyong teralihkan pada satu titik di mana kakek tua tadi terjatuh lemas. Ada juga darah di situ. Kakek itu ternyata luka. Bukan karena benturan. Mungkin lantaran kaget. Darah sedikit ini tampaknya keluar dari mulutnya, entah karena penyakit apa. Tentu parah luka dalamnya.
Aku mendekat untuk refleks tanganku coba membersihkan darah yang sedikit dan tak terkena air gerimis itu. Tapi mataku justru tertumbuk pada sesuatu sebelum aku mengeluarkan saputangan. Sebuah dompet tua berwarna coklat gelap tergeletak tak jauh dari darah itu. Dompet sang kakek terjatuh. Aku menoleh sejenak dan melihat kakek masih terduduk lemas di trotoar.
Dia terluka dalam, dompet yang hilang akan membuat hatinya lebih dalam terluka. Aku refleks mengambil dompet itu dan bergerak mendekati sang kakek. Pada saat itu sekonyong terdengar bentakan, lalu teriakan, lalu ribut, lalu dua atau tiga orang mendekat. Beberapa orang lain tampak menyusul. Lima detik kemudian sebuah hantaman keras terasa menimpa punukku. Aku terjatuh.
Rasa sakit belum terasa, ketika sebuah kaki dengan keras menghajar pinggang. Belum sempat kusadari tendangan itu, sebuah benda keras menimpa dadaku. Lalu beberapa hujaman menimpa wajah, kuping, selangkangan, tulang kering, entah mana lagi bagian tubuh yang tidak terkena. Aku terlempar sana-sini di atas aspal basah itu. Gerimis kurasa datang lagi, dalam rombongan agak besar.
Terasa ada sebuah tangan yang merenggut dompet di tanganku. Tapi hantaman itu tidak berhenti. Darah keluar dari lubang-lubang seputar kepala. Aku mulai merasa atas dan belakang kepalaku berdenyut. Bumi berputar seperti komidi. Mataku masih terbuka, melihat darahku sendiri. Kental merah kehitaman. Ingin kubersihkan, namun gerimis cukup deras sudah membantuku.
Tubuhku beku dan merasa sunyi. Mataku mati.

Tuesday, March 25, 2014

Cerpen Kompas: Ayah Tiri


Cerpen Herumawan PA (Republika, 16 Maret 2014) Ayah Tiri ilustrasi Rendra Purnama
“SEBURUK apa pun keadaannya, rumah adalah tempat kau kembali.”
Ungkapan itu tak tepat untukku.  Rumah justru menjadi tempat yang selalu ingin aku hindari.  Di rumahku sendiri aku tak dianggap ada, selain oleh ibu.  Selama berada di rumah, kuhabiskan sebagian besar waktu di kamar. Jika tak ada hal penting, aku tak akan keluar ruang pribadiku. Atau, aku akan pergi dari pagi dan kembali saat malam. Tiba di rumah hanya untuk melepas lelah. 
Bagiku, apa artinya rumah jika semua kenyamanan dan ketenteraman bisa aku peroleh di luar? Saat dinyatakan lulus di salah satu universitas negeri di Kota Gudeg, Yogyakarta, aku langsung bergegas mengurus administrasinya. Dengan modal pas-pasan dari ibu, aku tinggal di indekos dan selebihnya nyambi kerja tentor bimbel. Lega? Sudah pasti. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Bisa menjadi diri sendiri. Dan, tentunya jauh dari gunjingan nyinyir.
Hingga kini sudah berkali-kali ibu menyuruhku pulang, selalu aku tolak halus.  Berbagai macam alasan, aku perdengarkan.  Mulai dari sidang skripsi yang semakin dekat, kerja sampingan dengan ancaman penghentian kontrak kerja, atau lagi-lagi hal yang klise,
“Cuacanya ndak bagus, Bu. Besok saja jika sudah cerah.”
Hubunganku dengan suami ibu memang tidak baik. Sebenarnya, beliau ayah tiriku.  Ayah kandungku sudah meninggal saat aku kecil. Ibu lantas menikah lagi. Kini, ibu tinggal di rumah ayah tiriku. Dari pernikahannya yang kedua, lahir dua orang adikku yang semuanya laki-laki.
Kedua adikku adalah anak emas. Semua yang mereka minta akan terkabul dalam tempo yang bisa dihitung dengan jari. Sedang kan, aku harus menelan bulat-bulat keinginanku. Karena aku tahu jawabannya adalah tidak atau tunggu. Tunggu pun berarti tidak secara halus. Kadang-kadang ibu sering masuk ke kamarku dan menyelipkan sejumlah uang, hasil dari menjahit yang tak seberapa,
“Buat beli kuas dan kanvas, Le. “
Ibu tahu aku ingin jadi seniman. Impian sedari kecil. Satu-satunya hal yang aku warisi dari ayah kandungku. Dan, hal ini selalu ditentang oleh ayah tiriku. Beliau pikir pekerjaan seniman itu tidak akan menghasilkan pendapatan yang layak. Beliau ingin aku mengikuti jejaknya, menjadi polisi.
Saat beranjak remaja, aku sudah dijejali doktrin agar berkenan mengenakan seragam serbacokelat itu kelak. Saat itu ibu belum melahirkan adik-adikku. Tapi, semenjak kedua adikku lahir dan untungnya semua laki-laki, setidaknya aku merasa bebas dari keinginan beliau. Ternyata tebakanku salah.  Beliau masih saja mencatut namaku dan mengungkit-ungkitnya di hadapan kedua adikku. Entah maksudnya memotivasi kedua adikku atau menghina diriku.
“Jangan jadi seperti kakakmu, kerjanya cuma luntang-lantung saja.”
“Kelayapan kayak ndak ada kerjaan.”
“Prestasi sekolah juga pas-pasan.”
“Cuma prakarya sama seni saja yang nomor satu.”
“Olahraga juga ndak suka.”
“Lihat kamarnya, kayak kapal pecah dihantam ombak.”
“Cat sama lukisan di mana-mana. Ayah sampai lupa apa warna dasar cat kamarnya.” Kedua adikku hanya diam melongo mendengarnya. Entah mengerti atau tidak.
Jika ayah tiriku sudah memberi wejangan seperti itu, aku akan diam. Beralih masuk kamar. Lalu, dari mulutnya terucap kata- kata pedas.
“Nah, lihat baru disindir sedikit saja langsung beringsut masuk kamar.”
“Perasaan kok mirip perempuan.”
“Gak gentle, cengeng.” Hati ini terasa tersayat-sayat mendengarnya. Ibu bukannya tak pernah membelaku. Tapi, terakhir kali membelaku, ibu malah merasakan tamparan tangan beliau.
Aku tak tinggal diam, langsung menyerang. Pukulan dan tendangan aku lancarkan.  Beruntung, Lek No, sopir keluarga buru- buru datang melerai setelah mendengar teriakan-teriakan ayah kesakitan aku pukuli.  Jika tak segera dilerai, entah apa jadinya ayah tiriku. Mungkin bisa terbunuh dan aku akan masuk penjara.
Semenjak itu, aku tak pernah menggubris apa pun kata-kata ayah tiriku. Aku tak mau lagi berdebat jika mengingat nanti ibu bisa jadi korban. Karena itulah, kuliah dan jauh dari tempat kelahiranku adalah hal yang membebaskanku.
Pulang? Lebaran lalu aku mudik ke rumah. Ayah tiriku tak pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja atau bagaimana enaknya jadi seniman? Tapi, hal lain malah ditanyakan,
“Kamu itu niat kuliah atau nggak sih?  Kuliah kok ndak lulus-lulus.”
“Tahun ini, dua adikmu sudah mau jadi polisi. Kamu dapat gelar saja belum.” Rasanya malas untuk pulang jika gelar belum bisa kusematkan di belakang namaku.
Setidaknya ada rasa aman. Tapi, mungkin aku akan diburu pertanyaan tentang kerja dan juga jodoh. Rasanya tak habis-habis pertanyaan menggelitik dari ayah tiriku nanti.
Ibu pernah bilang, bahkan marah pun tanda sayang. Tapi, yang mengenaskan adalah ketidakpedulian. Ibu selalu memberi nasihat bahwa apa pun yang dikatakan ayah tiriku adalah motivasi agar aku terus berkarya meski memakai cara pengungkapan yang kasar. Aku rasa itu tidak sepenuhnya benar.
Ayah tiriku bisa saja berbicara denganku, memakai nada bicara normal. Seperti saat berbicara kepada kedua adikku. Tapi, itu tak pernah dilakukannya. Selalu nylekit setiap kali berbicara kepadaku. Heran aku melihatnya. Mungkin karena aku hanya anak bawaan ibu.
Malam ini, aku terima lagi pesan pendek dari ibu yang lagi-lagi menyuruhku pulang.  Tapi, dari nadanya kulihat ada sesuatu yang buruk. Saat itu, aku mengabaikan firasat aneh. Tak kubalas pesan ibu hingga berganti hari.
Aku telanjur lupa, sibuk mengurus event seni dua tahunan. Dini hari ibu telepon diiringi isak tangis.
Ndang bali, Le. Ayahmu koma.” Aku hanya bisa diam terpaku. Lalu, memesan tiket bus paling awal.
Sepanjang perjalanan, aku mengingat- ingat bagaimana keadaan fisik ayah tiriku.  Rambutnya memang sudah memutih. Tapi, beliau masih sanggup dinas jaga malam dan belum mengambil pensiun.
Aku teringat percakapanku di telepon dengan ibu, beberapa saat lalu. Tentang kondisi ayah tiriku kini.
“Ayahmu sakit jantung sejak lima tahun lalu.”
“Ayahmu merahasiakan penyakitnya. Uwis, Le. Gek ndang bali.” Aku tertegun mendengarnya.
Sesampainya di rumah, hanya ada Yu Jum, bibiku. Aku mampir mengambil barang pesanan ibu sebelum ke rumah sakit. Sekali lagi ibu mengirim SMS agar aku segera ke rumah sakit. Sambil berpesan jangan lupa membawa klaim asuransi milik ayah di ruang kerjanya.
Selama ini, aku jarang sekali atau rasanya tak pernah masuk ke ruang kerjanya. Ayah tiriku tak suka jika ada yang masuk selain dirinya. Di dalam ruang kerjanya, hanya ada meja, kursi, dan rak buku.
Di atas meja ada beberapa berkas dokumen dan tumpukan koran. Aku mencari-cari dokumen asuransi di laci mejanya. Tak sengaja aku menemukan sebuah lukisan yang terasa tak asing. Lukisan ayah yang berpakaian polisi, ibu, dan aku, berlatar belakang rumah ini. Lukisan pertama kali yang kubuat untuk beliau.
Aku hampir melupakan gambar itu.  Kupikir sudah dibuang ke tempat sampah.  Mengingat sikapnya yang tak suka padaku.  Tak kusangka, ayah tiriku masih menyimpan gambar itu. Di belakang kertasnya tertulis, “Gambar putra kesayanganku.” Ada perasaan haru dan juga sedih di hatiku. Bercampur penyesalan yang tak kunjung akhir.
Saat akan menutup laci meja, ponselku berbunyi, panggilan telepon dari ibu.
“Le, Ayahmu sedo.” Diiringi isak tangis berkepanjangan. Aku terduduk lemas di kursi yang biasa diduduki ayah. Menatap hampa gambar yang kugenggam. Ayah tiriku tak seburuk yang aku sangka selama ini.

Yogyakarta, 2 Maret 2014
Kosakata:
Le: sapaan utuk anak laki-laki
Ndang bali: segera pulang
Sedo: meninggal
Nyambi: kerja sampingan
Ndak: tidak
Herumawan Prasetyo Adhie, pegiat sastra dan kini berdomisili di Yogyakarta.
E-mail: libraheruprasetyo@yahoo.com

Thursday, March 20, 2014

Cerpen Kompas : Tubuh Yang Diam

Cerpen Adi Zamzam (Media Indonesia, 2 Maret 2014) Tubuh yang Diam ilustrasi Pata Areadi
SEJAK bangun tidur, ia sudah merasakan kekosongan itu. Semakin terasa saat ia memaksakan diri untuk bangun. Kosong yang paling kosong. Seperti lelah yang telah lama menumpuk, hingga ia kembali merebahkan tubuh, sebelum akhirnya berkeputusan untuk pergi ke dokter.
Ia tak yakin, apakah kekosongan yang seperti lelah ini bersumber dari gejala sebuah penyakit atau hanya perasaannya. Karena itulah ia juga tak yakin apakah dokter bisa menyembuhkan keluhan yang dialaminya sekarang, meski akhirnya ia berangkat ke dokter juga. 
“Lelah saja rasanya, Dok,” jawabnya saat dokter menanyakan keluhan. “Rasanya seperti tidak punya kaki, tidak punya tangan, dan tidak punya kepala. Mau mengerjakan apa, mau ke mana, rasanya bingung saja. Tak ada gairah.”
Dokter sepertinya sudah paham dengan keluhan semacam itu. Dan ia kemudian menuliskan resep. “Diminum yang teratur ya, Pak. Sementara ini Bapak istirahat dulu sampai lelahnya hilang.”
***
Ia sudah minum obat dari dokter. Tapi kekosongan yang membawa rasa lelah itu tetap tak mau mengendap dalam tubuhnya. Seperti ada riuh yang tak mau berhenti, bahkan saat ia coba berkonsentrasi dengan televisi yang ia tonton.
Ia merasa kepalanya sedang berada di tempat lain. Kepalanya sedang berbicara di hadapan banyak orang, dari A sampai Z, tentang taktik pemenangan dirinya yang harus dijalankan oleh mereka, tentang bagaimana caranya mengumpulkan dana dan bagaimana caranya mengoptimalkan dana tersebut, bagaimana caranya meraih simpati orang-orang, juga tentang bagaimana-bagaimana lainnya yang berkaitan dengan pencalonan dirinya sebagai orang nomor satu di kotanya.
Ia merasa telinganya tidak sedang mendengarkan suara televisi. Telinganya sedang mendengarkan semua yang dilaporkan oleh mereka. Tentang citra dirinya di mata masyarakat, tentang isu-isu negatif seputar dirinya, tentang aspirasi para pendukungnya, juga tentang konstelasi panggung pemilu. Telinganya harus selalu mendengar semua berita tentang itu, kapan pun, di mana pun. Suara-suara itu tak boleh ia abaikan.
Ia juga merasa kedua matanya tidak sedang melihat gambar televisi semata. Di kedua matanya juga melintas gambar-gambar lain. Perihal keadaan orang-orang yang akan menjadi sasaran kampanyenya, perihal apa-apa yang mesti ia janjikan kepada mereka kemudian, juga perihal semua yang berkaitan dengan pelaksanaan program-program yang telah direncanakan.
Ia juga merasa bahwa kedua tangannya sedang berada di tempat lain. Kedua tangannya tidak sedang menyertai kepalanya yang sibuk sendiri. Kedua tangannya sedang menemani istri tercinta yang memanjakan diri ke mana pun perempuan itu berselera, mulai dari tempat perawatan tubuh sampai butik-butik ternama.
Ia sengaja menyisakan tangannya saja di samping sang istri, sebab kepalanya tak begitu penting saat berada di samping perempuan itu. Selera istrinya untuk memanjakan diri sering tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk dirinya. Karena itulah ia selalu hanya menyisakan kedua tangannya saja untuk merangkul sang istri. Sekadar memberi tanda bahwa ia selalu setia menemani dan mendukung keinginan istri.
Tentu saja hal itu juga karena ia tak bisa membebani tangannya untuk berpikir. Saat bersama sang istri, ia hanya menyuruh tangannya untuk bersetia melayani dan membuatnya senang. Lagi pula kedua tangannya tak begitu penting bagi kepalanya lagi, sebab kepalanya bisa dengan mudah menjadikan orang lain sebagai tangan kanan atau tangan kirinya.
Terakhir kedua kakinya. Ia pun merasa kedua kakinya sedang berada di tempat lain. Kedua kakinya tidak sedang menemani kepalanya yang sibuk dengan urusannya sendiri. Kedua kakinya tidak begitu penting bagi kepalanya, sebab kepalanya juga bisa dengan mudah menjadikan orang lain sebagai kedua kakinya. Kedua kakinya juga tidak sedang menemani tangannya yang sedang sibuk menemani istrinya. Kedua kakinya mempunyai kesibukan tersendiri, yakni memanjakan diri dari satu tempat hiburan ke tempat hiburan lainnya.
Kedua kakinya akan sangat senang sekali saat bisa turun ke lantai diskotek yang bingar, joget berdesak-desakan, lalu setelah lelah dia akan menepi dengan seorang perempuan. Kakinya tak perlu khawatir dengan omongan orang-orang, dengan para wartawan yang selalu ingin mendapatkan berita sensasional tentang dirinya, sebab tak ada yang kenal betul bahwa kedua kaki itu adalah kepunyaannya. Karena itulah kedua kakinya bisa dengan leluasa pergi bersenang-senang ke tempat mana pun yang ia suka.
Kedua kakinya selalu hanya membawa uang saat pergi bersenang-senang. Kedua kakinya tahu persis bahwa di tempat semacam itu yang jadi perhatian hanyalah uang. Ia tak pernah membiarkan kepala atau tangannya mengikuti langkah kedua kakinya. Itu jelas berbahaya! Toh hanya dengan kedua kaki ia bisa mendapatkan kesenangan yang memuaskan.
***
Obat dari dokter telah habis, tapi ia masih saja merasakan gejala itu. Kekosongan yang membawa rasa lelah. Seperti selalu dikejar-kejar sesuatu. Seperti ada yang selalu melompat-lompat tergesa di dalam kepalanya. Seperti ada yang selalu berseliweran di depan matanya, bahkan dalam keadaan pejam sekalipun. Seperti ada suara-suara yang tak mau mengendap di liang telinganya.
Ia sering merasa semua anggota tubuhnya sedang tak berdiam meski ia berdiam atau berbaring di pembaringan. Ia sering hilang fokus, konsentrasi, juga gairah. Meski kemudian ia sudah berusaha memanjakan diri sepuas-puasnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya.
Sampai pada keterkejutan di sebuah pagi, saat ia becermin merapikan diri. Tak ada bayangan yang bisa ia lihat dalam cermin. Seolah tak ada orang yang berdiri di depan cermin, padahal ia sedang mematut diri di hadapan cermin. Ia tercenung. Kenapa bisa begitu? Ia merenung. Inikah penyebab dari semua yang ia rasakan selama ini?
Akhirnya ia pun memutuskan. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil kembali sepasang tangannya yang selama ini selalu setia menemani si istri.
“Aku tahu kalau selama ini kau hanya memberikan tanganmu untukku. Kau tak pernah benar-benar ada untukku. Lalu kenapa sekarang kau ingin mengambilnya juga dariku?” ujar si istri ketika dua tangan yang selalu menemani diambil kembali oleh suaminya.
“Hanya sebentar,” jawabnya.
“Sebentar? Dulu kepalamu pamitnya juga hanya untuk sebentar. Tapi nyatanya sampai detik ini kepalamu selalu sibuk dengan urusanmu sendiri.”
“Itu tanganku. Kenapa kau melarangku mengambil tanganku kembali?”
“Baik, ambillah. Tapi kalau kau ingkar janji, tak mau mengembalikan tangan itu kepadaku lagi, aku pun bisa mengambil keputusan.”
“Kau itu istriku. Mengertilah sedikit keadaanku.”
“Iya, aku tahu kau suamiku. Tapi kau juga mesti sadar apa kewajibanmu kan?”
Dengan sedikit perasaan kecewa ia pun akhirnya meninggalkan si istri dan lalu bergegas ke tempat di mana kepalanya sedang sibuk membagi tugas ini-itu kepada tim suksesnya.
“Kuambil kepalaku dulu ya? Untuk sementara jangan ganggu kami dengan persoalan apapun. Kami mau liburan sebentar. Untuk sementara kerjakanlah semua agenda yang telah kita susun kemarin,” ujarnya saat menghampiri kepalanya di hadapan para anak buah.
“Liburan berapa lama, Pak? Kenapa kami tak boleh menghubungi Bapak?” tanya salah seorang anak buah yang selama ini menjadi tangan kanannya.
“Mungkin dua atau tiga hari. Doakan saja keadaanku semakin membaik.”
“Bapak sakit?” bernada khawatir. Sebagai orang yang paling dipercaya, sikap perhatian itu hal lumrah.
“Tak usah khawatir. Kerjakan saja semua sesuai rencana. Nanti setelah keadaanku membaik, aku akan menghubungimu.”
Dengan sedikit perasaan lega, ia pun bergegas menuju sebuah tempat hiburan, tempat kedua kakinya sering bersenang-senang di sana. Ia mendatangi tempat itu dengan menyamar, sebab jika ketahuan banyak orang bisa ditebak akibatnya.
Berbagai media akan habis-habisan memakannya. Dan tentu saja itu adalah kemenangan di pihak lawan. Tak bolehada yang tahu bahwa orang itu adalah dirinya. Hanya kedua kaki nakal itu yang tahu. Kedua kaki yang hobi berdesak-desakan dengan perempuan-perempuan diskotek. Kedua kaki yang hobi mabuk.
Kedua kaki itu menolak ketika tahu ia dijemput. Ia bahkan sempat melarikan diri ketika dipaksa ikut.
***
Dugaannya benar. Setelah mengambil tangan dari sisi istri, kepala dari hadapan anak buah, dan kaki dari tempat bersenang-senang, ia pun serasa mendapatkan kesegaran baru. Kini ia merasa telah bertemu dengan dirinya sendiri. Ia menemukan kenyamanan yang paling nyaman.
Tapi kemudian ia merasa bingung dengan apa yang mesti dilakukannya beberapa hari ke depan. Jika ia kembali kepada istrinya, kepada anak buahnya yang amat menunggu, atau mampir lagi ke tempat hiburan itu, kejadian kemarin pasti akan terulang lagi.
Tubuhnya serasa terpencar-pencar. Ia merasa tak memiliki tubuh itu. Setiap bagian tubuhnya seperti memiliki keinginan sendiri-sendiri.

Wednesday, March 19, 2014

Puisi : Persahabatan


Persahabatan


Persahabatan adalah sebuah bangunan seperti rumah dalam keluarga
Kau akan secara perlahan membangun dengan gotong royong bersama manusia-manusia yang tuhan pilihkan untukmu
Diantara mereka adalah malaikat-malaikat yang selalu akan mendengarkan keluh kesahmu
Diantara mereka adalah bidadari-bidadari pembawa air suci, air yang akan dibasuh kewajahmu tiap kali kau terlihat kusut dan kacau dimatanya
Dan diantaranya ada iblis yang akan mendewasakanmu

Kadang
Persahabatan itu seperti agama yang berpedoman tanpa harus ada kitab suci
Ia diperuntukkan buat orang-orang kesepian yang keras kepala
Ia akan menyadarkan keegoisan pribadi seseorang yang dipilihnya untuk dileburkan di cawan anggur persembahan untuk pesta sang raja
Kemudian ia kan berubah seperti buku-buku tebal yang dimiliki ingatan masa lalu ketika ia hanya akan menemanimu dalam waktu yang tak sepanjang pemikiranmu
Dan buku-buku tebal itu sudah kau anggap kitab suci keduamu

Persahabatan adalah sebuah tempat dimana kau bisa mendongeng tentang mimpi-mimpi konyol dan mimpi-mimpi rendahanmu tentang cinta
Ia senantiasa akan menyediakan the atau kopi untuk pembicaraannya denganm
Dan sesekali ia akan mengejek dan mempermainkan mimpimu itu
Tapi itu tak lain dari gula yang ada didalam the atau kopi yang diberikannya padamu
Dan kau akan tahu itu benar-benar gula yang dapat memahat senyum dibibirmu sehingga beberapa beban telah hilang tanpa sepengetahuanm
Dia memang suka bercanda dan membual tentang sepi dan gelapnya malam
Tapi semata hanya untuk membantumu mencari makna sesungguhnya tentang keriuhan dan cahaya
Dan tanpa kau sadari dia sudah bersiap menertawakanmu ketika kau baru akan memberitahu padanya bahwa kau tahu maksudnya

Ya, persahabatan,
Dia adalah beberapa sisi yang menempati ladang hatiku
Dia menumbuhkan berbagai pohon rindang di lubang-lubang hatimu
Membuatmu bisa merasa sejuk dan selalu merasa punya tempat untuk berteduh…


Jakarta, 1 maret 2013

Cerpen Kompas : Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam


Cerpen Afrizal Malna (Jawa Pos, 16 Maret 2014)
Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam ilustrasi Bagus
MUSIM dingin untuknya sama dengan ikan yang bersembunyi dalam lukisan-lukisan Gerhard Richter, seorang pelukis Jerman yang sering melintas dalam pikirannya, setiap musim dingin datang. Menciptakan banyak warna untuk menyembunyikannya kembali dalam sapuan besar warna lain. Warna-warna yang seakan-akan diciptakan untuk melawan atau memberi cahaya hangat atas warna putih kelabu dari musim dingin.
Jurg, tukang pos yang banyak mengoleksi foto-foto Paus itu, berusaha membenamkan tubuhnya dalam udara hangat dari mesin pemanas kereta. Ia menggerakkan jari tangannya yang terbungkus sarung tangan tebal dari wol. Di luar jendela kereta, salju kian mengubah peta. Menciptakan posisi yang membingungkan untuk melihat arah, untuk tahu di mana dirinya berada di antara wajah kota yang hampir terbalut warna putih salju. 
Ia keluar kereta dengan langkah tergopoh-gopoh. Tubuhnya bergerak cepat meninggalkan Bahnhof Platz agar tidak merasa ada angin dari musim dingin yang menguntitnya. Jurg terus melangkah melewati Neuengasse di Bern. Melintasi berbagai pertokoan dan kafe yang menjanjikan rasa hangat yang lain. Rasa hangat dari mata uang Frank Swiss. Seorang pengamen memainkan musim dari botol-botol kaca, toples, dan gelas-gelas wine. Suaranya seperti ikut menggerakkan trem-trem kota yang melintas dengan bentangan kabel-kabel listrik di atasnya. Lonceng gereja terdengar dari Gereja Moenster di Moenstergasse. Suaranya seperti gema masa lalu dari ruang-ruang gotik.
Di depan Schlachaus Theater Bern, setelah memasuki Rathausgasse, ia berhenti. Membetulkan letak kerah mantel panjangnya. Mengibaskan butir-butir salju dari bahu mantelnya. Jurg mengeluarkan sebatang rokok putih dan membakarnya. Asap rokok mulai memenuhi paru-parunya, membangkitkan ingatan-ingatan lama tentang berbagai alamat yang dilaluinya untuk mengantar surat dari berbagai negara. Ia berdiri di depan pintu gedung teater itu. Bangunan tua yang tidak berubah. Mengingatkannya pada sebuah pertunjukan yang telah berakhir 21 tahun yang lalu: Migration Aus Dem Wohnzimmer, 24-25 Mei 1993.
”21 Tahun?“ desahnya sambil mengembuskan napas dari mulutnya untuk bisa merasakan sisa-sisa rasa hangat dari tubuhnya. Dalam tasnya masih tersimpan katalog pertunjukan itu. Istrinya menemukan katalog itu dalam perjalanannya ke Solo, di rumah Halim HD, temannya dari Indonesia. Katalog dengan grafis hitam-putih. Gambar sisir, gelas, dan pesawat telepon. Ia mengeluarkan katalog, melihat isinya. Dua aktor dalam pertunjukan itu telah meninggal. Jurg kembali mengembuskan napasnya, seperti ada lorong menuju ke dunia lain terbentang dalam tenggorokannya.
Pertunjukan dari 21 tahun yang lalu itu seperti masih terus berlangsung tanpa penonton, tanpa tiket. Pertunjukan dari musim dingin yang selalu meninggalkan rasa tersesat, di mana pun ia berada. Petunjukan dari sepeda-sepeda yang membeku, diparkir tidak jauh dari gedung teater itu. Cahaya lampu kota rasanya ikut membeku. Ia seperti bisa mengenggam cahaya yang membeku itu. Tak ada penonton, tak ada tiket, bahkan tak ada panggung. Lelaki itu berusaha menyakini dirinya kembali tentang pertunjukan yang masih terus berlangsung itu, setelah 21 tahun berakhir.
”Jurg,“ tiba-tiba seorang perempuan memanggil namanya.
“Kanthi!” sambut lelaki itu.
Mereka berdua berpelukan. Ia melihat tangannya melingkar di bahu perempuan itu, seperti bukan lagi bagian dari tubuhnya. Jurg menarik tangannya dari bahu Kanthi.
“Kamu seperti tidak pernah berubah setelah 21 tahun yang lalu,” kata Kanthi kepada Jurg.
”Kamu juga, seperti gedung teater ini, tidak pernah berubah,” jawab Jurg.
Kanthi memandangi gedung teater itu, seperti kamar mayat untuk waktu. Terpaku di tengah banyak ingatan yang berhamburan bersama udara dingin. Jurg menarik tangannya.
”Bagaimana penyakitmu?“ tanya Jurg.
Kathi pernah beberapa kali dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi. Ia seorang wartawan yang pernah dikirim ke Kuwait tahun 1991 untuk meliput Perang Teluk. Dalam waktu tidak sampai sebulan, Kathi kembali ke Bern. Setelah itu ia harus keluar-masuk rumah sakit jiwa yang merawatnya. Sebuah grafiti: ”Amis raus! (Pergi orang-orang Amerika!)“, di tembok Gereja St Marien sering menghantuinya. Bagian dari protes atas campur-tangan Amerika dalam Perang Teluk.
”Penyakitku mungkin sudah sembuh,“ jawab Kathi. ”Tetapi orang di sekelilingku… kamu tahu tentang itu, bukan? Aku sudah tidak ada, Jurg. Lupakanlah,“ lanjut Kathi sambil menggigit bibirnya di akhir kalimat yang diucapkannya.
Jurg mengangguk dan kembali memeluk Kanthi. “Kamulah wartawan yang memotret dari dalam, Kanthi,“ bisik Jurg di telinganya.
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati Zentrum Nord menuju ke apartemen Bot, tempat sahabat mereka menetap. Bot mengundang mereka untuk makan malam. Bot seorang tukang. Tukang yang keahliannya tidak terlalu jauh di sekitar cat, hanya untuk mengecat dinding tembok tua dinding kayu. Ketiganya bertemu di depan gedung teater yang sama, 21 tahun yang lalu. Waktu itu Jurg sedang mengantar surat untuk seorang sutradara yang bekerja di gedung teater, Bot sedang mengecat salah satu dinding teater yang sudah terlalu kumuh, dan Kathi sedang bertugas meliput pertunjukan teater yang sedang berlangsung di gedung itu.
”Apa yang kamu lakukan sekarang?“ tanya Jurg.
”Menulis novel yang pernah ditulis orang lain,“ jawab Kathi.
Jurg terkejut. ”Menulis novel yang pernah ditulis orang lain? Kamu hebat, Kathi!”
”Ya, itulah caraku membaca novel. Seakan-akan aku sendiri yang menulis novel itu,” Kathi berusaha menjelaskan dirinya. ”Dan kamu, Jurg?“
”Aku, kau tahu, aku terus mengumpulkan foto-foto Paus dari berbagai zaman,“ jawab Jurg. ”Aku masukkan foto-foto mereka ke dalam toples. Toples-toples itu tersusun rapi dalam rak-rak lemari perpustakaanku.“
“Hebat!” celetuk Kathi.
Di depan sebuah kafe mereka berhenti. Melihat salah seorang seorang aktor dari pertunjukan Migration Aus Dem Wohnzimmer sedang memainkan sebuah adegan dari 21 tahun yang lalu itu. Aktor itu berdiri dengan kostum seorang Paus yang membungkus tubuhnya. Kostum yang lebih mirip sebuah bangunan yang berdiri dengan tubuhnya sebagai konstruksi utama untuk bangunan itu. Aktor itu mengucapkan salah satu petikan dari puisi Vera Filler:
dia orangnya, yang belum pernah kamu lihat
dimana pun kamu pergi
atau, kalaupun dia ada di sini
entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga
Aktor itu mengucapkan petikan puisi Vera Filler sambil menyeruput spaghetti di meja makannya. Jelujur-jelujur spaghetti terus menyelinap masuk melewati bibirnya, seperti tidak pernah putus. Sebaliknya, puisi Vera Filler keluar dari mulutnya, seperti mengelupasi rangkaian waktu yang menyelimuti dinding kafe. Jurg merasa seperti ada sebuah alamat yang tiba-tiba mencekik lehernya, sebelum ia sampai di alamat itu untuk mengantar sebuah surat. Surat untuk seseorang yang tidak pernah ada.
Kathi menarik lengan Jurg untuk melanjutkan perjalanan. Mereka melintasi jembatan dengan Sungai Aare mengalir di bawahnya. Sungai yang jernih seperti kolam renang itu, dengan arusnya yang deras, permukaannya kini telah membeku.
Tinggi salju sudah hampir menyentuh bibir jendela apartemen Bot, ketika Kathi dan Jurg sudah sampai di tempat tinggal temannya ini. Apartemennya kecil. Mereka duduk di sebuah meja memanjang dengan taplak putih di atasnya. Sebuah makan malam yang berlangsung di ruang dapur Bot yang sederhana. Berbagai jenis pisau untuk makan terletak di tengah meja dalam sebuah gelas. Hanya itu satu-satunya yang bisa dilihat di ruang dapur itu. Selebihnya hanya peralatan dapur dan dinding tembok warna putih.
Bot menyambut keduanya dengan hangat. Berpelukan. Menepuk-nepuk bahu.
”Musim dingin yang menggetarkan,“ kata Bot, seperti kepada dirinya sendiri.
Bot menyambut mereka berdua dengan makan satu mangkuk mushroom sup panas. Bau keju dari sup terasa lembut mulai menggenangi ruang. Dan roti yang telah dimasak renyah. Bot melanjutkan dengan mengeluarkan green salad. Semua hidangan Bot sendiri yang meracik dan memasaknya. Bau bumbu di ruang makan itu ikut membuat lapisan lain dari rasa masakan yang mereka makan.
Bot tiba-tiba terdiam. Kathi dan Jurg ikut terdiam. Kemudian berdiri, mengambil dua botol wine, putih dan merah. Keduanya seperti menyimpan memori yang berbeda untuk Jurg, yang saat itu terlihat sangat bahagia. Wajah bahagia itu tiba-tiba tenggelam dalam tatapannya melihat kedua botol wine itu, seperti pasangan abadi yang tak pernah terpisahkan.
”Aku selalu membuka dua wine  sekaligus untuk sahabat-sahabatku,“ ucap Bot.
Tatapan Jurg masih tak bergerak. Memori dari wine terus berlintasan, seperti mesin fotokopi di kepalanya. Bot menyalakan CD player-nya. Lagu Royals dari Lorde terdengar seperti ritme tepukan-tepukan serempak yang berlangsung dalam timbunan salju. Di luar jendela timbunan salju mulai menyentuh bingkai jendela putih di dinding dapur itu. Kathi mengeluarkan kameranya, memotret jendela putih itu dengan sosok kumpulan berbagai jenis pisau makan di tengah meja, sebagai latar depan yang fokusnya dibuat kabur.
Jurg membuka tasnya, mengeluarkan sebuah surat untuk seseorang yang tidak pernah ada. Tetapi alamatnya ada. Alamatnya jelas. Dalam daftar kependudukan pemerintahan kota, nama itu juga tidak pernah ada. Jurg tidak pernah putus asa, ia mencari nama itu di internet. Tapi orang itu tidak pernah ada. Tetapi Jurg yakin bahwa orang itu sungguh-sungguh ada. Ia terus menyimpan surat itu. Surat yang membuatnya seperti bisa memiliki harapan bisa bertemu dengan orang itu, suatu hari.
Bot dan Kathi memandangi surat itu. surat yang ditujukan untuk seorang sutradara yang bekerja di Schlachaus Theater Bern, 21 tahun yang lalu. Lalu Bot bercerita tentang seorang penyair yang selalu berjalan. Hidupnya memang hanya untuk berjalan, hingga suatu hari orang menemukannya dalam keadaan mati, di sebuah musim dingin. Mayatnya membeku di atas permukaan Sungai Aare yang juga telah membeku. Tetapi ia justru seperti hidup dalam tubuh mayatnya sendiri.
Bot mengambil pisau, membuka amplop surat itu. Lalu mengeluarkannya. Semuanya tercengang, surat itu ternyata hanya berisi kertas kosong. Putih. Tak ada tulisan apa pun. Kathi memejamkan matanya. Ia kembali teringat aktor dengan kostum Paus yang membacakan puisi Vera Filler, di kafe yang mereka lewati sebelum sampai aparteman Bot:
dia orangnya, yang belum pernah kamu lihat
dimana pun kamu pergi
atau, kalau pun dia ada di sini
entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga.
Jurg mengembuskan napasnya melihat kenyataan itu. Menatap kertas kosong itu, seakan-akan tetap ada tulisan yang terkubur di dalamnya. Dari wastafel terdengar Bot yang mulai mencuci piring dan gelas bekas makan malam mereka. Semua percakapan berhenti, tergantikan suara air dan gesekan-gesekan kecil dari peralatan makan yang sedang dicuci Bot. Kathi dan Jurg menghabiskan sisa wine. Merayakan rasa kehilangan seorang yang tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Rasa kehilangan itu terasa nyata. Kathi mengambil surat yang hanya berisi kertas kosong itu.
”Aku akan mencoba menuliskan bagaimana kertas kosong ini harus ditulis kembali sebagai kertas kosong,“ katanya sambil berusaha memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Karena Kathi tidak hati-hati, surat dalam amplop itu terjatuh. Jurg merebut surat itu. Memasukkan kertas kosong itu ke mulutnya, mengunyahnya dan menelannya.
Makan malam itu berakhir dengan perasaan yang sama dialami ketiga orang sahabat itu. Perasaan bahwa makan malam itu tidak pernah terjadi. ***

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...