Kata Betawi
digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan
Melayunya. Kata Betawi
berasal dari kata "Batavia," yaitu
nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda.
Sejarah
Diawali oleh
orang Sunda (mayoritas),
sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula
pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur,
dari Malaka di semenanjung
Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Selain itu,
perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada
tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda
Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa
Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir
musik keroncong.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat
kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan
pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak
membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung
praktik perbudakan. Itulah penyebab masih tersisanya kosa
kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan
Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok,
Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing
tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab
dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah
mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung
Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di
daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih
terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar
seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi
sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah
selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya.
Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil
sensus tahun 1893 menunjukkan
hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab
dan Moor, orang Bali,
Jawa, Sunda, orang Sulawesi
Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua
suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan
penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap
ke dalam kelompok etnis Betawi.
Suku Betawi
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya
tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun
tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk
Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas
Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga
belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul
pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem
Betawi. Baru pada
waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan,
yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang
berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam
benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar
benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar
benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan
di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir
abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh
Indonesia, sehingga orang Betawi dalam arti apapun juga tinggal sebagai
minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi
mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada
waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan
tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di
Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
Seni dan kebudayaan
Budaya Betawi
merupakan budaya mestizo, atau sebuah
campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini
Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam
dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari
penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar,
seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi
sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang.
Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh
budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya
Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah
cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan
berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di
Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang
berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi
awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di
Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan
Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di
pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa
Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa
nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda
menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda
dengan etnis Sunda dan
menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan
dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang
masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata
Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan
kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain
yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan
Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa
formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa
informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas
dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi
tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah
"a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai
dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni
daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu,
Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester
(Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet,
Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa
Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan
Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan
Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra
dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa''
(mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan
Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati
dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang
kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal
dari seni musik Tionghoa, tetapi juga
ada Rebana yang berakar
pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal
dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Tari
Seni tari di
Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari
di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan
kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta
dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul
seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama
tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi
lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat
berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita rakyat
yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain
seperti serial Jagoan Tulen atau si
jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun
kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas
Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari
kayu.
Kepercayaan
Sebagian besar
Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang
menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali.
Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka
adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad
ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang
membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga
terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang
masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan
orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung)
mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong
banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain).
Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H.
Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh
kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang
sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.
Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan
silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari
Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak
zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan.
Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet
aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya
Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk
"terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno
yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah
multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan
lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan
etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin sueib, dan Fauzi
Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat
ini .
Ada beberapa
hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi,
walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung
tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin
dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan
hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat
menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga
yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa
seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini
agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri. Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang
yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
mestizo ; suatu proses pencampuran
unsur kebudayaan yang mempunyai sifat dan warna yang berbeda
No comments:
Post a Comment