Pada akhirnya aku memang harus menyerah,
Kepada belati waktu yang sejak lama menodong,
Menanti kedatangan ajal dari mimpi indahku,
Padahal sudah cukup jauh aku membuat penungguan,
Sepanjang kemalangan nasibku memang hanya untuk itu,
Untuk menunggu sambil bermimpi dari apa yang belum didapat,
Bahkan ombak yang menderaikan buih piluh tak lebih dari lamunanku,
Dan itu membuat senang iblis yang menuduhku pengecut,
Sedangkan dia sendiri hanya berani membelakangiku,
Dari relung-relung yang hampa,
Bersama bayanganku yang gelap,
Dan yang tersisa hanyalah abu kepedihan,
Penyesalan yang beku tanpa kata,
Menyertakan kebiadaban siang dan malam yang acuh,
Padahal kukira mimpiku tak terlalu tinggi,
Bahkan tak lebih tinggi dari pohon kamboja,
Yang melambangkan kematian,
Aku hanya ingin memilikinya,
Yang memang sejak awal sudah kupuja melebihi dunia,
Tapi ternyata aku keliru,
Karna ia memiliki sayap membentang yang mampu membawanya terbang,
Melebihi langit yang ketinggiannya pun tak berani ku perkirakan,
Kepada belati waktu yang sejak lama menodong,
Menanti kedatangan ajal dari mimpi indahku,
Padahal sudah cukup jauh aku membuat penungguan,
Sepanjang kemalangan nasibku memang hanya untuk itu,
Untuk menunggu sambil bermimpi dari apa yang belum didapat,
Bahkan ombak yang menderaikan buih piluh tak lebih dari lamunanku,
Dan itu membuat senang iblis yang menuduhku pengecut,
Sedangkan dia sendiri hanya berani membelakangiku,
Dari relung-relung yang hampa,
Bersama bayanganku yang gelap,
Dan yang tersisa hanyalah abu kepedihan,
Penyesalan yang beku tanpa kata,
Menyertakan kebiadaban siang dan malam yang acuh,
Padahal kukira mimpiku tak terlalu tinggi,
Bahkan tak lebih tinggi dari pohon kamboja,
Yang melambangkan kematian,
Aku hanya ingin memilikinya,
Yang memang sejak awal sudah kupuja melebihi dunia,
Tapi ternyata aku keliru,
Karna ia memiliki sayap membentang yang mampu membawanya terbang,
Melebihi langit yang ketinggiannya pun tak berani ku perkirakan,
Jakarta, 11 Maret 2012
No comments:
Post a Comment