Patung Jendral Sudirman
Merupakan salah satu
patung yang berada di Jakarta tepatnya di kawasan Dukuh Atas, depan Gedung BNI,
Jalan Jenderal Sudirman. Patung ini memiliki tinggi keseluruhan 12 meter dan
terdiri atas: tinggi patung 6,5 meter dan voetstuk atau penyangga 5,5 meter.
Patung ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton dengan anggaran sebesar 3,5
miliar Rupiah dan dikerjakan oleh seniman sekaligus dosen seni rupa Institut
Teknologi Bandung, Sunario.
Sosok Jenderal Sudirman
digambarkan berdiri kokoh menghormat dan kepala sedikit mendongak ke atas untuk
memberi kesan dinamis. Karena berdiri di tengah kawasan yang penuh dengan
beragam aktivitas, patung sengaja didesain sederhana dan tidak memerlukan
banyak rincian.
Rencana pembangunan patung
Sudirman dan sejumlah patung yang akan menghiasi jalan protokol sesuai nama
jalan mencuat pada September 2001. Rencana itu merupakan realisasi sayembara
patung pahlawan yang dilakukan tahun 1999. Lokasi patung merupakan satu garis
lurus yang berujung dari Patung Pemuda Membangun di Kebayoran sampai Tugu
Monumen Nasional.
Biaya pembangunan patung yang menelan dana 6,6
miliar Rupiah berasal dari pengusaha, bukan dari APBD DKI Jakarta. Sebagai
kompensasinya pengusaha mendapat dua titik reklame di lokasi strategis, Dukuh
Atas. Sementara yang menentukan penyandang dana diserahkan kepada keluarga
Sudirman. Pengusaha yang telah ditunjuk mendanai pembangunan patung, yakni PT.
Patriamega. Sebagai kompensasinya, PT. Patriamega memperoleh dua titik reklame
di lahan strategis di Dukuh Atas, yakni di titik A dan 6B. Bagi kalangan
penyelenggara reklame, titik tersebut adalah sangat strategis dan nilai jualnya
paling mahal.
Menurut rencana Patung Jenderal Sudirman
sedianya akan diresmikan 22 Juni 2003 bertepatan HUT ke-476 Jakarta, namun
tidak terealisasi. Peresmian akhirnya dilaksanakan tanggal 16 Agustus 2003.
Peresmian sempat diwarnai unjuk rasa sekelompok pemuda. Panglima Besar
Kemerdekaan RI yang seharusnya menjadi simbol semangat perjuangan bangsa
Indonesia kini telah pudar makna kepahlawanannya. Karena Jenderal Sudirman
digambarkan sedang dalam posisi menghormat. Posisi patung dianggap tidak pada
tempatnya karena sebagai Panglima Besar, Sudirman tidak selayaknya menghormat
kepada sembarang warga yang melintasi jalan, yang justru seharusnya menghormati.
Hal ini pula yang sempat diangkat dalam film Nagabonar 2. Meski demikian
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso didampingi Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta
Maurits Napitupulu dan salah satu keluarga besar Jenderal Sudirman, Hanung
Faini, tetap meresmikan berdirinya Patung Jenderal Sudirman itu.
Jenderal Sudirman adalah pemimpin pasukan gerilya
pada masa perang kemerdekaan (1945-1949). Ia menyandang anugerah Panglima
Besar. Jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negera layak dikenang dan
diabadikan.
Patung Selamat Datang
Patung Selamat Datang atau sering disebut Monumen Selamat Datang adalah sebuah monumen yang terletak di tengah Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Monumen ini berupa patung sepasang manusia yang sedang menggenggam
bunga dan melambaikan tangan. Patung tersebut menghadap ke utara yang
berarti mereka menyambut orang-orang yang datang dari arah Monumen Nasional.
Pada tahun 1962, Jakarta menyambut tamu-tamu kenegaraan di Bundaran Hotel Indonesia. Ketika itu, Presiden Sukarno membangun Monumen Selamat Datang/ hehachi teguh gunawan dalam rangka Asian Games IV yang diadakan di Jakarta. Para atlet dan ofisial menginap di Hotel Indonesia dan bertanding di komplek olahraga Ikada, sekarang komplek Gelora Bung Karno, Senayan. Stadion Senayan pada saat itu adalah stadion terbesar di Asia Tenggara yang mampu menampung 120.000 penonton.
Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Sukarno dan rancangan awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang pada saat itu merupakan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Tinggi patung perunggu ini dari kepala sampai kaki 5 m, sedangkan
tinggi seluruhnya dari kaki hingga tangan yang melambai adalah +-7 m,
dan tinggi kaki patung adalah 10 m. Pelaksana pembuatan patung ini
adalah tim pematung Keluarga Arca pimpinan Edhi Sunarso di Karangwuni. Pada saat pembuatannya, Presiden Sukarno didampingi Duta Besar Amerika Serikat,
Howard P. Jones beserta para menteri sempat berkunjung ke sanggar Edhi
Sunarso. Pembuatan patung ini memakan waktu sekitar satu tahun. Monumen
Selamat Datang kemudian diresmikan oleh Sukarno pada tahun 1962.
Patung Pahlawan (Tugu Tani)
Patung Pahlawan (dikenal juga dengan Tugu
Tani) adalah patung yang melambangkan seorang ibu yang melepas anaknya
ke medan pertempuran. Patung ini adalah karya pematung kenamaan Uni
Soviet, Matvey Genrikhovich Manizer, dibantu oleh putranya Ossip
Manizer. Karya –karya Matvey Manizer sejak 1930-an sudah menjadi
karya-karya yang diakui di Uni Soviet. Karya-karyanya tersebar mulai
dari St.Petersburg hingga Moskow. Karya-karya Matvey sendiri merupakan
klasik bagi aliran sosialis-realisme. Aliran yang kompatibel dengan
Sosialisme – Komunisme. Dimana sebuah karya seni haruslah menjadi
sebuah pembawa pesan proses serta tujuan revolusioner.
Pada Mei 1959, Soekarno melakukan
kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet untuk bertemu dengan Perdana Menteri
Nikita Kruschev. Saat tiba di Moskow, Soekarno tertarik dengan
patung-patung bertema sosialis-realisme yang tersebar di beberapa
penjuru kota. Oleh pejabat Uni Soviet, Soekarno pun diperkenalkan dengan
Matvey, yang saat itu menjabat sebagai vice president USSR
Academy of Arts. Matvey sebetulnya pada dekade 50-an sudah tidak aktif
berkarya, dengan karya terakhirnya, Monumen Ivan Pavlov di Kota Ryazan,
diselesaikan tahun 1950.
Soekarno mengundang the Manizers untuk
datang ke Indonesia dan membuat sebuah karya yang diilhami keadaan di
Indonesia. Matvey pun datang ke Indonesia dalam rangka mencari
inspirasi. Matvey akhirnya terpesona oleh cerita perjuangan rakyat yang
konon berasal dari Jawa Barat, dimana ada seorang ibu yang mendukung
anaknya pergi berperang demi kemerdekaan dan tanah airnya. Dimana sang
ibu membekali anaknya dengan makanan dan harapan.
Manizer lalu mewujudkan gagasan itu
sekembalinya ke Uni Soviet. Beberapa lama di tahun 1963 ia menyelesaikan
patung tersebut. Lalu setelah selesai sempurna, patung tersebut
dikirimkan ke Jakarta melalui kapal laut, diberikan sebagai tanda
persahabatan Moskow-Jakarta. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di
Menteng, dan diberi judul Patung Pahlawan. Soekarno melengkapi karya
ini dengan membubuhkan kata-kata “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan
Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.
Patung Dirgantara (Tugu pancoran)
Patung Dirgantara atau lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran adalah salah satu monumen patung yang terdapat di Jakarta. Letak monumen ini berada di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tepat di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara. Posisinya yang strategis karena merupakan pintu gerbang menuju Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
Ide pertama pembuatan patung adalah dari Presiden Soekarno yang menghendaki agar dibuat sebuah patung mengenai dunia penerbangan Indonesia atau kedirgantaraan. Patung ini menggambarkan manusia angkasa, yang berarti menggambarkan semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa.
Patung ini dirancang oleh Edhi Sunarso sekitar tahun 1964 - 1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono. Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi patung itu sendiri adalah 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter. Proses pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan Ir. Sutami sebagai arsitek pelaksana. Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI pada tahun 1965.
Rancangan patung ini berdasarkan atas permintaan Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Penekanan dari desain patung tersebut berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat Jujur, Berani dan Bersemangat.
Proses pemasangan Patung Dirgantara sering ditunggui oleh Bung Karno, sehingga kehadirannya selalu merepotkan aparat negara yang bertugas menjaga keamanan sang kepala negara. Alat pemasangannya sederhana saja yaitu dengan menggunakan Derek tarikan tangan. Patung yang berat keseluruhannya 11 ton tersebut terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing beratnya 1 ton
Pemasangan patung Dirgantara akhirnya dapat selesai pada akhir tahun 1966. Patung Dirgantara ditempatkan di lokasi ini karena strategis, merupakan pintu gerbang kawasan Jakarta Selatan dari Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah selain itu dekat dengan (dahulu) Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia.
Konon biaya pembuatan dan pemasangan patung pancoran ini juga berasal
dari kantong pribadi Bung Karno, yaitu dengan menjual sebuah mobil
pribadi kesayangannya. Dahulu mobil presiden bernilai sangat mahal pada
zamannya (perbandingan zaman sekarang sama halnya dengan harga mobil
lamborighini Gallardo MurciƩlago LP 670-4 SuperVeloce sekitar 9,5 M
).Bung Karno ingin segera melihat patung itu didirikan dengan megahnya
di Jakarta. Hal itu merupakan kebanggaan tersendiri baginya. Karena itu
biaya untuk pembuatan patung dipikul sendiri dengan cara menjual mobil
pribadi dan sampai-sampai dalam pembuatannya, beliau secara langsung
mengawasi selama pekerjaan tersebut sehingga merepotkan dalam
pengawalannya.Sayang keinginan untuksegera melihat hasil karya itu agak
terganggu dengan meletusnya G30S/PKI
di Indonesia yang membawa korban para jenderal dan rakyat. Bahkan
patung itu disebut-sebut sebagai alat pencungkil mata dari orang-orang
PKI. Sesuatu yang disangkal Bung Karno dengan segera meresmikan patung
tersebut sebagai jawabannya, dua tahun setelah awal pembangunannya
(1964-1965).
Patung Pangeran Diponegoro
Dibuat berdasarkan gagasan bekas
Konsul General Italia di Indonesia Dr. Mario Pitta. Dia adalah seorang
pengusaha besar Italia yang terkenal sangat mengagumi dan mencintai
Indonesia. Selama menjabat sebagai konsul, ia bercita-cita menghadiahkan
sesuatu sebagai kenang-kenangan kepada bangsa Indonesia. Keinginan
tersebut pada tahun 1963 dinyatakan kepada Dubes RI di Italia yang waktu
itu dijabat Hadi Thayeb dan disarankan untuk membuat patung para
pahlawan nasional Indonesia, ternyata yang dipilih adalah Pangeran
Diponegoro.
Patung Pemuda Membangun terletak di bunderan air mancur Senayan.
Monumen yang terletak tidak jauh dari pertokoan Ratu Plaza ini, dibuat
oleh tim patung yang tergabung dalam Biro Insinyur Seniman Arsitektur
(ISA) di bawah pimpinan Imam Supardi. Penanggung jawab pelaksanaan ialah
Munir Pamuncak.
Keberadaan patung ini bertujuan untuk mendorong semangat membangun yang pada hakekatnya harus dilakukan oleh para pemuda atau orang-orang yang berjiwa muda. Oleh karena itu patung ini diberi nama "Patung Pemuda Membangun". Patung tersebut diletakkan di bunderan air mancur Senayan, karena praktis dan strategis. Praktis karena tempatnya luas, cukup memenuhi persyaratan untuk memasang patung besar dan strategis karena tempat tersebut merupakan titik pertemuan dari dan ke segenap penjuru kota Kebayoran Baru dan sekitarnya. Selain itu keberadaannya juga dekat dengan kompleks olah raga Senayan serta tidak jauh dari Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Patung ini dibuat dari beton bertulang dengan adukan semen dan bagian
luarnya dilapisi dengan bahan teraso. Pekerjaan dimulai bulan Juli 1971
dan diresmikan bulan Maret 1972. Rencana semula peresmiannya akan
dilakukan pada acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1971, namun saat itu patung belum selesai dibangun sehingga peresmiannya pun tertunda beberapa bulan. Seluruh pendanaan pembuatan patung disandang oleh perusahaan minyak
yang saat ini bernama Pertamina. Ketika itu pimpinan tertingginya, Ibnu Sutowo, ikut memegang peranan.
Dinamakan pemuda membangun karena patung tersebut menggambarkan seorang pemuda membawa obor dengan semangat yang berkobar. Dari jauh patung ini terlihat bagai tanpa busana, guratan-guratan urat dan gumpalan otot ditonjolkan untuk mendukung ekspresi gerak dari tokoh pemuda. Makna obor adalah sebagai alat penerang dan dalam artian filosofis adalah untuk menerangi hati dan jiwa yang gelap. Diharapkan kaum muda mengambil peran penting dalam pembangunan bangsa. Partisipasi aktif dalam memajukan tanah air sangat diperlukan karena melalui tangan pemuda lah terletak cita-cita dan harapan masa depan.
Patung ini berukuran cukup tinggi. Upaya perawatannya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain melalui oleh Dinas Pertanaman dan Dinas Pemadam kebakaran untuk ‘memandikan’ patung.
Patung Pembebasan Irian Barat
Nama Lapangan Banteng masih populer sampai sekarang. Pertama kali kawasan ini diberi nama “Weltevreden”. Karena pada 1828 Belanda membangun Monumen Waterloo, maka diganti menjadi Lapangan Waterloo. Di atas monumen itu ada patung singa, sehingga masyarakat pribumi menyebutnya Lapangan Singa. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menamainya Lapangan Banteng. Soekarno menganggap banteng adalah simbol gerakan nasionalisme Indonesia.
Ketika berada di Yogyakarta, Soekarno berpidato. Dengan berapi-api beliau menggerakkan massa rakyat untuk bertekad membebaskan Irian Barat (sekarang Papua) dari belenggu penjajahan Belanda. Pada 1962 memang terjadi puncak konflik antara Indonesia dengan Belanda mengenai masalah status Irian Barat. Gagasan ini kemudian ‘diterjemahkan’ oleh Henk Ngantung dalam bentuk sketsa (Sejarah Singkat Patung-patung dan Monumen di Jakarta, 1985).
Patung tersebut menggambarkan seseorang yang telah berhasil membebaskan belenggu (memutuskan rantai besi di tangan), maksudnya penjajahan Belanda. Pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh tim pematung Keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso. Patung terbuat dari bahan perunggu seberat sekitar 8 ton. Tinggi patung dari kaki sampai ujung tangan sekitar 11 meter, sementara tinggi kaki patung dari landasan bawah adalah 20 meter. Lama pembuatan sekitar satu tahun. Presiden Soekarno berkenan meresmikan patung ini pada 17 Agustus 1963.
Patung ini, yang kemudian dikenal sebagai Patung Pembebasan Irian Barat, ditempatkan di Lapangan Banteng. Tempat tersebut dianggap strategis, luas, dan memenuhi persyaratan untuk sebuah patung berukuran tinggi. Apalagi Lapangan Banteng merupakan pintu gerbang tamu-tamu yang datang dari lapangan terbang Kemayoran.
(Dikutip dari berbagai sumber)
Patung Diponegoro dibuat seorang pemahat
kenamaan Italia yakni Cobertaldo, yang dikirim langsung oleh Dr. Mario
Pitta ke Indonesia. Untuk memulai pekerjaan tersebut, Cobertaldo
ditugaskan mengadakan penelitian mengenai berbagai tipe orang Indonesia
sambil mempelajari sejarah dan kebudayaan Indonesia. Berhari-hari ia
mempelajari berbagai macam posisi kuda yang sering dipakai Diponegoro.
Setelah meresapi perjuangannya, dibuatlah patung tersebut, sang pangeran
berjubah dan bersorban putih sedang menunggang kuda putih dengan kedua
kaki depan diangkat ke atas. Dibuat dengan bahan perunggu dan dikerjakan
selama setahun pada 1965 di Italia. Setelah dikirim ke Jakarta, patung
tersebut diletakkan di dalam Taman Monas sebagai pintu gerbang dari
Monumen Nasional.
Patung Arjuna (Asta Brata)
Patung Arjuna Wijaya ini dibangun pada bulan Agustus 1987. Patung ini
menggambarkan sosok Arjuna dalam perang Baratayudha yang kereta
perangnya ditunggangi oleh Batara Kresna. Adegan patung karya pematung
Nyoman Nuarta itu diambil dari fragmen saat mereka melawan Adipati
Karna. Oleh orang-orang jakarta, patung ini biasa dikenal dengan nama
Patung kuda setan, atau juga Patung delman.
Kereta pada patung tersebut ditarik oleh delapan kuda, yang melambangkan
delapan ajaran kehidupan yang diidolakan oleh Presiden Soeharto. Asta
Brata itu meliputi falsafah hidup yang mengajarkan kita harus mencontoh
bumi, matahari, api, bintang, samudra, angin, hujan dan bulan. Di bagian
patung itu menempel prasasti yang bertuliskan “Kuhantarkan kau
melanjutkan perjuangan dengan pembangunan yang tidak mengenal akhir”.
Proses pembuatan patung ini pernah mengalami keterbatasan dana, sehingga patung itu dibuat dari bahan poliester resin yang punya kelemahan mudah rapuh jika terkena sinar ultraviolet. Sampai dengan tahun 2003, patung Arjuna Wijaya mengalami kerusakan, sehingga akhirnya patung ini direnovasi kembali dengan menelan biaya 4M. Bahan material patung itu sendiri diganti dengan bahan tembaga.
Proses pembuatan patung ini pernah mengalami keterbatasan dana, sehingga patung itu dibuat dari bahan poliester resin yang punya kelemahan mudah rapuh jika terkena sinar ultraviolet. Sampai dengan tahun 2003, patung Arjuna Wijaya mengalami kerusakan, sehingga akhirnya patung ini direnovasi kembali dengan menelan biaya 4M. Bahan material patung itu sendiri diganti dengan bahan tembaga.
Patung Pemuda Membangun
Keberadaan patung ini bertujuan untuk mendorong semangat membangun yang pada hakekatnya harus dilakukan oleh para pemuda atau orang-orang yang berjiwa muda. Oleh karena itu patung ini diberi nama "Patung Pemuda Membangun". Patung tersebut diletakkan di bunderan air mancur Senayan, karena praktis dan strategis. Praktis karena tempatnya luas, cukup memenuhi persyaratan untuk memasang patung besar dan strategis karena tempat tersebut merupakan titik pertemuan dari dan ke segenap penjuru kota Kebayoran Baru dan sekitarnya. Selain itu keberadaannya juga dekat dengan kompleks olah raga Senayan serta tidak jauh dari Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dinamakan pemuda membangun karena patung tersebut menggambarkan seorang pemuda membawa obor dengan semangat yang berkobar. Dari jauh patung ini terlihat bagai tanpa busana, guratan-guratan urat dan gumpalan otot ditonjolkan untuk mendukung ekspresi gerak dari tokoh pemuda. Makna obor adalah sebagai alat penerang dan dalam artian filosofis adalah untuk menerangi hati dan jiwa yang gelap. Diharapkan kaum muda mengambil peran penting dalam pembangunan bangsa. Partisipasi aktif dalam memajukan tanah air sangat diperlukan karena melalui tangan pemuda lah terletak cita-cita dan harapan masa depan.
Patung ini berukuran cukup tinggi. Upaya perawatannya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain melalui oleh Dinas Pertanaman dan Dinas Pemadam kebakaran untuk ‘memandikan’ patung.
Patung Pembebasan Irian Barat
Nama Lapangan Banteng masih populer sampai sekarang. Pertama kali kawasan ini diberi nama “Weltevreden”. Karena pada 1828 Belanda membangun Monumen Waterloo, maka diganti menjadi Lapangan Waterloo. Di atas monumen itu ada patung singa, sehingga masyarakat pribumi menyebutnya Lapangan Singa. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menamainya Lapangan Banteng. Soekarno menganggap banteng adalah simbol gerakan nasionalisme Indonesia.
Ketika berada di Yogyakarta, Soekarno berpidato. Dengan berapi-api beliau menggerakkan massa rakyat untuk bertekad membebaskan Irian Barat (sekarang Papua) dari belenggu penjajahan Belanda. Pada 1962 memang terjadi puncak konflik antara Indonesia dengan Belanda mengenai masalah status Irian Barat. Gagasan ini kemudian ‘diterjemahkan’ oleh Henk Ngantung dalam bentuk sketsa (Sejarah Singkat Patung-patung dan Monumen di Jakarta, 1985).
Patung tersebut menggambarkan seseorang yang telah berhasil membebaskan belenggu (memutuskan rantai besi di tangan), maksudnya penjajahan Belanda. Pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh tim pematung Keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso. Patung terbuat dari bahan perunggu seberat sekitar 8 ton. Tinggi patung dari kaki sampai ujung tangan sekitar 11 meter, sementara tinggi kaki patung dari landasan bawah adalah 20 meter. Lama pembuatan sekitar satu tahun. Presiden Soekarno berkenan meresmikan patung ini pada 17 Agustus 1963.
Patung ini, yang kemudian dikenal sebagai Patung Pembebasan Irian Barat, ditempatkan di Lapangan Banteng. Tempat tersebut dianggap strategis, luas, dan memenuhi persyaratan untuk sebuah patung berukuran tinggi. Apalagi Lapangan Banteng merupakan pintu gerbang tamu-tamu yang datang dari lapangan terbang Kemayoran.
(Dikutip dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment