“SEBURUK apa pun keadaannya, rumah adalah tempat kau kembali.”
Ungkapan itu tak tepat untukku. Rumah justru menjadi tempat yang
selalu ingin aku hindari. Di rumahku sendiri aku tak dianggap ada,
selain oleh ibu. Selama berada di rumah, kuhabiskan sebagian besar
waktu di kamar. Jika tak ada hal penting, aku tak akan keluar ruang
pribadiku. Atau, aku akan pergi dari pagi dan kembali saat malam. Tiba
di rumah hanya untuk melepas lelah.
Bagiku, apa artinya rumah jika semua kenyamanan dan ketenteraman bisa
aku peroleh di luar? Saat dinyatakan lulus di salah satu universitas
negeri di Kota Gudeg, Yogyakarta, aku langsung bergegas mengurus
administrasinya. Dengan modal pas-pasan dari ibu, aku tinggal di indekos
dan selebihnya nyambi kerja tentor bimbel. Lega? Sudah pasti. Akhirnya
aku bisa bernapas lega. Bisa menjadi diri sendiri. Dan, tentunya jauh
dari gunjingan nyinyir.
Hingga kini sudah berkali-kali ibu menyuruhku pulang, selalu aku
tolak halus. Berbagai macam alasan, aku perdengarkan. Mulai dari
sidang skripsi yang semakin dekat, kerja sampingan dengan ancaman
penghentian kontrak kerja, atau lagi-lagi hal yang klise,
“Cuacanya ndak bagus, Bu. Besok saja jika sudah cerah.”
Hubunganku dengan suami ibu memang tidak baik. Sebenarnya, beliau
ayah tiriku. Ayah kandungku sudah meninggal saat aku kecil. Ibu lantas
menikah lagi. Kini, ibu tinggal di rumah ayah tiriku. Dari pernikahannya
yang kedua, lahir dua orang adikku yang semuanya laki-laki.
Kedua adikku adalah anak emas. Semua yang mereka minta akan terkabul
dalam tempo yang bisa dihitung dengan jari. Sedang kan, aku harus
menelan bulat-bulat keinginanku. Karena aku tahu jawabannya adalah tidak
atau tunggu. Tunggu pun berarti tidak secara halus. Kadang-kadang ibu
sering masuk ke kamarku dan menyelipkan sejumlah uang, hasil dari
menjahit yang tak seberapa,
“Buat beli kuas dan kanvas, Le. “
Ibu tahu aku ingin jadi seniman. Impian sedari kecil. Satu-satunya
hal yang aku warisi dari ayah kandungku. Dan, hal ini selalu ditentang
oleh ayah tiriku. Beliau pikir pekerjaan seniman itu tidak akan
menghasilkan pendapatan yang layak. Beliau ingin aku mengikuti jejaknya,
menjadi polisi.
Saat beranjak remaja, aku sudah dijejali doktrin agar berkenan
mengenakan seragam serbacokelat itu kelak. Saat itu ibu belum melahirkan
adik-adikku. Tapi, semenjak kedua adikku lahir dan untungnya semua
laki-laki, setidaknya aku merasa bebas dari keinginan beliau. Ternyata
tebakanku salah. Beliau masih saja mencatut namaku dan
mengungkit-ungkitnya di hadapan kedua adikku. Entah maksudnya memotivasi
kedua adikku atau menghina diriku.
“Jangan jadi seperti kakakmu, kerjanya cuma luntang-lantung saja.”
“Kelayapan kayak ndak ada kerjaan.”
“Prestasi sekolah juga pas-pasan.”
“Cuma prakarya sama seni saja yang nomor satu.”
“Olahraga juga ndak suka.”
“Lihat kamarnya, kayak kapal pecah dihantam ombak.”
“Cat sama lukisan di mana-mana. Ayah sampai lupa apa warna dasar cat
kamarnya.” Kedua adikku hanya diam melongo mendengarnya. Entah mengerti
atau tidak.
Jika ayah tiriku sudah memberi wejangan seperti itu, aku akan diam.
Beralih masuk kamar. Lalu, dari mulutnya terucap kata- kata pedas.
“Nah, lihat baru disindir sedikit saja langsung beringsut masuk kamar.”
“Perasaan kok mirip perempuan.”
“Gak gentle, cengeng.” Hati ini terasa tersayat-sayat
mendengarnya. Ibu bukannya tak pernah membelaku. Tapi, terakhir kali
membelaku, ibu malah merasakan tamparan tangan beliau.
Aku tak tinggal diam, langsung menyerang. Pukulan dan tendangan aku
lancarkan. Beruntung, Lek No, sopir keluarga buru- buru datang melerai
setelah mendengar teriakan-teriakan ayah kesakitan aku pukuli. Jika tak
segera dilerai, entah apa jadinya ayah tiriku. Mungkin bisa terbunuh
dan aku akan masuk penjara.
Semenjak itu, aku tak pernah menggubris apa pun kata-kata ayah
tiriku. Aku tak mau lagi berdebat jika mengingat nanti ibu bisa jadi
korban. Karena itulah, kuliah dan jauh dari tempat kelahiranku adalah
hal yang membebaskanku.
Pulang? Lebaran lalu aku mudik ke rumah. Ayah tiriku tak pernah
menanyakan apakah aku baik-baik saja atau bagaimana enaknya jadi
seniman? Tapi, hal lain malah ditanyakan,
“Kamu itu niat kuliah atau nggak sih? Kuliah kok ndak lulus-lulus.”
“Tahun ini, dua adikmu sudah mau jadi polisi. Kamu dapat gelar saja
belum.” Rasanya malas untuk pulang jika gelar belum bisa kusematkan di
belakang namaku.
Setidaknya ada rasa aman. Tapi, mungkin aku akan diburu pertanyaan
tentang kerja dan juga jodoh. Rasanya tak habis-habis pertanyaan
menggelitik dari ayah tiriku nanti.
Ibu pernah bilang, bahkan marah pun tanda sayang. Tapi, yang
mengenaskan adalah ketidakpedulian. Ibu selalu memberi nasihat bahwa apa
pun yang dikatakan ayah tiriku adalah motivasi agar aku terus berkarya
meski memakai cara pengungkapan yang kasar. Aku rasa itu tidak
sepenuhnya benar.
Ayah tiriku bisa saja berbicara denganku, memakai nada bicara normal.
Seperti saat berbicara kepada kedua adikku. Tapi, itu tak pernah
dilakukannya. Selalu nylekit setiap kali berbicara kepadaku. Heran aku
melihatnya. Mungkin karena aku hanya anak bawaan ibu.
Malam ini, aku terima lagi pesan pendek dari ibu yang lagi-lagi
menyuruhku pulang. Tapi, dari nadanya kulihat ada sesuatu yang buruk.
Saat itu, aku mengabaikan firasat aneh. Tak kubalas pesan ibu hingga
berganti hari.
Aku telanjur lupa, sibuk mengurus event seni dua tahunan. Dini hari ibu telepon diiringi isak tangis.
“Ndang bali, Le. Ayahmu koma.” Aku hanya bisa diam terpaku. Lalu, memesan tiket bus paling awal.
Sepanjang perjalanan, aku mengingat- ingat bagaimana keadaan fisik
ayah tiriku. Rambutnya memang sudah memutih. Tapi, beliau masih sanggup
dinas jaga malam dan belum mengambil pensiun.
Aku teringat percakapanku di telepon dengan ibu, beberapa saat lalu. Tentang kondisi ayah tiriku kini.
“Ayahmu sakit jantung sejak lima tahun lalu.”
“Ayahmu merahasiakan penyakitnya. Uwis, Le. Gek ndang bali.” Aku tertegun mendengarnya.
Sesampainya di rumah, hanya ada Yu Jum, bibiku. Aku mampir mengambil
barang pesanan ibu sebelum ke rumah sakit. Sekali lagi ibu mengirim SMS
agar aku segera ke rumah sakit. Sambil berpesan jangan lupa membawa
klaim asuransi milik ayah di ruang kerjanya.
Selama ini, aku jarang sekali atau rasanya tak pernah masuk ke ruang
kerjanya. Ayah tiriku tak suka jika ada yang masuk selain dirinya. Di
dalam ruang kerjanya, hanya ada meja, kursi, dan rak buku.
Di atas meja ada beberapa berkas dokumen dan tumpukan koran. Aku
mencari-cari dokumen asuransi di laci mejanya. Tak sengaja aku menemukan
sebuah lukisan yang terasa tak asing. Lukisan ayah yang berpakaian
polisi, ibu, dan aku, berlatar belakang rumah ini. Lukisan pertama kali
yang kubuat untuk beliau.
Aku hampir melupakan gambar itu. Kupikir sudah dibuang ke tempat
sampah. Mengingat sikapnya yang tak suka padaku. Tak kusangka, ayah
tiriku masih menyimpan gambar itu. Di belakang kertasnya tertulis,
“Gambar putra kesayanganku.” Ada perasaan haru dan juga sedih di hatiku.
Bercampur penyesalan yang tak kunjung akhir.
Saat akan menutup laci meja, ponselku berbunyi, panggilan telepon dari ibu.
“Le, Ayahmu sedo.” Diiringi isak tangis berkepanjangan. Aku
terduduk lemas di kursi yang biasa diduduki ayah. Menatap hampa gambar
yang kugenggam. Ayah tiriku tak seburuk yang aku sangka selama ini.
Yogyakarta, 2 Maret 2014
Kosakata:
Le: sapaan utuk anak laki-laki
Ndang bali: segera pulang
Sedo: meninggal
Nyambi: kerja sampingan
Ndak: tidak
Le: sapaan utuk anak laki-laki
Ndang bali: segera pulang
Sedo: meninggal
Nyambi: kerja sampingan
Ndak: tidak
Herumawan Prasetyo Adhie, pegiat sastra dan kini berdomisili di Yogyakarta.
E-mail: libraheruprasetyo@yahoo.com
E-mail: libraheruprasetyo@yahoo.com
No comments:
Post a Comment