Chapter II
Ia Muncul Lagi
Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui
namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-kata. Lelaki yang beberapa tahun
lalu sempat hadir dalam hidupku sebagai khayalan. Lelaki yang saat itu terasa
sangat nyata namun tiba-tiba menghilang entah kemana. Menyisahkan tanya yang
tak terjawab dalam diriku. Rel kereta memanjang seperi fikirannya yang jauh,
tak terlihat ujungnya olehku. Dari kejauhan, aku hanya bisa memandangnya, meski
ada dorongan dari dalam hati untuk menghampirinya, namun langkahku kaku. Aku
tak dapat beranjak dari tempatku.
Lalu, disebelahku muncul ayah. Dan segera kupeluk Ayah
dengan erat. Ayah mengelus-elus kepalaku seperti kecil dulu. Dari mataku,
tiba-tiba ada yang mencair menjadi air. Mungkin itu gunung es, atau semacam
kesedihan, kerinduan dan kenangan yang lama beku kini mencair karena kehangatan
tubuh ayah.
“aku dan ibu merindukanmu, yah!” masih memeluk
“Ayah juga begitu, Sha (Alisha). Ayah rindu kalian.”
lama aku tak lepas pelukanku pada ayah, seandainya ibu
ada disini mungkin ibu akan melakukan hal yang sama. diam-diam, selama ini ibu
selalu merindukan ayah. Namun ibu selalu menyembunyikan perasaan itu dariku
karena Ibu tidak ingin terlihat sedih di depanku.
“apa yang sedang kau alami Sha (Alisha)?”
“aku kesepian Yah (ayah). Aku merasa kesepian. Dan ini
menyiksa”
“bersabarlah ...”
Tiba-tiba, kereta datang dari kejauhan dengan lampu
sorotnya yang semakin dekat semakin terang. lalu, lelaki yang ada di ujung
peron itu berdiri. Tak lama setelah lelaki itu masuk, kereta kembali bergerak
meninggalkan peron. Sesaat sebelum hilang, lelaki itu sempat memandang kearahku
dari balik jendela dengan tatapan yang sendu.
“Lish!”
Suara ibu membuatku terbangun dari mimpi. Mimpi yang
singkat, mimpi yang aneh, mimpi yang terasa seperti nyata.
“Lish, cepat bangun, ibu sudah siapkan sarapan” terdengar
suara ibu dari dapur.
“baik bu” jawabku, masih dengan keadaan setengah mengantuk.
Sebelum turun, aku sempat melamun karena teringat kembali mimpi tadi, Sosok
Ayah, dan seorang lelaki.
Ya, seorang lelaki ...
Di luar, hujan berlangsung deras pagi itu. suaranya yang
merdu membuatku senang, sebuah kebahagiaan kecil bagiku mendengar suara hujan.
Di meja makan, aku dan ibu menyantap roti bakar dan telur dadar. Serta segelas
susu putih. Kami makan tanpa saling bicara, itu lah kebiasaan aku dan ibu,
sarapan tanpa bicara. Namun setelah sarapan, biasanya ibu banyak bicara karena
memastikan apakah aku lupa sesuatu atau tidak sebelum berangkat kerja. setelah
aku mentandaskan segelas susu, aku memulai pembiacaraan.
“Bu, hari ini ibu tidak usah mengantarku”
“apa kau cuti?”
“ya hari ini aku cuti. Mungkin nanti aku akan pergi ke toko
buku di pusat kota.”
“mau diantar sampai mana nanti?”
“tidak usah bu, aku naik angkutan umum saja ke terminal”
“Baiklah. Jika kau akan berangkat, payungnya akan ibu
siapkan di depan pintu”
“terimakasih Bu”
Suara hujan yang tidak terlalu deras berbaur dengan suasana
lengang pagi hari yang tenang. Seperti bunga yang mekar, hujan menarik hatiku
yang selama ini tertutup. Aku selalu membukakan pintu untuk hujan. Lewat kaca
jendela, aku mengamati rintik-rintiknya yang jatuh dikaca jendela. Pagi ini,
aku mengambil cuti sampai dua hari kedepan. Entah mengapa, tiba-tiba setelah
bangun tadi, perasaanku sangat sensitif. Mungkin karena mimpi tadi. Seolah-olah
aku menangis dalam diriku sendiri. Bertemu kembali dengan ayah terasa sangat
nyata. Tapi rasanya mimpi itu bukan tentang pertemuanku dengan ayah saja, ada
seorang lelaki yang aku dan ayah perhatikan di peron itu. Tapi aku tidak patut
membesar-besarkan mimpi. Bukankah mimpi hanyalah bunga tidur?
Hari pertamaku cuti, aku ingin berjalan-jalan mengelilingi
kota. Juga mungkin nanti aku akan naik kereta menempuh rute dulu saat aku masih
bekerja di tempat lama. Ya, setelah beberapa bulan halusinasi tentang lelaki
itu tidak terjadi lagi, aku di mutasi ke tempat lain sehingga rute perjalanan
kerjaku berubah. Tak terasa, sudah 3 tahun Rute terbaru kujalani.
Menikmati suasana kota dan kesendirianku, keduanya rasanya
memiliki persamaan. Jika kota mengalami kesepian diantara keramaiannya, aku
mengalami keramaian diantara kesepianku. Kota mengalami kesepian karena
keramaian orang-orang yang ada didalamnya kebanyakan bergerak bukan untuk kota
itu sendiri. mereka bergerak untuk diri mereka masing-masing, kebanyakan mereka
tidak peduli dengan kota itu sendiri. sedangkan aku, aku mengalamai keriuhan
dalam kesepianku karena ketidakhadiran sesesorang yang tak henti-henti membuat
pertanyaan dan menciptakan harapan-harapan serta penantian panjang dalam diriku
yang akhirnya menjadi kegaduhan dalam diriku.
Seketika, aku teringat dengan seorang lelaki yang beberapa
waktu yang lalu tiba-tiba menghilang. Atau mungkin lelaki yang hanya ilusiku
saja barangkali. Pertentangan antara logika dan imajinasi itu nyatanya tidak
pernah selesai. Aku merasa sedih karena itu. Aku masih belum bisa menerima
kenyataan bahwa selama aku bertemu dengan lelaki yang tak kukenal namanya itu
hanyalah halusinasi saja. Selama ini aku sudah berusaha menyembuhkan diriku
dengan pergi beberapa kali ke psikolog. Namun hasilnya tetap sama, aku tidak
dapat mengalahkan imajinasi itu. Sehingga keyakinanku bahwa lelaki itu adalah
hal yang nyata tetap ada.
Itu juga yang melatarbelakangi aku mengambil cuti tiga hari
kedepan ini. Aku ingin menenangkan diriku dengan berjalan-jalan dan singgah di
tempat-tempat yang kusukai. Pertama-tama aku mungkin akan berkunjung ke
museum-museum yang ada di kota, lalu aku mungkin akan mempir ke sebuah
minimarket dan toko buku, masuk ke stasiun dan naik kereta di luar jam kerja.
tentu suasananya beda dengan kereta di jam kerja yang biasanya kunaiki. Aku
ingin merasakannya, suasananya pasti menyenangkan. Apalagi jika hujan tetap
turun hingga siang nanti, pasti lebih menyenangkan. Pintaku dalam hati
Setelah selesai berdandan seadanya dan mengenakan jaket
parka abu, aku menemui ibu dan mencium tangannya. Setelah itu pamit dan menutup
pintu kembali, benar saja, selain menyiapkan bekal dan vitamin buatku dimeja,
ibu juga telah menyiapkan payung. Dan aku mengenakannya saat pintu kubuka.
Bagiku, payung adalah penghubung antara aku dengan sahabat yang bernama hujan.
Mengenakan payung, bukan berarti aku menghindari hujan, tetapi dengan payung,
aku dapat menikmati hujan, menikmati suasana yang diciptakannya di bawah
guyurannya. Itulah asumsi yang kumiliki tetang menikmati hujan dengan
berpayung.
Setelah sampai di jalan raya, dan mendapatkan angkutan kota
ke terminal, aku menutup payung sementara, mengganti cara menikimati hujan
dengan melihatnya dari balik jendela angkot. Sesampainya di terminal aku
sambung dengan bus Transjakarta arah harmoni, dari halte harmoni aku transit ke
bus arah Balaikota. di halte Monas, aku turun. Tiba pada tempat pertama, Musem
Nasional. Dengan hujan masih berlangsung.saat keluar halte aku membuka kembali
payung untuk menyeberang. Dan sesampainya di lobby Museum Nasional, aku
menutupnya lagi. lalu membeli tiket masuk. di lantai dasar, ada miniatur
tentang kehidupan purba, dan jenis-jenis fosil manusia purba yang ditemukan di
nusantara. Sesekali aku mengambil foto dengan kameraku.
Setelah puas berkeliling dan mendapat beberapa gambar,
termasuk patung gajah pemberian dari kerajaan Thailand yang ada diluar Museum,
aku keluar dan bergegas ke tujuan berikut. Aku membuka payung lagi dan berjalan
di bawah hujan, menekan tombol dan menunggu Pelican Crossing berwarna hijau,
saat kendaraan-kendaraan berhenti di belakang zebracross dan Pelican
Crossing berwarna hijau dengan suara hitung mundurnya yang keras tiba aku lekas
menyeberang ke halte Transjakarta. tidak untuk naik, aku kembali menekan tombol
Pelican Crossing untuk menyeberang ke Area trotoar Kawasan Monumen Nasional
(Monas) yang ada di seberang. Ya, tempat selanjutnya adalah Monumen Nasional.
Aku ingin ke museum yang ada di cawannya dan akan naik ke puncaknya untuk
melihat suasana jakarta saat hujan dari ketinggian. Tidak ada banyak orang yang
berkunjung ke Monas saat hujan turun. Di tamannya pun tidak ada yang
duduk-duduk seperti biasanya saat hari cerah.
Di dalam Museum Monumen Nasional, ada beberapa orang yang
sudah tiba lebih dulu. Ada yang duduk-duduk, mungkin sudah selesai dengan
kunjungannya dan sedang menunggu hujan reda diluar sana. sesekali mereka naik
keluar cawan untuk melihat keadaan. Aku setelah selesai melihat semua replika
yang ada, lekas ke lift menuju puncak. Di dalam lift ada petugas khusus yang
tugasnya menemani pengunjung di dalam lift. Di dalam lift Cuma ada beberapa
angka. Dan tombol tutup dan buka.
Saat ada di puncak, aku mendapati pemandangan yang sangat
indah. Pemandangan hujan dari ketinggian kurang lebih 132 meter. Angin yang
lebih terasa dan gemuruh hujan yang lebih keras terdengar, seperti nyanyian
angin diatas bukit. Haha, sial, aku bahkan tidak pernah naik keatas bukit. Aku
hanya mengimajinasikannya saja dari bacaan novel yang pernah kubaca.
Dengan teropong besar yang tersedia, aku dapat melihat
Pemandangan kota yang basah diguyur hujan, buram oleh hujan, menjadi hal
menarik tersendiri bagiku. Hujan seolah-olah ingin memandikan kota dari
kotoran-kotoran yang melekat padanya. Menjadikan genangan-genangan di
jalanannya, dan menjadikan arus deras di sungai-sungai yang melintas di
ibukota. Dan di ketinggian ini, aku tiba-tiba merasa khidmat pada keheningan.
Lantas aku memejamkan mata dan berdoa.
Dalam doa itu, aku berharap seseorang datang bukan sebagai
Halusinasi, tetapi sesuatu yang nyata...
Masjid istiqlal yang megah terlihat kecil dari atas sini.
Lalu lintas di jalan medan merdeka pun seperti lalu lalang semut, bergerak
tanpa suara. Yang ada hanya suara hujan dan angin dari atas sini. Lalu suara
kereta sayup-sayup terdengar, melintas di sebelah istiqlal dengan rel
layangnya.
Puas dengan pemandangan ibu kota dari ketinggian kurang
lebih 132 meter, aku kembali turun dan meninggalkan area Monas. Aku kembali
memasuki halte bus, dan menunggu di pintu koridor arah sebaliknya, arah
Harmoni. Di depanku, juga menunggu seorang perempuan paruh baya dengan tongkat,
tenang menunggu kedatangan bis. Tenang melihat hujan yang turun dengan
damainya, tak ada yang mampu mencegah rintiknya. Kita mungkin dapat berlindung
dari basahnya, namun kita tidak dapat menghindar dari batin hujan yang selalu
mengundang rindu.
Aku Rindu
halusinasi itu ...
Jika
memang hanya halusinasi, tidak apa-apa. Aku ingin halusinasi itu datang lagi
...
Ah!
Semenyedihkan ini kah aku ?
Saat Bus Transjakarta datang, aku membantu perempuan paruh
baya itu memasukkna langkahnya ke dalam bus. Dan petugas keamanan Bus langsung
mencarikan kursi dari penumpang lain yang mau merelakan kursinya untuk
prioritas. 10 detik kemudian, bus kembali melaju menuju halte terakhirnya. Aku
tidak turun di halte terakhir. Di halte harmoni aku turun dan naik Bus
Transjakarta arah Blok M. Aku ada janji dengan seorang teman di kedai kopi
waralaba sekitar Sarinah.
Kota yang basah oleh hujan akan menjadi pemandangan yang
sangat indah, dan penuh lirih. Genangan dan basah hujan yang menempel pada
setiap bagian di kota ini adalah pelipur. Aspal yang jadi lebih ramah saat
basah, lampu lalu lintas yang seakan tersenyum saat basah , tiang listrik dan
kabel-kabel yang basah seakan pohon-pohon dan rerantingannya yang sedang
bersemi, zebra cross yang basah dan putih mengkilap terlihat lebih
hidup, pembatas jalur pada jalan yang basah jadi lebih nyata, juga wiper-wiper
pada mobil yang melambai-lambai bagaikan anak-anak yang kegirangan hujan turun.
Padahal didalam mobil, dibalik kacanya, seseorang mungkin menggerutu hujan
turun dan berlangsung lama.
Dihalte Sarinah, akupun turun, membuka kembali payung dan
meneruskan langkah-langkahku di bawah
hujan yang masih turun kekanak-kanakan. Hujan masih gembira dengan
rintik-rintik yang terdengar merdua, terdengar seperti nyanyian yang terlahir
saat perpisahan diingatkan kembali oleh pertemuan lalu melahirkan kebahagiaan
yang bercampur dengan air mata. Air mata adalah pisau yang memiliki dua mata.
Kebahagiaan dan kesedihan
Aku lantas menyeberang dari arah Champ Resto Indonesia ke
arah Starbucks di seberangnya yang dipisahkan oleh Jalan Wahid Hasyim. jalanan
sepi dari pejalan kaki. Saat menyeberang, hanya ada aku yang mengenakan payung.
Pejalan kaki lainnya terlihat memadati tempat-tempat berteduh sambil memesan
taksi online dengan Smartphone nya.
Saat aku sampai di kedai dan membuka pintu masuk,, Mirari
telah duduk di sebuah meja yang masih kosong. nampaknya, ia belum memesan
minuman karena menunggu aku. Sekian lama menghilang, akhirnya Mirari kembali
muncul lagi. beberapa hari yang lalu ia menelponku dan meminta bertemu.
Kebetulan, aku ada cuti dan kami membuat janji hari ini.
Untuk pertemuannya sendiri, aku tidak tahu apa tujuan
Mirari, katanya Ia hanya ingin bertemu
saja denganku, sudah lama tak bertemu katanya.
“apa kabarmu Lish?” Sapa Mirari saat aku baru saja duduk
“aku baik, semoga kau juga baik”
Kemudian Mirari menyodorkanku daftar menu. Aku memilih salah
satu minuman dan diikuti Mirari. Mirari memintaku sekalian memesan makanan
karena ia ingin juga makan siang bareng denganku. Namun aku menolak. Aku
mengatakan padanya bahwa aku punya bekal sendiri. Akhirnya hanya Mirari yang
memesan makanan. setelah itu Mirari bangkit dan menuju meja pelayan untuk
menyampaikan pesanan kami. Dan nampaknya, Mirari juga langsung membayarnya.
Mulanya kami membicarakan hal-hal yang klise dan mungkin
basa-basi sambil menunggu pesanan kami datang. Setelah pesanan datang, aku
mengeluarkan bekal yang dibuatkan ibu serta sebutir Vitaminnya.
Setelah Mirari selesai dengar burger besarnya, aku selesai
dengan Bekal dan vitaminku, kami mulai masuk ke pembicaraan yang lebih terarah.
Lebih serius.
Mirari mulai membahas tentang kepergian dirinya yang dulu
tiba-tiba. Mirari pergi ke Belanda, rumah neneknya saat itu karena ingin
melarikan diri. Namun saat aku bertanya lebih rinci mengenai hal itu, ia tidak
bersedia menjelaskannya. Mirari hanya mengatakan ia hanya ingin melarikan diri
dari sebuah rasa takut yang menimpa dirinya.
“walaupun pada akhirnya, ketakutan itu tidak pernah terjadi.
Dan aku seharusnya tidak pernah melarikan diri”
Meski tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mirari, aku
berusaha menanggapinya dengan kalimat yang umum.
“yang sudah terjadi tak perlu di sesali. Lebih baik menatap
kedepan”
Tidak menanggapi. Mirari hanya tersenyum sinis padaku.
Seperti sedang menertawakan sesuatu.
Karena kepergiannya itu, Mirari kehilangan pekerjaannya dan
kini masih belum memiliki pekerjaan. dari penuturan Mirari, Ayahnya sempat
meminta Mirari untuk bantu-bantu di perusahaannya, namun Mirari menolak,
katanya Mirari ingin menghabiskan waktu dulu dengan bersantai dan lebih banyak
beristirahat. Mirari banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman EO nya.
lalu Mirari beranjak ke topik perbincangan lainnya. Mengenai
Erwin. Sampai saat ini, menurut Mirari Erwin masih belum dapat mencintainya
sungguh-sungguh. Erwin masih seperti dulu. Seperti masih berharap kepada
seseorang. Dan perbincanganpun mulai terasa berat.
“Jika saat ini Erwin masih berharap kepadamu, apa
pendapatmu?”
“Aku tidak peduli” jawabku, ketus.
“tapi ia tetap peduli. Ia tetap berharap padamu selama Kau
masih sendiri seperti ini”
Aku mulai membaca arah pembicaraan ini. Mirari masih
khawatir dengan Erwin yang menurutnya masih mencintaiku. Aku sendiri, tidak
pernah menyukai Erwin. Sejak dulu Erwin sudah kuanggap teman dan tidak lebih
dan bahkan sampai sekarang.
Lalu seorang pelayan membunyikan bel dan menyebutkan nama
Mirari, pesanan kami telah selesai dan tersedia. Mirari pun bangkit dan
mengambil minuan kami. Sesaat, ada jeda diantara perbincangan yang mulai
canggung itu.
Diluar, hujan masih berlangsung, seperti urung reda...
“oh iya. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu Lish” Ujar
Mirari, mengganti topik pembicaraan yang mulai tidak menyenangkan tadi. aku pun
menunggu apa yang ingin Mirari katakan.
“masih ingat terakhir kali kita bertemu malam itu?”
“Ya, aku ingat. 3 (Tiga) tahun yang lalu. Kenapa Mir?”
“waktu itu aku membeli dua kopi. dan satu kuberikan
kepadamu. Lalu apakah kau meminum kopi itu?”
“Oh kopi itu. Ya aku ingat. Apa karena sekarang kita sedang
minum kopi kau jadi membahas itu?”
“haha... ya mungkin. Aku jadi teringat lagi malam itu. Aku
membelikanmu kopi namun kondisinya masih panas. Dan sampai aku turun dari
kereta kau belum meminumnya. Nah, yang ingin aku tanyakan, apakah setelah itu
kau meminumnya?”
Kenapa tiba-tiba Mirari menanyakan itu. Aku tidak mungkin
mengatakan aku membuang kopi itu tanpa sempat mencicipinya. Aku sangat merasa
bersalah karena itu, seperti aku tidak menghargai pemberian Mirari. Namun saat
itu, ketika aku ingin meminum kopi dari Mirari aku teringat pesan lelaki itu,
lelaki yang muncul dari halusinasiku itu di malam sebelumnya. dimana ia
memintaku untuk tidak minum kopi. Dan bodohnya, aku menurutinya. Aku membuang
kopi pemberian Mirari saat itu tanpa pernah mencicipinya. Saat itu aku masih
tidak tahu kalau ternyata lelaki yang sering aku temui di stasiun adalah hanya
halusinasiku saja.
“jika aku bisa memutar waktu, aku ingin melakukannya”
jawabku, singkat. Membuat Mirari menarik badannya dan kini bersandar di
punggung kursi.
“jadi benar kau tidak meminumnya sedikitpun.”
“maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk ...”
“kau tidak perlu minta maaf Lish. Aku memang kurang baik
dimatamu bukan. Bahkan pemberianku pun tidak layak untukmu” ujar Mirari Sinis,
dan raut wajahnya tiba-tiba berubah.
“Bukan Mir, bukan seperti itu”
Setelah menghela nafas dalam, Mirari nampak seperti
menenangkan dirinya sendiri. Pada akhirnya Mirari tidak mempermasalahkannya
lagi. Entah dia memakluminya atau hanya tidak ingin mempermasalahkannya saja.
Setelah itu Mirari banyak cerita, dan aku lebih banyak
mendengarkan. Mirari bercerita tentang kisahnya selama ini dengan Erwin yang
seolah jalan di tempat. Lalu tentang orangtuanya yang mulai menanyakan masa
depannya dan juga tentang idenya untuk membuka sebuah usaha. Sesekali aku
mengomentari atau sekedar memberi pendapat saat Mirari meminta. Rencana
kedepannya Mirari akan coba membuka usaha sendiri.
Mirari mengatakan bahwa ia mungkin akan membuka sebuah toko
buku yang di dalamnya terdapat Coffee Shop sekaligus. Dan dia perlu
bantuanku untuk mengelola yang bagian bukunya. Menurutnya, aku termasuk orang
yang suka baca buku dan mungkin akan bisa membantu niatnya itu. Aku sendiri
tertarik dengan itu, namun aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku. Mendengar
itu, Mirari malah berani menawarkan gaji yang lebih besar dari tempat kerjaku
yang sekarang. Meski begitu, aku tidak dapat mengiyakannya hari itu juga. Kukatakan
padanya bawa aku butuh waktu dan melihat perkembangan rencana tersebut dulu
sebelum memutuskan.
Sejam telah berlalu, kami akhirnya beranjak dari kedai
tersebut. Mirari menawarkan aku untuk pulang bareng dengannya menggunakan
mobil, kebetulan ia sedang membawa mobil. Katanya sedang malas menggunakan
transportasi umum di hari hujan seperti ini. aku jelas menolaknya, bagiku hujan
turun jauh lebih menyenangkan dari hari cerah yang biasanya.
Sampai ketika kami akan sama-sama bangkit dari kursi, Mirari
mencetuskan sebuah pertanyaan.
“apa yang menyebabkan
kau tidak minum Kopi pemberianku saat itu? Kali ini aku minta jawaban yang
jujur darimu. Aku mengenalmu. Kau bukan tipe orang yang tidak menghargai
pemberian orang lain.”
“percaya atau tidak, sehari sebelumnya ada seorang lelaki
yang memintaku untuk tidak minum kopi”
“Lelaki ...?” jelas terlihat keraguan pada Mirari, namun
itulah kenyataannya. Sesuai yang aku katakan.
“Ya, sebelum hari itu, setiap selasa malam aku bertemu
dengan seorang lelaki di stasiun. Kami sering bersama menunggu jemputan di
peron dua”
“Siapa dia, apa dia ?”
“Namun ternyata itu hanya halusinasiku saja. Lelaki itu
tidak pernah ada.”
“Halusinasi?” Mirari nampak semakin bingung
“Ya. Ia hanya ada di imajinasiku saja. Bodoh bukan?”
“tetapi ...” belum sampai Mirari meneruskan kata-katanya,
aku segera memotongnya. Dengan rasa malu yang teramat, aku mengakui semua
kekhawatiranku.
“kau pasti terkejut. Aku yang terlihat baik-baik saja,
ternyata jiwanya seperti ini. memiliki gangguan jiwa sampai-sampai
berhalusinasi dan bahkan menuruti permintaan halusinasi”
“jadi, hanya halusinasi?” ujar mirari dengan suara yang
masih terdengar penuh ketidakpercayaan
“Aku duluan!. Maaf tak bisa bareng denganmu”
“kau mau kemana
Lish?”
“aku ingin jalan-jalan sebentar ke Book Store. Kau
duluan saja”
Aku pun beranjak dari tempat duduk. Bergegas meninggalkan
kedai. Sesaat sebelum aku membuka pintu keluar, Mirari memanggilku, lantas
ketika aku berhenti ia menghampiriku. Mirari menatapku, matanya berkaca-kaca,
aku fikir ia akan mengatakan sesuatu. Namun tak satupun kata keluar dari mulut
Mirari. Ia malah memelukku erat-erat. Sangat erat sehingga aku merasakan sesak.
Dan yang tak kuduga, ada isak tangis beberapa saat ketika
Mirari memelukku. Sepertinya Mirari sedih dengan keadaanku. Mungkin ia sedih
dengan kondisiku dan halusinasi yang kualami. Ia mungkin ingin mengatakan
sesuatu namun memilih untuk menahannya karena ia bukan psikolog. Jadi apapun
yang akan Ia katakan padaku mungkin tak akan berpengaruh terhadapku. Jadi ia lebih
memilih untuk diam dan hanya bisa memelukku saja.
Meski begitu, aku sangat bahagia karena Mirari
mengkhawatirkanku sampai seperti ini. Aku senang karena ada yang peduli padaku
ternyata.
“terimakasih telah berusaha mengerti dan percaya dengan
ceritaku tadi” tidak ada tanggapan dari Mirari, ia terus memeluk erat diriku.
dan meminta maaf sambil menangis. Entah maaf untuk apa. mungkin maaf untuk rasa
bersalahnya karena tidak dapat membantuku untuk lepas dari keadaan jiwaku yang
seperti ini.
Ya, mungkin saja ...
Dipersimpangan itu, Aku menunggu lampu lalu lintas berwarna
merah, lampu penyeberangan berwarna hijau. Saat itu pejalan kaki di sekitarku
tidak ada. Hanya aku dan seorang lelaki yang berada di seberang sana yang juga
mengenakan payung berwarna transparan. Sementara lalu lintas dipenuhi sebagian
besar oleh mobil-mobil yang terus melaju cepat dibawah rimis hujan. Di atas,
langit mendung membuat perasaan lebih sensitif, cendrung sedih, Cendrung sendu.
Saat lampu merah akhirnya tiba, dan kendaraan-kendaraan
telah berhenti sepenuhnya di belakang garis-garis putih (Zebra Cross),
aku melangkah perlahan ke depan. Di seberang, seorang lelaki secara bersamaan
melangkah maju.
Aneh, saat itu hanya kami saja yang menyeberang, orang-orang
lain tidak ada yang menyeberang. Mereka ada di halte menunggu bus kota dan
taksi. Yang lainnya di pinggir trotoar sedang menelpon dengan payung. Dan lebih
banyak lagi di dalam gedung-gedung yang meski hujan membuat udara dingin,
mereka tetap menghidupkan mesin pendingin ruangan di kantor-kantor dan store
mereka.
Saat berada hampir di tengah-tengah, aku sedikit menaikkan
payungku yang tadi sempat menutupi mataku saat menunggu lampu berubah merah.
Saat itu, secara tidak sengaja aku melihat wajah lelaki itu dari balik payung
transparannya. Pandangan kami pun tiba-tiba saling bertemu.
Untuk beberapa detik, aku tidak dapat berpaling darinya. Aku
tiba-tiba berhenti di tengah jalan, begitu juga dengan lelaki itu. Kini kami
berdiri saling membelakangi, aku terpaku dan hanya diam di tengah-tengah jalan.
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tubuhku kaku tak bisa bergerak.
Sementara itu, waktu penyeberangan bagi pejalan kaki semakin berkurang, angka
digital pada lampu penyeberangan semakin mengecil bilangannya. Menunjukkan
bahwa waktu semakin sedikit tersisa bagi pejalan kaki yang menyeberang.
Saat sebuah percik hujan yang tertiup angin terasa menyambar
pundakku, aku ingat sesuatu. Aku menyadari sesuatu. Sosok yang selama ini
kucari, sosok yang aku kenal, lelaki yang ada di belakangku, yang sedang
menyeberang denganku. Ia adalah lelaki itu, lelaki yang ada di halusinasiku.
Jelas,
wajahnya sangat jelas kukenal.
Wajah yang selama ini kurindukan, setelah lama hilang kini
tiba-tiba muncul dibawah hujan. Dibawah langit dan kota yang dingin oleh cuaca.
Tak terasa, air mataku tiba-tiba menetes, jatuh ke kakiku dan bercampur dengan
tetesan hujan. Rasa kesepianku selama ini tiba-tiba terasa hilang. Kebahagiaan
tiba-tiba mekar di dalam dadaku.
Saat itu juga, waktu rasanya berhenti.
Aku tak bisa bergerak dan hanya diam karena perasaan yang
campur aduk berlangsung dalam diriku. Aku lihat ke arah lelaki itu yang kini
telah berada di seberang, di tempatku tadi. Benar, tidak ada yang salah, itu
benar lelaki itu. lelaki yang selalu melihat kelangit malam ketika di peron.
Lelaki yang selalu menemaniku saat menunggu jemputan di stasiun disetiap selasa
malam dulu. Lelaki dengan rambut lurusnya yang tak tersisir, dan mata sayu nya.
Jelas bahwa itu adalah lelaki itu, lelaki yang tak kuketahui namanya.
Sesaat aku kembali ragu apakah sosok lelaki itu hanya
halusinasi saja atau kenyataan. Kali ini aku sangat yakin bahwa lelaki itu
adalah sosok yang nyata. Kini aku melihatnya langsung, ia ada di depan mataku.
Muncul tiba-tiba di bawah hujan. Dan air mataku, setetes demi setetes jatuh
bercampur dengan hujan cuaca sebagai sendu.
Seketika, aku teringat dengan mimpiku semalam ...
kereta datang dari kejauhan dengan lampu sorotnya yang
semakin dekat semakin terang. Lalu, lelaki yang ada di ujung peron itupun
berdiri. Tak lama setelah lelaki itu masuk, kereta kembali bergerak
meninggalkan peron. Sesaat sebelum hilang, lelaki itu sempat memandang kearahku
dari balik jendela dengan tatapan yang sendu sebelum akhirnya ia menghilang di
ujung rel bersama kereta.
aku bahkan tidak sadar bahwa lampu hijau telah kembali redup
dan berganti dengan lampu kuning kemudian merah. Kendaraan-kendaraan kembali
melaju. Aku kesulitan untuk meneruskan langkah. Sayup-sayup terdengar suara
klakson dari mobil-mobil yang menungguku. Suaranya lebih mirip bisikan.
Setetes hujan tiba-tiba berhasil menyelinap melewati payung
dan jatuh di dahiku, hanya setetes, membuatku kembali sadar. Saat kulihat,
mobil-mobil itu telah bersiap menabrakku. Bahkan suara klakson mereka terus
memakiku tak henti. Aku melanjutkan langkahku ke seberang setelah beberapa
mobil tak henti mengklakson saat melewatiku karen kesal. Tapi aku seolah tidak
mendengarnya. Perhatianku hanya terpaku pada sosok lelaki di seberang sana.
Namun jalan kembali sibuk dan sebuah bus tingkat lewat di
hadapanku lalu berhenti tepat di depanku karena macet. Ketidaksabaran tiba-tiba
melandaku. Aku ingin melihat lelaki itu, rasa resah semakin tidak karuan dan
aku ingin bus di hadapanku ini kembali jalan agar aku bisa melihat lelaki itu.
Melihat kearah mana ia pergi, melihat lagi seperti apa tatapannya, apakah ia
mengenaliku atau tidak.
Dan sepanjang jalan yang kutempuh setelahnya, sebanyak
langkah demi langkah yang kuciptakan setelahnya, pada akhirnya aku tak bisa
menghapus wajah lelaki itu. tidak dapat menghapus ingatan saat-saat bersamanya
dulu. Argumen tentang lelaki itu yang selama ini coba kubangun dan kuyakini
sebagai halusinasi belaka kini mulai runtuh. Aku mulai meragukan bahwa itu
hanya halusinasi karena hari ini aku benar-benar bertemu dengannya lagi.
Setelah tiga tahun menghilang
Namun, mengapa lelaki itu tidak berbalik dan
menghampiriku?
Mengapa lelaki itu tidak mengatakan apa-apa setelah
sekian lama tidak bertemu
Mengapa lelaki itu tidak berusahan menunggu bus di
depanku berlalu, kenapa ia hilang begitu saja saat bus yang menghalangi
pandanganku telah pergi.
Dan mengapa ia muncul tiba-tiba di siang hari dibawah
hujan, di hari selasa yang seharusnya hari kerja ...
Sepanjang perjalanan ke toko buku aku tidak dapat
menyingkirkan fikiran-fikiran liar tentang kejadian di penyeberangan tadi.
dibawah hujan, di dalam lindungan payung aku menatap langit yang mendung, hujan
membasahi seisi kota. Membasahi kabel-kabel dan tiang listrik, atap-atap halte
bus dan wajah trotoar-trotoar yang sepi, seperti diriku yang entah akan seperti
apa kedepannya setelah hujan reda.
Di dalam toko buku aku sibuk membaca judul-judul buku yang
dipamerkan di rak-rak depan sebagai cetakan baru. Aku berpindah dari satu rak
ke rak lain dan terus membaca judul buku lalu meninggalkannya, seperti aku
sedang mencari ketidakpastian yang disebabkan dari dalam diriku. saat ini, aku
seperti kehilangan arah. Diluar hujan masih berlangsung, di dalam toko buku,
orang-orang seperti kehilangan kata-kata pada lisannya. Mereka lebih banyak
membatin dalam membaca kata-kata yang ada dalam setiap buku. Begitulah cara
membaca di dalam toko buku atau bahkan perpustakaan. Disini seseorang harus
membaca sendiri untuk bisa mendapatkan pengetahuan atau cerita yang mereka
cari. Seseorang yang hanya ingin mendapat mentahan cerita atau penjelasan bukan
disini ruangnya.
Aku mengambil sebuah majalah sastra terbitan bulan ini. Aku
membaca hanya puisi-puisinya. Lembar demi lembar kulalui dengan hujan yang
tetap berlangsung di luar bahkan di dalam hatiku. Detik terus berlangsung di
jam dinding bahkan di detak jantungku. Samar-samar, lirih bernyanyi dari
kesepian diriku dan menyamar sebagai gumam lembut, kadang juga dalam hela nafas
yang sengaja ku bunyikan. Seperti baru saja aku melalui sesuatu yang
melelahkan.
Ya, kesepian itu melelahkan.
Kurasa
Rindu ini Mimpi
Aku
terlelap, lupa membuka mata
Di jarum
jam aku sulit membedakan mana detik mana rasa sakit
Mencintai
itu menghidupkan sukma
Kita akan
sering berbicara dengan diri sendiri di beranda sepi
Dan
bunga-bunga bermekaran tanpa menunggu musim semi
Lalu
percakapan tumbuh sebagai taman
Dan puisi
sebagai pohon-pohon yang teduh
Namun
jika hanya sepihak
Mencintai
adalah cara paling manis untuk mati
Lalu
bertahan adalah kubur dengan nisan tanpa nama
Dan senja
akan melayatnya setiap kali, tanpa jingga ...
Hydn
Usai kubaca, kututup majalahnya dan segera kumenuju kasir.
Dalam antrian, aku bicara pada diriku sendiri bahwa apa yang terjadi hari ini
mungkin nyata mungkin tidak. Meski hati kecilku selalu mengatakan bahwa semua
tentang lelaki itu adalah nyata, namun aku tidak berani untuk menyimpulkan hal
itu. Ketakutan-ketakutan selalu muncul, dan membingungkanku. Kalaupun ia
benar-benar ada, apakah ia mengenaliku? apakah ia peduli denganku? Lalu, apakah
ia ...
mencintaiku?
dengan hanya lelaki itu di fikiranku, aku menangis tanpa
suara saat berhadapan dengan petugas kasir dan mesin scan barcode nya
sehingga terjadi jeda cukup lama. Lalu Aku mengusap air mata yang menetes
dengan tangan kananku, majalah kuberikan ke kasir dan pembayaran berlangsung
hingga petugas kasir memberikan uang kembaliannya. Aku mengahadap ke belakang
dan menundukkan kepala sedikit, meminta maaf ke antrian di belakangku karena
aku sempat memakan waktu cukup lama tadi.
dalam perjalanan pulang menggunakan kereta, aku kembali
teringat dengan lelaki itu. secara tidak sadar, aku telah menganggap bahwa
lelaki itu bukan halusinasi. Bahwa lelaki itu benar-benar ada dan aku berharap
bisa kembali bertemu dengannya. Hari ini adalah hari selasa, pukul 17:30. Aku
menaiki kereta dari stasiun gondangdia. Perjalanan nostalgia pun dimulai saat
kereta arah bogor datang. Keinginan untuk bertemu dengan lelaki itu pun kembali
muncul.
Saat tiba di stasiun manggarai aku kemudian turun dan
kembali menaiki kereta di peron 5 arah Tanah Abang, Duri Angke. 15 menit
menunggu di peron lima, kereta akhirnya tiba dan membawaku menuju Stasiun Duri.
Tiba Di stasiun duri aku kembali transit ke peron 5 arah Tangerang. Dan kembali
menunggu kereta. Ketika kereta Tangerang tiba, aku dan ratusan penumpang
lainnya pun memadati gerbong-gerbong kereta yang terang oleh deretan lampu neon
itu.
Sekitar jam tujuh petang aku telah sampai di stasiun
kalideres, tempat dulu ibu menjemputku setiap harinya. Langit telah gelap bagai
lautan dalam. Bahkan lebih dalam. Jika lautan terdalam seperti palung mariana
yang berkedalaman 10.924 mungkin menyimpan banyak jenis makhluk purba yang tak
diketahui manusia, maka langit malam dengan kedalamannya menyimpan banyak
rahasia yang bahkan memiliki kedalaman lagi yang tidak cukup hanya dengan
mengetahuinya. Seseorang harus menyelam lagi untuk benar-benar tau, atau
seseorang harus mati di dalamnya.
Dengan dorongan rasa ingin kembali bertemu dengan lelaki
itu, secara ceroboh aku memutuskan untuk bertahan, berlama-lama di stasiun
Kalideres sampai waktu itu tiba. Bahkan ketika logika mengatakan kemungkinannya
sangat kecil, aku bersikukuh untuk tetap melakukannya. Tak peduli jika harus
menunggu hingga 3 jam kedepan. Perasaanku telah mengalahkan logika sepertinya,
bahkan aku ragu akan hal itu sehingga menggunakan kata ‘sepertinya’ untuk
membuat kesimpulan tadi. Kereta arah Duri tiba di peron satu, aku mampir di
kedai Roti, memesan roti dan segelas minuman dan duduk untuk beberapa waktu
lamanya.
Kereta demi kereta datang dan berlalu, pengguna kereta yang
naik dan turun silih berganti, suara petugas dari pengeras suara berkali-kali
menginformasikan posisi dan jadwal kereta bahkan anjuran ke masinis untuk
kembali menutup gerbong saat kereta telah diijinkan berangkan dan juga anjuran
kepada penumpang yang naik dan turun untuk tidak lupa dengan barang bawaannya,
juga tentang kursi prioritas yang mesti di berikan kepada yang berhak.
Namun, sampai pada pesanan minum ketiga tadi, lelaki itu
tidak juga ada, tak nampak di peron 2 sana. Padahal jam telah menunjukkan pukul
22:19. Mungkin memang tidak mungkin lelaki itu ada. Mungkin memang benar ini
semua hanya sia-sia. Mungkin memang benar segala mengenai lelaki itu hanya
halusinasi. Namun aku tidak dapat mengatakan bahwa pertemuan saat menyeberang
tadi sebagai halusinasi. Aku sangat yakin bahwa orang yang kulihat adalah
lelaki itu. Meski ada kemungkinan hanya mirip. Karena banyak sekali orang di
dunia ini wajahnya hampir mirip satu dengan lainnya. Meski begitu, aku masih
bersikeras bahwa lelaki itu memang ada, bahwa lelaki yang kutemui saat
menyeberang siang tadi adalah lelaki yang sama yang sering kutemui di stasiun
Kalideres setiap selasa malam jam sepuluhan di kala itu. kuambil telpon
genggam, dan kukirim sebuah pesan pada ibu.
Dengan langkah yang sedikit lemah karena rasa kecewa, aku
menyeberang ke peron 2. Duduk di bangku peron terujung, mengulang masa-masa
itu. Masih berharap lelaki itu akan muncul, walau tahu itu sia-sia. Untuk
beberapa menit, aku larut dalam lamunan tentang lelaki itu lagi. layaknya
misteri-misteri pada langit malam, lelaki itu adalah bagian dari misteri di
langit malam sana yang kedalamannya tak terukur. Aku tidak memiliki alat
ukurnya, sehingga hanya bisa mengira-ngira dengan alat ukur seadanya, yaitu
asumsi. Asumsi nya yaitu kemungkinan bahwa lelaki itu adalah hal nyata tapi
sulit ditemukan atau lelaki itu adalah hal yang tak nyata yang terasa nyata
karena kejiwaanku yang mungkin terganggu.
Lagi,
aku menggunakan kata ‘mungkin’ dalam sebuah kalimat
kesimpulan yang seharusnya tegas, yang seharusnya lebih berani.
Sambil memandang, bahkan tenggelam di langit malam yang
gelap, pikiranku bercampur. Bahagia dan kecewa bagaikan teman akrab yang sedang
menikmati teh di beranda. Aku bahagia karena sekali lagi dapat bertemu dengan
lelaki itu saat menyeberang siang hari tadi. Namun tidak dapat berbohong bahwa
aku juga kecewa karena keberadaan lelaki itu tidak seperti yang aku fikirkan.
Saat aku berfikir dapat bertemu dengan lelaki itu dengan cara yang sama seperti
dulu, aku malah membuang waktu berjam-jam hanya untuk menunggu sesuatu yang tak
pernah terjadi. Tak pernah nyata.
Apakah aku akan tetap pada keyakinan tentang lelaki itu
bahkan setelah hari ini berakhir seperti ini? tetapi itu sudah lebih dari
cukup. Tidak masalah jika lelaki itu tidak muncul pada kemungkinan yang ku uji
coba malam ini. Berpapasan dengannya dan saling bertatapan siang tadi sudah
lebih dari keajaiban.
Aku telah memutuskan, saat kereta yang menutupi
penyeberangan itu lewat aku akan melanjutkan langkah, menyeberang dan terus
berjalan ke arah pintu keluar. Menghampiri ibu yang telah menungguku di luar,
lalu pulang ke rumah. Ke kamar kecil milikku yang sederhana dan dipenuhi
serpihan-serpihan sepi, aku akan melebur semuanya sebagai pupuk untuk
menumbuhkan mimpi musim semi dalam tidur malam yang terasa tak seperti
biasanya.
End ...
Jakarta, 2019
Shane Idate
IG : Syarifhidate
Facebook : Syarif Hidayat
No comments:
Post a Comment