Akhir-akhir ini, aku sering pulang
larut malam. Pekerjaan mejelang akhir tahun sangat menyita waktuku. Sehingga
lembur di akhir pekan saja tidak cukup. Aku harus lembur hampir setiap harinya
untuk bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanku. Sehingga aku selalu pulang
tanpa bisa melihat senja.
Senja,
Ah! Aku selalu merindukannya
Kenangku setiap melihat keluar jendela yang gelap ketika
kereta malam membawaku dalam perjalanan pulang yang begitu panjang.
Ketika kereta tiba di stasiun
manggarai, aku akan turun dan menyeberang ke peron lima. Transit ke kereta arah
Tanah Abang - Duri Angke. Aku harus transit dulu di Duri untuk sampai ke
Stasiun Kalideres. Begitulah rute perjalanan pulangku. Sebaliknya, perjalanan
pergi juga. Namun aku selalu menikmatinya. Meski kadang merasa ada kekosongan,
tapi pergerakan orang-orang yang turun dan naik ke kereta dan orang-orang yang
menunggu di peron-peron menjadi kesenangan tersendiri. Setiap orang memiliki
gerak gerik dan sifat berbeda-beda layaknya lembar-lembar pada buku yang saling
berbeda isi dalam tiap lembarnya. Memperhatikan gerak-gerik dan tingkahlaku
banyak orang jadi seperti membaca lembaran buku-buku.
Selasa,
Jam 21:49
Aku baru sampai di Stasiun
Kalideres malam itu. Ketika penumpang yang baru saja turun dari kereta langsung
menyeberang menuju pintu keluar, aku menepi di sebuah tempat duduk di belakang
peron dua yang berada di ujung. Bersandar pada tembok pembatas yang tak pernah
mengeluh betapa beratnya permasalahan yang ada di diriku, yang kusandarkan
padanya.
Disana aku
menunggu. Menunggu Ibu yang akan menjemputku. Sambil menunggu, aku sering
berdiam diri. Menikmati kesunyian yang meliputiku. Kadang, aku juga menatap
rembulan saja ketika ia tak malu-malu hadir diatas langit. Hanya menatap saja,
tanpa alasan yang pasti. Aku suka dengan hal-hal yang terkesan hampa seperti
itu. Entahlah, aku selalu menikmati suasana yang seperti itu. peron yang mulai
sepi, waktu yang terus menua, dan malam yang kian larut. Aku bergulir dengan
kesendirianku.
Tak terasa, sepuluh menit
berlalu. Kereta berhenti dan menurunkan penumpang di peron yang ada di
hadapanku. Seketika suasana yang semula sunyi, kembali ramai dengan
penumpang-penumpang yang turun dari kereta dan bergegas menyeberang ke pintu
keluar.Kulihat jam tangan, pukul 22:01. Aku masih tidak melakukan apa-apa
selain menunggu. Kulihat ke sebelahku,
Lelaki itu lagi.
Seperti selasa malam-selasa malam
sebelumnya. Ia duduk di sebelahku. Rambut lurusnya yang jatuh tanpa pernah
tersisir, matanya yang sayu, jam tangan hitam yang melingkari pergelangan
kirinya, juga sebuah gelang cokelat yang terbuat dari tali nilon. Gelang itu
sangat mirip dengan yang kupunya dulu. Yang hilang beberapa bulan yang lalu
entah dimana. Dan ia tak melakukan apa-apa. Ketika aku melihatnya, ia akan
tersenyum seperti biasanya. Ketika aku mulai bertanya, barulah ia akan
berkata-kata. Cair dari sikapnya yang dingin
“lembur lagi?” tanyaku memulai
perbincangan
Dan ia membalasku dengan tersenyum. Aku pun mengerti arti
dari senyumnya itu. ia selalu menjawab seperti itu juga di pertemuan-pertemuan
sebelumnya.
“bagaimana denganmu?” ia balik
bertanya
“ya, seperti biasa” jawabku
singkat.
Setelah itu ia tidak akan banyak
bertanya lagi.
Meski tidak banyak pembicaraan.
Aku senang bersama dengannya. Ada rasa nyaman tersendiri kurasakan. Meski ia
hanya duduk di sebelahku sambil membaca langit malam, atau kadang melakukan hal
yang sama denganku, tidak melakukan apa-apa. Tapi aku merasa seakan ia mengerti
diriku.
Memang, aku tidak terlalu suka perbincangan
yang panjang jika itu hanya sekedar basa-basi atau pertanyaan-pertanyaan
retorika yang membosankan. Ia lelaki yang simpel. Ia lelaki yang tidak terlalu
mementingkan hal-hal semacam itu. Dan anehnya, aku tidak pernah merasa jenuh
dengan itu. Entah sejak kapan aku mulai sering berdua duduk menunggu di peron
seperti ini, mungkin sejak aku pulang larut malam disetiap selasa malam. Kadang
aku yang duluan duduk disini, kadang juga dia duluan yang ada disini ketika aku
tiba lebih malam.
Aku hanya bisa bertemu dengannya
di hari selasa.
Ya, hanya dihari selasa. Selain
hari itu, aku tak pernah menemukannya meskipun aku pulang larut maupun pulang
lebih cepat. Mungkin jadwalnya tidak pasti. Tapi jika di hari selasa, ia selalu
pulang hampir larut sekitar jam sepuluh malam. Dan kami sering bertemu di hari
itu. kadang aku memang sengaja pulang di jam itu setiap hari selasa. Dan cerita
kami berdua hanya dapat ada di hari tersebut.
Mulanya
aku agak takut bertanya padanya karena sikapnya yang dingin. Namun ketika mulai
terbiasa, ia jadi terasa hangat bagiku. Kesunyiannya dan kesunyianku menyatu.
Dan kami menikmatinya berdua saja. Ya, berdua saja. Batinku dalam hati
kadang, karena tak ada seorangpun yang mengusik kami ketika kami berdua.
Mungkin tidak ada yang berani terjebak dalam kesunyian kami. Kadang orang-orang
hanya menatapku sebentar, lalu tak peduli dan melanjutkan langkahnya. Meski ada
juga yang kadang melihatku dengan alis yang mengernyit ketika aku menunggu
jawaban dari lelaki di sebelahku. Mungkin orang itu heran dengan cara kami
bicara yang tanpa melihat.
“kau
sudah dijemput?” tanyaku, pertanyaan yang masih biasanya
“belum.
Kau sendiri?”
“Ibuku
sedang dalam perjalanan ke sini. Mungkin beberapa menit lagi sampai”
“bagus.
Bersabarlah menunggu disini” jawabnya. Masih sama dengan biasanya
Pertanyaan pertanyaan yang selalu sama, jawaban-jawaban yang
selalu sama, selalu saja kami dialog kan. Dan anehnya, kami tidak pernah bosan
untuk mengulangnya lagi dan lagi setiap bertemu ketika sama-sama menunggu.
Selebihnya kami lebih banyak diam tanpa-kata-kata. Duduk berdua dengannya tanpa
banyak kata-kata. Tak banyak kata-kata adalah sebuah kata-kata yang tak
berwujud. Tak tertulis dan tak terungkapkan.
******
Hari selasa Malam rabu ini aku
kembali pulang larut malam. Turun dari gerbong, aku menuju tempat duduk
biasanya diujung sana. Aku ingin segera duduk dan bersandar menumpahkan lelah
hari ini. Bukan hari yang menyenangkan bagiku, hari ini aku mendapati banyak
permasalahan. Perkerjaan yang semakin menumpuk, rekan kerja yang menyebalkan
serta atasan yang selalu menyalahkanku. Hari ini aku merasa sangat tertekan.
Bahkan di perljalan pulang tadi, aku sempat salah turun, aku terlewat satu
stasiun sebelum akhirnya kembali ke arah semestinya.
Aku membuka ponselku, melihat
pesan yang ku kirim ke Ibuku lewat WhatsApp. Sudah terkirim, namun belum
dibaca. Aku segera menghubunginya. Tapi tidak juga di angkat. Hanya ada nada
menyebalkan dari seberang sana, nada ponsel tak terangkat.
“Mungkin Ibumu sedang sibuk”
Tiba-tiba seorang lelaki ada disebelahku. Ah, ternyata dia.
Lelaki yang tanpa pernyataan telah menjadi temanku. Teman dalam menunggu, teman
dalam menyepi, dan teman dalam membekukan kata-kata.
“Oh,
kau rupanya. Mengagetkan saja”
“Maaf
jika aku mengagetkanmu” ujarnya, datar
“Tidak
apa-apa. Aku saja yang terlalu sibuk, hingga tidak menyadari kehadiranmu”
Bukankah setiap kehadirannya aku tidak pernah menyadari,
tiba-tiba ia selalu sudah ada di sebelahku ketika aku lengah. Kalau tidak
seperti itu, biasanya dia yang sudah ada duluan di peron. Ujarku dalam
hati. Mempertanyatakan keanehannya yang telah ku maklumi. Tapi tadi, aku
benar-benar terkejut karena bukan hanya ada tiba-tiba di sampingku, juga karena
ia bertanya kepadaku duluan.
“kau
lembur lagi?” tanyaku dengan pertanyaan yang biasanya
Dan ia membalasku dengan tersenyum. Aku pun mengerti arti
dari senyumnya itu. ia selalu menjawab seperti itu juga di pertemuan
sebelumnya.
“bagaimana denganmu?” ia balik
bertanya
“ya, seperti kemarin” jawabku
singkat.
Selalu saja, aku merasakan
semacam Djavu setiap kali mengulang pertanyaan itu. tapi bukan untuk
basa-basi. Aku merasa perlu menanyakannya lagi dan lagi setiap kali bertemu
dengannya. Mungkin aku selalu ingin tahu tentangnya. Barangkali juga, aku
sebenarnya selalu ingin mendengarnya bicara. Bicara tentang dirinya.
Aku
menatap rembulan yang di malam itu bersinar dengan wujud sempurnanya. Sambil
mengurai benang-benang kusut yang ada difikiranku. Perasaan-perasaan yang
kacau.
“Sepertinya
kau sedang tidak baik” tanyanya. Kali ini pertanyaan berbeda dari biasaya
“Aku
baik-baik saja kok” jawabku, mengelak. Tanpa melihat ke arahnya, aku terus
memandang langit.
“Dari
matamu, aku bisa melihatnya” ujarnya lagi tanpa melihatku. Ia ikut menatap
purnama
“Melihat
apa?”
“Permasalahan”
tegasnya
Kulihat dia, sangat percaya diri setelah mengatakannya.
Ternyata dia mudah sekali mengerti dengan apa yang sedang terjadi pada diriku.
padahal aku tipe orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Ketika ada masalah
aku lebih memilih diam, dan menatap ke suatu tempat. Meskipun sebenarnya aku
tidak menatap selain kekosongan. Tatapan yang mengambang entah dimana.
“Aku
sedang banyak permasalahan dikantor” akhirnya aku jujur padanya.
Setelah mendengarnya, Ia malah diam. aku sempat bingung,
kenapa setelah aku mengatakannya, ia tidak bertanya lebih. Tidak menggali
lebih. Padahal biasanya kalau orang lain akan melanjutkan ke
pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam. Apa Ia tidak peduli?. Tanyaku
dalam hati sambil menatapnya bingung. Tapi beberapa saat kemudian aku sadar. Ia
diam bukan karena tidak peduli, Ia diam untuk membiarkanku bercerita kepadanya.
Akupun panjang lebar bercerita
padanya. Mulai dari pekerjaanku, kekesalanku kepada rekan-rekan kerjaku yang
tidak bisa melihat situasiku kalau bercanda. Sampai tekanan atasanku yang
memberatkan fikiranku. Aku tidak tahu apakah ia faham dan mengerti dengan apa
yang aku ceritakan. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku terus bercerita,
mendongeng panjang lebar dan dia selalu setia sebagai pendengar. Sebagai tempat
sampahku.
Kereta
arah Tangerang pun tiba di peron, berhenti di peron. Penumpang-penumpang pun
turun dan bergegas menyeberang untuk menuju pintu keluar. Suara langkah dan
obrolan-obrolah penumpang yang turun membuatku menghentikan sementara ceritaku.
Dan kulihat lelaki itu, ia diam, menatap lurus kedepan. Kurasa ia mengerti
mengapa aku berhenti bercerita.
“bising”
katanya, tanpa melihatku. Suaranya sebenarnya pelan, namun entah kenapa aku
selalu dapat mendengar suaranya.
Ah, seperti diriku saja!. Batinku.
Mataku beralih ke orang yang
lain. Kali ini seorang perempuan, langkahnya tenang dan Gemulai. Rambut
panjangnya terurai bebas di punggung, Kepalanya menunduk melihat handphone
di tangannya dengan earphone menyumbat telinganya. Sepertinya dia perempuan
profesional. Ia berjalan diantara yang lainnya. Semakin lama semakin mendekat
kearahku.
Ketika perempuan itu tepat di
depanku, ia melihat ke arahku juga. Sekilas, kami saling memperhatikan. Aku
memperhatikan dirinya sambil mencari-cari apa yang dapat aku baca dari orang
sepertinya. Mulai dari gerak, cara memegang handphone, cara melihat
sekitar dan lainnya. Seketika, aku pun beralih ke orang berikutnya.
Namun, ternyata perempuan yang
tadi,tidak segera benyeberang. Ia berbalik ke arahku. Apa yang ia lakukan?.
Tanyaku dalam hati. Ia semakin mendekat kearahku
“Hai Lish!”
perempuan itu menyapaku. Dan juga membuka earphone dari telinganya.
Untuk beberapa saat, aku tak bisa bicara. Segera aku
perhatikan wajahnya, rambutnya, matanya, dan ...
“hai
Mir” aku balik menyapa setelah mengenalinya. Dia Mirari, temanku semasa kuliah.
Jarang sekali kami bertemu setelah bekerja. Dan malam ini
tanpa sengaja kami bertemu di sini.
“kau
naik kereta juga?” tanya Mirari
“iya Mir. Setiap hari” jawabku
“Baru
tahu aku. Kenapa kita jarang bertemu ya?” ia memasukkan handphone ke saku
sweaternya.
“mungkin
karena aku berangkat lebih pagi darimu”
“aku
berangkat jam 8 pagi sih memang”
“aku
jam 6 pagi”
“pantas
saja, haha... “ Mirari pun tertawa.
Entah untuk apa
Tanpa sadar, aku pun ikut tertawa mengikuti Mirari.
Aku pun
untuk sesaat mengabaikan Lelaki di sebelahku yang berjarak satu langkah yang
juga sedang duduk sepertiku. aku melihat kearahnya, ternyata dia tidak
terganggu sedikitpun. Ia masih menatap purnama dengan tatapan yang lurus. Tapi,
ia sempat melirik kearahku, sebelum akhirnya kembali ke purnama.
“kau
melihat siapa?” Mirari melihatku bingung
“Tidak,
tidak melihat ke siapa-siapa” jawabku, dusta. Aku enggan memperpanjang
pertanyaan Mirari jika aku menjawabnya dengan jujur. Aku tidak mau Mirari
meledekku dengan bertanya lebih dalam tentang lelaki di sebelahku itu.
“kau
yakin?” Mirari masih tidak percaya
“iya,
tentu saja” jawabku sambil menganggukkan kepala.
Meski begitu, Mirari nampak masih tidak percaya. Ia melihat
kearah sebelahku, ke arah Lelaki itu. aku mulai khawatir ia akan banyak
bertanya siapa Lelaki itu. lama ia melihat ke arah lelaki itu. tapi pada
akhirnya ia tidak bertanya apa-apa lagi tentang itu.
“Kau
sedang menunggu seseorang?” Mirari beralih ke pertanyaan yang lainnya.
“Ibuku,
aku menunggu Ibu menjemputku”
“owh.... kau di jemput”
Mirari sempat menawarkan diri untuk mengantar, tapi aku menolaknya.aku
bilang bahwa ibuku sudah dalam perjalanan ke sini. Akhirnya Mirari pun tak lama
kemudian pamit duluan. Sebelum berlalu, ia sempat melihat ke arah samping aku
dengan tatapan yang agak bingung. Mungkin ia masih curiga dengan Lelaki di
sebelahku. Mungkin ia masih ingin bertanya ‘siapa sebenarnya lelaki itu, apa
hubungannya denganku’.
“tadi
itu temanku” aku kembali bicara padanya (lelaki itu). Peron telah kembali sepi.
Orang-orang sudah berpindah ke pintu keluar otomatis. Yang tersisa di peron 2
hanya kami berdua.
“kau
tidak mencurigai sesuatu?” tanyanya tiba-tiba. Bukan pertanyaan yang aku
harapkan
“curiga
apa?”
“temanmu
tadi menatapku seperti .... “ belum sempat ia meneruskan kata, aku segera
memotongnya
“Biarkan
saja! Mungkin ia hanya penasaran denganmu”
Tidak ingin membahasnya lebih jauh, aku mulai bercerita
lagi. Dan ia mendengarkan lagi dengan baik. Dengan tidak memotong ceritaku. Dia
akan bicara jika aku bertanya padanya.
Telpon
aku tiba-tiba berdering, ternyata Ibuku menelpon. Ia menjelaskan bahwa tadi ia
sedang rapat Ibu-ibu PKK sehingga tidak dapat segera membaca pesan dan tidak
bisa mengangkat telponku karen Handphone nya di Silent. Ternyata
ia sedang menuju Stasiun untuk menjemputku. Akhirnya Ibu menjemputku juga. Aku
melihat jam tanganku. Pukul 22: 33. Dan stasiun pun sudah semakin sepi. Hanya
ada beberapa petugas kemanan yang selalu bersiaga di pinggir peron dan juga
petugas kebersihan yang sesekali menutur sampah.
“maaf,
tadi Ibuku menelpon. Akhirnya ia akan datang menjemputku”
“Tentu,
Ibumu orang yang baik.” Ujarnya
“Tentu
saja. Bagiku dia Ibu yang baik”
“Tak
lama lagi ia akan mengakhiri penantianmu. Ia akan menjemputmu dari keisengan
ini, Kesunyian ini”
Meski
tidak mengerti pernyataannya tadi, aku berpura-pura mengerti. Aku tidak ingin
terlihat bodoh dihadapannya. Bahkan balik bertanya padanya.
“kau
sendiri, apa kau akan dijemput?”
“ya,
seperti biasa”
Sama sepertiku mungkin, dia selalu dijemput oleh salah satu keluarganya
setiap hari kerja di stasiun ini. Ia memang tidak pernah mengetakan seperti
itu. tapi aku yakin dia sama denganku. Duduk dalam waktu yang lama di bangku peron
setelah turun kereta apalagi kalau bukan menunggu.
Ketika
Ibuku datang, aku mengakhiri kebersamaan dengannya. Akupun pamit dengan cara
seperti biasanya. Berkata ‘aku duluan ya’ sambil melambaikan tangan
kearahnya. Tidak tinggi, aku hanya mengangkat tangan sedikit dan memutar
telapak tanganku yang jemarinya terbuka kearahnya. Entah itu bisa disebut
melambaikan tangan atau tidak. tapi itulah caraku berpisah denganya. Dan Ia
akan meng’iya’kannya dengan tersenyum dan sedikit mengangguk. Begitulah cara
kami. Sederhana dan tanpa banyak kata. Dan aku menyukainya.
Ketika
aku akan menyeberang, petugas PKD Stasiun melihatku dengan penuh heran. Sama
seperti Mirari, petugas itu juga sempat melihat ke arah tempatku duduk tadi. Apa
petugas itu juga ingin tahu siapa Lelaki itu?, usil sekali!. Batinku.
Sambil memikirkan alasan petugas itu. mungkin saja Petugas itu merasa aneh
dengan cara kami berpisah. Simpulku dalam hati. dan lekas menyeberang ke
peron satu lantas keluar melalui pintu otomatis.
Sebelum
keluar, aku sempat melihat kearah lelaki itu, Dia masih menatap kesuatu tempat
dengan tatapan yang rasanya sangat jauh. Dan aku tak mampu menyelaminya. Lelaki
itu kini seperti biasa, setelah aku pergi, ia akan sendirian disana. Ah!
Mungkin aku salah. Ia tidak pernah sendirian. Ketika melihat matanya, kau akan
tahu bahwa ada banyak kenangan yang menggenangi lamunannya. Diamnya.
*****
Entah sudah berapa lama aku
selalu melakukannya. Menyengajakan diri pulang lebih larut meski kadang
pekerjaanku tidak menuntutku untuk lembur. Aku hanya berfikir untuk pulang
malam setiap hari selasa, dan bertemu dengan seseorang disebuah stasiun
terakhirku. Entah sejak kapan juga aku mulai merasa bahwa aku menyukai setiap
pertemuan dengan lelaki itu di hari yang biasa, di stasiun yang biasa, di jam
yang biasa, di perbincangan yang biasa, di langit malam yang biasa, di peron
yang biasa, dan di suasana aneh yang biasa. Meski pernah sekali aku tidak
bertemu dengannya meskipun aku pulang larut di selasa malam. Tapi hampir setiap
selasa malam aku dapat bertemu dengannya.
Aneh?
Ya, aku merasa kebersamaan kami aneh dimata orang lain. Aku
baru menyadarinya ketika pertemuan dengan Mirari kemarin. Ditambah lagi,
petugas stasiun yang berjaga di penyeberangan peron selalu memandangku dengan
pandangan yang aneh. Bahkan beberapa orang juga sempat melakukan hal yang sama.
Apa mungkin karena kami terlihat akrab, tapi tidak
seperti pasangan sahabat atau bahkan pasangan kekasih pada umumnya? Batinku
Tentu saja setiap persahabatan memiliki caranya yang
berbeda-beda. Ada yang bersahabat dengan cara yang sangat hangat, setiap kali bertemu
selalu bertegur sapa dan bersalaman akrab sambil menanyai kabar, lantas
berlanjut ke obrolan yang panjang. Ada juga yang bersahabat dengan cara yang
selalu terlihat ceria dan semacamnya. Dan ada juga yang bersahabat dengan cara
yang biasa-biasa saja. Bertemu, bertanya singkat, lalu hanya duduk diam secara
bersama-sama memandangi lamunannya masing-masing. seperti yang aku jalani
bersama lelaki itu.
Jika pasangan kekasih biasanya bertemu di suatu tempat
mereka akan berpelukan, aku mungkin juga melakukannya. Bedanya, aku memeluk
bayangannya. Memeluk nya dari lamunanku yang sering mengada-ada setiap kali aku
kehabisan pembicaraan dengannya.
Kekasih?
Aku tersentak, secara tidak sengaja, alam bawah sadarku
mengakuinya. Mengakui bahwa aku ingin menjadi kekasihnya, mengakui bahwa aku
menyukai lelaki itu. Dan kini aku tahu alasan mengapa selama ini aku selalu
ingin pulang di jam yang sama di hari selasa. Itu karena aku ingin bertemu
dengannya. Bertemu, dan bercerita banyak pada lamunanku tentang kekagumanku pada
Lelaki itu setiap kali duduk bersamaan dengannya.
Pukul 21:58
Aku tiba di stasiun terakhirku, turun dari gerbong dengan
puluhan orang lainnya. Lalu duduk di bangku peron yang biasa, sendirian. Di jam
selarut itu, aku tidak menemukan orang lain selain aku yang menunggu seorang
diri di bangku peron. Tentu saja penumpang kereta yang lain langsung
menyeberang karen sudah di tunggu jemputannya di depan stasiun. Ada juga yang
lekas keluar stasiun dan naik transportasi ojek untuk bisa cepat-cepat pulang
kerumah menemui keluarganya di rumah yang sudah menunggu.
Duduk sendiri di bangku peron, aku memejamkan mata untuk
beberapa menit. Dalam suasana yang sunyi itu, aku menyadari betapa
menyedihkannya diriku yang selalu terdampar dikesepian seperti ini hanya untuk bertemu
seseorang. Seseorang yang bahkan tak kukenal dekat. banyak yang tak kuketahui
tentangnya. Tentang rumahnya, asalnya, tempat kerjanya, dan bahkan namanya.
Namanya?
Aku baru menyadari, selama ini sering bertemu dengannya dan
berbincang singkat dengannya, aku belum tahu namanya. Ya, kami tidak pernah
menanyakan hal-hal mengenai diri kami masing-masing. kami selalu berbincang
seolah sudah saling kenal sehingg tak perlu menanyakan hal-hal yang bersifat
profil.
Mungkin juga karena kami tak pernah memikirkan hal-hal
sepele seperti perkenalan nama dan basa-basi lain yang menyertai setelahnya.
Mungkin itu pula yang membuat kesan aneh lainnya tentang persahabatan kami.
Bahkan istilah persahabatan yang aku pakaipun tak pernah kami resmikan secara
langsung. Aku hanya merasa istilah itu sudah tidak perlu di timbang-timbang
lagi.
Saat aku membuka mata, aku telah menemukan lelaki itu sudah
ada di sampingku dengan jarak beberapa jengkal saja. Seperti biasa. ia dengan
rambut lurus yang tak tersisir dan jam tangan juga gelang tali yang melilit di
pergelangan kirinya, Serta matanya yang menatap jauh ke langit malam. Dan aku
tidak langsung mengusiknya. Aku membenarkan posisi duduk, lalu meniru gayanya
menatap langit. Meski aku tak pernah bisa menatap langit malam sejauh
tatapannya. Aku hanya bisa melihat rembulan saja. Kalau dia, dia mungkin bisa
melampaui masa lalunya.
“lembur lagi?” tanyaku tanpa melihatnya.
“Iya. Kau sendiri?” jawabnya, dan balik bertanya padaku
Kuperhatikan matanya diam-diam, hitam pada kantung matanya,
meski samar membuatku lupa pada pertanyaan Rain yang tadi. dan bukannya
menjawab, aku malah melontarkan pernyataan yang terkesan sok tahu. tapi itulah
yang kufikirkan.
“kau kelihatannya lelah” kataku
Tidak ada jawaban. Rain diam bisu, seperti ada yang
difikirkan. Aku kembali menatap langit, aku masih malu melihatnya secara
terang-terangan. Kemudian, sunyi kembali menghampiri kami. Sunyi yang
menyenangkan, hanya ada kami, hanya ada aku dan Rain.
“kau belum dijemput?” tanyaku mengalihkan pembicaraan
Lelaki itu hanya menggeleng, pelan. Ia masih menatap
kelangit malam. Aku sebenarnya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya ia
pandangi selain langit malam yang selalu penuh misteri dan rembulannya yang
kadang ada kadang tidak. Ia selalu nampak tenang dan mempesona.
Mempesona?
Aku mulai tertarik lebih dalam terhadapnya ternyata. Malam
ini, aku mungkin bisa mengenalnya lebih jauh. Aku pun bertekad untuk membuat
perubahan besar malam ini. Sebelum Ibuku datang menjemput, sebelum aku berpisah
dengannya, aku harus tahu tentang nya lebih jauh. Minimal mengenal namanya.
Tentu itu tidak mudah. Aku selalu takut untuk memulai
pertanyaan yang sakral itu. setiap kali bertekad untuk bertanya, keberanianku
langsung ciut tatkala melihat wajahnya yang sendu tiba-tiba. Ia sering seperti
itu. kadang terlihat tenang, kadang terlihat sendu. Seperti ketenangan dan
sendu selalu bergantian menemani dirinya selain ragaku disini. Langit malam
yang selalu ia tatap mungkin tahu jawabannya.
Dalam ketakutan dan ketidakberdayaan menghadapi diamnya, aku
melihat wajahnya diam-diam. menerawang dalam diamnya yang seperti lorong gelap
tanpa cahaya. Dan aku berjalan hanya mengandalkan langkah yang buta. Tatapan
yang tak mengerti apa-apa tentang nya.
Tiba-tiba, dia menoleh kearahku. Seketika mata kami segaris
lurus. Bertatapan tanpa sengaja. Beberapa detik aku terdiam, tak tahu harus
berbuat apa. tak tahu harus bersikap seperti apa. beberapa saat kami terdiam.
Aku kikuk sendiri. dan Ia, lelaki itu malah nampak biasa-biasa saja. Tetap
tenang, dan kalem. Kemudian dia kembali menatap langit malam lagi. Hal itu
membuat aku senyum-senyum sendiri, malu sendiri. rasaanya seperti kencan
beberapa detik.
“hey, kita sudah sering bertemu bukan?” tanyaku memberanikan
diri
Tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Dan kini menatapku
juga akhirnya. Matanya seperti ingin bertanya juga.
“tidakkah aneh jika kita tidak saling kenal nama?” kali ini
aku lebih berani. Tanpa sadar aku menggigit bibirku sendiri ketika
mengatakannya.
“Sebenarnya, aku tidak terlalu mementingkan sebuah nama”
ketusnya
“kenapa?”
“William Shakespeare mengatakan ‘What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet’, ”
Mendengarnya, aku tak bisa berkata lagi. Dia benar-benar
tidak mementingkan sebuah nama. Mungkin benar apa yang ia katakan. Bahkan jika
ia tanpa nama pun, aku akan tetap mengenalnya. Seperti bunga mawar yang
sekalipun aku ganti namanya, Ia akan tetap wangi. Seperti Lelaki itu. meskipun
ia memberitahu namanya dan aku mengganti namanya, ia akan tetap mempesona
dimataku.
“Namaku Alisha” cetusku. Dia diam sesaat, alisnya
mengernyit. Seperti Ia sedang memikirkan sesuatu.
“Turunan dari kata ‘Aaleasha’ dalam bahasa yunani” Ujarnya
tiba-tiba. Entah apa maksudnya. Membuatku penasaran.
“Maksudnya?”
“Namamu”jawabnya singkat
“Namaku?” aku semakin tak mengerti
“Namamu Alisha. Turunan dari kata Aaleasha dalam bahasa
yunani yang artinya jujur”
Tentu saja aku terkesan dengan jawabannya. Bagaimana ia tahu
sejauh itu tentang namaku, sedangkan aku sendiri tidak pernah tahu sampai
sejauh itu. Aku hanya tahu namaku diberikan ayah . kata ibu, mungkin ayah
memberiku nama itu agar aku menjadi seorang wanita yang baik. Aku tidak tahu
namaku berasal dari bahasa yunani.
Apa Ibu juga tahu?
Entahlah!
“Ibumu sudah menjemput?”
“sedang di jalan” jawabku, sekenanya. Sebenarnya aku
berharap Ibuku tidak segera datang, karena aku masih ingin lebih lama dengan
lelaki itu. lebih lama lagi melewati malam yang semakin larut bersamanya.
Angin malam berhembus semakin sering. Menerpa kehampaan
udara, menerpa kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan senja dan orang-orang
yang mengobati kelelahan yang diciptakan pagi hingga siang harinya. Juga kami,
angin menerpa kami yang semakin terbiasa dengan perbincangan tanpa kata-kata
dalam hening, dalam renungan masing-masing. Dia dengan renungannya, dan aku
dengan renungan aku tentangnya.
Bukankah itu menyakitkan?
Malam larut, dan suara telpon genggamku berbunyi memecah
keheningan. Dari layar telpon genggamku, tertera tulisan ‘Ibu’
Akupun pamit dengan cara seperti biasanya. Berkata ‘aku
duluan ya’ sambil melambaikan tangan kearahnya. Tidak tinggi, aku hanya
mengangkat tangan sedikit dan memutar telapak tanganku yang jemarinya terbuka
kearahnya. Entah itu bisa disebut melambaikan tangan atau tidak. Tapi itulah
caraku berpisah denganya. Dan Ia meng’iya’kannya dengan tersenyum dan sedikit
mengangguk. Dan petugas keamanan stasiun tersenyum setelah melihat perbuatanku
yang seperti itu. aku menyeberang peron dengan perasaan yang sulit kumengerti.
Ada harapan tersendiri untuk bisa melihatnya lagi di selasa depan.
Selasa Depan?
Tidak!
Aku rasa tidak hanya selasa depan saja.
Aku ingin melihatnya Selasa depan, Selasa depannya lagi,
selasa depannya lagi dan lagi...
Sampai aku tahu, apa artinya itu semua ...
Sebelum meninggalkan stasiun, aku sempat melihat lagi ke
dalam stasiun. Ke arah tempatnya menunggu. Aku harus menunggu seminggu lagi
untuk bertemu dengannya.
“siapa yang kau lihat?” ucap Ibu, mengagetkanku
“teman Bu, hanya teman” dustaku
“benarkah?” tanya Ibu, tak percaya
“iya Bu. Hanya teman” ujarku meyakinkan Ibu.
“apa petugas keamanan stasiun itu temanmu?” tanya Ibu, ragu
Mendengar hal itu, aku hanya tertawa kecil, membayangkan
bagaimana bisa Ibu berfikir seperti itu. tanpa memperpanjang hal itu, Ibu menarik
gas motor matic nya secara perlahan dan meninggalkan stasiun.
Hari berlalu dengan meninggalkan
banyak pertanyaan-bertanyaan baru diantara pertanyaan-pertanyaan yang bahkan
belum terjawab. Dan yang belum selesai dengan jawabannya.
Malam itu, dadaku berdebar-debar
dan tak bisa tidur lebih cepat seperti biasanya. Fikiranku berkelana
kesana-kemari berkelut dengan pertanyaan-pertanyaan dan momen-momen kebersamaan
dengan seseorang yang semakin aku ingin tahu lebih jauh.
*****
Selasa Malam ini, aku bertemu
lagi dengan Mirari. Dia lembur hari ini sehingga bisa bertemu denganku. Kami
bertemu di stasiun transit. Stasiun Duri. di perjalanan, ia banyak bercerita
kepadaku. Mulai dari masalah pekerjaan, keluarga, liburan sampai hubungannya
dengan seseorang. Seperti biasanya ketika menghadapi seseorang, aku lebih
banyak diam mendengarkan. Aku lebih banyak mendengarkan cerita Mirari. Sesekali
aku bicara ketika ia meminta pendapatku. Di tengah perbincangan, Mirari
bertanya padaku. Pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya...
“Kekasih, apa kau sudah punya kekasih?”
Saat itu aku tidak tahu harus menjawab seperti apa. beberapa
saat aku diam, tak bisa menjawab. Tak bisa menangani kebingunganku. Aku bahkan
melamun tak memperhatikan Mirari yang masih menunggu jawabanku. meski penasaran
dengan jawabanku, ternyata Mirari cukup mengerti, ia tak mendesakku untuk
segera menjawab. Ia memilih menunggu saja.
“Belum. Sampai saat ini aku belum memikirkan hal seperti
itu”
“Begitu rupanya. Kau masih sama seperti dulu. Tidak terlalu
peduli dengan hal-hal semacam itu”
Saat selesai menjawab, tiba-tiba aku teringat dengan lelaki
itu. Dengan tatapan yang selalu mengundang tanya, mengandung misteri yang
dalam. Sekitar jam sepuluh malam, aku dan Mirari sampai di stasiun
pemberhentian kami. Kami turun dari gerbong hampir berbarengan langkah. Dari
kejauhan, aku melihat seseorang yang sudah menunggu di bangku tunggu peron
pojok sana. aku mempersilahkan Mirari untuk keluar stasiun duluan karena aku
akan menunggu seperti biasa di bangku tunggu terpojok itu.
Namun bukannya meninggalkanku, Mirari malah mengikuti
langkahku. Ketika aku berbalik kearahnya, ia menjelaskan bahwa ia juga sedang
menunggu seseorang menjemput. Jadi ia ingin menunggu bersama sama denganku. Ia
tidak mempermasalahkan aku memilih tempat menunggu yang jauh itu.
Aku memilih duduk diantara Mirari dan lelaki itu. Aku
menyapanya (lelaki itu) hanya dengan senyuman kecil lantas duduk. Mirari
langsung duduk saja di sebelahku tanpa memperdulikan ada seseorang yang sudah
lebih dulu duduk disana. Dan lelaki itu, ia seperti tidak terganggu sedikitpun
dengan kehadiran kami. Setelah membalas senyumku tadi dengan senyuman kecil, ia
kembali menatap langit malam seperti biasanya.
Sempat ada
fikiran untuk memperkenalkan Mirari ke lelaki itu. aneh rasanya jika aku tidak
mengenalkan orang yang aku sama-sama kenal. Namun melihat situasi, Mirari dan
lelaki itu seperti tidak saling ingin mengenal. Bahkan saling melihatpun mereka
tidak lakukan. Seperti mereka hanya menganggap keberadaanku saja disana selain
diri mereka. aku sempat teringat beberapa hari lalu saat Mirari sempat melihat
kearah lelaki itu dengan tatapan bingung. Dan ketika aku melihat lelaki itu
dengan niat mengenalkan Mirari, lelaki itu malah menggeleng pelan, tanda tidak
setuju. Saat itulah aku yakin untuk tidak melakukannya. Membiarkan situasi
berjalan seperti ini. tidak saling mengenalkan.
Bahkan
aku belum mengenal nama lelaki itu
Meski begitu, aku masih khwatir jika tiba-tiba Mirari
bertanya siapa lelaki itu kepadaku. Aku masih belum menemukan jawaban yang
tepat jika ia bertanya pertanyaan itu. itulah kenapa aku tidak mengajak bicara
lelaki itu. Seperti dirinya, aku lebih banyak diam. Dan Mirari, ia juga nampak
larut dalam lamunan.
“hari ini Ia menjemputku” ucap Mirari memecah kesunyian.
Seketika aku melihat kearahnya. Mempersilahkannya untuk melanjutkan cerita.
“Pacarmu?” tanyaku, singkat. sekaligus membiarkan Mirari
memperpanjang ceritanya lagi.
“Iya. Pagi tadi dia datang ke rumahku dan mengantarkanku ke
stasiun ini. Ia juga bilang akan menjemputku. Itu sebabnya aku menunggu
bersamamu disini. Padahal biasanya aku akan langsung menyeberang peron untuk
keluar dari stasiun lantas ke parkiran mengambil sepeda motorl dan langsung
pulang.”
“Bukankah itu bagus?”
“Ya kau benar. Ini sebuah kemajuan dari hubungan kami yang
sebelum-sebelumnya hanya jalan di tempat.”
Kuperhatikan mata Mirari, seperti
sedang menerawang ke alam bawah sadarnya yang sangat dalam. Seperti larut dalam
lamunan yang jauh. Dan aku berfikir tatapan Mirari sekarang mirip dengan lelaki
yang juga duduk di sebelahku saat ini. Aku lantas melihat ke arah lelaki itu,
dan Lelaki itu melihat kearahku seketika. Aku lihat matanya lebih dalam, dan
aku masih tidak dapat menyelaminya. Tidak dapat membaca isi di dalamnya.
“Apa menurutmu cinta bisa terbiasa?” tanya Mirari tiba-tiba.
Menyadarkanku dari lamunan. Bukan lamunan ternyata. Aku mengakhiri
keterpukauanku terhadap Lelaki itu. Dan mencoba mencerna pertanyaan Mirari.
“Kenapa kau bertanya seperti itu” ujarku, mendalami
pertanyaan Mirari tadi
“Sejak awal, aku tidak merasakan Erwin mencintaiku. Dia
mungkin hanya kasihan padaku. Tidak enak kalau menolakku, karena keluargaku
telah banyak membantu keluarganya. Ayah kami sudah lama berteman. Sehingga
ketika ayah Erwin mengalami kebangkrutan dulu, Ayahku sebagai teman langsung
membantu keluarganya tanpa diminta. Ayah Erwin yang terlilit banyak hutang
akibat perusahaannya bangkut, di berikan pinjaman oleh ayahku untuk melunasi
hutang-hutangnya dan membangun kembali bisnisnya. Meski dari kecil-kecilan.
Bahkan ayahku sampai menjual beberapa aset perusahaannya untuk membantu ayahnya
Erwin. Keluarga Erwin yang semula kehidupannya susah, lama-lama mulai stabil
lagi. Mereka berhasil mengembangkan bisnisnya dan kini mulai kembali Normal.
Meski tak sebesar dulu”
“Bukankah kau memang mencintai
Erwin sejak kecil dulu?”
“Iya, aku memang mencintainya sejak dulu. Tapi aku merasa
Erwin hanya menganggapku sebagai teman saja. Sahabat dekatnya.”
“Kenapa kau bisa berfikir seperti itu?” aku masih terus
melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengulik ke Mirari.
“sejak SMA, Dia sebenarnya suka dengan seorang perempuan.
Tapi ... “ tiba-tiba perkataan Mirari putus. Dan pandangan matanya perlahan
merambah ke langit malam.
Sebagai teman, aku mencoba mengerti apa yang sedang
dirasakan Mirari. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, mungkin itulah yang
sedang dialami Mirari. Mungkin sudah berlangsung lama.
Memang sangat sulit menghadapi situasi seperti itu. orang
yang mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan akan merasa rendah diri. bukan
hanya itu, Mereka bahkan akan menutup diri dengan hal-hal yang berurusan
perasaan. Kadang sulit bagi mereka membuka hatinya untuk yang lain.
Tapi yang sedang dialami oleh Mirari mungkin jauh lebih
sulit dari itu. orang yang disukai Mirari, yaitu Erwin, ia tidak menolak
Mirari. Yang membuat Mirari sulit adalah karena Erwin memaksakan diri untuk
mencintai Mirari meski hatinya tidak benar-benar mencintai Mirari. Itulah letak
kesulitannya. Dari luar nampak Erwin mencintai Mirari, namun dalam hatinya
mungkin Erwin masih belum bisa menerima orang lain, termasuk Mirari. Mungkin
karena Erwin masih mencintai seseorang yang dikatakan Mirari tadi. Jadi, Erwin
yang cintanya bertepuk sebelah tangan, mencoba memaksakan diri mencintai
Mirari.
Bukankah itu jahat!
Secara tidak langsung, Erwin membuat Mirari jauh lebih
menderita dari dirinya. Mungkin secara fisik Mirari dapat memiliki Erwin, tapi
Mirari tak pernah dapat memiliki hatinya Erwin. Itulah yang menyakitkan.
Seketika aku teringat dengan diriku sendiri ...
Kadang, hal yang tak nampak jauh
lebih berarti dari yang nampak. Dan sandiwara, jauh lebih menyakitkan dari
kejujuran yang ingin ditutupi sandiwara itu sendiri.
Hah! Betapa lucunya hidup ini! Gumamku
Lalu kemudian, aku memandangi
Mirari, dan juga Lelaki disebelahku, kemudian kami bertiga, bersama-sama
memandang langit malam itu. larut dalam suatu keheningan yang terasa nyaman.
Dan tentram. Dan dalam hati, sempat muncul pertanyaan. Bagaimana dengan
perasaanku terhadap lelaki yang ada disampingku ini. Namun cepat kemudian aku
buang. Aku tidak ingin hal itu merusak suasana.
Telpon genggam Mirari berdering. Sepertinya sebuah panggilan
masuk. dan Mirari mengangkatnya
“aku masih di dalam” jawab Mirari ke penelpon yang ada di
seberang sana. Mirari lantas melihat kearahku. Cukup lama, sebelum akhirnya ia
berkata lagi kepada lawan bicaranya di telpon.
“Kau masuk saja ke dalam. Aku di peron Dua”
Cepat kemudian, Mirari menutup
telponnya. Setelah itu, ia menarik nafas panjang, dan membuangnya
perlahan-lahan. Terlihat sangat berat apa yang sedang dialaminya. Aku sempat
bertanya siapa yang menelpon tadi. Dan Mirari bilang, Erwin yang menelpon.
Erwin ternyata sudah menjemputnya. Dan kini Erwin sedang memarkirkan Mobilnya di
bahu jalan stasiun dan lekas masuk ke dalam stasiun. Di stasiun kami, parkiran
hanya bisa menanmpung sepeda motor. Jadi jika ada yang menjemput dengan mobil,
mereka akan memarkirkannya di bahu jalan sebentar saja yang tak jauh dari
stasiun. Atau bahkan tidak parkir lagi jika yang dijemput sudah ditemukan,
melainkan langsung menaikkan jemputannya di depan pintu stasiun dan langsung
beranjak lagi setelahnya dari stasiun.
“kenapa kau yang menyuruhnya masuk? bukankah seharusnya kau
yang keluar?”
“kau mengusirku?”
“bukan seperti itu, maksudku... “ aku jadi salah tingkah
sendiri. tak kusangka perkataanku akan membuat Mirari tersinggung
“hahaha... Just Kidding. Santai saja” ucap Mirari
sambil menepuk pundakku. “aku hanya ingin Erwin melihatmu saja” lanjut Mirari
“untuk apa?”
Lama tak ada jawaban, Mirari malah menatap dalam-dalam
mataku, membuatku jadi kikuk sendiri karenanya.
“mungkin hanya untuk bernostalgia saja. Bukankah kita sudah
lama tidak bertemu”
Meski sempat kurang puas karena
Mirari menggunakan kata ‘Mungkin’ tapi aku segera mengerti maksudnya. Ya,
sebagai teman semasa sekolah SMA dulu aku memang sudah lama tak berjumpa dengan
Erwin. Seperti Nostalgia kecil-kecilan.
Setelah itu, Mirari dan Erwin pun
pergi meninggalkanku. Mirari melambaikan tangan kearahku setelah berada
diseberang peron. Dan Erwin hanya melihatku saja tanpa melambai seperti Mirari.
Tapi Erwin cukup lama melihatku, sampai ketika Mirari berhenti melambaikan
tangan kearahku, Erwin masih kaku melihatku sehingga nampak Mirari menarik
tangan Erwin untuk menyadarkan Erwin. Aku bahkan sampai takut kalau-kalau Erwin
curiga dengan aku yang terlihat nyaman duduk bersebelahan dengan seorang
lelaki.
Erwin tadi sempat mengajakku
untuk ikut bersama dengannya. Tapi aku menolaknya. Aku menolak karena aku masih
ingin bersama Lelaki yang bahkan sekarang masih disebelahku. Kadang aku heran,
bagaimana bisa Mirari dan Erwin begitu abai dengan Lelaki ini. Apa karena
mereka sangat yakin bahwa aku tidak pernah tertarik kepada laki-laki sehingga
setiap laki-laki yang ada di dekatku tak pernah mereka pertanyakan, dan mereka
mungkin hanya menganggap itu orang asing yang kebetulan sedang menunggu juga.
Tidak ada salahnya juga mereka
bersikap seperti itu. aku juga tidak terlalu nyaman jika mereka sampai banyak
bertanya tentang lelaki Disebelahku ini. Karena pasti akan membuatku gugup dan
kesulitan menjawabnya.
Kini kami tinggal berdua saja.
Dan jam menunjukkan bahwa hari sudah semakin malam. Sudah semakin larut. Tapi
kami, kami masih sama-sama menunggu.
“bagaimana menurutmu?” tanyaku kepada lelaki itu. pertanyaan
yang merujuk pada apa yang dialami Mirari
“secara kasat mata, temanmu nampak bahagia menerima lelaki
itu. Tapi sepertinya dia tidak sebahagia itu. Ada kekalahan yang Ia rasakan”
“Erwin mungkin merasa hutang budi kepada Mirari dan ayahnya.
Mungkin Erwin bermaksud ingin membalas budi kepada Mirari dan keluarganya atas
apa yang selama ini telah dilakukan oleh Keluarga Mirari terhadap keluarganya”
“Bisa saja keluarganya yang mendorong lelaki itu untuk
meminang temanmu”
“tidak, Erwin tidak seperti itu. Ia pasti berinisiatif
sendiri melakukan itu tanpa disuruh oleh ayahnya. Aku kenal dia. Dia akan
melakukan apa yang menurutnya pantas dilakukan”
“tapi lelaki itu masih menyimpan seseorang dimatanya”
Ujarnya tegas, dan penuh penekanan
“mungkin cinta dari masa lalunya”
Tak ada jawaban lagi. Setelah itu, Lelaki itu diam dan
melihat langit lagi.
Tidak!
Ternyata dia tidak melihat langit seperti yang aku kira.
Ketika aku ingin melihatnya, ternyata tatapannya kearahku. Ia menatapku begitu
dekat kali ini, begitu detail. Seperti ia sedang mendalami sesuatu di dalam
mataku. Seperti ia sedang mencari jawaban dari sebuah pertanyaan. Aku tak
berdaya seketika. Akhirnya, aku menjatuhkan pandanganku ke kerikil-kerikil rel.
Aku mengalami gugup yang sangat luar biasa.
Untung saja, Ibu menelponku
sehingga aku memiliki alasan untuk beranjak dari tempat itu. hari itu tidak
senyaman biasanya. Aku lebih nyaman melihatnya yang sedang memandang langit
malam dengan tenangnya. Ketika aku menggantikan posisi langit malam dimatanya,
aku jadi sangat gugup dan salah tingkah, sehingga sangat tidak membuatku
nyaman.
Tapi aku tetap mengaguminya...
Tetap ingin duduk menunggu bersamanya lagi ...
Sebelum menyeberang peron, aku
sempat melihatnya, lamat-lamat. Sayup-sayup angin berhembus dan suara kereta
dari kejauhan terdengar semakin mendekat. Dan petugas kemanan stasiun
mengarahkan tangannya kearahku dengan gerakan mengajak, memintaku untuk segera
menyeberang karena Kereta akan segera datang...
Dari seberang, aku bahkan
melihatnya lagi. Membayangkan betapa sepi yang ia rasakan di sana. seorang diri
menempuh penantian. Seorang diri menyepuh warna keabu-abuan dari kesendirian
yang tak lepas begitu saja hanya dengan bergantinya malam ke pagi. Ia pasti
telah mengalami kesepian yang panjang. Ia seperti sangat kesepian, seperti tak
memiliki teman dalam hidupnya. Langit malam dan isinya, selalu dijadikan penghiburnya.
Perlahan, aku mulai
mengerti apa yang ia rasakan ...
Hari berikutnya, mungkin aku akan beruntung dan tahu siapa
nama Lelaki itu ...
*****
Jum’at Malam,
Aku kembali bertemu dengan Mirari. Kami satu gerbong, di
gerbong yang penuh. Kami sama-sama berdiri. Bergantung tangan kami pada tali
pegangan gerbong. Sepanjang perjalanan, kami bercerita banyak. Mulai dari
pekerjaan, kegiatan di luar itu, dan yang paling hangat adalah tentang
hubungannya dengan Erwin. Mirari mengetakan bahwa entah mengapa ia selalu
merasa Cinta Erwin kepadanya seperti ada yang mengganjal. Meskipun Mirari
mengakui, sebenarnya tidak ada yang salah dengan Erwin. Ia selalu ada untuknya.
Selalu menyediakan diri untuk Mirari. Tapi Mirari merasa itu terlalu wajar,
terlalu prosedural. Meskipun sebenarnya aku tidak mengerti apa yang dimaksud
Mirari dengan terlalu Prosedural.
“Untuk orang yang mencintai, Erwin terlalu prosedural dalam
mencintaiku”
“apa maksudnya terlalu prosedural?”
“Erwin hanya menjalankan hal-hal yang telah lumrah dalam
hubungan”
Aku yang masih tidak mengerti maksud Mirari, diam tak
menjawab. Dan hanya bisa membiarkan
Mirari melanjutkan penjelasannya.
“setiap malam minggu atau akhir pekan kami selalu keluar.
Entah sekedar makan malam, jalan-jalan maupun sekedar refreshing dan
ngobrol-ngobrol santai di sebuah Coffee shop. Ketika aku butuh Erwin ia
selalu ada dan meluangkan waktunya”
“menurutku itu bagus. Karena tak banyak perempuan yang
mendapat perlakuan seperti itu dari lelakinya”
“memang kelihatannya sangat bagus. Aku juga menyadarinya.
Bahkan aku sempat berfikir apakah aku yang salah karena terlalu berfikir curiga
terhadap Erwin. Sampai-sampai menganggap cintanya terhadapku terlalu
Prosedural. Tapi perasaanku selalu mengatakan seperti itu. selalu mengatakan bahwa
ada yang kurang. Ada yang kurang dari apa yang telah diberikan erwin
terhadapku.
“apa yang kurang?” tanyaku
“Erwin mungkin bisa memberikan semuanya untukku. Raganya,
waktunya, pikirannya dan apapun yang ia miliki”
“lantas?”
Kereta perlahan mengurangi
kecepatan. Suara seorang masinin dari pengeras suara memperingatkan bahwa
kereta tak lama lagi akan berhenti di stasiun terdekat. Tak lupa juga masinins
itu memperingatkan kepada penumpang untuk berhati-hati dan memperhatikan langkahnya
ketika keluar gerbong. Tak lupa juga meminta penumpang untuk memeriksa tiket
dan barang bawaannya agar tidak tertinggal di rangkaian kereta. Suara roda
kereta yang di rem pun berdercit keras, memekakkan telinga untuk sesaat.
“lihatlah, orang-orang itu turun dari kereta tanpa pernah
menoleh ke belakang. setelah mereka meloloskan langkah terakhirnya dari
gerbong, mereka sudah beranjak ke tujuan selanjutnya. Mereka sesegera mungkin
meninggalkan peron dan keluar stasiun. Mereka menge-Tab kartu di pintu keluar
otomatis juga tanpa melihat lagi kebelakang. Mereka selalu bergegas dengan
tujuannya. Seakan mereka ingin secepat-cepatnya berlalu dari kereta dan stasiun
yang telah mengantarkan mereka dalam menjalani aktifitas pekerjaannya”
Aku sebenarnya mengerti apa yang
dikatakan Mirari. Sama sepertiku, ternyata Mirari pun mencintai kereta dan
hal-hal yang berhubungan dengan itu. kami selalu merasa ada ucapan terima kasih
yang tidak pernah bisa kami sampaikan kepada masinis, gerbong, rel,
peron-peron, bangku tunggu, petugas PKD, pintu masuk dan keluar otomatis,
petugas loket dan bahkan mesin C-VIM (Commuter Vending Machine).
Meskipun sebenarnya di dalam lubuk hati, aku menyimpan
ketakutan tersendiri tentang kereta...
Setelah kereta kembali melaju
untuk sampai ke stasiun berikutnya, kami kembali melanjutkan perbincangan yang
sempat teralih. Aku memulainya lebih dulu
“Erwin telah memberikan segalanya untukmu. Lalu apalagi yang
kurang darinya”
“sebenarnya ada satu yang tidak benar-benar diberikan Erwin
kepadaku” jawab Mirari, dengan intonasi yang lambat, pelan...
“apa?” tanyaku menggantung
“hatinya” jawaban Mirari seperti angin. Pelan, berhembus
sebentar, lalu menghilang ke arah selatan. Atau mungkin menghilang ditelan
kesunyian malam.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya
dirasakan Mirari sehingga ia berkata seperti itu. tapi jelas terlihat dari
rautnya. Ada kecemasan sekaligus ketidakberdayaan Mirari dengan apa yang baru
saja ia katakan. Terlihat sangat alamiah kecemasannya. Bukan kecemasan yang
dibuat-buat. Kecemasan itu muncul dari dalam dirinya secara alamiah. Wajahnya yang
murung, pandangannya yang tiba-tiba jatuh. Jelas mendeskripsikan keresahannya.
Jika aku ada diposisinya, mungkin
aku pun akan sama sepertinya. Tidak tahu harus berbuat apa untuk menyikapi
keraguan semacam itu. Meskipun sebenarnya aku pun sedang merasakan keraguan
terhadap sesesorang yang seakan tidak dapat kujangkau. Dia begitu dekat, namun
ketika melihat pandangannya, semakin lama rasanya ia semakin menjauh. Ada
sesuatu yang sangat jauh yang ada dimatanya. Lebih jauh dari masa lalu yang
menurutku adalah hal yang paling jauh karena kita tidak dapat mengunjunginya
kecuali dengan kendaraan kenangan.
“aku tak pernah merasa ia memberikan hatinya setiap kali bersamaku.
Aku hanya merasakan raganya saja. Tapi tidak merasakan hatinya ada untukku”
Tidak dapat berkomentar banyak, aku lebih memilih diam dan
terus mendengarkan Mirari. Tentu saja, suasana yang menjadi sangat sentimentil
membuatku tidak boleh salah dalam berucap. Aku harus berhati-hati jika ingin
berkomentar atau mengucapkan pendapat maupun pertanyaan.
Meskipun sebenarnya aku sendiri
tidak tahu harus mengatakan apa ke Mirari. Aku mengerti perasaannya. Setiap
perempuan memiliki insting batin yang sangat kuat. Dan aku juga tidak bisa
begitu saja menuduh Erwin yang tidak-tidak karena dalam penuturan Mirari Erwin
sebenarnya telah melakukan hal yang sudah semestinya. Ini hanya masalah
perasaan Mirari yang seperti tak merasakan Erwin benar-benar mencintainya.
Dan ini adalah hal yang abu-abu.
Hal yang samar-samar karena tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung apa yang
dirasakan Mirari mengenai perasaan Erwin
terhadapnya. Secara nampak, tentu Erwin mencintai Mirari. Dan aku pun
berpendapat seperti itu sebenarnya. Bagaimana mungkin Mirari tidak percaya
dengan Erwin. Aku rasa Mirari terlalu berlebihan dalam menyikapi kecurigaannya
yang dibuat-buat itu.
Tapi aku tidak akan mengatakan
itu kepada Mirari. Aku kenal Mirari, dia adalah orang yang tidak gampang
mencurigai sesuatu yang belum pasti. Sehingga aku juga berfikir bahwa Mirari
pasti memiliki alasan yang sangat kuat yang membuatnya curiga seperti itu.
mungkin batinnya mengatakan Erwin belum mencintainya karena alasan tertentu.
Mungkin karena Mirari terlalu terbebani dengan istilah balas budi dimana Mirari
menganggap bantuan yang diberikan keluarganya kepada keluarga Erwin adalah
faktor utama Erwin mau menerimanya sebagai balas budi yang baik.
Entahlah!
Semakin memikirkannya, semakin aku merasakan bingung
Kereta tiba di stasiun kami. Aku
dan Mirari turun lantas duduk di bangku tunggu peron. Aku melihat ke arah
ujung, barangkali ada sebuah keajaiban dimana aku bisa bertemu lelaki itu
selain di hari selasa.
Haha...
Sungguh konyol diriku
Bagaimana aku bisa mengabaikan begitu saja temanku Mirari
ketika turun dan langsung berharap ada lelaki itu di sini
Aku merasa semakin tak terkendali setiap kali memikirka
lelaki itu
Harusnya Ia (lelaki itu) lemburnya tidak hanya hari
selasa, agar aku bisa menemukannya
Apa ia pulang malam setiap hari selasa karena lembur?
Apa lagi kalau bukan itu!
Semakin lama, semakin fikiranku bertanya kemana-mana. Entah
bertanya kepada siapa. Mungkin kepada diriku sendiri. kepada ketololanku
sendiri
Segera aku menghapus fikiran itu. dan kembali ke Mirari.
sekarang, Mirari mulai bercerita lagi. Kelihatan ia sangat terbebani dengan apa
yang melanda fikirannya.
“aku merasa, Erwin masih mencintai perempuan yang dulu ia
cintai diam-diam”
“kenapa kau seyakin itu”
“mulanya aku tidak yakin”
“lantas?”
“ketika Erwin bertemu dengan wanita itu setelah sekian lama
tak bertemu, jelas terlihat bahwa Erwin masih menaruh perasaan”
Sebenarnya aku ingin bertanya kepada Mirari apakah iya Yakin
dengan apa yang baru ia ucapkan. Karena sebenarnya ada kemungkinan Mirari hanya
salah paham. Karena meskipun dulu pernah memiliki perasaan, ketika sudah lama
tidak bertemu dan bertemu lagi di suatu waktu, tentu siapa pun akan merasakan
hal yang unik. Entah itu perasaan sungkan, heran, kikuk dan hal-hal semacamnya
yang membuat keduanya grogi dan terlihat serba salah. Aku takut Mirari hanya sedang dikuasai
perasaan cemburu saat menyimpulkan hal itu
“kenapa kau membiarkan mereka bertemu jika kau cemburu
seperti itu”
“aku tidak cemburu” jawabnya, lembut. kalem
Sungguh tidak bisa dikatakan bahwa Mirari adalah tipe orang
yang pencemburu. Mirari termasuk perempuan yang dapat mengendalikan emosinya.
Dapat mengendalikan fikirannya dengan tenang. Meski aku berpendapat bahwa saat
ini Mirari sedang dikuasai rasa curiga dan cemburu yang tidak biasanya, Mirari
tetap terlihat tenang. Terlihat biasa-biasa saja. namun dalam hatinya jelas ada
seasuatu yang salah. Sesuatu yang mungkin sedang menghancurkan dirinya.
Dan sekarang aku bingung harus seperti apa menanggapinya. Beberapa
hari lalu aku merasa mengerti apa yang dirasakan Mirari. tapi hari ini aku
berbalik tidak mempercayainya, atau lebih tepatnya meragukan Mirari.
Begitulah cinta, ia tidak hanya membuat repot orang yang
menjalaninya. Ia kadang juga dapat membingungkan orang lain dengan segala
bentuknya yang kadang rumit dan kadang terlalu sederhana. Dan cerita cinta
Mirari dan Erwin ini tergambar di pikiranku sebagai sebuah bentuk yang rumit.
Lima belas menit kemudian, handphone Mirari berdering.
Ternyata Erwin yang menelpon. Setelah menjawabnya dengan senyum yang sempat
tersungging, Mirari segera menutupnya. Dan ketika itu, Mirari langsung
menatapku dengan pandangan yang sangat menyedihkan. Tatapan yang membuatnya
sangat lemah. Seperti yang dikatakan lelaki itu tempo hari. Mirari seperti mengalami
sebuah kekalahan dalam dirinya. Dan Mirari seketika memelukku. Seperti sedang
mengadu kepadaku atas segala kegundahan yang menderanya tanpa menggunakan
kata-kata. Hanya menggunakan bahasa pelukan. Tanda ia sangat ingin dimengerti
dan tidak ingin sendiri.
“berasabarlah Mir. Aku yakin Erwin lambat laun akan
benar-benar mencintaimu dan melupakan perempuan dari masa lalunya itu”
“terimakasih karena sudah mencoba mengerti aku”
“kau temanku. Sudah seharusnya aku melakukannya”ku usap
pundak Mirari dengan pelan dan penuh pengertian.
Dan seketika, aku seperti sedang
memeluk diriku sendiri. sedang mencoba menenangkan diriku sendiri dari sesuatu
yang perlahan semakin membuatku resah juga.
Setelah menyeberangi peron dan
keluar dari pintu otomatis, Mirari menghampiri Erwin yang telah menunggunya.
Mirari melambaikan tangan kearahku, berpamitan. Begitu juga denga Erwin. Erwin
melambaikan tangan kearahku dan tersenyum entah untuk apa.
Erwin, tidakkah ia mengerti apa
yang sedang dirasakan kekasihnya?
Dari kejauhan keduanya mulai menghilang ditelan keramaian
jalan. Dan menyisahkan aku seorang diri di peron ini. Seorang diri dalam
menunggu.
Aku sampai lupa untuk mengabari Ibuku bahwa aku sudah sampai
di stasiun. Segera aku menelponnya. Setelah itu, aku kembali diam. lebih banyak
melamun. Melamuni temanku Mirari dan kisah nya, juga melamuni diriku yang malam
ini rasanya sangat kesepian. Kulihat jam tangan menunjukan pukul 22:03, dan
kulihat kekosongan disebelahku.
Dalam hati aku berharap, seseorang tiba-tiba ada disebelahku
dan menyapaku dengan tanya “lembur lagi?” seperti apa yang biasa terjadi di
malam rabu. Tapi aku sadar, malam ini bukan malam rabu. Malam ini adalah jum’at
malam sabtu. Ia tak mungkin ada di malam ini.
Mungkin ia sudah ada dirumahnya sejak beberapa jam yang
lalu. Sedang memandang rembulan dari teras rumahnya sendirian. Dan aku, aku
sendiri disini memandangi rembulan dengan perasaan rindunya
Kenapa aku menginginkan seseorang hadir sekarang?
Kenapa aku sangat gelisah, dan sangat ingin melihat
seseorang yang jauh disana?
Aku bertanya dalam hati.
Sejak kapan aku merasakan kesepian yang keterlaluan?
Sejak kapan aku semakin menginginkan kabar seseorang?
Dan aku semakin sering bertanya-tanya seterusnya,
Sampai aku sadar bahwa hal itu mungkin bernama Rindu...
*****
Selasa, 21:45
Aku dan Mirari turun dari kereta. sejak beberapa minggu ini
aku dan Mirari selalu pulang bersama. Di sela waktu menunggu jemputan kadang
Mirari masih membahas tentang Erwin. Untung saja, hari ini Handphone Mirari
bedering lebih cepat dari biasanya. Ternyata Erwin sudah datang menjemput lebih
cepat dari biasanya. Mirari bergegas menutup telpon dan memasukannya kedalam
tas. Ia pun bangkit dari duduknya. Namun ternyata Mirari tak segera beranjak.
Dengan posisi membelakangiku Mirari berkata :
“apa kau tahu siapa orang yang dulu diam-diam disukai
Erwin?”
“siapa?” tanyaku, pelan. Sekaligus penasaran
Tak ada jawaban, Mirari hanya diam saja beberapa lama.
Sebelum akhirnya ia berbalik ke arahku. Dan berkata lagi,
“kau mungkin tak akan percaya”
“kalau kau yang mengatakannya, aku percaya” tegasku
Bukannya menjawab, Mirari malah membalasku dengan tersenyum.
Membuatku semakin tidak mengerti
Ia pun menyeberangi peron dan keluar dari pintu otomatis.
Dari kejauhan Erwin telah menanti Mirari di depan stasiun. Merekapun
melambaikan tangannya kearahku. Bahkan Erwin sempat tersenyum kepadaku. Meski
samar terlihat
Kini, Mirari jadi lebih sering diantar jemput oleh Erwin.
Dan kurasa itu baik untuk mereka berdua
Untuk sesaat, aku larut dalam renungan mengenai hubungan
mereka berdua. Bagaimana bisa hubungan yang terlihat harmonis itu ternyata di
dalamnya tertanam bom waktu yang bisa meledak kapan saja. itu bukan mengenai
Mirari saja. Bom itu juga mungkin milik Erwin yang diam-diam masih menyimpan
perasaan terhadap orang lain seperti yang disangka Mirari.
Ternyata hidup memang tidak selamanya datar. Seperti apapun
keadaan seseorang pasti akan menemui kesulitan. Kesulitan itu adalah batu
loncatan yang apabila berhasil di lalui maka orang tersebut akan dapat berada
di permukaan yang lebih tinggi lagi.
“suatu saat mereka mungkin akan saling terbuka”
Suara itu tiba-tiba datang secara mengejutkan lagi. ya,
lelaki itu tiba-tiba sudah ada di sebelahku kali ini. Aku tak sempat mencerna
ucapannya karena kaget.
“kau?, mengagetkan saja”
Bukannya menjawab, lelaki itu malah membuang pandangannya ke
langit malam. Ke lautan gelap yang menyimpan beribu misteri yang tak diketahui
umat manusia.
Dan lelaki itu, lelaki itu mungkin bagian dari misteri
itu. karena aku tak pernah dapat mengetahuinya lebih jauh
Mulanya aku ingin membuka perbincangan dengan menanyakan
sejak kapan dia ada di sebelahku. Tapi setelah kupertimbangkan lagi, mungkin
aku saja lengah dan tak sadar dia sudah ada di sebelahku sejak tadi. Meski
sebenarnya aku yakin ketika masih ada Mirari, lelaki itu belum ada. Mungkin ia
datang ketika aku terpaku ke Mirari saat Mirari menyeberang dan berlalu bersama
Erwin di luar stasiun sana.
“lembur lagi hari ini?” akhirnya hanya pertanyaan murahan
itu yang keluar dari mulutku. Padahal aku sudah tahu jawabannya. Karena Lelaki
itu memang setiap selasa selalu lembur.
Dan Lelaki itu, hanya menjawab dengan senyum. Senyum yang
membingungkan. Entah itu membenarkan atau menertawakan. Menertawakan karena aku
terlalu basa-basi dalam bertanya mungkin. Ya mungkin begitu.
“kenapa kau selalu melihat langit malam?” tanyaku. Kali ini
lebih memberanikan diri.
“menurutmu?”
Aneh, seharusnya aku yang bertanya dan dia yang menjawab.
Tetapi kali ini aku malah bingung dengan pertanyaanku sendiri karena dia
melemparkan pertanyaanku ke diriku sendiri.
“mungkin kau menyukainya?” jawabku sekenanya. Semaunya
“seperti lautan dalam, langit malam menyimpan banyak hal-hal
yang tidak kita ketahui”
Sangat kentara, ia menjawab dengan penuh penghayatan. Saat
itu wajahnya yang tersorot lampu peron sangatlah mengagumkan. Dan tak terasa
pipiku me-merah membuatku sangat malu untuk menatapnya. Sehingga aku hanya bisa
menjatuhkan pandangan ke permukaan peron. Terlihat, seekor semut berjalan cepat
sambil membawa sebuah benda yang ukurannya tiga kali lipat dari tubuhnya
sendiri.
“bagiku, lautan dalam dan langit malam sangatlah
menyeramkan” akhirnya aku mengatakan sesuatu.
“kau takut kedalaman?” tebaknya.
“kedalaman dan juga ketinggian” jawabku melengkapi.
Dan tak ada jawaban lagi darinya. Dia terdiam. Membuat
suasana hening, sangat hening. Rasanya, saat waktu seperti berhenti, angin yang
berhembus berhenti, orang-orang yang lewat berhenti, suara dari ruang informasi
berhenti, lalu lintas jalan di sekitar stasiun berhenti. Semua berhenti. Petugas keamanan stasiun yang
berjaga di penyeberangan peron kaku mematung seperti orang-orang lainnya. Tak
ada suara, kecuali suara gemericik air yang jatuh dari tepi atap peronke dalam
genangan. Suara itu sangat dekat denganku. Terdengar jelas di telingaku saat
bulir itu pecah di permukaan peron.
Namun semua itu tak berlangsung lama. Semua kembali bergerak
setelah itu. Semua kembali berjalan seperti seharusnya. Waktu kembali berjalan, angin kembali
berhembus, orang-orang yang lewat kembali bergerak, suara dari ruang informasi
kembali terdengar, lalu lintas jalan di sekitar stasiun kembali sibuk dan
bising. Semua kembali seperti semula.
Petugas keamanan stasiun yang berjaga di penyeberangan peron dan orang-orang
lainnya kembali bergerak.
kulihat, lelaki itu menganggkat tangan kanannya dan
menggosokkan lengannya ke wajahnya. Mungkin ke matanya. Apa dia menangis?
Tanyaku dalam hati. tapi kenapa?
“kau baik-baik saja?”
Ada isak yang ditarik dari hidungnya. Pemandangan itu
mengingatkanku dengan peristiwa dimana ayah menangis sehari sebelum ia
meninggalkanku untuk selamanya. hari itu ayah mengajakku ke sebuah taman dan
duduk di sebuah ayunan. Dia bercerita banyak kepadaku saat itu. mulai pertama
kalinya ia bertemu ibu, lalu jatuh cinta dan menikah. Lalu cerita ketika ayah
bekerja di tempat baru setelah menikah, dan cerita kesehariannya dan ibu yang
berubah drastis ketika aku lahir. Kata ayah, dia dan ibu sangat bahagia ketika
aku lahir. Aku sangat merasakannya saat itu ayah sangat bahagia menceritakannya.
Sangat jarang aku melihat wajah ayah yang seperti itu. karena biasanya ayah
adalah orang yang pendiam. Orang yang selalu terlihat datar dan ekspresi yang
kaku. Orang yang tertutup. Aku selalu melihat ayah seorang yang selalu
menyimpan derita seorang diri. Tapi hari itu, hari itu ayah sangat berbeda dari
biasanya. Hari itu aku mengenal sisi ayah yang lain. ayah yang hangat, ayah
yang ceria.
Namun, sehari setelah hari itu, ayah mengalami kecelakaan.
Saat dalam perjalanan ke luar kota dalam urusan pekerjaan, kereta yang ayah
tumpangi mengalami insiden tabrakan dengan truk kontainer yang menerobos palang
pintu perlintasan kereta. lokomotif dan dua gerbong penumpang tergelincir
keluar rel dan mengalami rusak berat. Puluhan orang meninggal, termasuk masinis
dan asistennya. Dan ayahku yang berada di gerbong penumpang deretan depan
menjadi salah satu diantara korban penumpang yang meninggal.
Ternyata obrolan dengan ayah saat itu adalah obrolan pertama
dan terakhirku dengannya...
“kau baik-baik saja?”
Tiba-tiba dia (lelaki itu) balik bertanya padaku. Seketika
lamunanku pecah. Berakhir. Segera kuusap mataku yang terasa seperti akan ada
yang menetes.
Aneh rasanya, padahal sebelumnya dia yang terlihat tidak
baik-baik saja. lantas keadaan terbalik dan malah aku yang sekarang tidak
baik-baik saja.
“tentu, aku baik-baik saja” jawabku, sambil mengusap mataku
yang rasanya ingin menumpahkan sesuatu itu.
Kulihat, wajah lelaki itu penuh dengan kekhawatiran.
Tapi siapa yang di khawatirkannya?
Apa aku yang di khawatirkannya?
Memangnya dia tahu perasaanku?
Tentu saja tidak!
Suasana kembali sunyi.
Lelaki itu kembali melihat ke langit malam. Dan seperti
biasanya aku tidak dapat menerka apa yang ia fikirkan ketika memandang lautan
langit malam itu. dalam hati aku masih sangat ingin mengetahui tentangnya lebih
jauh lagi. tapi rasanya sangat sulit. Ia bahkan menolak untuk memberi tahu
namanya beberapa minggu yang lalu ketika aku membahas perkenalan. Selain
namanya, aku juga masih penasaran dengan tempat kerjanya dimana. Karena aku tak
pernah satu gerbong dengannya meski tiba di stasiun ini sering dengan jadwal
kereta yang sama. aku juga penasaran dengan kenapa aku hanya bisa bertemu
dengannya di hari selasa malam rabu saja. kalau memang lembur, kenapa Ia
lemburnya hanya hari selasa atau selalu hari selasa. Dan yang paling penting
adalah, aku ingin tahu apa yang difikirkannya tentangku.
“boleh aku meminta sesuatu kepadamu?”
Lelaki itu berkata seolah memohon. Dan aku meng’iya’kannya.
“Besok, jangan minum kopi”
Seketika ia menatapku. Membuat pipiku memerah. Sungguh aku
dalam kondisi tidak siap saat itu. kami jarang bertatapan langsung seperti ini.
Rasanya seperti konfrontasi langsung. Tapi ini bukan dengan musuh. Tapi dengan
seseorang yang selama ini membuatku ...
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa”
Lelaki itu seperti menyembunyikan sesuatu. Dia tiba-tiba
saja mengeluarkan permintaan yang aneh dan tidak memberikannya penjelasannya.
Lagi pula aku bukan type yang sering minum kopi. Aku hampir tidak pernah minum
kopi di hari kerja, kecuali di akhir pekan. Ketika aku sedang ingin mencari
suasana tenang biasanya aku mengunjungi Coffee Shop . Itu pun sangat
jarang, aku lebih sering memesan cokelat panas ketimbang kopi. Dan itu pun mungkin
dua bulan sekali.
“Aku harus tahu alasannya dulu” jawabku kini, lebih pelan
tanpa melihatnya
“Alasannya tidak lain untukmu”
“Untukku?”
“Ya, untukmu” tatapannya semakin mendalamiku.
Dari caranya bicara, ia terlihat sangat serius dan tulus.
Tapi nampak jelas ia tidak bisa menjelaskan sesuatu sehingga ia hanya bisa
mengatakan permintaannya saja tanpa dibarengi dengan penjelasannya. Entah apa
yang ada di fikirannya.
Mendengar ia mengatakan semua itu untukku, entah mengapa aku
bisa yakin begitu saja kepadanya. aku bahkan tak bertanya lagi kepadanya mengenai
alasannya. Aku mengangguk dan menerima permintaannya begitu saja tanpa protes
lagi. ada sesuatu yang tulus yang ingin ia berikan kepadaku rasanya. Tapi aku
tentu tidak tahu seperti apa bentuknya itu.
“terimakasih” malu-malu, aku mengatakannya sambil
menundukkan kepalaku. Menyembunyikan rasa maluku.
Angin berhembus lagi entah yang keberapa. Merembas kebisuan
yang melandaku dan lelaki itu. kami cukup lama terjebak di keheningan tanpa
kata-kata. Aku memandang lelaki itu. kuperhatikan baik-baik wajahnya. Entah
mengapa aku seperti melihat luka dan duka yang menyelimutinya dari suatu tempat
yang jauh. Seakan ia telah dan akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga
bagi dirinya. Meski begitu, lelaki itu selalu tersenyum sambil melihat langit
malam. Senyum yang kali ini begitu sendu
“Oh iya, teman perempuanmu yang itu, apa hubungannya dengan
kekasihnya sudah membaik?”
“Terakhir kali kami bertemu, dia memelukku sambil menangis”
“Sejauh mana kau terlibat dengan hubungan mereka?”
“Aku hanya sekedar temannya Mirari. Teman curhatnya. Kenapa
kau bertanya hal itu”
“Tidak. Aku hanya mengkhawatirkan sesuatu”
“Apa itu?”
Dia kembali melihatku. Kali ini lebih singkat sebelum ia
membuang pandangan lagi ke langit malam. Sial, seandainya aku bisa menjadi
langit malam, aku ingin bisa di lihatnya secara terus menerus tanpa harus malu
dan kikuk. Aku ingin lelaki itu bisa melihatku meski aku sangat jauh. Dengan
begitu aku tidak perlu mengalami rasa malu dan grogi seperti yang selama ini
menimpaku tatkala lelaki itu menatapku.
“Apa kau sudah tau wanita yang dicintai Erwin?”
“Belum”
“Kenapa kau tidak mencari tahunya?”
“Aku percaya Mirari. Pada saatnya Mirari akan memberitahuku
juga”
Seiring dengan detik yang terus melaju dan waktu yang
semakin menua. Malam semaik larut dan berbagai pertanyaan dan pernyataan harus
diistirahatkan seperti kita mengistirahatkan raga kita.
Ya.
Pertanyaan adalah salah satu bentuk raga yang terus
mengalami perubahan. Mengalami naik turun kondisi dirinya. Seperti tubuh,
pertanyaan juga bisa sakit apabila ia tidak mendapatkan jam istirahat yang
baik. Pertanyaan harus diistirahatkan sejenak lalu keesokan harinya harus
digunakan lagi sebagai alat maupun peluang bagi orang lain.
Seperti pertanyaanku tentang lelaki ini. Sekarang ia sudah
lelah dan butuh istirahat. Karena jika tidak ia akan membangkitkan pertanyaan
petanyaan yang baru lagi. jika pertanyaan baru terus bermunculan maka aku tidak
bisa beristirahat. Oleh sebab itu aku harus menikmati saat-saat bersamanya
bukan dengan bertanya. Tapi dengan perbincagan. Meski sebenarnya perbincangan
kami tidak sebanyak perbincangan sahabat pada umumnya, aku selalu menikmatinya.
hanphone ku pun berdering. Kurasa Ibu ingin tahu
posisiku sudah dimana. Aku angkat telpon tersebut. Ternyata Ibu telah sampai di
stasiun. Padahal aku belum mengabarinya, tapi ibu telah berinisiatif
menjemputku lebih awal ternyata.
“Ternyata ibuku telah menjemput”
Lelaki itu sempat terlihat agak kaget. Tapi cepat kemudian
dia kembali membenarkan ekspresinya. Aku pun bangkit dan bersipa
meninggalkannya. Sangat disayangkan memang, ketika aku masih ingin lebih lama
lagi dengannya, Ibu malah lebih cepat menjemputku dari biasanya. Padahal hari
ini lelaki itu mulai bicara lebih banyak dari biasanya.
“Aku duluan” bangkit, dan pamit ke lelaki itu.
“Hati-hati” ucapnya, pelan.
Aku hanya mengangguk seperti biasa.
Aku pun beranjak meninggalkannya menuju penyeberangan peron.
Saat akan menyeberang, seorang petugas membentangkan tangannya. Ternyata akan
ada kereta yang datang sehingga aku tidak diizinkan untuk menyeberang dulu.
Akupun terpaksa menunggu sampai kereta selesai menurunkan penumpang dan kembali
melaju meninggalkan peron stasiun. Suara alarm palang pintu terus berbunyi. Dan
pemberitahuan dari ruang informasi dilakukan berulang-ulang. Meminta penumpang
yang akan naik agar menunggu penumpang yang akan turun terlebih dahulu.
Dari jalur satu kereta commuterline tujuan akhir stasiun
Duri, Stasiun duri. Kepada para penumpang yang akan naik agar menunggu
penumpang yang akan turun terlebih dahulu. Dan kepada para penumpang yang akan
turun untuk periksa kembali barang bawaan anda agar tidak ada yang tertinggal
di rangkaian kereta. Jalur Satu Kereta Commuterline tujuan akhir Stasiun Duri
Aku yang berada di jalur Dua untuk menyeberang pun menunggu
kereta di jalur satu selesai menurunkan dan menaikkan penumpang. Sesekali aku
melihat kearah lelaki itu. kali ini lelaki itu melihat kearahku. Masih
kearahku. Posisinya sama seperti ketika aku pamit di hadapannya tadi. Tidak
biasanya dia begitu. Padahal biasanya ketika aku melihatnya lagi, Ia pasti
sedang menatap langit malam. Tapi ternyata kali ini aku malah yang menjadi
pusat perhatiannya. Aku yang malu segera membuang muka dan menunduk. Lalu
melihat gerbong kereta di depanku tanpa jelas bagian mana yang kulihat. Karena
aku hanya menghindari pandangan lelaki itu saja. ketika kereta berlalu, aku pun
melihat lagi ke arah lelaki itu dan lelaki itu masih melihatku. Kulambaikan
tanganku seperti biasa. dan ia menbalas dengan kaku sama sepertiku. Penuh
malu-malu. Petugas yang tadi menahan langkahku saat kereta masuk di jalur
satupun melihat ku dengan alis yang terangkat
“Lagi melambai ke siapa mba?” sambil melihat kearah lelaki
itu.
Tidak kujawab karena malu. Aku melirik sebentar ke petugas
itu dan langsung menggeleng tanpa kata-kata. Cepat kemudian menyeberangi peron
menuju pintu keluar otomatis. Pada saat keluar dari pintu otomatis stasiun, aku
kembali melihat kearah lelaki itu. dan aneh, lelaki itu masih melihat kearahku.
Rasanya hari ini adalah hari yang paling mengejutkan bagiku. Aku diperhatikan
sangat lama olehnya. Aku yang malu, spontan tersenyum lalu membuang muka dan
langsung menghampiri ibu yang telah menunggu di samping stasiun.
Besoknya, Mirari mengirimiku WA dan meminta untuk pulang
bareng. Ketika pekerjaan ku hari itu selesai, aku pun bergegas pulang. Aku
janji dengan Mirari bertemu di stasiun Duri sekitar jam setengah delapanan.
Ternyata memenuhi janji itu tidak mudah. Jam 19:25 aku masih
berada di manggarai dan kereta arah Sudirman, Tanah Abang Duri masih belum tiba
di peron 5. Kebanyak yang masuk di jalur lima malah kereta arah Bogor dan
depok. Aku terus berkirim pesan ke Mirari sambil meminta maaf. Mirari bersedia
menungguku.
Baru pada pukul 20:14 kereta arah Sudirman, Tanah Abang Duri
masuk di peron 5. Setelah pintu kereta terbuka secara otomatis, penumpang yang
sudah berdiri di depan pintu langsung keluar dan turun dari kereta. kemudian
setelah penumpang yang turun selesai, penumpang yang naikpun segera memasuki
gerbong. Tepat setelah dua puluh detik kereta berhenti di peron 5, kereta
kembali berangkat meinggalkan peron 5 stasiun manggarai.
Aku kembali mengirim pesan ke Mirari. dia sudah tiba empat
puluh menit yang lalu di Stasiun Duri. aku bersyukur dia teman yang sabar dan
mau menungguku selama itu. Baru pada pukul 20: 38 aku tiba di stasiun duri. Segera
kutemui Mirari yang menunggu ku di peron jalur 5 Stasiun Duri. Peron Jalur 5 adalah
peron untuk kereta arah tangerang. Malam itu Mirari mengenakan jaket parka
dengan kepalanya yang ditutupi oleh bagian penutup kepala dari jaket parka
tersebut yang memiliki bulu di bagian yang melingkari kepalanya. Selain itu
Mirari juga mengenakan masker yang menutupi bagian dagu, mulut hingga sebagian
hidungnya. Mungkin dia sedang flu.
Dari ruang informasi, diberitahukan bahwa kereta Duri-Tangerang
jadwal berangkat dari Stasiun duri pada pukul 20:32. Saat ini kereta masih
berada di stasiun kalideres menuju Stasiun duri. di peron, penumpang yang
menunggu kereta tersebut perlahan mulai padat. Apalagi ketika di jalur satu
kereta arah jatinegara berhenti menurunkan penumpang, banyak penumpang yang
turun langsung transit ke peron 5.
Peron 5 pun seketika padat oleh calon penumpang kereta arah
tangerang. Aku dan Mirari Memilih menunggu di bangku peron yang jaraknya
menjauh dari peron. Letaknya Di bawah eskalator yang ada di jalur 5 dan di sana
ada sebuah ruangan mirip dengan loket pembelian tiket namun belum beroperasi.
Kaca-kacanya masih di tutupi dengan kertas sehingga bagian dalam ruangan tidak
terlihat.
“Mir, apa kau sedang sakit?”
“Apa karena pakaianku?”
“Ya, aku kira begitu”
“Tenang Lish, Aku baik-baik saja. ini hanya style”
“Baguslah kalau kau baik-baik saja”
Terlihat, Mirari senang karena aku mengkhawatirkannya.
Setelah memastikan keadaan Mirari baik-baik saja, aku tidak lagi usil dengan
penampilan Mirari. dia memang perempuan yang kadang Modis. Sejak SMA, Mirari
terkenal dengan penampilannya yang selalu mengikuti tren. Sehingga banyak Pria
yang dulu tertarik dengannya. Ternyata kebiasaan itu masih berlanjut ketika
sudah bekerja. Begitu juga dengan perasaan nya kepada seorang pria. Tidak pernah
berubah sejak SMA. Meski ketika SMA tidak ada yang tahu Mirari menyukai Erwin
karena dia menyembunyikannya rapat-rapat ketika itu.
“Lish,”
Mirari memberikan sebuah cup Es Kopi yang sejak tadi ia
pegang. Meski mengenakan masker, suara Mirari masih bisa kudengar dengan jelas.
Mungkin karena logat Mirari yang tegas dan suara bass nya yang jernih.
“Untukku?” tanyaku ragu
“Iya. Saat menunggumu tadi aku sempat keluar dan membelinya”
“Kau meminumnya saat menungguku di dalam stasiun?”
“Tidak. awalnya aku minum di depan minimarket tempat ku
membelinya. Namun karena kau lama, dan kopi yang ku beli sudah habis, aku
membelinya lagi. Saat kau mengabariku kau sudah hampir sampai sini, sekalian
saja aku beli untukmu juga”
“Terimakasih Mir”
“Sama-sama”
Aku memutar-mutar minuman kopi tersebut. Masih terasa
panasnya ketika aku pegang. Sehingga aku tidak bisa meminumnya langsung. Mirari
pun mengatakan bahwa jangan diminum langsung karena masih panas. Bisa-bisa lidahku
melepuh jika meminumnya langsung. Meski begitu ada yang sedikit aneh. ketika
secara tidak sengaja aku mengendus kopi tersebut, baunya aneh. Bukan bau kopi,
tapi baunya seperti jus apel. Kufikir itu varian baru dari rasa kopi fikirku.
Meski sebenarnya aneh, karena sejauh ini aku tidak pernah menemukan kopi
memiliki rasa buah-buahan. Atau mungkin Mirari yang salah mengambilnya. Mungkin
Mirari salah mengambil, yang seharusnya dari mesin Kopi tetapi diambil dari
mesin malah Jus apel.
“Apa kau tidak salah ambil Mir?” sambil mengangkat Cup kopi
yang ada di tanganku
“Tentu saja tidak. Nanti kau coba saja” jawab Mirari sambil
tersenyum
Meski sempat ragu-ragu, akhirnya aku tidak mengambil pusing
hal tersebut. Sekarang Mirari mulai bercerita lagi. inilah tujuannya mengajak
pulang bareng. Agar bisa bercerita banyak kepadaku. Apalagi kalau bukan tentang
hubungannya dengan Erwin.
Pukul 20:25 kereta tiba di peron 5 Lima. Seketika kereta
langsung penuh oleh penumpang yang memang sudah banyak yang menunggu
kehadirannya. Dalam hitungan detik kereta tersebut telah penuh oleh penumpang
baru. Termasuk aku dan Mirari. kami tidak kebagian kursi kereta dan harus
berdiri bersama penumpang lainnya yang tidak kebagian kursi kereta. Aku dan
Mirari berdiri di dekat pintu keluar. hari
Mirari pun mulai bercerita panjang lebar tentang Erwin.
Sebenarnya lebih banyak cerita yang diulangnya. Hanya saja kali ini ia lebih
merincikan tentang asumsi dari firasatnya yang mengatakan bahwa Erwin masih
menyukai perempuan yang pada masa SMA dulu Erwin suka secara diam-diam sehingga
Erwin sampai sekarang tidak bisa benar-benar mencintai dirinya (Mirari).
Aku sempat menanyakan kembali dasar asumsi Mirari tersebut.
Namun Mirari mejawab seperti sebelum-sebelumnya. hanya berdasarkan hatinya. Berdasarkan
nalurinya sebagai wanita.
“Oh iya, Lish. Ada yang harus kuberitahu padamu”
“Apa Mir”
“Sebenarnya orang yang disukai Erwin secara diam-diam sejak
SMA itu...”
Mendengar kata-kata Mirari yang terputus itu, rasa
penasaranku pun tak terbendung. Aku memandang Mirari sambil menunggu Mirari
melanjutkannya.
Bukannya lekas menyelesaikan perkataannya tadi, Mirari malah
menjatuhkan pandangannya ke bawah. Ada rasa berat yang sulit ia keluarkan.
Sempat ia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya lagi. Tapi Mirari tidak
juga mengatakannya lagi. Belum melanjutkannya lagi.
“Siapa Mir?” tanyaku penuh penasaran
Ditengah obrolan kami, Mirari sempat mengingatkanku perihal
kopi. Dia menyarankan agar aku mencicipinya nanti setelah sampai di kalideres.
Kalau sudah di kalideres mungkin sudah tidak panas lagi kata Mirari. aku pun
menganggukinya saja.
“Orang yang disukai Erwin sejak SMA itu adalah Alisha”
“Siapa?”
“Kau orangnya Lish”
Saat itu, rasanya hatiku menjadi kosong tiba-tiba. Aku
merasakan juga ada yang runtuh di dadaku. Penyesalan yang mendalam dan juga
rasa bersalah. Semua bercampuran dalam diriku yang kini tidak tahu harus
berbuat apa- tidak tahu harus merespon Mirari seperti apa.
Lantas aku teringat dengan saat ketika Mirari meminta Erwin
yang saat itu datang menjemputnya untuk masuk ke dalam stasiun langsung dan
bertemu denganku. Mungkin saat itu Mirari ingin meyakinkan dugaannya tentnang
perasaan Erwin terhadapku. Apakah masih ada atau tidak. atau apakah masih sama
atau tidak. dan bayangan Erwin yang menatapku saaat itu lantas menjadi terang
sekarang. Menjadi jelas.
Aku juga mulai memahami mengapa setelah hari itu, Erwin
lebih sering menjempur Mirari dan selalu tersenyum kepadaku ketika akan keluar
stasiun.
Dan keresahan Mirari selama ini setelah bertemu denganku juga kini terjawab
sudah. Akulah penyebab semua itu. akulah yang menyebabkan semua itu. tanpa aku
sadari, aku telah menjadi penyebab mengapa sahabatku merasa tidak dapat
memiliki orang yang dicintainya.
Seketika, aku mengingat pelukan Mirari saat itu. aku baru
benar-benar paham makna pelukan Mirari sekarang. Seketika, aku ingin memeluk
balik Mirari persis seperti ia memelukku waktu itu. Aku ingin memeluknya untuk
mengungkapkan perasaan bersalah dan ucapan maaf kepada Mirari karena tidak
mengetahui masalahnya selama ini.
Gerbong kereta dipenuhi oleh orang-orang yang pulang dari
kantornya. Semakin bertambah ramai ketika kereta berhenti di stasiun Grogol dan
pesing. Jumlah penumpang yang turun lebih sedikit dibanding penumpang baru yang
naik dari masing-masing stasiun. Mereka semua memiliki tujuan masing-masing.
tempat pulangnya masing-masing. dan dunianya masing-masing. sebagian besar
penumpang tidak memperdulikan penumpang lain. ada yang asik mendengarkan musik
dari earphone nya, ada yang asik dengan drama korea di Handphone
nya, dan ada yang asyik dengan buku bacaannya tentang leadership. Sebagian
sibuk dengan kantuk dan lamunannya.
Sedangkan aku dan Mirari, setelah kata-kata terakhir Mirari
yang mengejutkanku tadi, kami sudah saling diam. berat rasanya bagi kami untuk
bicara lagi. tentu karena situasi sudah berubah. Aku sudah mengetahui posisiku
dalam hubungan mereka. Mungkin Mirari tidak akan berkata-kata lagi. aku yang
harus memberikan tanggapan sekarang.
Tapi,
Aku tidak bisa berkata apa-apa
Aku tidak bisa memberikan respon kepada Mirari. bahkan aku
mulai takut untuk melihat Mirari. rasas bersalah itu selalu muncul dan
membuatku mundur untk melakukannya.
Meski wajahnya sebagian tertutup oleh masker dan bulu-bulu
pada tutup kepala dari jaket parka nya, tapi aku dapat menangkap kesedihannya.
Mirari mungkin sedang merasakan kontradiksi pada dirinya. Disatu sisi ia
cemburu kepadaku, disatu sisi ia tidak bisa menyalahkanku karena aku
sahabatnya, dan lagi aku tidak tahu menahu mengenai perasaan Erwin kepadaku.
Ketika kererta tibadi stasiun bojong indah, dan bersiap
berangkat kembali, Mirari berkata padaku
“Lish, aku duluan ya”
“Kau tidak turun di kalideres?”
“Tidak, aku turun setelah ini (Stasiun Rawa Buaya). Hari ini
aku ada urusan lain. Dan lelaki itu juga akan menjemputku disana.”
Entah urusan apa yang
dimaksud dengan Mirari itu. dan ketika
pintu kereta tertutup secara sempurna, dan kereta kembali melaju perlahan-lahan
meninggalkan stasiun bojong, Mirari berpindah ke dekat pintu kelur sebelah
kiri. Tak lama setelahnya, suara seorang masinis menggema dari pengeras suara
yang ada di gerbong.
Selanjutnya, kereta akan berhenti di Stasiun rawan buaya,
Stasiun Rawa Buaya. Bagi penumpang yang berada di gerbong pertama dan kedua
dari belakang agar bergeser ke gerbong lainnya karena gerbong pertam dan kedua dari belakang tidak mendapatkan
peron di stasiun Rawa Buaya. Pintu yang akan di buka adalah pintu sebelah kiri
dari arah laju kereta. bagi para penumpang yang akan turun agar mengecek
kembali barang bawaan serta tiket perjalanan anda. Stasiun Selanjutnya, Stasiun
Rawa Buaya. Pintu yang akan di buka adalah pintu sebelah kiri.
Beberapa penumpang lain pun bergeser ke pintu sebelah kiri
seperti yang dilakukan Mirari. mereka yang akan turun di stasiun rawa buaya
yang ada di gerbong pertama dan kedua dari belakang pun bergeser kedepan dan
memadati pintu-pintu sebelah kiri di gerbong ketiga dan keempat. Mirari ada di
salah satu dari mereka.
Ketika kereta berhenti di Stasiun rawa buaya, aku melihat
kembali kearah Mirari, seperti ingin mengucapkan salam perpisahan dan
permintaan maaf secara bersamaan. Tapi, Mirari malah berlalu begitu saja. ia
bergegas meninggalkan gerbong dan sedikitpu tak menoleh kearahku.
Apa dia marah kepadaku?
Kupandangi cup kopi yang ada di tanganku pemberian Mirari
tadi, seperti nya sudah tidak sepanas awal tadi. mungkin aku bisa meminumnya
setelah sampai di Stasiun kalideres nanti sebagai permintaan maaf ke Miarai.
Meski sebenarnya tidak ada hubungannya. Tapi aku ingin menghargai apa yang
sudah diberikan Mirari kepadaku.
Ketika tiba di stasiun kalideres, dan telah membebaskan
langkah terakhirku dari gerbong, aku lantas teringat dengan seorang lelaki yang
kemarin masih ada di bangku peron itu menemaniku. Kini bangku peron itu sepi.
Tentu hari ini lelaki itu tidak akan ada. Aku hanya bisa bertemu dengannya di
hari selasa malam rabu. Meskipun malam ini aku minum kopi pemberian Mirari
sampai habis agar tidak kantuk dan bisa menunggunya hingga larut, lelaki itu
pasti tetap tidak akan ada, tetap tidak akan muncul tiba-tiba seperti biasa.
Saat orang lain bergegas menuju penyeberangan dari jalur dua
ke jalur satu lalu mengantri di pintu keluar otomatis, saat itu aku malah
melamun sehingga menghalangi orang lain yang ingin lewat. Akhirnya aku memilih
duduk juga di bangku peron itu.
Saat aku akan meminum kopi yang diberikan Mirari, lantas aku
teringat dengan perkataan lelaki itu kemarin kepadaku. Permitaan tepatnya
“Boleh aku meminta sesuatu kepadamu?”
Lelaki itu berkata seolah memohon. Dan aku
meng’iya’kannya.
“Besok, jangan minum kopi”
Meski alasannya tidak jelas, pada akhirnya aku menurutinya.
Dan saat ini, aku lebih memilih mengabulkan permintaan lelaki itu ketimbang
menghargai pemberian Mirari. aku membuang kopi tersebut ke tong sampah yang tak
jauh dari bangku peron.
Saat kuingat lagi, bagaimana lelaki itu bisa tahu aku akan
punya kopi hari ini. kemarin ia secara spesifik memintaku agar Besok (hari ini)
jangan minum kopi.
Siapa dia sebenarnya. Apa dia peramal?
Bagaimana dia bisa meminta permintaan aneh semacam itu
dan malam ini terbukti
Pertanyaan-pertanyaan itu pun menjadi liar di dalam
fikiranku. Satu lagi sisi kemisteriusan lelaki itu yang ingin aku tahu. dan aku
semakin berharap waktu melaju semakin cepat agar aku bisa tiba lebih cepat di
hari selasa dan bertemu dengannya.
*****
Setelah hari dimana aku tahu bahwa orang yang disukai Erwin
sejak SMA sampai sekarang ternyata diriku sendiri, aku tidak lagi bertemu
dengan Mirari di hari berikutnya. Dan hari-hari selanjutnya pun aku tidak lagi
bertemu dengan Mirari. aku sempat mengirimkan pesan kepada Mirari untuk meminta
maaf atas keadaan dan kondisi yang membuatku sulit untuk bersikap. Tapi saat
itu Nomor Mirari malah tidak aktif lagi. pesanku melalui SMS maupun WhatsApp tidak pernah sampai ke Mirari. aku juga
mencoba untuk pulang di jam biasa aku bertemu dengan Mirari, berharap kami
bertemu di perjalanan kereta, tetapi tidak juga aku bisa bertemu dengan Mirari.
Saat itu, Mirari
menghilang begitu saja dari duniaku. Dan aku tidak bisa berbuat apapun dengan
hal itu. akun media sosial Mirari pun tak pernah aktif lagi. dan pesan ku pun
tidak pernah terjawab. Dan aku menerima kehilangan Mirari itu dengan
sewajarnya. Mungkin karena aku sudah terbiasa seperti itu. di tinggalkan
sahabat sejak dulu adalah hal biasa. bahkan aku akrab dengan Mirari pun
beberapa minggu ini saja. Sebelum-sebelumnya aku juga hanya sendiri. Jadi aku
seperti kembali ke awal lagi ketika Mirari hilang.
Namun,
Yang sangat
kusesali setelah hari dimana aku tahu bahwa orang yang disukai Erwin
sejak SMA sampai sekarang ternyata diriku sendiri, adalah bukan hanya
kehilangan Mirari. Setelah itu aku juga kehilangan seseorang yang sangat ingin
aku temui di setiap hari selasa malamnya.
Ya,
Lelaki itu ikut menghilang bersamaan dengan hilangnya Mirari
dan Erwin dari hidupku. Entah apa yang ada di balik semua itu. Aku sangat
menyesalinya. Hari selasa yang ku tunggu-tunggu akhirnya datang juga kala itu.
aku pulang jam setengah sembilan dari kantor dan tiba di stasiun kalideres
sekirar jam sepuluh lewat. Biasanya lelaki itu sudah ada di bangku peron sepi
itu.
Tapi, kali ini bangku peron itu malah di isi oleh orang
lain, sepasang kekasih yang sedang duduk sambil melihat Handpone
bersamaan dengan telinga mereka yang berbagi Earphone. Mungkin mereka
sedang melihat sebuah film drama dari Korea Selatan.
Aku lantas berdiri di dekat bangku peron tersebut. Aku
berharap nanti lelaki itu datang dan aku mudah ditemui olehnya karena berada
tidak jauh dari bangku peron tempat biasanya kami duduk. Menit demi menit
berlalu, tapi malam itu ia tidak juga datang. Panggilan dari ibu aku abaikan.
Aku duduk di bangku peron tersebut setelah sepasang kekasih tadi pergi dan
menyeberang lalu keluar stasiun. Aku terus menunggu kehadiran lelaki itu.
sambil berprasangka bahwa, mungkin lelaki itu malam ini lemburnya lebih lama
sehingga pulang lebih larut dari biasanya
Sampai pada akhirnya kereta jurusan Duri-Tangerang terakhir
tiba pada pukul 23: 35, akhirnya Aku sadar dan tiba pada kesimpulan, Lelaki itu
tidak akan datang malam ini. Lelaki itu tidak akan ada disini malam ini. Aku
menunggu nya, tapi hanya kesepian yang terus datang menjemputku sebagai jawaban.
Hanya semilir angin yang datang silih berganti. Hari-hari yang telah ku
tunggu-tunggu akhirnya hanya berlalu sebagai Sepi. Sebagai penantian yang
terjawab dengan cara yang tidak memuaskan.
Panggilan telpon dari ibu kembali datang, aku akhirnya
mengangkatnya. Mengatakan maaf pada ibu karena tidak bisa mengangkat telponnya.
Aku mengerti ibu khawatir karena sampai larut aku belum memberi kabar untuk
minta dijemput. Akhirnya aku berdalih bahwa aku tadi ketiduran di bangku peron
stasiun duri. dan baru bangun ketika kereta Tangerang yang terakhir datang.
Saat itu juga aku mengatakan pada ibu bahwa aku baru akan naik ke kereta. Dan
ibu pun bergegas untuk berangkat ke Stasiun Kalideres. Padahal aku sudah berada
di stasiun Kalideres sudah sejak beberapa jam yang lalu. Aku tidak mungkin
mengatakan demikian ke ibu karena akan menimbulkan pertanyaan besar bagi ibu
nanti.
Malam itu, sambil menunggu kedatangan ibu, aku memandang
langit malam dengan perasaan yang kalut dan perasaan yang larut dalam
kesedihan. Kerikil-kerikil pada rel yang diam, lampu-lampu peron yang
keisengan, tiang-tiang peron yang berdiri sendiri-sendiri secara rapih serta
bangku-bangku peron yang tak berpenghuni kecuali diriku, semua seakan ingin
membantuku mendeskripsikan sepi yang sedang berlangsung dalam diriku. Dalam
Stasiun DIPO pada diriku yang sedang menanti keretanya kembali.
Bahkan, selasa-selasa malam berikutnya pun, aku tidak lagi
bisa menemukannya. Meski seberapa keraspun aku berusaha untuk bisa
menemukannya. Aku tetap tidak lagi bertemu dengannya. Meski aku pulang lebih
cepat pada hari selasa aku tetap tidak bertemu dengannya di Stasiun kami.
Bahkan ketika aku menyengajakan diri pulang cepat dan menunggunya dari hari
lepas senja hingga larut ia tak pernah ada di antara penumpang-penumpang yang
turun dari kereta arah Duri-Tangerang. Yang ada hanya suara langkah-langkah
yang terburu-buru turun dari gerbong dan suara pintu-pintu kereta yang terbuka
dan tertutup lagi secara otomatis.
Dan pada dercit suara kereta yang mengerem saat akan berenti
dan klakson kereta yang akan jalan meninggalkan peron aku menemukan diriku yang
kesepian.
Aku sudah melakukan berbagai cara agar bisa bertemu
dengannya. Tetapi tidak juga bertemu dengannya. Mungkin takdir telah menghapus
lelaki itu dari takdirku sekarang. aku kehilangan lelaki itu tanpa bisa berbuat
apa-apa lagi. tak berdaya di hadapan takdir yang tegas.
Suatu hari di hari selasa, aku meliburkan diri dari
pekerjaan. Aku berangkat ke stasiun seperti biasanya. Duduk di bangku peron
tempat biasanya kami bertemu. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu di
Stasiunku itu hanya menunggu seseorang yang mungkin sudah tak lagi ada di dunia
ini. sejak awal terbersit dalam diriku bahwa ia mungkin tidak pernah nyata bagiku.
Mungkin ia hanya khayalan yang ada pada diriku yang sering melamun sedirian.
Khayalan yang tidak dapat di lihat oleh Mirari, oleh Erwin, Oleh ibu, Oleh
petugas PKD Stasiun serta tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang lewat dan
melihat ku dengan tatapan penuh tanya setiap kali aku berbicara dengan lelaki
itu dulu.
Hari itu juga, setelah larut malam dan stasiun hampir tutup,
aku menetapkan hati bahwa aku tidak akan pernah berusaha bertemu lagi dengan
lelaki itu. aku telah memutuskan bahwa lelaki itu selama ini tidak lebih
hanyalah imajinasiku saja. Hanya sebatas khayalanku saja. Ia khayalan yang
muncul sebagai refleksi dari diriku, sebab itu ia banyak kemiripan denganku.
Sikapnya yang lebih banyak diam, dan juga gelang cokelat yang terbuat dari tali
nilon yang ada di pergelangan tangan kirinya. Itu adalah gelang milikku warisan
ayah yang sudah lama hilang dan muncul kembali pada dirinya sebagai refleksi
yang ada di diriku. Khayalan tentang Lelaki itu muncul karena perasaan kesepian
yang sudah lama melanda diriku sehingga tanpa sadar aku tiba pada satu titik
dimana aku merasa jenuh tapi tidak juga bisa menghentikan kesepian itu.
akhirnya khayalan itu muncul dari alam bawah sadarku sebagai bentuk perlawanan
dan jawaban dari titik jenuh itu.
Aku kembali mengingat momen mengganjal mengenai lelaki
khayalanku itu ketika Mirari tidak merasakan keberadaannya padahal lelaki itu
duduk disebelah Mirari. Dan ketika petugas PKD Stasiun melihatku dengan penuh
heran saat aku melambaikan tangan kearah lelaki itu saat akan menyeberang. Lalu
saat ibu mengira bahwa petugas PKD stasiun adalah temanku karena aku selalu
melihat kearah lelaki itu tetapi lelaki itu tidak bisa dilihat oleh ibu dan
hanya terlihat petugas PKD stasiun yang memang searah dengan Lelaki itu.
Sebagai seseorang yang kesepian, aku merasa sangat
menyediahkan sampai harus mengalamai khayalan tentang seseorang secara
berlebihan seperti itu. mengkhayalkan seorang lelaki seolah-olah ia nyata dan
bahkan jatuh cinta padanya sampai-sampai berharap jauh terhadapnya. Padahal
lelaki itu hanya khayalan. Hanya halusinasi. Atau mungkin itu adalah cara yang
ajaib yang diberikan Tuhan untuk menyadarkanku dari kesepian ini .
Dan itu
telah menjadi kesimpulan sepihak dariku yang tak ingin kuberitahu siapapun
lagi. Karena jika kuberitahu yang lain, aku akan dianggap gila. Atau kurang
waras dan menyedihkan. Aku tidak ingin di lihat dengan tatapan kasihan oleh orang-orang
yang ada disekitarku karena aku berkhayal tentang seseorang yang kuinginkan.
Kurindukan.
Disuatu
malam setelah beberapa minggu, aku bermimpi lagi bertemu dengan Lelaki itu.
Namun ketika pagi tiba, aku segera lupa dan sengaja tak ku ingat
kepingan-kepingan mimpi itu. aku menuju kamar mandi dan berkaca, lalu menutup
dua buah pintu yang masing-masing adalah pintu kamar mandi dan pintu dalam
dadaku.
The End ...
Jakarta,
Februari-Agustus 2018
Shane
End ...
Jakarta,
Februari-Agustus 2018
Shane
IG: Syarifhidate
Facebook : Syarif Hidayat
No comments:
Post a Comment