Cerpen Adi Zamzam (Media Indonesia, 2 Maret 2014)
SEJAK bangun tidur, ia sudah merasakan kekosongan itu. Semakin
terasa saat ia memaksakan diri untuk bangun. Kosong yang paling kosong.
Seperti lelah yang telah lama menumpuk, hingga ia kembali merebahkan
tubuh, sebelum akhirnya berkeputusan untuk pergi ke dokter.
Ia tak yakin, apakah kekosongan yang seperti lelah ini bersumber dari
gejala sebuah penyakit atau hanya perasaannya. Karena itulah ia juga
tak yakin apakah dokter bisa menyembuhkan keluhan yang dialaminya
sekarang, meski akhirnya ia berangkat ke dokter juga.
“Lelah saja rasanya, Dok,” jawabnya saat dokter menanyakan keluhan.
“Rasanya seperti tidak punya kaki, tidak punya tangan, dan tidak punya
kepala. Mau mengerjakan apa, mau ke mana, rasanya bingung saja. Tak ada
gairah.”
Dokter sepertinya sudah paham dengan keluhan semacam itu. Dan ia
kemudian menuliskan resep. “Diminum yang teratur ya, Pak. Sementara ini
Bapak istirahat dulu sampai lelahnya hilang.”
***
Ia sudah minum obat dari dokter. Tapi kekosongan yang membawa rasa
lelah itu tetap tak mau mengendap dalam tubuhnya. Seperti ada riuh yang
tak mau berhenti, bahkan saat ia coba berkonsentrasi dengan televisi
yang ia tonton.
Ia merasa kepalanya sedang berada di tempat lain. Kepalanya sedang
berbicara di hadapan banyak orang, dari A sampai Z, tentang taktik
pemenangan dirinya yang harus dijalankan oleh mereka, tentang bagaimana
caranya mengumpulkan dana dan bagaimana caranya mengoptimalkan dana
tersebut, bagaimana caranya meraih simpati orang-orang, juga tentang
bagaimana-bagaimana lainnya yang berkaitan dengan pencalonan dirinya
sebagai orang nomor satu di kotanya.
Ia merasa telinganya tidak sedang mendengarkan suara televisi.
Telinganya sedang mendengarkan semua yang dilaporkan oleh mereka.
Tentang citra dirinya di mata masyarakat, tentang isu-isu negatif
seputar dirinya, tentang aspirasi para pendukungnya, juga tentang
konstelasi panggung pemilu. Telinganya harus selalu mendengar semua
berita tentang itu, kapan pun, di mana pun. Suara-suara itu tak boleh ia
abaikan.
Ia juga merasa kedua matanya tidak sedang melihat gambar televisi
semata. Di kedua matanya juga melintas gambar-gambar lain. Perihal
keadaan orang-orang yang akan menjadi sasaran kampanyenya, perihal
apa-apa yang mesti ia janjikan kepada mereka kemudian, juga perihal
semua yang berkaitan dengan pelaksanaan program-program yang telah
direncanakan.
Ia juga merasa bahwa kedua tangannya sedang berada di tempat lain.
Kedua tangannya tidak sedang menyertai kepalanya yang sibuk sendiri.
Kedua tangannya sedang menemani istri tercinta yang memanjakan diri ke
mana pun perempuan itu berselera, mulai dari tempat perawatan tubuh
sampai butik-butik ternama.
Ia sengaja menyisakan tangannya saja di samping sang istri, sebab
kepalanya tak begitu penting saat berada di samping perempuan itu.
Selera istrinya untuk memanjakan diri sering tak bisa diganggu gugat
oleh siapa pun, termasuk dirinya. Karena itulah ia selalu hanya
menyisakan kedua tangannya saja untuk merangkul sang istri. Sekadar
memberi tanda bahwa ia selalu setia menemani dan mendukung keinginan
istri.
Tentu saja hal itu juga karena ia tak bisa membebani tangannya untuk
berpikir. Saat bersama sang istri, ia hanya menyuruh tangannya untuk
bersetia melayani dan membuatnya senang. Lagi pula kedua tangannya tak
begitu penting bagi kepalanya lagi, sebab kepalanya bisa dengan mudah
menjadikan orang lain sebagai tangan kanan atau tangan kirinya.
Terakhir kedua kakinya. Ia pun merasa kedua kakinya sedang berada di
tempat lain. Kedua kakinya tidak sedang menemani kepalanya yang sibuk
dengan urusannya sendiri. Kedua kakinya tidak begitu penting bagi
kepalanya, sebab kepalanya juga bisa dengan mudah menjadikan orang lain
sebagai kedua kakinya. Kedua kakinya juga tidak sedang menemani
tangannya yang sedang sibuk menemani istrinya. Kedua kakinya mempunyai
kesibukan tersendiri, yakni memanjakan diri dari satu tempat hiburan ke
tempat hiburan lainnya.
Kedua kakinya akan sangat senang sekali saat bisa turun ke lantai
diskotek yang bingar, joget berdesak-desakan, lalu setelah lelah dia
akan menepi dengan seorang perempuan. Kakinya tak perlu khawatir dengan
omongan orang-orang, dengan para wartawan yang selalu ingin mendapatkan
berita sensasional tentang dirinya, sebab tak ada yang kenal betul bahwa
kedua kaki itu adalah kepunyaannya. Karena itulah kedua kakinya bisa
dengan leluasa pergi bersenang-senang ke tempat mana pun yang ia suka.
Kedua kakinya selalu hanya membawa uang saat pergi bersenang-senang.
Kedua kakinya tahu persis bahwa di tempat semacam itu yang jadi
perhatian hanyalah uang. Ia tak pernah membiarkan kepala atau tangannya
mengikuti langkah kedua kakinya. Itu jelas berbahaya! Toh hanya dengan
kedua kaki ia bisa mendapatkan kesenangan yang memuaskan.
***
Obat dari dokter telah habis, tapi ia masih saja merasakan gejala
itu. Kekosongan yang membawa rasa lelah. Seperti selalu dikejar-kejar
sesuatu. Seperti ada yang selalu melompat-lompat tergesa di dalam
kepalanya. Seperti ada yang selalu berseliweran di depan matanya, bahkan
dalam keadaan pejam sekalipun. Seperti ada suara-suara yang tak mau
mengendap di liang telinganya.
Ia sering merasa semua anggota tubuhnya sedang tak berdiam meski ia
berdiam atau berbaring di pembaringan. Ia sering hilang fokus,
konsentrasi, juga gairah. Meski kemudian ia sudah berusaha memanjakan
diri sepuas-puasnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya.
Sampai pada keterkejutan di sebuah pagi, saat ia becermin merapikan
diri. Tak ada bayangan yang bisa ia lihat dalam cermin. Seolah tak ada
orang yang berdiri di depan cermin, padahal ia sedang mematut diri di
hadapan cermin. Ia tercenung. Kenapa bisa begitu? Ia merenung. Inikah
penyebab dari semua yang ia rasakan selama ini?
Akhirnya ia pun memutuskan. Hal pertama yang dilakukannya adalah
mengambil kembali sepasang tangannya yang selama ini selalu setia
menemani si istri.
“Aku tahu kalau selama ini kau hanya memberikan tanganmu untukku. Kau
tak pernah benar-benar ada untukku. Lalu kenapa sekarang kau ingin
mengambilnya juga dariku?” ujar si istri ketika dua tangan yang selalu
menemani diambil kembali oleh suaminya.
“Hanya sebentar,” jawabnya.
“Sebentar? Dulu kepalamu pamitnya juga hanya untuk sebentar. Tapi
nyatanya sampai detik ini kepalamu selalu sibuk dengan urusanmu
sendiri.”
“Itu tanganku. Kenapa kau melarangku mengambil tanganku kembali?”
“Baik, ambillah. Tapi kalau kau ingkar janji, tak mau mengembalikan tangan itu kepadaku lagi, aku pun bisa mengambil keputusan.”
“Kau itu istriku. Mengertilah sedikit keadaanku.”
“Iya, aku tahu kau suamiku. Tapi kau juga mesti sadar apa kewajibanmu kan?”
Dengan sedikit perasaan kecewa ia pun akhirnya meninggalkan si istri
dan lalu bergegas ke tempat di mana kepalanya sedang sibuk membagi tugas
ini-itu kepada tim suksesnya.
“Kuambil kepalaku dulu ya? Untuk sementara jangan ganggu kami dengan
persoalan apapun. Kami mau liburan sebentar. Untuk sementara kerjakanlah
semua agenda yang telah kita susun kemarin,” ujarnya saat menghampiri
kepalanya di hadapan para anak buah.
“Liburan berapa lama, Pak? Kenapa kami tak boleh menghubungi Bapak?”
tanya salah seorang anak buah yang selama ini menjadi tangan kanannya.
“Mungkin dua atau tiga hari. Doakan saja keadaanku semakin membaik.”
“Bapak sakit?” bernada khawatir. Sebagai orang yang paling dipercaya, sikap perhatian itu hal lumrah.
“Tak usah khawatir. Kerjakan saja semua sesuai rencana. Nanti setelah keadaanku membaik, aku akan menghubungimu.”
Dengan sedikit perasaan lega, ia pun bergegas menuju sebuah tempat
hiburan, tempat kedua kakinya sering bersenang-senang di sana. Ia
mendatangi tempat itu dengan menyamar, sebab jika ketahuan banyak orang
bisa ditebak akibatnya.
Berbagai media akan habis-habisan memakannya. Dan tentu saja itu
adalah kemenangan di pihak lawan. Tak bolehada yang tahu bahwa orang itu
adalah dirinya. Hanya kedua kaki nakal itu yang tahu. Kedua kaki yang
hobi berdesak-desakan dengan perempuan-perempuan diskotek. Kedua kaki
yang hobi mabuk.
Kedua kaki itu menolak ketika tahu ia dijemput. Ia bahkan sempat melarikan diri ketika dipaksa ikut.
***
Dugaannya benar. Setelah mengambil tangan dari sisi istri, kepala
dari hadapan anak buah, dan kaki dari tempat bersenang-senang, ia pun
serasa mendapatkan kesegaran baru. Kini ia merasa telah bertemu dengan
dirinya sendiri. Ia menemukan kenyamanan yang paling nyaman.
Tapi kemudian ia merasa bingung dengan apa yang mesti dilakukannya
beberapa hari ke depan. Jika ia kembali kepada istrinya, kepada anak
buahnya yang amat menunggu, atau mampir lagi ke tempat hiburan itu,
kejadian kemarin pasti akan terulang lagi.
Tubuhnya serasa terpencar-pencar. Ia merasa tak memiliki tubuh itu.
Setiap bagian tubuhnya seperti memiliki keinginan sendiri-sendiri.
No comments:
Post a Comment