Friday, July 4, 2014

Cerpen Kompas : Kuda Emas

Cerpen Tawakal M Iqbal (Kompas, 22 Juni 2014)
Kuda Emas ilustrasi
CIASAHAN, hanya di Ciasahan orang tua dan anak-anak mudah sekali memercayai kisah, baik sejarah ataupun bualan seorang Kakek kepada cucu-cucunya. Kisah bagaikan sesuatu yang turun dari langit, semisal kitab,yang sakral dalam dada setiap masyarakat. Tetapi, kisah ini, bagi anak kecil, adalah kisah paling fenomenal di antara yang lainnya.
Ini menyangkut banyak hal terutama misteri dan materi. Bagaimanapun kampungannya kampungku tetap saja materi selalu dijadikan prioritas, mengapa anak-anak mau menurut pada orang tuanya untuk bersekolah. Padahal jika dipikirkan, terlalu banyak waktu kami yang terbuang hanya untuk diam di kelas, mendengarkan guru berceramah misalnya. Ada banyak hal di kampungku yang sebetulnya sayang sekali dilewatkan, daripada belajar di sekolah tentunya. Sayangnya, anak-anak di kampungku tidak ada yang berani menolak apalagi melanggar perintah orang tua. 
Di belakang rumahku menjulang gunung Tanjoleat. Cukup tinggi. Teman-teman seusiaku, dahulu selalu berangan-angan agar dapat pergi ke puncak untuk dapat menyentuh langit. Yang lainnya berharap bisa bertemu bintang film Bollywood, Amir Kahn atau Amitha Bachan, di balik gunung itu. Mereka kira ada sebuah daratan bernama India di sana. Penuh wanita cantik dengan sindur di antara kedua alis matanya. Aku baru tahu setelah dewasa, kalau India itu tidak pernah ada di balik gunung Tanjoleat. India berada di Asia bagian Barat dekat dengan Pakistan dan Bangladesh.
Tanjoleat, adalah gunung yang dipenuhi bebatuan. Sumber sejarah yang tak pernah terungkap, tentang banyak hal. Persembunyian tentara lokal ketika melawan penjajah, kuburan putri, batu yang mirip perahunya Nuh, sepasang telapak kaki, batu pistol, dan batu ular. Sudah banyak peneliti yang mencoba peruntungannya untuk mengungkap sejarah apa saja yang terpendam di sana. Tapi seringkali tak berhasil. Kecurigaanku selalu timbul ketika para peneliti datang ke kampungku dengan alasan hendak melakukan riset. Aku selalu tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang berharga sedang mereka incar, entah apa.
Beribu monyet hidup di sana. Babi hutan, kelelawar, dan harimau kumbang yang mendiami goa-goa di sela-sela tumpukan batu. Konon, kuda emas juga hidup di gunung itu dan setiap Kamis malam, tepat pukul 12.00, kuda itu selalu terbang menuju Tenggara, membentangkan sayap, mengibas-ibaskan ekornya. Kilau keemasan memancar ke mana-mana. Kalau kau seorang penyuka bintang dan seringkali takjub ketika melihat bintang jatuh atau himpunan kunang-kunang terbang ke arahmu, kata kakek, kuda emas lebih indah dari itu. Terdengar seperti dongeng memang. Tetapi, ini terjadi di kampung kami, Ciasahan. Kakek sendiri yang menceritakannya padaku. Suatu sore, ketika hujan deras dan angin pegunungan terasa menusuk.
Jarang sekali ada orang yang melihat langsung kejadian itu. Aku tahu itu lewat cerita-cerita dari teman dan dari Kakekku sendiri. Katanya, hanya orang-orang yang beriman dan memiliki hati cemerlanglah yang dapat melihat kuda itu. Aku pikir hatiku masih cemerlang, sholat, dan hapalan ngajiku tidak ada masalah. Tapi sampai sekarangpun aku belum juga melihat kuda itu terbang di atas rumah. Ini sungguh aneh.
Anak-anak di kampungku, seringkali memimpikan untuk, setidaknya pernah sekali saja melihat kuda itu terbang di atas rumah-rumah dan berharap ia mengeluarkan sesuatu dari pantatnya. Tentu saja orang yang tidak tahu mengenai hal ini menganggap harapan itu adalah harapan paling bodoh. Tapi tidak bagi kami. Setiap seusai sholat, kami selalu berdoa meminta hal itu terjadi.
Aku jadi teringat kisah dahulu. Kau mungkin tidak akan percaya, ketika zaman sekolah dasar dulu, kelas mata pelajaran Bahasa Indonesia tepatnya, saat ibu guru bertanya perihal cita-cita dewasa nanti, teman-teman sekelas mengatakan, ”menjadi penggembala kuda emas”. Dan kau tahu, semua murid mengatakan kalimat yang sama. Ibu guru geram mendengarnya.
”Kalian tidak mengerti apa artinya cita-cita!”
Kami hanya menunduk takut. Baginya cita-cita kami tak memiliki arti. Cita-cita kami hanyalah khayalan anak-anak yang terbuai oleh dongeng-dongeng murahan. Ibu guru tidak mengerti tentang apa yang menjadi keinginan kami. Bagi anak seusia kami itu adalah hal yang luar biasa. Tapi sayangnya hingga kini tak ada satupun yang berhasil mengejar itu.
Memiliki kuda emas merupakan hal paling menyenangkan. Bayangkan saja, kau tidak perlu bangun pagi untuk bekerja. Lembur sampai pagi untuk menghasilkan uang tambahan. Tidak perlu melakukan hal-hal konyol semacam menunggu uang bulanan atau meminjam uang ke tetangga untuk risiko sehari-hari. Kau hanya tinggal beribadah, berdoa, dan menunggu kotoran yang keluar dari pantat kuda. Kotoran itu dalam sekejap mata akan menjadi emas murni 14 karat, berbentuk oval. Harga emas itu cukup untuk melakukan perjalanan mengelilingi dunia setiap Minggunya. Mentraktir seluruh warga kampung selama sebulan penuh. Coba bayangkan, itu luar biasa bukan?
Cita-cita kami sempat sirna ketika beberapa teman bercerita, ”kuda emas itu tidak makan rumput, tapi makan perempuan.” Teman yang satunya bilang, ”kuda itu bukan makan perempuan, tapi makan anak kecil yang pipis di luar rumah”.
Yang lainnya bilang ”makan batu”.
”Pohon mahoni.”
”Ikan mas!”
”Karang.”
”Durian.”
”Kalian tahu dari siapa?
Semuanya menjawab, ”Kakek!”
”Memang Kakekmu tahu dari mana?”.
Mereka menjawab, ”dari Kakeknya Kakek”.
Aku yang masih bodoh, kadangkala langsung percaya terhadap apa yang teman-teman katakan.
Suatu malam ketika aku terbangun karena merasa kebelet, dan itu sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku turun dari ranjang dan segera keluar rumah. Di langit kulihat ada serbuk-serbuk berkilauan dan aku yakin itu bukan kunang-kunang. Suara rengeh terdengar dari jauh. Aku teringat perkataan teman bahwa kuda emas adalah pemakan anak kecil. Aku langsung lari ke dalam rumah dan langsung mengunci pintu. Malam itu terasa mencekam sebelum akhirnya aku memilih pipis di celana. Belum ada kamar mandi di rumahku waktu itu. Untuk pipis saja, aku mesti keluar ke pancuran belakang rumah.
Ibuku memarahiku karena pipis di celana. Kakek datang padaku dan menanyakan alasan mengapa aku ngompol. Aku bersikeras mengatakan kalau aku tidak ngompol. Aku hanya pipis. Tepatnya memilih pipis.
Aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Kakek tentang serbuk emas dan suara rengehan kuda dari Timur sana. Ibu diam. Senyum semringah muncul dari wajah Kakek.
”Akhirnya kuda itu memilih kamu, nak.”
”Maksudnya?”
”Ya, ia akan sering terbang di atas rumah kita untuk menjaga kita?”
”Aku tidak mengerti, kek.”
”Nanti kau akan mengerti.”
Konon kuda itu terbang menuju tempat-tempat yang tak pernah diketahui.
”Kuda emas itu menuju Gunung Pongkor untuk menemui kekasihnya,” kata Kakek. Percintaan antar kedua kuda itu seringkali ditandai dengan purnama yang sempurna. Lalu cahaya yang dipancarkan bulan akan memantul dan mengubah warna putih menjadi kilau keemasan.
”Itu yang membuat Gunung Pongkor kaya akan emasnya.”
”Aku tidak mengerti.”
”Emas yang dijadikan orang-orang sebagai perhiasan, itu adalah telur kuda emas.”
”Hah?”
”Kuda itu tidak beranak, tetapi bertelur. Butuh berjuta-juta tahun untuk membuat telur-telur itu menetas,” ungkap Kakek.
Sungguh tragis ketika tahu, membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk menelurkan emas sebanyak itu. Dan di tempat kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan tambang besar. Kau tahu, sejak kejadian aku melihat kuda itu terbang dari Tanjoleat menuju Pongkor, kuda itu tak pernah terlihat lagi. Kakek bilang, kuda itu telah terbang dari Papua ke Maluku, lalu ke Kalimantan, Sumatera sebelum akhirnya ke Tanjoleat, kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini telah terbang menuju negara lain untuk mencari sarang baru tempatnya bertelur. Sebab di tempat kami, perburuan emas selalu panas. Lagipula, pohon-pohon di Tanjoleat sekarang telah habis. Banyak kedapatan hewan-hewan liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi terlihat memanjat-manjat batuan cadas di Tanjoleat. Kini seringkali sepi.
”Bagaimanapun, kuda emas juga adalah seekor hewan. Sama seperti makhluk hidup lainnya. Dia ingin melihat anak-anaknya tumbuh besar sebelum waktunya di bumi habis,” ucap Kakek.
Dan soal menjadi penggembala kuda emas, hal itu sudah lama hilang di benakku. Aku kini lebih tertarik menentang pertambangan emas ketimbang memburu emasnya.*

Thursday, July 3, 2014

Sejarah Patung Hermes Di Harmoni



 Di tengah padatnya lalu lintas di kawasan Harmoni, ada satu hal yang menarik perhatian, yakni patung kecil berwujud manusia menunjuk ke arah langit dengan tangan kanannya dan berwarna perunggu gelap yang bertengger di jembatan Harmoni. Hermes, namanya. Hermes merupakan putra dari Dewa Zeus dan Peri Maia dalam mitologi Yunani. Hermes berperan sebagai pesuruh dan pembawa berita. Hermes juga dikenal sebagai dewa pelindung para pedagang dan penggembala. Lalu, apa yang dilakukan patung Sang Dewa di jembatan Harmoni?

Patung Hermes di Batavia awalnya merupakan milik Karl Wilhelm Stolz, seorang pedagang Jerman yang kemudian menjadi warga negara Belanda. Stolz membelinya di Hamburg sekitar tahun 1920. Stolz yang memiliki toko di Jl. Veteran, Batavia, meletakkan patung itu di halaman rumahnya. Kemudian pada tahun 1930, Stolz menjual tokonya dan menyumbangkan patung Hermes tersebut pada pemerintah Batavia sebagai tanda terimakasih atas kesempatan yang didapatkannya untuk berdagang di Hindia-Belanda. Patung perunggu dewa pelindung para pedagang seberat 70 kg itu akhirnya dipasang di jembatan Harmoni yang sudah dibangun sejak 1905. Lokasi tersebut dipilih karena letak jembatan Harmoni berada di mulut Jl. Hayam Wuruk yang saat itu sudah menjadi daerah perdagangan yang ramai.

Pada tahun 1999, patung ini nyaris jatuh ke kali karena penyangganya tertabrak mobil hingga bagian kakinya mengalami kerusakan. Akhirnya patung yang merupakan salah satu benda cagar budaya yang dilindungi Pemprov DKI Jakarta ini diamankan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Kemudian pada tahun 2000 patung ini dipindahkan ke halaman belakang Museum Sejarah Jakarta. Hal ini juga dilakukan karena saat itu patung Hermes ini dihargai lebih dari 1 milyar rupiah di kalangan kolektor barang antik di pasar Singapura. Tidak berlebihan memang usaha Pemerintah untuk melindungi benda bersejarah ini karena sebelumnya telah terjadi pencurian terhadap patung-patung bersejarah di Jakarta. Pada tahun 1950-an, patung JP Coen yang seukuran manusia dan punya kembaran di Hoom, Belanda, serta terletak di Lapangan Banteng, raib tak berbekas.

Kini, patung Hermes asli yang merupakan saksi bisu perkembangan Jakarta dari masa ke masa ini dapat dilihat di berada di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta, atau seringkali disebut Gedung Fatahillah, kawasan Kota Tua. Dengan sosoknya yang berbentuk pemuda tanpa pakaian, membawa tongkat, bertumpu pada satu kaki, dan menunjuk langit dengan tangan kanannya, seolah ia akan segera lepas landas untuk terbang. Patung ini merupakan salah satu objek favorit para pengunjung untuk berfoto di sampingnya. Sementara untuk menggantikan posisi patung Hermes di jembatan Harmoni, ditempatkanlah replikanya yang seberat 100 kg dan dibuat oleh pematung Arsono dari Yogyakarta. (Rike)

Sumber : http://tourismnews.co.id/category/destinations/kisah-perjalanan-sang-patung-hermes-di-jakarta

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...