Good Governance :
Tata Pemerintahan yang baik (Good Governance), lebih menekankan pada pola hubungan yang sebaik-baiknya antar elemen yang ada. Di tingkat perdesa konsep Tata Pemerintahan (Good Governance)
merujuk pada pola hubungan antara pemerintah desa dengan masyarakat,
kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial/budaya
dalam upaya menciptakan kesepakatan bersama menyangkut pengaturan proses
pemerintahan. Hubungan yang diidealkan adalah sebuah hubungan yang
seimbang dan proporsional antara empat kelembagaan desa tersebut.
Penerapan Good Governance
diharapkan pemerintah desa yang sudah otonom dari pemerintahan atasnya,
dengan mensyaratkan masyarakat ikut serta terlibat dan mengawasi
jalannya pengelolaan pemerintahan desa. Dengan demikian semangat yang
melingkupi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya keseimbangan
peran, antara pemerintah desa, kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi
dan kelembagaan sosial/budaya dalam pengelolaan pemerintahan desa.
Prinsipel Good Governance adalah:
1. Partisipasi
Semua
orang mempunyai suara dan terlibat dalam pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang
mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun
berdasarkan atas adanya kebebasan untuk berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif,
partisipasi yang dilakukan bukan semata tindakan mobilisasi ataupun
kolekfitas, namun sebagai suatu kebetuhan person dalam mewarnai dan
memberikan aroma dalam wadah lembaga organisasi yang independen.
2. Supremasi hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, terutama hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusa.
3. Transparansi
Transparansi
dibangun atas dasar terbukanya informasi secara bebas. Seluruh proses
pemerintahan atau lembaga adminstrasi dapat memberikan informasi yang
dapat dakses oleh semua pihak. Transparansi di interpretasikan tembus
pandang, sama-samar, keterbukaan bukan dari demensi bidang keuangan
saja, namun lebih menyeluruh pada multi demensi bidang lainnya.
4. Cepat tanggap
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak, dengan responbiltas yang tinggi.
5. Membangun konsensus
Tata
pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan public dengan
kepentingan kebijakan, dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin konsensus kebijakan-kebijakan serta
prosedur-prosedur, muncul dan tumbuh dari masyarakat atau opini publik.
6. Kesetaraan
Semua orang mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektif dan efsien
Proses-proses
pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan
warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada
seoptimal mungkin dan berdaya guna.
8. Bertanggungjawab
Para
pengambil keputusan di pemerintah, kelembagaan politik, kelembagaan
ekonomi, kelembagaan sosial bertanggung jawab baik kepada seluruh
masyarakat. Pertanggungjawabannya dalam bentuk pertanggungjawaban
politik, pertanggungjawaban hukum, pertanggungjawaban profesional,
pertanggungjawaban keuangan dan pertanggungjawaban moral
9. Visi strategis
Para
pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan
atas tata pemerntahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan
akan apa saja yang dibutuhan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Selain itu mereka harus memiliki pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif
tersebut.
Good Government :
Pemerintahan yang baik (Good Government)
adalah lembaga non profit oriented, yang mengemban fungsi dalam
mengelola administrasi pemerintahan, konsep Pemerintahan yang baik dari
pusat sampai dengan di perdesaan dapat merubah main set serta workframe
bernegara, dengan suatu konsesus nasional dengan tidak mengkonsumsi
anggaran masyarakat, dan tetap berpihak pada kepentingan masyarakat
khususnya kepentingan rakyat miskin atau masyarakat yang termarjinalkan
dalam paradigma dan realitas pembangunan. Sebagai lembaga non profit
oriented sangatlah diharamkan dalam memberikan pelayanan meligitimasi
pungli kedalam aktulisasi pekerjaannya.
Mengemban
jabatan lingkup birokrasi, muncul berbagai mitos dalam mengaktulitasasi
pekerjaan merupakan beban tanggungjawab memberikan penghidupan
bawahan/staf/jabatan setingkat diatasnya, melalui pendapatan tambahan
diluar pendapatan yang merupakan porsi dari pekerjaan pelayanan kepada
masyarakat.
Dengan
mengusung suatu Program/proyek, yang belum dilakukan suatu kajian
secara konfrehensif, apakah program/proyek merupakan suatu kebutuhan
masyarakat, atau kebutuhan pemangku kepentingan pejabat birokrasi.
Mediasi
pelayanan publik dengan skema birokrasi yang profesional dan resposif.
Dalam mewujudkan selogan dan paradigma birokrasi yaitu ”birokrasi yang
bersih atau terlepas dari KKN” pada awal reformasi telah bergulir
(1998), namun kenyataannya sampai detik ini, birokrasi
kita hanya berjalan ditempat, tanpa adanya hastrat untuk merubah dan
hanya sebagai isapan jempol dari kubu reformasi.
Departemen dan instansi merupakan suatu lembaga penggerak
dalam melakukan mediasi pelayanan publik yang kesesuaiannya berdasarkan
hak-haka dasar masyarakat secara absolut, keterkaitan pelayanan
masyarakat oleh birokrasi, tidak mutlak hanya dijalankan oleh para
birokrat, namun diisi pulah para cedekiawan-2, dan partisan partai yang
kononnya dan acapkali bersinggungan langsung dengan masyarakat.
Untuk
lebih jauh memahami pemerintahan dalam melaksanakan tugas
kesehari-hariannya melalui organisasi birokrasi, maka kita meletakan
landasan teori birokrasi adalah sebagai berikut :
Menurut
Peter M. Blau (2000:4), Birokrasi adalah “tipe organisasi yang
dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala
besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara
sistematis”.
Titik
kritis dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat
untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan
pemerintah dalam upaya melayani masyarakat dengan tetap melakukan
koordinasi antar/intra instansi atau departemen, secara sistematis,
akurat dan efesiensi bukan suatu kewenangan perintah kepada masyarakat
melakukan kebijakan yang orogan.
Pelaksanaan
tugas-tugas pengadministrasian dari suatu aktivitas masyarakat dengan
memberikan kemudahan dan kemurahan, membukukan dan pengagendaan berkas,
tanpa adanya konpensasi atau balas jasa yang diambil dari suatu
aktivitas masyarakat, dengan harapan pelaksanaannya secara menyeluruh
dan transparan.
Yang menjadi permasalaha dan pertanyaan yang mendasar adalah, akan di bawah kemana pemerintahan kita ?, apakah
ada perubahan pola pikir dari pemerintahan kita ? yang saat ini hanya
memberikan perintah ! tanpa adanya secuil keberpihakannya kepada
masyarakat, atau mungkin hanya sebagai lembaga perpanjangan tangan dari
kapitalisme modern ?
Tata laksana pemerintahan yang baik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tata laksana pemerintahan yang baik
adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik
swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan. Tata laksana
pemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya
segala sesuatu akan menjadi sempurna - namun, apabila dipatuhi jelas
dapat mengurangi penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan donor internasional, seperti IMF dan Bank Dunia,
mensyaratkan diberlakukannya unsur-unsur tata laksana pemerintahan yang
baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman yang akan mereka berikan.
Karakteristik dasar tata laksana pemerintahan yang baik
Tata laksana pemerintahan yang baik ini dapat dipahami dengan memberlakukan delapan karakteristik dasarnya yaitu:
- Partisipasi aktif
- Tegaknya hukum
- Transparansi
- Responsif
- Berorientasi akan musyawarah untuk mendapatkan mufakat
- Keadilan dan perlakuan yang sama untuk semua orang.
- Efektif dan ekonomis
- Dapat dipertanggungjawabkan
1. Partisipasi Aktif
Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta tau keterlibatan yang
berkitan dengan keadaaan lahiriahnya (Sastropoetro;1995). Participation
becomes, then, people's involvement in reflection and action, a process
of empowerment and active involvement in decision making throughout a
programme, and access and control over resources and institutions
(Cristóvão, 1990).
Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif
dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai
dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian
kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk
materill (PTO PNPM PPK, 2007).
Hoofsteede (1971) menyatakan bahwa patisipasi adalah the taking part in
one ore more phases of the process sedangkan Keith Davis (1967)
menyatakan bahwa patisipasi “as mental and emotional involment of
persons of person in a group situation which encourages him to
contribute to group goals and share responsibility in them”
Verhangen (1979) dalam Mardikanto (2003) menyatakan bahwa, partisipasi
merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang
berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat.
Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian
sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan
seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan
tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah
bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan.
Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi
keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil
bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya
sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya
partisipasi dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan.
Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan
atau responses atas rangsangan-rangsangan yang diberikan; yang dalam
hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat
diharapkan (Berlo, 1961).
Partisipasi masyarakat merutut Hetifah Sj. Soemarto (2003) adalah proses
ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi,
mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan,
dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi
kehiduapan mereka. Conyers (1991) menyebutkan tiga alasan mengapa
partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama
partispasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi
mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakata, tanpa kehadirannya
program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah
bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan
jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena
mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai
rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong
adanya partisiapsi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa
merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan masyarakat mereka sendiri. Hal ini selaras dengan konsep
man-cetered development yaitu pembangunan yang diarahkan demi perbaiakan
nasib manusia.
b. Tipologi Partisipasi
Penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat serngkali terhambat
oleh persepsi yang kurang tepat, yang menilai masyarakat “sulit diajak
maju” oleh sebab itu kesulitan penumbuhan dan pengembangan partisipasi
masyrakat juga disebabkan karena sudah adanya campur tangan dari pihak
penguasa. Berikut adalah macam tipologi partisipasi masyarakat
1). Partisipasi Pasif / manipulatif dengan karakteristik masyrakat
diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi, pengumuman sepihak oleh
pelkasan proyek yanpa memperhatikan tanggapan masyarakat dan informasi
yang diperlukan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok
sasaran.
2). Partisipasi Informatif memilki kararkteristik dimana masyarakat
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, masyarakat tidak
diberikesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian dan
akuarasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat.
3). Partisipasi konsultatif dengan karateristik masyaakat berpartisipasi
dengan cara berkonsultasi, tidak ada peluang pembutsn keputusan
bersama, dan para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan
pandangan masyarakat (sebagi masukan) atau tindak lanjut
4). Partisipasi intensif memiliki karakteristik masyarakat memberikan
korbanan atau jasanya untuk memperolh imbalan berupa intensif/upah.
Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajan atau
eksperimen-eksperimen yang dilakukan dan asyarakat tidak memiliki andil
untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah intensif dihentikan.
5). Partisipasi Fungsional memiliki karakteristik masyarakat membentuk
kelompok untuk mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya
setelah ada keptusan-keputusan utama yang di sepakati, pada tahap awal
masyarakat tergantung terhadap pihak luar namun secara bertahap
menunjukkan kemandiriannya.
6). Partisipasi interaktif memiliki ciri dimana masyarakat berperan
dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan penguatan
kelembagaan dan cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari
keragaman prespektik dalam proses belajar mengajar yang terstuktur dan
sisteatis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan)
keputusan-keputusan merek, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan
proses kegitan.
7). Self mobilization (mandiri) memiliki karakter masyarakat mengambil
inisiatif sendiri secara bebabas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar)
untuk mengubah sistem atau nilai-niloai yang mereka miliki. Masyarakat
mengambangkan kontak dengan lembaga-lemabaga lain untuk mendapatkan
bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat
memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan
c. Tahap-Tahap Partisipasi
Uraian dari masing-masing tahapan partisipasi adalah sebagai berikut :
1). Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk
pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan
sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini lebih mencerminkan
sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan kurang
mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu,
partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui
dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi
langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program
pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat lokal (Mardikanto,
2001).
2). Tahap partisipasi dalam perencanaan kegiatan
Slamet (1993) membedakan ada tingkatan partisipasi yaitu : partisipasi
dalam tahap perencanaan, partisipasi dalam tahap pelaksanaan,
partisipasi dalam tahap pemanfaatan. Partisipasi dalam tahap perencanaan
merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya diukur dari derajat
keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut
membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target.
Salah satu metodologi perencanaan pembangunan yang baru adalah mengakui
adanya kemampuan yang berbeda dari setiap kelompok masyarakat dalam
mengontrol dan ketergantungan mereka terhadap sumber-sumber yang dapat
diraih di dalam sistem lingkungannya. Pengetahuan para perencana teknis
yang berasal dari atas umumnya amat mendalam. Oleh karena keadaan ini,
peranan masyarakat sendirilah akhirnya yang mau membuat pilihan akhir
sebab mereka yang akan menanggung kehidupan mereka. Oleh sebab itu,
sistem perencanaan harus didesain sesuai dengan respon masyarakat, bukan
hanya karena keterlibatan mereka yang begitu esensial dalam meraih
komitmen, tetapi karena masyarakatlah yang mempunyai informasi yang
relevan yang tidak dapat dijangkau perencanaan teknis atasan (Slamet,
1993).
3). Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai
partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara
sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain
pihak, lapisan yang ada di atasnya (yang umumnya terdiri atas orang
kaya) yang lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan, tidak
dituntut sumbangannya secara proposional. Karena itu, partisipasi
masyarakat dalam tahap pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai
pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai,
dan atau beragam bentuk korbanan lainnya yang sepadan dengan manfaat
yang akan diterima oleh warga yang bersangkutan (Mardikanto, 2001).
4). Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan
Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat
diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang
diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang
masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan
yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat mengumpulkan
informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku
aparat pembangunan sangat diperlukan (Mardikanto, 2001).
5). Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan
Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan, merupakan unsur
terpenting yang sering terlupakan. Sebab tujuan pembangunan adalah untuk
memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil
pembangunan merupakan tujuan utama. Di samping itu, pemanfaaatan hasil
pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk
selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang
(Mardikanto, 2001).
d. Tingkat Kesukarelaan Partisipasi
Dusseldorp (1981) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut:
1). Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi
intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinannya sendiri.
2). Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena
terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan,
pengaruh, dorongan) dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap
memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi.
3). Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang
tumbuh karena adanya tekanan yang dirasakan sebagaimana layaknya
warga masyarakat pada umumnya, atau peranserta yang dilakukan
untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh
masyarakat setempat. Jika tidak berperanserta, khawatir akan tersisih
atau dikucilkan masyarakatnya.
4). Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu
peranserta yang dilakukan karena takut akan kehilangan status sosial
atau menderita kerugian/tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan
yang dilaksanakan.
5). Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peranserta yang
dilakukan karena takut menerima hukuman dari
peraturan/ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan.
e. Syarat tumbuh partisipasi
Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh 3
(tiga) unsur pokok, yaitu:
1). Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat, untuk berpartisipasi
2). Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
3). Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
Lebih rinci Slamet menjelaskan tiga persyaratan yang menyangkut kemauan,
kemampuan dan kesempatan untuk berpartisipasi adalah sebagai berikut
a). Kemauan
Secara psikologis kemauan berpartisipasi muncul oleh adanya motif
intrinsik (dari dalam sendiri) maupun ekstrinsik (karena rangsangan,
dorongan atau tekanan dari pihak luar). Tumbuh dan berkembangnya kemauan
berpartisipasi sedikitnya diperlukan sikap-sikap yang:
1) Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai yang menghambat pembangunan.
2) Sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada umumnya.
3) Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas sendiri.
4) Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan.
5) Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya
b). Kemampuan
Beberapa kemampuan yang dituntut untuk dapat berpartisipasi dengan baik itu antara lain adalah:
1) Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah.
2) Kemampuan untuk memahami kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan sumberdaya
yang tersedia.
3) Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan serta sumber daya lain yang dimiliki
Robbins (1998) kemampuan adalah kapasitas individu melaksanakan berbagai
tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbins (1998) menyatakan
pada hakikatnya kemampuan individu tersuusun dari dua perangkat faktor
yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
c). Kesempatan
Berbagai kesempatan untuk berpartisipasi ini sangat dipengaruhi oleh:
1) Kemauan politik dari penguasa/pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan.
2) Kesempatan untuk memperoleh informasi.
3) Kesempatan untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya.
4) Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi tepat guna.
5) Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan
mempergunakan peraturan, perizinan dan prosedur kegiatan yang harus
dilaksanakan.
6) Kesempatan untuk mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan,
menggerakkan dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat
dalam pembangunan.
Sementara Mardikanto (1994) menyatakan bahwa pembangunan yang
partisipatoris tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan
kesejahteraan masyarakat (secara material), akan tetapi harus mampu
menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif. Karena itu setiap
hubungan atau interaksi antara orang luar dengan masyarakat sasaran yang
sifatnya asimetris (seperti: menggurui, hak yang tidak sama dalam
berbicara, serta mekanisme yang menindas) tidak boleh terjadi. Dengan
dimikian, setiap pelaksanaan aksi tidak hanya dilakukan dengan
mengirimkan orang dari luar ke dalam masrakat sasaran, akan tetapi
secara bertahap harus semakin memanfaatkan orang-orang dalam untuk
merumuskan perencanaan yang sebaik-baiknya dalam masyarakatnya sendiri.
Mardikanto (2003) menjelaskan adanya kesempatan yang diberikan, sering
merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat
menentukan kemampuannya.
2. Tegaknya Hukum
KEADILAN dan kebenaran
merupakan gagasan yang usianya setua manusia. Di mana ada sejumlah
manusia berada, di situlah selalu berkaitan soal keadilan dan kebenaran.
Tentu saja, apa yang dimaksud dengan keadilan dan kebenaran tergantung
dengan konteks di mana manusia itu berada. Setiap wilayah memiliki
pandangan dan ukuran yang berbeda sesuai dengan sejarah dan kebudayaan
yang menjadi anutannya. Namun demikian, keberbedaan konteks tidak
membuat keadilan dan kebenaran kehilangan nilai universalitasnya. Rasa
keadilan dan kebenaran selalu ada dan menjadi idaman masyarakat mana pun
dan kapan pun.
Adanya
unversalitas rasa keadilan dan kebenaran inilah yang menjadikan
berbagai pengalaman yang berserak di masa lampau dari wilayah yang jauh
tetap relevan untuk dipelajari, misalkan China. China memiliki
pengalaman yang mendalam terkait dengan soal keadilan dan kebenaran
sebagaimana tertuang dalam sekian banyak prosa-prosanya. Tidak heran
China hari ini tegas dalam menerapkan sistem hukumnya. Salah satu yang
menarik prosanya adalah kompilasi Feng Menglong pada masa pemerintahan
Dinasti Ming yang berakhir sekitar abad 16 masehi. Dinasti Ming dianggap
sebuah dinasti yang banyak menorehkan keberhasilan dalam bidang
ekonomi, budaya, kesenian, keamanan.
Feng
Menglong sendiri adalah cendekiawan cerdas. Ia memang agak lambat dalam
pencapaian karir. Ia menduduki jabatan setara bupati pada usia
senjanya. Namun ia banyak meninggalkan jejak karya yang bisa dinikmati
sampai sekarang, antara lain tiga jilid kumpulan kisah klasik Dinasti
Ming. Salah satu jilidnya berjudul Kesetiaan pada Tao Membawa Keabadian
Bagi Li Qing.
Karya
peninggalan Feng Menglong ini bisa dibaca sebagai dokumen sosial di
China, namun juga suatu pelajaran penting akan arti keadilan, kebenaran,
kesetiaan, dan spiritualitas. Memang kumpulan kisah klasik itu bukan
karya Feng Menglong tetapi karya anonim yang ia sunting. Dalam kerja
penyuntingan itu Feng Menglong tidak luput untuk masuk dan mencampuri
jalannya cerita.
Dalam
kumpulan prosa ini keadilan, kebenaran, spiritualitas menjadi tema
utama. Salah satu alasan mendasarnya cerita diciptakan bukan untuk
sebatas kesenangan tetapi sebagai acuan moral bagi sidang pembacanya.
Karya sastra tidak dibedakan secara tegas dengan ajaran Konfucius, Tao
maupun Budhis. Justru, karya sastra tidak lain kepanjangan dari dua
ajaran yang lahir di China tersebut. Ciri ini tentu berbeda dengan
semangat yang ada dalam sastra modern yang lebih menekankan ungkapan
individu.
Lantaran
tujuannya mengajarkan apa yang benar dan apa yang tidak, keseluruhan
kisah dalam kumpulan prosa ini adalah harapan kepada pembaca untuk hidup
secara benar. Saya kira justru itulah kumpulan prosa ini relevan hadir
dalam sidang pembaca di Indonesia.
Dari
12 prosa yang termuat dalam kumpulan ini, tema keadilan mendapat porsi
lebih dan cerita yang agak panjang. Dalam “Hanya Karena Uang Satu Ketip,
Sebuah Dendam Berakhir dengan Tragedi yang Kejam”. Dari judulnya sudah
tampak bahwa judulnya tidak lain peringatan. Cerita berawal dari seorang
anak yang diminta ibunya membeli obat sakit perut seharga satu ketip.
Bukannya sang anak ke toko tapi tergoda ajakan temannya untuk judi.
Sekalipun di awal judi, di akhir ia kalah. Dari situ konflik dimulai. Si
ibu membela anaknya, sementara anak yang mengajak judi juga dibela
orangtuanya. Cerita ini tidak berakhir di situ tetapi melibatkan bupati,
orang kaya daerah itu, pengadilan bertahun-tahun, dan berakhir dengan
13 orang mati. Si ibu yang sakit perut berakhir dengan bunuh diri
lantaran si ibu dari anak yang mengajak judi membongkar
perselingkuhannya. Kebetulan si suami mendengarkan dan marah. Ia diminta
bunuh diri jika yakin tidak bebruat serong. Si istri akhirnya bunuh
diri dan mayatnya dimanfaatkan seorang kaya licik yang kebetulan lewat
sungai di mana mayat si istri ini berada.
Mayatnya
dijadikan bukti palsu dalam perkelahian dengan seorang kaya lain dalam
soal perebutan sebidang tanah. Mulanya si kaya licik ini berhasil,
tetapi berkat kejelian serta sifat keadilan dalam diri bupati,
kejahatannya terbongkar. Lawannya menggunakan kelicikannya persis dengan
membunuh dua orang sebagai bukti palsu bahwa si licik pertama juga
membanti dua orang lainnya. Kasus tidak terbongkar beberapa tahun, tapi
ada saksi yang membukanya di kemudian hari. Dua orang kaya licik ini
akhirnya sama-sama dikenai hukuman mati oleh sang bupati.
Dalam
diri manusia terdapat potensi kejahatan yang bisa merugikan orang lain,
tetapi dengan adanya bupati yang memegang teguh prinsip keadilan,
kejahatan tetap mendapat hukuman setimpal. Bisa dibayangkan jika
perbuatan licik dan penuh aksi suap di pengadilan tanpa kehadiran si
bupati, tidak akan terungkap berbagai kejahatan tersebut.
Tema
keadilan ini juga kuat dalam “Hanya Karena Beberapa Renceng Uang,
Gurauan Membawa pada Bencana yang Mengerikan”. Cerita ini berkisah
mengenai seorang suami mengatakan pada istrinya bahwa ia baru saja
mendapat uang satu kantong setelah bersepakat menggadaikan istrinya
seharga 15 receng. Sesungguhnya si suami ini hendak bergurau setelah
pulang dari mertuanya dan diberi modal dagang kecil-kecilan setelah
usahanya selama ini tidak ada kemajuan. Rupanya candaan ini diterima si
istri dengan serius dan malam itu juga ia berencana pulang ke
orangtuanya agar membatalkan kesepakatan si suami. Malam itu ia tidak
tidur di rumahnya lantaran kesal dan menumpang di rumah tetangga agar
pagi-pagi buta bisa pulang ke orangtuanya. Kepada tetangganya ia
digadaikan sebesar 15 renceng.
Tak
disangka malam itu ada pemuda kalah yang judi dan punya ide mendadak
untuk mencuri. Ia masuk rumah yang lewat pintu yang tidak dikunci oleh
si istri dan mendapati koin di kaki si suami yang tertidur. Si suami
terbangun dan mengejarnya sampai dapur dan dalam keadaan gugup ia
mengambil kapak pembelah kayu dan melayangkannya ke wajah si suami. Si
suami mati lalu si pencuri mengambil uang 15 renceng.
Tetangga
si suami itu geger mendapatinya mati mengenaskan. Maka, orang kampung
segera mengejar si istri yang hendak digadaikan tersebut. Orang-orang
menangkap dan menemukannya tengah berjalan dengan seorang pemuda. Mereka
berdua didakwa telah bersekongkol berzina, merampok, dan membunuh. Si
pemuda menolak tetapi ditemukan dalam kantongnya uang sebesar 15 renceng
persis jumlah uang si suami. Tanpa ampun perempuan dan lelaki itu
sesuai dengan instruksi kaisar lewat residen, dihukum mati.
Sementara
istri pertama dari suami yang mati itu pulang lantaran ke orangtuanya
setelah semua tragedi tersebut dan berniat menikah setahun kemudian. Di
tengah jalan di sebuha hutan mereka dirampok dan si ayah terbunuh. Si
istri pertama kemudian menikah. Dalam pernikahan berttahun-tahun dalam
keadaan putus asa itu dan perlahan bahagia, terungkap bahwa suami yang
membunuh ayahnya adalah juga si pembunuh suaminya bertahun lampau.
Kemudian ia melaporkan kepada bupati dan pengadilan membuka kasus lama.
Si pembunuh ini akhirnya mendapat ganjaran hukuman mati.
Selain
tema keadilan, tema spiritualitas juga kuat. Contohnya “Kesetiaan pada
Tao Membawa Keabadian bagi Li Qing”. Pengalaman spiritual tokoh Li Qing
ini bisa kita bandingkan dengan tokoh santo di Kristiani, sufi di Islam,
linuwḗh dalam konsep Jawa. Berkat kesetiaan pada ajaran Tao, Li Qing
dianugerahi oleh dewa di langit untuk kembali di dunia dengan anugerah
dan berbuat baik kepada sesama manusia sampai usia sekitar 150 tahun. Ia
meninggalkan kehidupan duniawi pada usia 70 tahun dan berketetapan
mengabdikan di jalan Tao. Kesetiaannya didengarkan oleh langit dan ia
hidup dengan kemampuan supernatural demi kemaslahatan hidup orang
banyak. Salah satu bentuk supernaturalnya saat kematiannya jenazahnya
ikut lenyap. Li Qing muksha.
Ke-12
prosa dalam kumpulan ini menggunakan teknik tradisional. Jika sastra
modern melepaskan kehadiran penulis dalam karyanya, prosa China klasik
ini sebaliknya. Karya ini bercampur tangan dengan penulis dan si
penyunting sendiri, Feng Menglong. Jika si penulis campur tangannya
berupa saran moral, si penyunting hadir serupa “moderator” yang
menjembatani maksud cerita, penulis, dan posisi pembaca.
Sekalipun
pembaca dalam kondisi “dikendalikan”, ada kenikmatan tersendiri ketika
tukang cerita ikut hadir dalam kisah. Penyunting beserta penulis ikut
membantu serta memantau jalannya cerita. Cerita dengan lancarnya
berjalan dengan memanfaatkan metode pararel, yaitu satu peristiwa
berjalan bersamaan dengan peristiwa yang lain di waktu yang sama.
Linearitas dalam sastra modern yang ditentang sastra “paskamodern”
dengan konsep waktu pararel sudah ada dalam sastra China klasik. Prosa
“Jalan Setapak Bercecabang” karya Jorge Louis Borges adalah salah satu
bentuk bagaimana konsep pararelitas dipraktikkan.***
3.Transparansi
Transparansi seperti yang digunakan dalam istilah politik
berarti keterbukaan dan pertanggung-jawaban. Istilah ini adalah
perpanjangan metafor dari arti yang digunakan di dalam ilmu Fisika: sebuah obyek transparan adalah obyek yang bisa dilihat tembus.
Aturan dan prosedur transparan biasanya diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung-jawab dan untuk memerangi korupsi. Bila rapat pemerintah dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa saja, bila undang-undang, aturan,
dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat
transparan dan akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk
menyalahgunakannya untuk kepentingan sendiri.
Transparansi memiliki beberapa makna, antara lain:
- Dalam dunia optik; keadaan yang memungkinkan cahaya untuk menembusinya. Benda-benda yang memiliki keadaan ini disebut transparan.
- Transparansi (politik),
berarti keterbukaan dalam melakukan segala kegiatan organisasi..dapat
berupa keterbukaan informasi, komunikasi, bahkan dalam hal budgeting
- Transparansi (komputasi), terutama berkaitan dengan sistem terdistribusi.
Berlakunya karakteristik-karakteristik diatas biasanya menjadi jaminan untuk:
- Meminimimalkan terjadinya korupsi
- Pandangan minoritas terwakili dan dipertimbangkan
- Pandangan dan pendapat kaum yang paling lemah didengarkan dalam pengambilan keputusan.