Tidak mudah menulis pemikiran seseorang yang telah wafat. Tidak mungkin
misalnya melakukan wawancara. Apalagi yang bersangkutan tidak
meninggalkan jejak berupa buku atau artikel di majalah dan koran. Yang
tertinggal darinya hanyalah apa yang diceritakan orang lain tentangnya
dan tidak bisa lagi dikonfirmasi.
Tapi tidak demikian halnya
dengan KH. Noer Alie. Kiai yang amat popular di kalangan masyarakat
Bekasi dan Jawa Barat ini, meskipun tidak meninggalkan tulisan, tapi
ajarannya masih melegenda. Beliau telah menghadap Yang Kuasa sejak tahun
1992, tapi kenangan dan cerita tentangnya begitu hidup di kalangan
murid, sahabat dan bahkan cucu-muridnya. Hal ini dikarenakan pengabdian
beliau yang nyaris tidak terhenti sepanjang hidupnya, terutama bagi
perbaikan dan pengembangan masyarakat. Mulai dari keterlibatannya dalam
revolusi fisik melawan penjajah Belanda, menjadi Ketua Dewan
Pemerintahan Kabupaten Bekasi, mendirikan lembaga pendidikan, dan
mengajar keliling ke berbagai masjid. Tidak heran jika almarhum
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah atas jasa-jasanya
dalam rangka ikut berjuang melawan penjajah Belanda dan mempertahankan
Republik Indonesia.
Sayangnya tulisan tentang riwayat hidup dan
perjuangan beliau masih sedikit. Diantaranya buku yang ditulis oleh Ali
Anwar dengan judul "KH. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang" atau
kumpulan tulisan dalam blognya
http://noeralie.wordpress.com.
Selebihnya masih berbentuk legenda dan cerita dari mulut ke mulut.
Karena itu tulisan mengenai berbagai aspek lain tentang beliau mutlak
diperlukan.
Tulisan ini mencoba menggali pemikiran KH. Noer Alie
dalam hal pembangunan dan pengembangan ekonomi Islam, sebuah subyek
yang kini dipelajari secara serius oleh dunia akademis di Indonesia
khususnya. Bidang ini mulai mendapat perhatian ketika terjadi krisis
ekonomi yang melanda Indonesia dan masih terasa dampaknya sampai
sekarang. Sejak saat itu orang mulai mempertanyakan sistem ekonomi yang
dianut oleh Indonesia. Sistem yang dibangun selama 30 tahun oleh
Soeharto bersama Orde Barunya hancur dalam sekejap meninggalkan masalah
keuangan, ekonomi bahkan kemanusiaan. Bencana itu masih terasa dampaknya
bagi masyarakat, sampai sekarang.
Mengaitkan KH. Noer Ali
dengan masalah ekonomi ibarat mencari bayang-bayang dalam cahaya
temaram. Dia ada disana, tapi diperlukan kejelian menemukannya. Pasti
ada yang terselip diantara kebijakannya dalam memimpin Yayasan Attaqwa
selama 30 tahun. Atau dalam ceramah-ceramahnya yang tersebar di berbagai
kaset rekaman milik murid-muridnya..
KH. Noer Alie dan Konsep Pembangunan
Jaman
Orde Baru (1967-1998) adalah jaman dimana kata “pembangunan” sangat
sering diucapkan dan dikampanyekan oleh pemerintah. Hal itu terjadi
karena pemerintah ingin membangun Indonesia menjadi negara maju. Karena
itu perlu membangun di berbagai bidang. Sedemikian berkuasanya program
itu, sehingga seringkali pihak yang tidak setuju dengan pemerintah dicap
sebagai “anti pembangunan” atau “menghambat pembangunan.”
KH.
Noer Alie mengkritik konsep “pembangunan di segala bidang” yang
dikatakannya sebagai konsep yang kontradiktif. Ia melihat pemerintah
tengah berusaha menjadikan manusia Indonesia dengan kepribadian ganda,
yaitu kepribadian yang memiliki karakter yang saling bertentangan. Di
satu sisi, pemerintah berusaha mendidik masyarakat menjadi masyarakat
yang agamis dengan mengadakan lomba Tilawah Quran (MTQ), lomba Tafsir
Quran, dan lomba Qasidah, tapi disisi lain juga mendorong masyarakat
untuk mengembangkan tradisi yang justru merusak agama, dengan dalih
pembangunan budaya, seperti aliran kepercayaan dan kebatinan. Oleh
karena itu, menurutnya, “pembangunan di segala bidang” akan gagal.
[i]
Baginya,
pembangunan ekonomi harus dimulai dengan pembangunan karakter manusia.
Dan karakter manusia hanya dapat dibangun berdasarkan agama. Nilai-nilai
yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi seperti kerja keras,
kejujuran, kedisiplinan dan keteraturan hanya mungkin tercipta apabila
manusia menghayati Islam sebagai agama dengan system yang komprehensif,
meliputi kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, menurutnya,
system pendidikan harus menciptakan manusia yang “pinter” (pandai) dan
“bener” (baik). Konsep ini mirip dengan yang dikemukakan oleh BJ
Habibie, sewaktu menjadi Menteri Riset dan Teknologi di jaman Soeharto,
dengan adagium “iptek” (ilmu pengetahuan) dan “imtak” (iman dan taqwa).
Konsep Habibie yang kemudian diadopsi oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia) sebagai salah satu pilar pengembangan SDM ini, juga
pada dasarnya bertujuan menciptakan manusia Indonesia yang pintar,
cerdas dengan landasan kebenaran yang berdasarkan Islam.
Mungkin
sebuah kebetulan apabila pada tahun 1973 Khurshid Ahmad, seorang ahli
ekonomi Islam mengemukakan konsep yang mirip tentang pembangunan ekonomi
dalam Islam.
[ii]
Ia mengatakan pembangunan ekonomi dalam Islam bukan semata pembangunan
ekonomi fisik, tapi berawal pada pembangunan mental dan karakter
manusia. Ia mengemukakan, bahwa untuk bisa melakukan pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan dan selamat bagi ummat manusia, ada empat hal yang
harus dijadikan dasar. Pertama Tauhid, kedua Rububiyyah, ketiga Khilafah
(peran manusia sebagai khalifah di dunia) dan keempat penyucian diri
(tazkiyah nafs).
KH. Noer Alie dan Kemandirian Ekonomi
“Noer Alie adalah seorang Ghandi. Bedanya, ia berasal dari Bekasi Utara”
kata seorang rekan. Ia mengomentari sosok sang kiai itu, setelah
menyaksikan begitu banyak upaya yang dilakukan agar yayasan yang
dipimpinnya, bahkan kampung tempat tinggalnya (Ujungharapan), mandiri
dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ekonomi. Ia menyamakannya
dengan Mahatma Ghandi, pejuang kemerdekaan India yang terkenal dengan
metode non-koperatif dan tanpa kekerasan dari kolonialis Inggris, yang
terkenal dengan semboyan Swadhesi.
KH. Noer Alie memang pernah
memimpikan kampungnya menjadi kampung syurga. Murid-murid yang belajar
agama darinya, menafsirkannya sebagai impian untuk menjadikan kampungnya
sebagai pusat pengembangan agama Islam, dimana semua ajaran Islam
dilaksanakan secara kaffah. Tapi bagi Noer Alie sendiri, kampung syurga
bermakna kampung yang penduduknya sejahtera secara lahir dan batin.
Artinya secara ekonomi kampung itu harus cukup sehingga masyarakatnya
dapat membiayai sendiri kehidupan lahiriyah, dan secara agamis
masyarakat bersandar kokoh kepada aqidah, syariah dan akhlaq. Ia
mengumpamakan masyarakat kampung seperti itu memiliki “kampung yang
bersih dan teratur; sawah yang airnya cukup dan panen yang berlimpah,
dengan penduduk yang rajin beribadah dan berzikir kepada Allah SWT.”
KH.
Noer Alie mencontohkan sendiri bagaimana tujuan itu harus dicapai.
Tidak jarang ia mencangkul sendiri kebunnya untuk ditanami berbagai
tanaman. Ia juga turun ke sawah bersama petani untuk menanam benih padi,
memanennya tatkala musimnya tiba. Ketika pemerintah daerah datang
menawarkan bantuan, ia meminta mereka memperbaiki saluran air dan
memastikan tersedianya bibit tanaman dan pupuk. Ia bahkan merelakan
tanah di sekitar pondok pesantren dijadikan “basecamp” sebuah developer
untuk pembangunan infrastruktur berupa jalan aspal dari Ujungharapan ke
Babelan. Ia juga yang mempelopori pembangunan jalan tembus dari
Ujungharapan ke Teluk Pucung dan dari Ujungharapan ke Kebalin, dua desa
di sebelah timur Ujungharapan.
KH. Noer Alie juga mendidik para
santri untuk bisa mandiri. Ketika para santri meminta bantuan dana untuk
mendirikan gedung koperasi santri, ia meminta mereka untuk ikut
memotong padi ketika sawah milik yayasan memasuki musim panen.
[iii] Hasil itu kemudian dijual dan dibelikan bahan bangunan.
KH. Noer Alie dan kompetisi yang adil
Yayasan
yang dipimpin KH. Noer Alie mengelola aset wakaf yang sangat banyak.
Aset itu tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bekasi,
seperti Babelan, Tarumajaya, Penggarutan, Kaliabang, Kebalen, Gabus,
Teluk Pucung, Pekayon dan lain-lain. Kebanyakan asset ini dalam bentuk
tanah sawah. Karena kekurangan pengurus untuk mengelolanya, KH. Alie
mengizinkan para petani untuk menggarap tanah sawah milik yayasan itu
dengan sistem bagi hasil.
Pada menjelang musim tanam, para
petani yang berminat untuk mengelola sawah milik yayasan diundang untuk
melakukan tender. Apabila petani yang datang untuk mengelola sawah
yayasan di daerah tertentu hanya satu orang, maka tawar menawar
dilakukan langsung antara pengurus yayasan dengan petani dimaksud. Jika
pengelolanya lebih dari satu orang, maka kepada mereka ditawarkan untuk
melakukannya bersama. Jika tidak, maka penentuan akan dilakukan dengan
lelang; siapa yang menawarkan bagi hasil lebih tinggi kepada Yayasan,
maka dialah yang berhak mengelolanya.
Meskipun memahami kurangnya
pendidikan di kalangan para petani, itu nampaknya KH. Noer Alie tidak
bisa meninggalkan asas leissez faire dalam penentuan hasil ekonomi yang
optimal. Dia mengerti betul bahwa ia bisa saja melakukan intervensi
dengan menunjuk salah satu dari petani-petani itu untuk mengelola tanah
wakaf yang diamanatkan kepadanya. Tapi cara itu justru akan bersifat
koruptif, yaitu menentukan kekuasaan seorang petani atas petani lainnya.
Jika demikian yang terjadi, maka hasilnya justru tidak optimal. Sang
petani akan cenderung melakukan monopoli atas tanah yang dikelolanya dan
kepentingan pribadi yang lebih luas akan jadi dominan.
KH. Noer Alie dan Pemerataan
Berdasarkan
cerita yang berkembang di kalangan Dewan Masjid, KH. Noer Alie pernah
meminta pengurus melakukan pendataan jamaah masjid beserta mushalla.
Daftar jamaah dari berbagai mushalla itu diperintahkannya untuk diberi
kode hijau atau merah. Kode hijau berarti jamaah itu sudah berada garis
“aman”, sedangkan kode merah bermakna jamaah tersebut perlu dibantu.
Berdasarkan
daftar jamaah itu, zakat, infaq dan sadaqah didistribusikan. Ia
mengatur sendiri bagaimana dana-dana sosial itu disalurkan. Ada yang
memang langsung dibagikan kepada mustahiq, tapi ada yang berupa
pinjaman. Maksudnya adalah untuk mendidik agar penerima bantuan itu
dapat berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan cara menjadikan bantuan
itu sebagai modal usaha.
KH. Noer Alie dan bunga bank
Perdebatan tentang hukum bunga bank telah terjadi di berbagai forum kajian ormas Islam.
[iv]
Muhammadiyah telah memulainya dalam forum Majlis Tarjih muktamar tahun
1971 di Situbondo. Majlis Tarjih menyimpulkan bahwa hukum bunga bank
adalah "musytabiha". Untuk itu boleh hukumnya mengambil bunga dari
bank-bank Pemerintah, tapi tidak boleh dari bank komersial.
Nahdlatul
Ulama melalui Bahtsul Masail pada Muktamar 1992 di Bandar Lampung
mengeluarkan fatwa bahwa hukum bunga bank ada 3, yaitu haram, halal dan
syubhat. Fatwa dengan substansi yang sama didahului oleh MUI yang
melakukan silaknas pada tahun 1990 di Cisarua, Bogor, tentang hukum
bunga bank. Fatwa ini kemudian mendorong lahirnya Bank Muamalat, bank
umum syariah pertama di Indonesia, dua tahun kemudian.
Jika
menelusuri sejarah lebih kebelakang, perdebatan tentang bunga bank
ternyata sudah ada sejak tahun 1934. Pada Sidang Majelis Tarjih pertama
KH. Mas Mansur menyatakan bahwa Muhammadiyah mengambil pendapat bahwa
bunga bank tidak dibolehkan, tapi karena tidak ada cara lain yang lebih
maslahat menyimpan dan melakukan pembayaran kecuali melalui bank, maka
hukumnya menjadi darurat.
Meskipun KH. Noer Alie anggota elit Masyumi, dimana saat itu kebanyakan dari pengurusnya dari kalangan moderenis
[v],
seperti M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, yang menganggap bunga
bank tidak bertentangan dengan agama, namun KH. Noer Alie teguh dengan
pendapatnya yang berbeda. Bunga bank baginya sama dengan riba dan yang
namanya riba dilarang oleh Alquran. Oleh karena itu ia meminta para
pengurus Yayasan untuk tidak mengambil bunga tabungan dari rekening
Yayasan, yang digunakan untuk menerima bantuan dari luar negeri.
KH. Noer Alie dan Zakat Produktif
Fenomena
baru yang muncul dengan kemunculan perbankan syariah pada tahun 1990an
adalah Qardhul Hasan yang secara harfiah berarti pinjaman kebajikan.
Pinjaman ini diberikan kepada fakir miskin yang dikembangkan dari "zakat
produktif", yaitu memberikan zakat dengan menjadikannya modal usaha
para mustahiq.
Para ulama berbeda pendapat mengenai zakat yang dijadikan pinjaman modal.
[vi]
Sebagian menganggap bahwa hal itu tidak dibolehkan mengingat zakat
bersifat tamlik artinya memberikan milik kepada para dhuafa, fakir dan
miskin. Artinya sekali zakat diberikan maka ia menjadi milik mustahik,
terserah untuk tujuan apapun mereka menggunakannya, termasuk untuk
konsumtif. Di Indonesia, almarhum Prof. KH. Ibrahim Hosen LML, termasuk
yang menganut pendapat ini. Sebagian lain berpendapat hal itu dibolehkan
dengan dasar maslahat, yaitu maslahat tarbiyah. Yang dimaksud maslahat
tarbiyah dalam hal ini adalah mendidik para dhuafa untuk dapat mandiri
dengan cara diberikan modal usaha yang diambil dari dana zakat, sehingga
mereka tidak lagi menjadi mustahiq, tapi juga muzakki.
Jauh
sebelumnya KH. Noer Alie telah melakukannya untuk jamaah masjidnya yang
termasuk golongan kurang mampu. Ia memerintahkan para pengurus untuk
mendata jamaah yang layak menerima zakat dan yang kurang layak. Lalu
meminta mereka mengkategorikan nama-nama mereka dengan dua warna, hijau
dan merah. Yang hijau artinya keluarga mampu sedangkan merah berarti
mesti dibantu.
KH. Noer Alie dan Pemeliharan Lingkungan
Menanam
pohon. Itulah hobi yang dilakukan KH. Noer Alie selama hidupnya. Ia
amat senang dengan kebun jambu yang ada di samping pondok pesantren
putra. Kebun itu ia kelola sendiri bersama pembantu kesayangannya yang
bernama Inen. Terkadang ia cuma tersenyum lucu mendengar berita
santrinya mencuri beberapa butir jambu dari kebun itu, sekedar menutupi
rasa lapar ketika mereka menjadi piket jaga malam di pondok. Selain itu
ia juga terlihat sedang mencangkuli tanah di samping mushalla pesantren
putri, untuk ditanami sayuran, sambil mengawasi santri-santrinya yang
duduk tertib di tepi kebun, yang salah satunya tengah membaca kitab.
Ketika
pemerintah memberikan bantuan berupa tanaman rimbun (akasia) pada tahun
1980an, ia sangat antusias menerimanya. Beberapa batang darinya
diperintahkan ditanam di pondok pesantren putra sebagai pertanda bahwa
pesantrennya mencintai lingkungan yang hijau dan asri. Sampai saat ini
tanaman itu masih ada dan menjelma menjadi tanaman rimbun yang menghiasi
halaman depan pondok pesantren putra.
Ia juga memperhatikan
saluran-saluran air yang menjadi sumber pengairan bagi pesawahan di
sekitar kampung. Tidak jarang ia mengajak penduduk kampung untuk bekerja
bakti membersihkan saluran air di tepi jalan agar tidak menjadi sarang
penyakit dan tidak tersumbat ketika musim hujan tiba.
Green Economy
kata orang sekarang. Semua kegiatan ekonomi yang dirancang oleh Noer
Alie senantiasa berwawasan lingkungan. "Lingkungan mesti dipelihara
sebagai salah satu peninggalan yang amat berharga selain ilmu
pengetahuan..."
Wallahu A'lam
Referensi:
1. Rifyal Ka’bah, “Hukum Islam di Indonesia,” UI Press, 1998
2. “Studies in Islamic Economics,” the Islamic Foundation, Leicester, 1980
3. “Economics of Zakah,” seminar paper, International Research and Training Institute-IDB, Jeddah, 1998
4. "KH. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang" a
http://noeralie.wordpress.com.
[i]
KH. Noer Alie tidak sempat menyaksikan ramalannya menjadi kenyataan
karena keburu wafat pada tahun 1992. Ketika terjadi kerusuhan tahun
1998, yang mengakibatkan krisis berbagai dimensi, termasuk dimensi
kemanusiaan. Taufiq Ismail sempat mengungkapkan kegundahannya tentang
krisis kemanusiaan itu dengan puisinya yang terkenal “Malu Aku Menjadi
Manusia Indonesia”
[ii]
Khurshid Ahmad, “Economic Development in an Islamic Framework,” dalam
“Studies in Islamic Economics, the Islamic Foundation,” Leicester, 1980
[iii]
Kegiatan ini terkenal dengan sebutan “Ngeblek” (dengan ejaan e seperti
dalam kata ember). Cerita santri diajak Ngeblek sangat popular sampai
saat ini karena hanya terjadi di jaman KH. Noer Alie
[iv] Lihat Rifyal Ka’bah, “Hukum Islam di Indonesia,” UI Press, 1998
[v]
Nurcholis Madjid pernah mengklaim bahwa bolehnya bunga merupakan
“mazhab Masyumi” karena kebanyakan para pemimpin Masyumi berpendapat
seperti itu. Klaim seperti ini tidak tepat, karena Masyumi merupakan
partai politik yang tidak mengeluarkan fatwa mengenai masalah keagamaan.
[vi] Economics of Zakah, collection of seminar paper, International Research and Training Institute-IDB, Jeddah, 1998