Tionghoa
Benteng
Sejarah
Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata
"Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng
Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post
pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan
Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Tionghoa Benteng
telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi
tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan.
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang
Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di
Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu
menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang
dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang
berubah nama menjadi Teluk Naga.
Warga Tionghoa Benteng sempat bersitegang dengan
penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah
etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum
Republik menjarah rumah-rumah warga Tionghoa Benteng. Bahkan meja abu, yang
merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri.
Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA
dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan
bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada
saat itu hubungan warga Tionghoa Benteng dan pribumi mengalami kemunduran
paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda Tionghoa Benteng
pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Tionghoa
Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu
berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy and tentara Kolonial
Belanda.
Saat itu, semua etnis Tionghoa Benteng nyaris terusir,
dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan
utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati
rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka
kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung
itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun,
mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.
Penggolongan
Orang Tionghoa Benteng terbagi menjadi dua golongan
berdasarkan keberangkatan mereka dari Tiongkok:
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad
ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka
mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup
pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup
yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan Tionghoa Benteng golongan pertama ini
hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi.
Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada
abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa
mereka akan tetap loyal terhadap Tiongkok dan Kaisar Dinasti Qing.
Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan
motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang,
dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Tionghoa Benteng
golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu
"One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial
Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa
yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi
50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras
baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda. Tionghoa Benteng
golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Pakaian adat
Pakaian adat suku Tionghoa Benteng merupakan perpaduan
antara pakaian adat suku besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokian) dan
pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat prianya berupa baju
koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping.
Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan
bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali
digunakan pula kebaya encim, dengan aksen
kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam
pakaian tersebut.
Kontribusi dalam kelangsungan
kolonialisme Belanda
Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan
kekuasaan kolinal Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat
menjadi kapitein Tionghoa pada era feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan
mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia,
mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah. Tangerang
merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru
diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an.
Pada tahun 1946, terjadi kerusuhan etnis di Tangerang,
Pribumi menuduh Tionghoa berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Poh An Tuy,
tentara Tionghoa Benteng pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat
Tionghoa Benteng yang selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan
Jawa dan Madura) beserta beberapa kelompok religius Sunda dan Betawi melakukan
peyerangan terhadap orang Tionghoa Benteng karena dianggap terlalu loyal
terhadap NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam oleh tentara gabungan
NICA dan Poh An Tuy yang membela orang Tionghoa Benteng.
Orang-orang Tionghoa Benteng merasa sangat kehilangan
ketika Belanda meninggalkan Tangerang pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu
kepada Republik, karena mereka kehilangan pelindung mereka, maka terjadilah
penyerangan dan perampasan terhadap orang-orang Tionghoa Benteng, banyak di
antara mereka yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin karena harta leluhur
mereka dirampas. Orang Tionghoa benteng hidup lebih sejahtera selama pada zaman
kolonial belanda daripada setelah Tangerang masuk ke-dalam Republik Indonesia.
Di Belanda pun orang Tionghoa Benteng mudah ditemui di antara komunitas
tionghoa disana, karena kebanyakan orang tionghoa yg ada di Belanda adalah orang
Tionghoa Benteng yang melarikan diri setelah Tentara Poh An Tuy mengalami
kekalahan melawan tentara republik.
Masa kini
Orang Tionghoa Benteng dikenal dengan warna kulitnya
yang sedikit lebih gelap (walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan
Tionghoa lainnya di Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam
ketimbang orang Tiongkok. Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian
campuran betawi-tionghoa, Cokek yaitu sebuah tarian berpasangan lelaki dan
perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama yang dianut beragam
antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan, Pemujaan
Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam.
Hal menarik dari Tionghoa Benteng adalah biarpun
mereka sudah tidak berbahasa Tionghoa lagi, mereka tetap melestarikan budaya
leluhur dan tradisi Tiongkok, ini bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka
yang menggunakan upacara pernikahan gaya Dinasti Manchu (Qing), mereka juga
mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu seperti Manchu robe dan Manchu hat pada
saat menikah. Orang Tionghoa Benteng adalah satu-satu nya komunitas Tionghoa di
Indonesia yang memiliki darah orang Manchu, karena hanya orang Tionghoa Benteng
yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya Dinasti Manchu setelah Dinasti
Qing runtuh pada tahun 1912, di tiongkok sendiri, upacara nikah gaya Dinasti
Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan [rujukan?].
Keturunan Dinasti Qing
Sebagian di antara warga Tionghoa Benteng yang
bermarga 王 "Wang" (Hokkien: Ong)
adalah keturunan dari keluarga kekaisaran Dinasti Qing (clan Manchu
Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam bahasa mandarin). Mereka adalah keturunan
dari anak haram hasil hubungan gelap Kaisar Qianlong dengan seorang gadis
cantik bermarga Ong di provinsi Fujian. Karena sang Kaisar tidak mau hubungan
gelapnya diketahui publik, maka untuk menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil
hubungan haram tersebut diberi nama marga Wang (王).
王 (Hokkien:
Ong) adalah karakter Mandarin untuk "raja", yang digunanakan untuk
orang yang merupakan keturunan penguasa, namun tidak pernah berkuasa. Informasi
yang salah menyatakan mereka menggunakan marga Ong karena ibu dari anak haram
itu juga bermarga Ong, namun sebenarnya ini adalah sebuah kebetulan. Nama marga
Wang pertama kali digunakan oleh Keluarga Zi (penguasa Dinasti Shang), kemudian
oleh Keluarga Ji (penguasa Dinasti Zhou) saat mereka sudah tidak berkuasa lagi.
Namun tidak semua orang Tionghoa Benteng bermarga Ong
adalah keturunan Aixinjueluo. Keturunan Kaisar Qianlong kini mengggunakan nama
Indonesia Wangsa Mulya /Wangsa Mulia, untuk membedakan diri dari marga Ong yang
lain. Nama Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa sanskerta, Wangsa
(dinasti), dan Mulia (murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi
"Pure Dynasty". Sedangkan kata "Qing" sendiri berarti
"pure". Sehingga secara harafiah Wangsa Mulia dalam Bahasa Sansekerta
berarti "Qing Dynasty".
Seiring waktu, kebanyakan orang dari keluarga Wangsa
Mulya tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan Dinasti Qing, namun
bagimanapun juga darah dan napas Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri
mereka. Mereka hidup modern namun memegang teguh sifat ultra-konservatif
seperti feodalisme dan anti-feminisme. Informasi terbaru menyatakan mereka
mewarisi Ketuantanahan luas yang meluputi daerah yang sekarang adalah sebagian
dari BSD dan Gading Serpong
Sumber : Wikipedia