1
Aktor
untuk Moh. Sunjaya
Aktor terakhir menutup pintu
"Chaesar, aku pulang."
dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin
seperti wajah tua yang ditinggalkan
Siapapun pulang, Meski pada jas dengan punggung yang berlobang
ia masih rasakan ujung pisau itu menikam dan akerdeon bernyanyi pada saat kematian
"Teater," sutradara selalu bergumam,"hanya kehidupan dua malam."
"Tetapi tetap kehidupan." ia ingin menjawab
ia selalu berasa bisa menjawab
Ia menyukai suaranya sendiri
dan beberapa kata-kata
tapi pada tiap rertuntukan panggung
ia lupa kata-kata
Pada tiap reruntukan panggung
ia hanya ingin tiga detik - tiga detik yang yakin :
Dalam lorong kapai-kapai, abu tak berhenti
hanya karena cahaya tak ada lagi
Ia tak menyukai melankoli
2012
2
Teleskop
Ia memandangimu dari jauh : sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum : pejalan cahaya yang sebenarnya takut menyentuhmu
itu sebabnya, nak, pada sebuah sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang itu
tempat kau pada suatu hari duduk. tak ada jejak disana
mungkin tubuhmu selamanya tak menginjak bumi : seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap yang bergetar berulang kali
Ia tahu tanganmu menanting jam
berkeringat
tapi ia tak akan berani menghambur ke depan menawarkan akhir yang lain
ia hanya akan kembali memandangimu dari jarak yang tak tentu
merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang yang memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu
Di saku jaketnya
sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam di depan pintu itu,
ia sudah ingin berkata : lihat, aku tak menguntitmu
tapi ia tak pernah yakin kepada siapa ia berkata
ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan
hanya jam itu, di tanganmu, yang selamanya mengejutkan
2009
3
Dalam Kemah
sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori : Cinta adalah potongan-potongan pendek interupsi-lima menit, tujuh menit, empat ... dan aku akan menatapmu dalam tidur
apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan?
mungkin sebenarnya kita terlena oleh suara hujan di terpal kemah
di ruang yang melindungi kita untuk sementara ini aku, optimis,
selalu menyangka gerimis sebenarnya ingin menghibur,
hanya nyala tak ada lagi : kini petromaks seakan-akan terbenam
jam jadi terasa kecil
dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi
kemudian kau mimpi. kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asp nafasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan keluar hutan
aku tak bisa memanggilnya
Aku dekap kamu
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita
2010
Sek
2012hak
Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti
bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.
Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.
Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore
dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit
diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir
tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.”
Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri
di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang
berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya
ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti
bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap.
”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang
bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di
antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap
sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang
tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.”
Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok.
Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada
derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda
kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan
peleton!”
Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat
berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan
bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan
perang tak mesti berhenti.
Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung.
Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada
sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di
dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”.
Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu.
2010
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak
Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti
bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.
Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.
Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore
dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit
diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir
tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.”
Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri
di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang
berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya
ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti
bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap.
”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang
bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di
antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap
sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang
tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.”
Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok.
Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada
derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda
kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan
peleton!”
Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat
berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan
bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan
perang tak mesti berhenti.
Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung.
Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada
sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di
dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”.
Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu.
2010
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak
Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti
bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.
Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.
Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore
dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit
diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir
tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.”
Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri
di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang
berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya
ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti
bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap.
”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang
bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di
antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap
sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang
tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.”
Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok.
Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada
derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda
kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan
peleton!”
Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat
berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan
bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan
perang tak mesti berhenti.
Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung.
Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada
sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di
dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”.
Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu.
2010
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak
Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti
bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.
Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.
Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore
dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit
diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir
tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.”
Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri
di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang
berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya
ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti
bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap.
”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang
bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di
antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap
sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang
tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.”
Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok.
Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada
derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda
kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan
peleton!”
Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat
berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan
bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan
perang tak mesti berhenti.
Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung.
Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada
sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di
dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”.
Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu.
2010
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak
Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti
bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.
Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.
Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore
dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit
diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir
tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.”
Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri
di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang
berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya
ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti
bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap.
”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang
bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di
antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap
sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang
tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.”
Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok.
Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada
derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda
kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan
peleton!”
Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat
berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan
bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan
perang tak mesti berhenti.
Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung.
Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada
sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di
dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”.
Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu.
2010
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak
Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti
bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.
Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.
Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore
dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit
diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir
tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.”
Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri
di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang
berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya
ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti
bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap.
”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang
bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di
antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap
sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang
tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.”
Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok.
Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada
derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda
kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan
peleton!”
Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat
berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan
bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan
perang tak mesti berhenti.
Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung.
Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada
sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di
dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”.
Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu.
2010
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
No comments:
Post a Comment