Cerpen Radhar Panca Dahana (Kompas, 23 Maret 2014)
KOTA adalah tempat bagi semua yang pergi. Seperti
hari itu. Ashar sudah lama lewat dan halte yang kudekati dijejali
orang-orang yang tak kukenali. Kutatap mereka satu-satu, seolah saudara
dekat yang besok tak kutemui lagi. Tapi, mengapa semua berubah hanya
dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam waktu. Tiap
kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Tak seperti got di sisi semua
jalan, manusia di kota tak pernah berhenti. Bahkan di halte. Halte ini
bernyawa. Lalu mati. Bernyawa lagi. Mati lagi…
Aku memejam mata, berusaha tak peduli. Bersandar di tiang besi,
mengeja yang nyata dengan alifbata terbata. Mengejan kata dengan huruf
tak terbaca. Detik bersiur tanpa angka. Suara-suara berdesak tanpa
makna. Aku menghirup udara sehabis hujan, memrosesnya menjadi air di
tenggorokanku. Tapi kota tak membutuhkan waktu. Ia memperalat atau
mungkin membunuhnya.
Tetes gerimis masih jatuh dalam rombongan-rombongan kecil, seperti
tertib peziarah di petilasan, ketika seorang tua yang sudah pensiun
cukup lama menyeberang dengan tangan kanan membawa bungkusan. Tiga
karyawan sebuah perusahaan bercakap di sisi kiriku seperti tiga radio.
Yang seorang menatap tekun LCD smartphone, lainnya mengamati seksama
iklan di dinding halte, dan seorang lainnya seperti tukang obral yang
rajin mengelilingkan matanya.
Beberapa klakson terdengar, kakek pensiunan sudah menyeberangi
sepertiga jalan, saat sebuah motor yang masih baru cicilannya meliuk
dengan gerengan mesin yang telah diubah. Satu suara memekik dari dalam
sebuah angkot. Lalu suara keras mengejutkan, benturan menyakitkan
benda-benda keras dan lunak. Sejenak semua suara hilang, kepala-kepala
berpaling, mata terdiam, hati tercekat: motor cicilan baru itu
terseruduk angkot yang sedang keras menyalip. Tubuh pengendara motor
terbang seperti potongan kertas koran, bodi motor meluncur deras
berderit di aspal dengan laju 30 km/jam, dan menghantam satu tubuh yang
rapuh. Kakek pensiunan memejam matanya pasrah ketika pengendara motor
berdebam di aspal basah yang ia warnai dengan darah kental dari
kepalanya. Ban mobil sebuah sedan setengah milyar perak telah melindas
kepala itu, lengkap dengan helmnya.
Siang mulai rubuh, ketika waktu yang pucat terpaku dipecah teriakan,
seruan, jeritan dan gerak cepat beberapa orang menuju titik-titik
kejadian. Dengan refleks wajar, aku melaju ke arah tubuh tua pensiunan.
Dia jatuh, lemas, tapi tanpa luka. Kubopong ia ke tepi, memberinya air
putih yang dibawa dalam bungkusannya dan kembali pada seorang ibu yang
dengan tubuh rapuhnya menampung luncuran bodi motor tadi. Aku coba
mengangkatnya, tapi membuat tasnya terjatuh dengan isi berserak yang
memerlihatkan plastik obat dan sebuah tester penanda kehamilan. Aku
memandang wajah wanita yang bertele di lengan kananku. Matanya rapat
terpejam bagai kuburan.
Tetes gerimis terakhir jatuh sendiri di ujung mataku yang sepi.
Seorang anak muda, baru tiga bulan menjadi sales executive
distributor peralatan elektronik rumah tangga, memasuki sebuah warung
yang menjual kopi dan seduhan mi instan, 15 meter dari halte. Ia
meminjam lap dan sebotol air bersih. Lima pengunjung warung menatapnya
seperti adegan suspence sebuah film Bollywood. Lelaki setengah tua
dengan peci sedikit kucal coba menahannya.
”Ada yang mati, mas?” tanya si peci.
”Kurang tahu,” jawab pemuda itu ringkas.
”Supirnya, kabur?” sela pemuda berkaus ”barcelona” di ujung kursi.
”Bagaimana kabur? Nyawanya masih ada apa nggak juga belum jelas.”
”Barcelona” menggeleng kepala. ”Hari kalau celaka bukan sakitnya yang
membuat pedih, tapi ongkos berobatnya.” Entah keluh, kesal atau
frustrasi, ”barcelona” monyongkan bibir untuk menghirup kopi sampai
ampasnya.
”Semua gara-gara motor kelewat banyak,” sambung seorang tua yang
nongkrong di pojokan, ”karenanya mereka saling salip, rebutan ruang yang
makin ciut. Sama saja dengan ruang di warung ini, yang tambah sesek
sama ocehan.”
”Bukan salah motor. Tapi kakek goblok yang nyeberang seenaknya,” si peci coba mencoba menyanggah.
”Tapi kalau angkot nggak ugal-ugalan, kecelakaan nggak hebat begini.”
Kali ini seorang pemuda tiga puluhan, tampaknya tukang kredit, memberi
tanggapan.
”Yang keterlaluan ya pengemudi sedan mahal itu. Dia kurang cepet
ngerem sampai pengendara motor hancur kepalanya kelindes,” sambung yang
lain.
”Semua salah! Semua ini gara-gara polisi nggak kerja. Pemerintah
nganggur,” seorang pemuda seakan menggeram untuk dirinya sendiri.
”Kota segede ini memang terlihat kayak dedemit, monster.”
Seekor cecak jatuh. Percakapan terhenti. Entah kenapa.
Kejadian tak kalah seru juga terjadi di sebuah kafe modern penuh kaca, di lantai dua sebuah gedung, 30 meter dari kejadian.
Hampir setengah pengunjung kafe melompat saat terdengar suara keras
tubrukan, untuk menonton apa yang terjadi dari balik kaca rayban kafe
itu. Seseorang yang tetap duduk namun dapat mengintip di sela-sela
badan, justru merilekskan tubuhnya, menelekan punggung ke kursi dan
sambil menghisap rokok mildnya.
”Di detik yang sama di negeri ini mungkin ada sepuluh kejadian serupa
kecelakaan di luar itu. Mungkin ribuan di semua kota dunia. Kenapa
masih gatel menontonnya? Kurang kerjaan!” katanya ketus, seperti pada
diri sendiri.
”Kalau kita tidak bisa atau tidak sempat ikut menolong, setidaknya
kan bisa bersimpati. Untuk itu kita perlu tahu dengan jelas
peristiwanya.” Pengunjung lain, dengan dasi yang disampirkan di pundak,
melirik tajam orang di kursi.
”Apa bedanya simpati pada tontonan di balik kaca ini dengan tontonan
di layar kaca TV? Simpati saja tampaknya tidak cukup. Karena ini bukan
fiksi. Kalau mampu, kenapa tidak berbuat?” Satu anak muda dengan rambut
acak menggerung, lalu segera meninggalkan kaca rayban itu, menuruni
tangga, dan keluar.
”Anak itu ngapain sih? Mau jadi hero? Jangan-jangan dia yang terlalu
diracuni Rambo atau Bollywood. Kesiangan. Makanya sering bangun pagi.”
Dengan tubuh agak lunglai, seorang wanita 30-an awal kembali ke kursi,
di sisi kiri lelaki dengan mild tadi.
”Kalau anak muda itu pahlawan kesiangan, lalu kamu apa? Kamu kerja
apa gak berlagak jadi pahlawan bagi keluarga?” Kali ini seorang pekerja
yang tampak senior, berbalik dari kaca dan menghadap wanita yang
tampaknya teman sekerja.
”Masak bekerja saja dianggap pahlawan, sih? Aku kerja ya kerja saja,
sekadar sebagai kebutuhan alamiah. Seperti tidur atau buang air,” wanita
itu coba menyanggah sambil meraih gelas tehnya.
”Tak ada yang alamiah, ketika ia sudah menjadi ilmiah. Semua sudah
artifisial. Buang air pun sekarang menjadi komoditas,” seorang anak muda
yang dahinya rajin berpikir, seperti bergumam, bersender di kaca
membiarkan peristiwa di jalan terus berlangsung di baliknya.
”Mungkin itu masalahnya. Hidup yang sakral sudah mati. Hidup dunia
tinggal hanya materi, hari ini. Tidak heran kalau di Eropa 80 persen
anak muda atheis atau agnostik. Kita pun segera menuju ke situ.” Mungkin
yang bicara ini seorang mahasiswa filsafat dari perguruan tinggi
ternama. Ia duduk saja sedari tadi, dengan majalah kafe di depan
matanya. Bergeming dari semua peristiwa.
”Lagakmu seperti pemikir, anak muda. Makan kentang goreng pun kamu
harus berhitung dengan kiriman bulanan orangtua,” seorang bussiness
woman menyambut ketus.
”Haha…kalau setiap bertindak kamu menggunakan sipoa, seharusnya kamu
jangan naik tangga itu untuk nongkrong di sini.” Mahasiswa itu tersenyum
nyinyir tanpa menyingkap majalah di mukanya.
”Anak muda sok begini yang bikin sesak napas,” wanita bisnis itu mulai menderu.
”Waktu di zaman seperti ini memang macam kaus kodian, tidak lentur,
membuat kita susah bernapas. Tapi siapa yang bisa lepas dari kaus
kodian? Apalagi hanya dengan membaca.” Seorang pria setengah tua,
seperti memberi argumen yang membela rekan wanita bisnis sekaligus
menyergap pikiran sang mahasiswa.
”Hahaha….” sekonyong pria dengan mild tertawa. Di saat yang sama,
pemuda yang tadi turun tangga kini sudah kembali ke atas dan duduk di
mejanya. Semua diam memandang pemuda itu yang segera kembali ke mejanya
dan cepat menghirup kopi susu dinginnya. Gerimis kecil jadi burung
pelatuk di kaca rayban.
Sirene yang meraung menjadi monolog di kafe itu.
”Mengapa sih kamu kalau nyupir selalu terlalu dekat dengan mobil di
depan?!” seorang nyonya menyorotkan matanya dengan tajam ke wajah lelaki
di sebelahnya yang masih kosong menatap ke depan.
”Sudah tahu mobil ini baru mulai cicilannya, sudah nabrak. Keras
lagi. Pasti bonyok. Memangnya kamu punya anggaran untuk ke bengkel, di
akhir bulan begini. Ceroboh!” Nyonya itu menampilkan wajah yang sangat
tidak puas bahkan pada kata-katanya sendiri.
Lelaki agak tua di sebelahnya masih terpaku.
”Kenapa bengong kaya macan mabok begitu? Keluar segera. Lihat seberapa parah mobil kita? Siapa yang harus bayar perbaikannya?”
”Ya, seharusnya mobil di depan. Dia berhenti mendadak,” lelaki yang suami sang nyonya itu akhirnya bersuara.
”Dia itu tabrakan, pasti ada penyebabnya. Motor itu? Kita minta ganti sama pengendara motor itu? Sudah mati kali dia.”
”Apa benar dia mati, Ma?” suara lima belas tahunan terdengar dari kursi belakang.
”Apa peduliku?” tukas nyonya sambil membenahi gelung rambutnya yang
jadi sedikit kacau. ”Yang harus dipedulikan justru papamu yang brengsek
ini. Kita dibikinnya telat ke resepsi, malah mungkin harus nongkrong di
bengkel. Nyebelin.”
”Siapa yang mau celaka seperti ini, Ma? Siapa bisa menolak nasib,
apalagi di kota begini. Gak mungkin ayah nyupir lima puluh meter di
belakang mobil depan sesuai aturan. Kita akan terus disalip orang, dan
pasti lambat sampai di tujuan.”
”Siapa yang suruh lima puluh? Sepuluh meter kan bisa?”
”Gak mungkin. Kita tetap disalip. Bukan cuma mobil, tapi juga bajaj
atau motor-motor. Mungkin kita yang akan nabrak motor seperti angkot di
depan.”
”Itu karena gayamu kayak anak muda, kayak supir angkot. Nyupir
ugal-ugalan. Seperti kalau kamu jalan sendiri atau sama teman-temanmu di
mal, ugal-ugalan. Lirik kanan kiri, cowel kanan kiri. Anakmu dua tauk,
rambutmu itu penanda tua, tauk!”
”Polisi datang, papa.” Kembali ada suara kecil dari sepuluh tahunan terdengar di jok belakang.
”Kenapa selalu harus melebar kemana-mana sih, Ma?”
”Bukan melebar, tapi memang itu keadaannya, rumah tangga suka kacau karena gayamu, perbuatanmu, yang gak ngerti umur.”
”Umur cuma sekadar angka, Ma.”
”Dasar lelaki boyot. Umur kok angka, umur itu tanda. Tanda kamu itu
tua, kamu itu punya tanggung jawab, kamu itu…bisa mati kapan aja. Kalau
angka itu kuitansi di bengkel nanti. Dasar!”
”Pa, boleh aku keluar? Pengen tahu.” Suara sepuluh tahunan mengiba.
”Mama ini memang sebaiknya dulu nerusin bakatnya di teater. Hidup kok
didramatisir terus,” suami itu seperti senyum, tapi tak berani
mengejek.
”Apa katamu? Kamu yang melarang aku! Kamu yang melarang! Bukan aku
yang membuat hidup kita dramatis. Justru kamu! Pikirlah sedikit.
Pikirlah!!”
Suara pintu mobil terdengar terbuka.
”Dik, jangan!” Suara lima belas tahunan terkejut coba mencegah.
Anak kecil sepuluh tahunan sudah berlari ke lokasi kejadian.
”Prama!! Gila anak itu!” Suami bergegas buka pintu dan mengejar anaknya.
”Itulah produk papanya. Sama-sama gila.”
Nyonya masih membenahi gelung rambutnya. Menyemprot sedikit spray.
Lima belas tahunan tenggelam dalam LCD gadget terbarunya.
Dengan terengah aku berhasil membawa tubuh wanita hamil itu ke mobil
polisi yang baru saja datang. Mereka tidak segera membawanya pergi, tapi
menunggu ambulans yang katanya segera datang. ”Kenapa Anda tidak
dahulukan saja ibu ini ke rumah sakit?” Aku menyatakan keheranan.
”Tenaga saya lebih diperlukan di sini. Dan lagi memang tugas saya ini.
Soal korban, itu tugas tenaga medis.” Polisi muda itu segera
meninggalkan mobil dinasnya. Ia tampaknya mencari ”korban” yang lain.
Aku pun tak mungkin tinggal di situ. Masih banyak yang harus
ditolong. Di tempat kejadian, darah pengendara motor masih ada yang
mengental tak tercairkan sisa gerimis. Kulitku menangis. Ingin aku
membersihkan segera darah manusia yang membuatku selalu merinding keras
dan lemas. Untung sisa gerimis membantu mengalirkan dan membersihkannya.
Mataku sekonyong teralihkan pada satu titik di mana kakek tua tadi
terjatuh lemas. Ada juga darah di situ. Kakek itu ternyata luka. Bukan
karena benturan. Mungkin lantaran kaget. Darah sedikit ini tampaknya
keluar dari mulutnya, entah karena penyakit apa. Tentu parah luka
dalamnya.
Aku mendekat untuk refleks tanganku coba membersihkan darah yang
sedikit dan tak terkena air gerimis itu. Tapi mataku justru tertumbuk
pada sesuatu sebelum aku mengeluarkan saputangan. Sebuah dompet tua
berwarna coklat gelap tergeletak tak jauh dari darah itu. Dompet sang
kakek terjatuh. Aku menoleh sejenak dan melihat kakek masih terduduk
lemas di trotoar.
Dia terluka dalam, dompet yang hilang akan membuat hatinya lebih
dalam terluka. Aku refleks mengambil dompet itu dan bergerak mendekati
sang kakek. Pada saat itu sekonyong terdengar bentakan, lalu teriakan,
lalu ribut, lalu dua atau tiga orang mendekat. Beberapa orang lain
tampak menyusul. Lima detik kemudian sebuah hantaman keras terasa
menimpa punukku. Aku terjatuh.
Rasa sakit belum terasa, ketika sebuah kaki dengan keras menghajar
pinggang. Belum sempat kusadari tendangan itu, sebuah benda keras
menimpa dadaku. Lalu beberapa hujaman menimpa wajah, kuping,
selangkangan, tulang kering, entah mana lagi bagian tubuh yang tidak
terkena. Aku terlempar sana-sini di atas aspal basah itu. Gerimis kurasa
datang lagi, dalam rombongan agak besar.
Terasa ada sebuah tangan yang merenggut dompet di tanganku. Tapi
hantaman itu tidak berhenti. Darah keluar dari lubang-lubang seputar
kepala. Aku mulai merasa atas dan belakang kepalaku berdenyut. Bumi
berputar seperti komidi. Mataku masih terbuka, melihat darahku sendiri.
Kental merah kehitaman. Ingin kubersihkan, namun gerimis cukup deras
sudah membantuku.
Tubuhku beku dan merasa sunyi. Mataku mati.