Sunday, July 14, 2013

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

I. PENGERTIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pendidikan multikultural secara etimologis berasal dari dua term yakni pendidikan dan multikulturtal. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik.
Sedangkan istilah multikultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalannya adalah multi yang berarti banyak, ragam, aneka. Dengan demikian multikultural berarti keragaman budaya, aneka, kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih diartikan sebagai keragaman budaya sebagai aplikasi dari keragaman latarbelakang seseorang.
Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan negara). Pendidikan multikultural secara inhern merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya konsep “memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan sangat membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini.
H.A.R Tilaar memberikan pengertian pendidikan multikultural sebagai merupakan suatu wacana lintas batas yang mengupas permasalahan mengenai keadilan sosial, musyawarah, dan hak asasi manusia, isu-isu politik, moral, edukasional dan agama.
Ainurrofiq Dawam mengatakan, pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama).
Sedangkan menurut Zubaedi, pendidikan multikultural merupakan sebuah gerakan pembaharuan yang mengubah senua komponen pendidikan termasuk mengubah nilai dasar pendidikan, aturan prosedur, kurikulum, materi pengajaran, struktur organisasi dan kebijakan pemerintah yang merefleksikan pluralisme budaya sebagai realitas masyarakat Indonesia.
Dengan melihat dan memperhatikan berbagai pengertian pendidikan multikultural, disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah proses pengembangan yang tidak mengenal sekat-sekat dalam interaksi manusia. Sebagai wahana pengembangan potensi, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai heterogenitas dan pluralitas, pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan, etnis, suku, dan agama.

Pengertian Pendidikan Multikultural Dalam Konteks Indonesia
Di atas telah kita lihat wacana tentang pendidikan multikultural terus kian mengemuka seiring dengan terus bergulirnya arus demokratisasi dalam kehidupan bangsa, yang berimplikasi terhadap penguatan civil society dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Maka dari itu, pendidikan multikultural masih diartikan sangat beragam dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya.

Kamanto Sunarto sebagaimana dikutip Dede Rosyada menjelaskan bahwa pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar menghargai keragaman budaya masyarakat.

Sementara itu, Azyumardi Azra mengatakan, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paolu Freire yang ditulis Muhaimin el-Ma’hady yang mengatakan pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusahan menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Prudence Crandall (1803 – 1890) seorang pakar pendidakn dari Amerika yang dikutip Ainurofiq Dawam memberikan pandangannya tentang pendidikan multikultural, menurutnya pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya (kultur).

Dengan cara yang lebih terang, Banks dan Banks yang dikutip Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai bidang kajian dan disiplin yang muncul yang tujuan utamanya menciptakan kesempatan pendidikan yang setara bagi siswa dari ras, etnik, kelas sosial dan kelompok budaya yang berbeda.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan para pakar pendidikan, semuanya tampak mengarah pada tujuan yang sama yaitu bagaimana mewujudkan sebuah bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa membedakan etnik, ras, agama dan budaya. Seluruhnya harus bersatu pada membangun kekuatan di seluruh sektor, sehingga tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam konteks ini bisa diartikan sebagai sebuah proses pendidikan yang memberikan peluang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak yang sama bagi etnik minoritas dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional.
Selain itu, pendidikan multikultural bisa juga dikatakan sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi manusia serta menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama. Dengan demikian pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan manusia yang setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia datang dan berbuadaya apapun dia. Dengan demikian, pendidikan multikultural juga bisa dijadikan solusi (pemecahan atau jalan keluar) terhadap banyaknya konflik horizontal yang nyaris memecahkan bangsa Indonesia dewasa ini.
Kepustakaan:
  • Ainurrafiq Dawam, Emoh Sekolah “Menolak komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual manuju pendidikan multikultural“, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003). Zubaedi,“Telaah konsep Multikulturalisme dan implementasinya dalam dunia pendidikan”, (Hermenia Vol.3 No.1, januari-Juni, 2004). 

  • http://multikulturalisme.blogspot.com/2006/12/pendidikan-multikultural-di-indonesia_04.html

II. SEJARAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA 
Pendidikan multikultural lahir sejak 30 silam, yaitu sesudah Perang Dunia II dengan lahirnya banyak negara dan perkembangannya prinsip-psinsip demokrasi.
Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhinheka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat bhinheka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah mengabaikan kekayaan kebhinhekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.
Sejak jatuhya presiden Suharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut era Reformasi, Indonesia mengalami disintregasi, krisis moneter, ekonomi, politik dan agama yang mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada era Reformasi pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat beranekaragam.
Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali wacana pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era Reformasi ini, tentunya banyak hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya mengenai kurikulum di sekolah kita dari semua tingkat dan jenis, apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikultural. Selain masalah kurikulum juga mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar pendidikan merupakan tempat bagi perkembagan kebhinhekaan kebudayaan Indonesia.
Pendidikan multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah juga baru disampikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk melaksanakannya.
Gagasan multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman agama, etnik, dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
(Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.
(Kelompok minoritas, baik secara agama, bahasa maupun etnis, sebagaimana juga penduduk pribumi dan belum beradab, sering tersubordinasi, yang kadang-kadang secara kuat dan buas melawan kehendak mereka, terhadap kehendak negara dan masyarakat dominan. Sementara banyak orang….harus mengesampingkan budaya mereka, bahasa mereka, agama dan tradisi mereka, dan harus menyesuaikan diri dengan aturan yang asing dan kebiasaan sistem sebagai hasil konsiliasi dan reproduksi instituasi nasional, termasuk didalamnya adalah pendidikan dan sistem hukum)
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukanlah suatu hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya terkhusus dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit kulit dan kulit hitam dan bertujuan memajukan serta memelihara integritas nasional.
Kepustakaan :
  • H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999, hlm. 16
  • Ibid., hal 166
  • Disintegrasi adalah masa kehancuran; pembubaran; pemisahan kekuasaa; kehancuran jiwa (karena dorongan nafsu yang menguasai jiwa) (Kamus Ilmiyah Populer Pus A Partanto dan M Dahlan Al Barry). Pada masa ini terjadi pada tahun 1998 dimana banyak dilakukan aksi demonstrasi dalam ragka mengulingkan kekuasaan Suharto.
  • Ruslan Ibrahim (2008). Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama. Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi. No. 1. Vol 1. Hal 116
  • H.A.R Tilaar, loc.cit.
  • Ibid
  • Muhaemin El-Ma’hady dalam http://www. re-searchengines.com/ Diunduh pada hari sabtu, 14 April 2011.
  •   Ibid, Kini Barac Obama sebagai presiden Amerika Serikat menjadi bukti bahwa kulit hitam memiliki hak yang sama dalam berpolitik dinegaranya. 
III. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Dari konsep dasar pendidikan multikultural yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai nilai-nilai dan tujuan pendidikan multikultural. Untuk mencapai nilai-nilai multikultural bisa dicapai berdasarkan tiga sumber, yaitu konsep mengenai kebutuhan peserta didik, konsep mengani kebutuhan masyarakat, dan konsep mengenai peranan dan status mata pelajaran yang akan disampaikan. Dari prinsip-prinsip tersebut disusunlah suatu rumusan mengenai tujuan pendidikan multikultural.
Dari tujuan pendidikan inilah direncanakan kurikulum dan keputusan-keputusan instruksional yang akan dilaksanakan. Perencanaan kurikulum meliputi pemilihan mata pelajaran yang akan disajikan, kemudian dirumuskan menganai tujuan instruksional yang akan dicapai degan mata pelajaran tersebut. Sumber-sumber apa yang diperlukan dan rencana evaluasi dari mata pelajaran yang bagaimana yang sesuai dengan perkembangan peserta didik.

Dalam keputusan instruksional meliputi persiapan peserta didik untuk menyerap mata pelajaran, misalnya di dalam membangkitkan perhatian peserta didik, diagnosis proses pembelajaran dan hubungan-hubungannya dengan --atau kesinambungan dalam-- mata pelajaran yang disajikan. Demikian pula cara-cara penyampaian pelajaran, yaitu informasi apa yang akan diberikan, contoh-contoh apa yang perlu disajikan dan megecek kembali pengertian yang diharapkan diperoleh peserta didik. Keputusan instruksional juga meliputi petunjuk-petunjuk praktis dalam pelaksanaannya. Begitu pula dengan petunjuk-petunjuk yang khas untuk setiap mata pelajaran yang akan disajikan.

Dari uraian yang tersebut di atas mungkin timbul pertanyaan pada kita apakah penyajian pendidikan multikultural disajikan sebagai mata pelajaran ataukah merupakan suatu bentuk penyajian yang terintegrasi? Menjawab persoalan tersebut, sebaiknya pendidikan multikultural tidak diberikan dalam suatu mata pelajaran yang terpisah, tetapi terintegrasi di dalam suatu mata pelajaran yang relevan. Dalam mata pelajaran ilmu sosial, mata pelajaran bahasa, tujuan yang telah dirumuskan mengenai pendidikan multikultural dapat dicapai tanpa memberikan suatu mata pelajaran tertentu. Di dalam mata pelajaran kewarganegaraan (civic education) ataupun pendidikan moral (moral education) merupakan wadah untuk menampung program-program pendidikan multikultural.

Menurut Bunnet sebagaimana ditulis Azyumardi Azra mengatakan pendidikan multikultural itu memiliki tiga macam program yang dapat diterapkan oleh sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Pertama, program yang berorientasi pada materi (content-oriented programs) yang merupakan bentuk pendidikan multikultural yang paling umum dapat cepat dipahami, tujuan utamanya adalah memasukan materi tentang kelompok budaya yang berbeda dalam kurikulum dan materi pendidikan dalam rangka meningkatkan pengetahuan siswa mengenai kelompok-kelompok ini. Dalam bentuknya yang paling sederhana bentuk program ini menambahkan aspek multikultural ke dalam kurikulum yang standar. Versi yang lebih canggih dari bentuk ini yaitu mengubah kurikulum secara aktif dengan tiga tujuan: 1) mengembangkan muatan multikultural melalui berbagai disiplin. 2) memasukan sejenis sudut pandang dan perspektif yang berbeda dalam kurikulum. 3) mengubah aturan, yang pada akhirnya mengembangkan paradigma baru bagi kurikulum.

Kedua, program yang berorientasi siswa (student-oriented programs), yang dimaksudkan untuk meningkatkan prestasi akademik kelompok siswa yang berbeda, meskipun ketika itu mereka tidak memberikan perubahan besar dalam muatan kurikulum. Beberapa program ini tidak dirancang untuk mengubah kurikulum atau konteks sosial pendidikan, melainkan membantu siswa dengan budaya dan bahasa yang berbeda untuk memciptakan perubahan dalam mainstream pendidikan, terdapat beberapa kategori program yang khas : 1) program yang menggunakan riset dalam model belajar yang berbasiskan budaya (culturally-based learning styles) dalam menentukan gaya mengajar mana yang digunakan pada kelompok siswa tertentu. 2) program dua bahasa (bilingual) atau dua budaya (bicultural). 3) program bahasa yang mengandalkan bahasa dan budaya sekelompok siswa minoritas.

Ketiga, program yang berorientasi sosial (socially-oriented programs) yang berupaya mereformasi pendidikan maupun konteks politik dan budaya pendidikan, yang bertujuan bukan untuk meningkatkan prestasi akademik atau menambah sekumpulan pengetahuan multikultural, melainkan memiliki pengaruh yang sangat meningkatkan toleransi budaya dan ras serta mengurangi bias. Di samping itu, kategori program ini tidak hanya meliputi program yang dirancang untuk menstrukturkan kembali dan menyatukan sekolah, tetapi juga program ini dirancang untuk meningkatkan semua bentuk hubungan di kalangan kelompok etnik dan ras dalam program belajar bersama tanpa membedakan perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap individu. Bentuk pendidikan multikultural ini menekankan ‘hubungan manusia’ dalam semua bentuknya, dan menggabungkan beberapa karakteristik dua bentuk program lainnya; yaitu: program yang menuntut perbaikan kurikulum dalam rangka menekankan kontribusi sosial yang positif dari kelompok etnis dan budaya, sambil menggunakan riset tentang model belajar untuk meningkatkan prestasi siswa dan mengurangi ketegangan dalam ruang kelas.

Selain membicarakan pendidikan multikultural di dalam bentuk penyajiannya dalam kurikulum, pendidikan multikultural dapat pula disajikan dalam pengertian pendidikan yang lebih luas, yaitu dalam seluruh budaya lembaga pendidikan. Baik dalam keluarga, lingkungan sekolah, maupun masyarakat luas. Dengan demikian, pendidikan multikultural lebih tepat disebut sebagai suatu proses mata pelajaran atau dengan kata lain di dalam lingkungan sekolah (school education) pendidikan multikultural merupakan pengembangan budaya pluralisme dalam kehidupan sekolah (school culture) sebagai lembaga masyarakat (social institution).

Indonesia sendiri sebenarnya belum memiliki pengalaman dalam hal mengeimplementasikan pendidikan multikultural yang terdesain secara terencana, karena memang pendidikan multikultural baru saja dimulai. Selain itu juga otonomi daerah baru kita cobakan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk-bentuk dan sistem yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralitik itu, tetapi juga meminta suatu kerja keras untuk melaksanakannya.

Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di Indonesia memang bukan sesuatu yang taken for granted atau trial and error, tetapi butuh kerja keras dan perjuangan yang panjang. Akan tetapi, karena Indoensia baru memulai tentang pendidikan multikultural ini, untuk itu diperlukan suatu rujukan dari beberapa Negara yang memang sudah menerapkan pendidikan multikultural di negaranya. Seperti apa yang dijelaskan oleh Dede Rosyada bahwa prosedur yang harus ditempuh dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia adalah penyiapan kurikulum yakni menyisipkan berbagai kompetensi yang harus dimiliki siswa tentang multikulturalisme pada mata pelajaran yang relevan, karena multikulturalisme baru hanya sebuah gerakan dan belum menjadi sebuah ilmu yang komprehensif.

Selain itu (penyiapan kurikulum) harus diikuti pula dengan perumsuan berbagai materi yang sesuai dengan kompetensi yang hendak dicapai, dan diikuti pula dengan rumusan proses pembelajaran yang lebih memberikan peluang bagi para siswa untuk pembinaan dan pengembangan sikap, disamping pengetahuan dan keterampilan sosial yang terkait dengan upaya pengembangan sikap multikulturalistik.

Lebih lanjut Dede Rosyada menjelaskan bahwa mengenai masalah materi-materi yang akan dihantarkan dalam pendidikan multikultural hendaklah memperhatikan beberapa hal sebagai berikut ini :

1. Tentang hak-hak dari setiap individu dan hak-hak kolektif dari setiap anggota masyarakat, yakni setiap individu dari suatu bangsa memiliki hak yang sama untuk terpenuhi seluruh hak-hak asasi kemanusiaannya dan begitu pula secara kolektif walaupun mereka berasal dari kelompok etnik minoritas dan tidak memiliki perwakilan dalam birokrasi dan lembaga legislatif, tapi mereka memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas untuk menyampaikan aspirasi politiknya, dan yang sebagainya.

2. Tentang kebebasan individual dan budaya, yakni bahwa setiap individu termsuk dari etnik minoritas memiliki kebebasan berekspresi, berkarya, bahkan untuk mengembangkan dan memajukan budayanya.

3. Tentang keadilan dan hak-hak minoritas, yakni seluruh anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan dari negara.

4. Jaminan minoritas untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan atau legislatif.

Kemudian H. A. R. Tilaar mengatakan bahwa prinsip dasar dari penyusunan program-program pendidikan multikultural adalah: Pertama : Pendidikan multikultural didasarkan kepada pedagogik baru, yaitu pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogiy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan hak asasi manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bengsa untuk hidup berdasarkan kebudayaan sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar individu, antar bangsa, antar budaya, antar agama, dan sebagainya. Pedagogik kesetaraan tidak mengakui akan perbedaan-perbedaan artifisial yang telah dibuat oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagigik kesetaraan berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia.

Kedua, Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia indonesia cerdas. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mengembangkan pribadi-pribadi manusia Indonesia agar menjadi manusia-manusia yang cerdas. Hanya manusia cerdaslah yang dapat membangun kehidupan bangsa yang cerdas. Manusia cerdas adalah manusia yang menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya untuk peningkatan mutu kehidupan, baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok, dan sebagai anggota masyarakat bangsanya.

Kemudian manusia cerdas juga manusia yang bermoral dan beriman sehingga kecerdasan yang dimilikinya bukan untuk memupuk kerakusannya mengusai sumber-sumber lingkungan secara berlebihan ataupun di dalam kemampuannya untuk memperkaya diri sendiri secara tidak sah (korupsi), tetapi seorang manusia cerdas yang bermoral pasti akan bertindak untuk tujuan yang baik.

Selanjutnya manusia yang cerdas bukanlah yang ingin membenarkan apa yang dimilikinya, cita-citanya, agamanya, ideologi politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain, tetapi seorang manusia yang cerdas mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam hidup bersama sebagai kekayaan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Di bawah ini penulis akan coba tawarkan sebuah tabel tentang manusia Indonesia “cerdas” yang telah dijelaskan oleh H. A. R. Tilaar.



Gambar 4. Tabel Manusia Indonesia “CERDAS”

Siakap & Tingkah Laku

Kompetensi

Cerdik-pandai (educated)
*Kemampuan analisis
*Dapat mengambil pilihan
*Menguasai ilmu pengetahuan
*Gemar belajar
Energik-kreatif
*Daya Kreatif
*Rajin, kerja keras
*Tahan uji
Responsif terhadap
masyarakat demokratis
*Toleransi terhadap perbedaan
*Persatuan Indonesia yang pluralistik
*Inklusivisme
Daya Guna (skilled)
*Keterampilan yang bermanfaat
*Pemanfaatan sumber daya alam Indonesia
Akhlak mulia (moral, religius)
*Bermoral
*Anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
*Religius substanstif
Sopan santun (civilized)
*Mengenal adat istiadat setempat
*Mengenal tata pergaulan internasioal






Demikianlah secara garis besarnya gambaran manusia ceradas yang perlu dibina dalam masyarakat Indonesia yang beragam. Membangun manusia cerdas seperti yang telah digambarkan di atas bukanlah hal yang mudah yang dapat terwujud dalam semalam. Membina manusia cerdas merupakan suatu proses panjang yang perlu didukung oleh seluruh kegiatan di dalam masyarakat Indoneisa. Untuk itu adanya pendidikan multikultural adalah sebagai salah satu sarana untuk membangun manusia cerdas yang merupakan suatu aspek dari dalam kehidupan berbangsa. Hal ini berarti bahwa pendidikan multikultural di Indonesia merupakan pancaran dari paham multikultural yang seharusnya merupakan pedoman di dalam membangun masyarakat Indonesia.

E. Upaya Menemukan Format Pendidikan Multikultural dalam Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Setelah cermati perkembangan pendidikan multikultural dari mulai penyebab lahirnya, konsep dasar dan prinsip penyusunan programnya, bagaimana mengimplementasikannya dalam bentuk kurikulum, serta bagaimana keperluannya dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru, maka sekarang perlu cermati apakah di dalam Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 tersebut telah diberikan indikasi pengembangan pendidikan multikultural? Atau apakah undang-undang tersebut dapat dijadikan acuan untuk pendidikan multikultural?.

Apabila kita cermati Undang-undang No. 20 tahun 2003 maka tampak dengan jelas bahwa undang-undang tersebut belum mengatur mengenai pendidikan multikultural. Jiwa dari undang-undang tersebut adalah idealistik, dan bukan futuritik. Undang-undang tersebut sangat idealistik yang mengupayakan perwujudan cita-cita luhur dari bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dapat dilihat di dalam rumusan Pasal 3 yang menyatakan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Rumusan yang sangat indah dalam Pasal 3 tersebut tentunya bersifat sangat abstrak, dan oleh sebab itu bukanlah futuristik. Dalam penyusunsn undang-undang tersebut memang tidak secara eksplisit menggunakan pertimbangan-pertimbangan mengenai Visi Indonesia Masa Depan maupun Etika Kehidupan Berbangsa yang diperlukan di dalam masyarakat dewasa ini.

Kemudian lagi di dalam bab Ketentuan Umum, undang-undang ini hanya menjelaskan mengenai pengertian-pengertian pokok yang diatur di dalam Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam ketentuan umum tersebut dirumuskan, pengertian Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait serta terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Sebagai suatu rumusan yang idealistik maka undang-undang ini tidak memperhitungkan faktor ruang dan waktu. Faktor ruang dan waktu dalam era reformasi dewasa ini sangat penting sebab dalam era demokrasi kita memberi tempat bagi lokalitas yang bertingkat, dari lokalitas yang paling dekat, meningkat menjadi lokalitas regional dalam pengertian lokalitas etnis yang meningkat menjadi lokalitas nasional (bangsa Indonesia) dan akhirnya lokalitas global.

Pada masa Orde Baru dan sebelumnya, faktor lokalitas tersebut cenderung diabaikan dan yang dipentingkan ialah lokalitas nasional. Tidak mengherankan apabila terdapat kecenderungan mementingkan keperluan nasional yang uniform dengan kekuasaan sentralistis dari birokrasi pemerintah pusat.

Dari keseluruhan Undang-Undang No. 20 tersebut dapat pula dicatat beberapa pasal yang menyinggung sedikit mengenai kemungkinan dikembangkannya pendidikan multikultural. Dalam Pasal 55 yang mengatur mengenai pendidikan berbasis masyarakat, ayat (1) dirumuskan sebagai berikut : “masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat”.

Rumusan ayat ini tentunya sangat luas, oleh sebab itu belum diarahkan kepada keperluan yang kongkrit mengenai pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang berdasarkan kepada kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya. Kepentingan msyarakat tertentu belum berarti mengatur mengenai saling pengertian dan saling apresiasi pada kebudayaan yang beraneka ragam dalam masyarakat Indonesia. Toleransi hidup bersama, kerjasama antar suku, antar agama, belum diketengahkan dalam ayat ini. Penjelasan pasal ini hanya mengatakan bahwa kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tetap dihargai dan dijamin oleh undang-uandang ini.

Di dalam bab yang mengatur mengenai kurikulum, khususnya Pasal 37 menjelaskan mengenai muatan kurikulum, antara lain pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Penjelasan kedua ayat ini sangat umum, luas, dan abstrak. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi menusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Di dalam penjelasan ayat ini tidak dikemukakan mengenai pentingnya upaya membangun kerukunan hidup di dalam kenyataan keberagaman agama dan kepercayaan bangsa Indonesia. Hal ini penting, sebab konflik yang hidup dalam kultur dan religi plural di Indonesia telah menyebabkan banyak korban di dalam kehidupan bersama. Di dalam pendidikan agama barangkali perlu ditonjolkan pentingnya teologi inklusif di dalam proses pendidikan di Indonesia dalam masyarakat yang pluralistik.

Berkenaan dengan pendidikan kewarganegaraan, pasal ini merumuskan mengenai tujuan pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebengsaan dan cinta tanah air. Rumusan ini juga sangat luas dan mencakup banyak hal. Pendidikan kewarganegaraan adalah sebagian dari sebagian pendidikan kewargaan yang perlu dimiki oleh setiap peserta didik karena dia adalah warga dalam masyarakatnya, dan akhirnya sebagai warga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (kewarganegaraan). Kajian bahasa daerah di dalam kurikulum hanya mengatakan sebagai bahasa ibu dan bukan sebagai milik budaya lokal yang dimiliki oleh setiap peserta didik dalam masyarakat yang pluralis.

Pasal 41 mengatur mengenai tenaga pendidik. Ayat (1) pasal ini mengatakan pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. Selanjutnya di dalam penjelasan ayat ini dikatakan : “pendidik dan tenaga kependidikan dapat bertugas di mana pun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rumusan Pasal 41 ayat (1) ini sangat baik tetapi juga mempunyai implikasi yang jauh. Apabila pendidik dapat bertugas di manapun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tentu para pendidik tersebut diberi bekal pengetahuan mengenai budaya yang pluralis dari masyarakat Indonesia.
Selain itu, tentunya juga berimplikasi kepada undang-undang kepegawaian yang khusus mengatur tenaga pendidik dan kependidikan. Peranan tenaga pendidik di dalam membentuk Masyarakat Indonesia Baru yang Pluralistik di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat penting. Pendidikan multikultural menuntut genre pendidik Indonesia baru, dan untuk itu sudah waktunya kita merealisasikan Undang-Undang Guru yang telah dirumuskan.

IV. PERBANDINGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA DAN DI AMERIKA SERIKAT
A.  Multikultural di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena:
1. Letak geografis indonesia
2. Perkawinan campur
3. Iklim

Multikultural di Indonesia bersifat normatif. Multikulural normatif adalah petunjuk tentang berbagai kepentingan yang membimbing pada pengakuan yang lebih tinggi mengenai kebangsaan dan identitas kelompok yang berbeda di dalam masyarakat. Multikultural normatif di Indonesia pertama kali diamanatkan dalam UUD 1945. Ketentuan di dalam UU menyatakan bahwa rakyat dan bangsa Indonesia mencakupi berbagai kelompok etnis. Mereka telah berbagi komitmen dalam membangun bangsa Indonesia.

Di dalam pendidikan multikultural terletak tanggung jawab besar untuk pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang difokuskan pada pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan adalah tidak mungkin untuk menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa depan dalam masyarakat Indonesia. Multikultural hanya dapat disikapi melalui pendidikan nasional.

Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia, yaitu:

    1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.

Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.

    2. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.

    3. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.


B. Multikultural di Amerika Serikat

Pendidikan multikultural sekarang sudah mengalami perkembangan baik teoritis maupun praktek sejak konsep paling awal muncul tahun 1960-an yang pertama kali dikemukakan oleh Banks. Pada saat itu, konsep pendidikan multikultural lebih pada supremasi kulit putih di AS dan diskriminasi yang dialami kulit hitam (Murrell P., 1999). Pendidikan multikultural berkembang di dalam masyarakat Amerika bersifat antarbudaya etnis yang besar, yaitu budaya antarbangsa.

Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural di Amerika (Banks, 2004: 4), yaitu:
1. Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit putih dan kulit berwarna terutama terhadap kualitas pendidikan;

2. Pendidikan menurut konsep salad bowl, di mana masing-masing kelompok etnis berdiri sendiri, mereka hidup bersama-sama sepanjang yang satu tidak mengganggu kelompok yang lain;

3. Konsep melting pot, di dalam konsep ini masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya. Namun dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, mereka dapat membina hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok tersebut mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya tetapi apabila perlu unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan demi untuk menciptakan persatuan kehidupan sosial yang berorientasi sebagai warga negara as. Kepentingan negara di atas kepentingan kelompok, ras, dan budaya;

4. Pendidikan multikultural melahirkan suatu pedagogik baru serta pandangan baru mengenai praksis pendidikan yang memberikan kesempatan serta penghargaan yang sama terhadap semua anak tanpa membedakan asal usul serta agamanya. Studi tentang pengaruh budaya dalam kehidupan manusia menjadi sangat signifikan. Studi kultural membahas secara luas dan kritis mengenai arti budaya dalam kehidupan manusia

Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih, sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses Amerikanisasi. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan keturunan (Smith, 1987). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.

Pendidikan Multikultural berkembang di dalam masyarakat multikultural Amerika yang bersifat antarbudaya etnis yang besar yaitu budaya antarbangsa. Ada upaya untuk mengubah Pendidikan Multikultural dari yang bersifat asimilasi (berupa penambahan materi multikultural) menuju ke arah yang lebih radikal berupa Aksi Sosial. Berkaitan dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
   Kepustakaan :
http://buka-dikit-joss.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

No comments:

Post a Comment

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...