Tuesday, April 1, 2014

Sejarah dan Cerita Dibalik Patung-patung Yang Ada Dijakarta



Patung Jendral Sudirman

Merupakan salah satu patung yang berada di Jakarta tepatnya di kawasan Dukuh Atas, depan Gedung BNI, Jalan Jenderal Sudirman. Patung ini memiliki tinggi keseluruhan 12 meter dan terdiri atas: tinggi patung 6,5 meter dan voetstuk atau penyangga 5,5 meter. Patung ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton dengan anggaran sebesar 3,5 miliar Rupiah dan dikerjakan oleh seniman sekaligus dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung, Sunario.

     Sosok Jenderal Sudirman digambarkan berdiri kokoh menghormat dan kepala sedikit mendongak ke atas untuk memberi kesan dinamis. Karena berdiri di tengah kawasan yang penuh dengan beragam aktivitas, patung sengaja didesain sederhana dan tidak memerlukan banyak rincian.

     Rencana pembangunan patung Sudirman dan sejumlah patung yang akan menghiasi jalan protokol sesuai nama jalan mencuat pada September 2001. Rencana itu merupakan realisasi sayembara patung pahlawan yang dilakukan tahun 1999. Lokasi patung merupakan satu garis lurus yang berujung dari Patung Pemuda Membangun di Kebayoran sampai Tugu Monumen Nasional.

     Biaya pembangunan patung yang menelan dana 6,6 miliar Rupiah berasal dari pengusaha, bukan dari APBD DKI Jakarta. Sebagai kompensasinya pengusaha mendapat dua titik reklame di lokasi strategis, Dukuh Atas. Sementara yang menentukan penyandang dana diserahkan kepada keluarga Sudirman. Pengusaha yang telah ditunjuk mendanai pembangunan patung, yakni PT. Patriamega. Sebagai kompensasinya, PT. Patriamega memperoleh dua titik reklame di lahan strategis di Dukuh Atas, yakni di titik A dan 6B. Bagi kalangan penyelenggara reklame, titik tersebut adalah sangat strategis dan nilai jualnya paling mahal.

     Menurut rencana Patung Jenderal Sudirman sedianya akan diresmikan 22 Juni 2003 bertepatan HUT ke-476 Jakarta, namun tidak terealisasi. Peresmian akhirnya dilaksanakan tanggal 16 Agustus 2003. Peresmian sempat diwarnai unjuk rasa sekelompok pemuda. Panglima Besar Kemerdekaan RI yang seharusnya menjadi simbol semangat perjuangan bangsa Indonesia kini telah pudar makna kepahlawanannya. Karena Jenderal Sudirman digambarkan sedang dalam posisi menghormat. Posisi patung dianggap tidak pada tempatnya karena sebagai Panglima Besar, Sudirman tidak selayaknya menghormat kepada sembarang warga yang melintasi jalan, yang justru seharusnya menghormati. Hal ini pula yang sempat diangkat dalam film Nagabonar 2. Meski demikian Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso didampingi Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta Maurits Napitupulu dan salah satu keluarga besar Jenderal Sudirman, Hanung Faini, tetap meresmikan berdirinya Patung Jenderal Sudirman itu.

     Jenderal Sudirman adalah pemimpin pasukan gerilya pada masa perang kemerdekaan (1945-1949). Ia menyandang anugerah Panglima Besar. Jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negera layak dikenang dan diabadikan.

Patung Selamat Datang

Patung Selamat Datang atau sering disebut Monumen Selamat Datang adalah sebuah monumen yang terletak di tengah Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Indonesia. Monumen ini berupa patung sepasang manusia yang sedang menggenggam bunga dan melambaikan tangan. Patung tersebut menghadap ke utara yang berarti mereka menyambut orang-orang yang datang dari arah Monumen Nasional. 

     Pada tahun 1962, Jakarta menyambut tamu-tamu kenegaraan di Bundaran Hotel Indonesia. Ketika itu, Presiden Sukarno membangun Monumen Selamat Datang/ hehachi teguh gunawan dalam rangka Asian Games IV yang diadakan di Jakarta. Para atlet dan ofisial menginap di Hotel Indonesia dan bertanding di komplek olahraga Ikada, sekarang komplek Gelora Bung Karno, Senayan. Stadion Senayan pada saat itu adalah stadion terbesar di Asia Tenggara yang mampu menampung 120.000 penonton.

      Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Sukarno dan rancangan awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang pada saat itu merupakan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tinggi patung perunggu ini dari kepala sampai kaki 5 m, sedangkan tinggi seluruhnya dari kaki hingga tangan yang melambai adalah +-7 m, dan tinggi kaki patung adalah 10 m. Pelaksana pembuatan patung ini adalah tim pematung Keluarga Arca pimpinan Edhi Sunarso di Karangwuni. Pada saat pembuatannya, Presiden Sukarno didampingi Duta Besar Amerika Serikat, Howard P. Jones beserta para menteri sempat berkunjung ke sanggar Edhi Sunarso. Pembuatan patung ini memakan waktu sekitar satu tahun. Monumen Selamat Datang kemudian diresmikan oleh Sukarno pada tahun 1962.
 
Patung Pahlawan (Tugu Tani)

Patung Pahlawan (dikenal juga dengan Tugu Tani) adalah patung yang melambangkan seorang ibu yang melepas anaknya ke medan pertempuran. Patung ini adalah karya pematung kenamaan Uni Soviet, Matvey Genrikhovich Manizer, dibantu oleh putranya Ossip Manizer. Karya –karya Matvey Manizer sejak 1930-an sudah menjadi karya-karya yang diakui di Uni Soviet. Karya-karyanya tersebar mulai dari St.Petersburg hingga Moskow. Karya-karya Matvey sendiri merupakan klasik bagi aliran sosialis-realisme. Aliran yang kompatibel dengan Sosialisme – Komunisme. Dimana sebuah karya seni  haruslah menjadi sebuah pembawa  pesan proses serta tujuan revolusioner.

     Pada Mei 1959, Soekarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet untuk bertemu dengan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Saat tiba di Moskow, Soekarno tertarik dengan patung-patung bertema sosialis-realisme yang tersebar di beberapa penjuru kota. Oleh pejabat Uni Soviet, Soekarno pun diperkenalkan dengan Matvey, yang saat itu menjabat sebagai vice president  USSR Academy of Arts. Matvey sebetulnya pada dekade 50-an sudah tidak aktif berkarya, dengan karya terakhirnya, Monumen Ivan Pavlov di Kota Ryazan, diselesaikan tahun 1950.

     Soekarno mengundang the Manizers untuk datang ke Indonesia dan membuat sebuah karya yang diilhami keadaan di Indonesia. Matvey pun datang ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi. Matvey akhirnya terpesona oleh cerita perjuangan rakyat yang konon berasal dari Jawa Barat, dimana ada seorang ibu yang mendukung anaknya pergi berperang demi kemerdekaan dan tanah airnya. Dimana sang ibu membekali anaknya dengan makanan dan harapan.

     Manizer lalu mewujudkan gagasan itu sekembalinya ke Uni Soviet. Beberapa lama di tahun 1963 ia menyelesaikan patung tersebut. Lalu setelah selesai sempurna, patung tersebut dikirimkan ke Jakarta melalui kapal laut, diberikan sebagai tanda persahabatan Moskow-Jakarta. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di Menteng, dan diberi judul  Patung Pahlawan. Soekarno melengkapi karya ini dengan membubuhkan kata-kata “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.

Patung Dirgantara (Tugu pancoran)

Patung Dirgantara atau lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran adalah salah satu monumen patung yang terdapat di Jakarta. Letak monumen ini berada di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tepat di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara. Posisinya yang strategis karena merupakan pintu gerbang menuju Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

     Ide pertama pembuatan patung adalah dari Presiden Soekarno yang menghendaki agar dibuat sebuah patung mengenai dunia penerbangan Indonesia atau kedirgantaraan. Patung ini menggambarkan manusia angkasa, yang berarti menggambarkan semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa.
      
     Patung ini dirancang oleh Edhi Sunarso sekitar tahun 1964 - 1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono. Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi patung itu sendiri adalah 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter. Proses pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan Ir. Sutami sebagai arsitek pelaksana. Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI pada tahun 1965. 

     Rancangan patung ini berdasarkan atas permintaan Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Penekanan dari desain patung tersebut berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat Jujur, Berani dan Bersemangat.
Proses pemasangan Patung Dirgantara sering ditunggui oleh Bung Karno, sehingga kehadirannya selalu merepotkan aparat negara yang bertugas menjaga keamanan sang kepala negara. Alat pemasangannya sederhana saja yaitu dengan menggunakan Derek tarikan tangan. Patung yang berat keseluruhannya 11 ton tersebut terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing beratnya 1 ton

     Pemasangan patung Dirgantara akhirnya dapat selesai pada akhir tahun 1966. Patung Dirgantara ditempatkan di lokasi ini karena strategis, merupakan pintu gerbang kawasan Jakarta Selatan dari Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah selain itu dekat dengan (dahulu) Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia.

     Konon biaya pembuatan dan pemasangan patung pancoran ini juga berasal dari kantong pribadi Bung Karno, yaitu dengan menjual sebuah mobil pribadi kesayangannya. Dahulu mobil presiden bernilai sangat mahal pada zamannya (perbandingan zaman sekarang sama halnya dengan harga mobil lamborighini Gallardo MurciĆ©lago LP 670-4 SuperVeloce sekitar 9,5 M ).Bung Karno ingin segera melihat patung itu didirikan dengan megahnya di Jakarta. Hal itu merupakan kebanggaan tersendiri baginya. Karena itu biaya untuk pembuatan patung dipikul sendiri dengan cara menjual mobil pribadi dan sampai-sampai dalam pembuatannya, beliau secara langsung mengawasi selama pekerjaan tersebut sehingga merepotkan dalam pengawalannya.Sayang keinginan untuksegera melihat hasil karya itu agak terganggu dengan meletusnya G30S/PKI di Indonesia yang membawa korban para jenderal dan rakyat. Bahkan patung itu disebut-sebut sebagai alat pencungkil mata dari orang-orang PKI. Sesuatu yang disangkal Bung Karno dengan segera meresmikan patung tersebut sebagai jawabannya, dua tahun setelah awal pembangunannya (1964-1965).

Patung Pangeran Diponegoro

Dibuat berdasarkan gagasan bekas Konsul General Italia di Indonesia Dr. Mario Pitta. Dia adalah seorang pengusaha besar Italia yang terkenal sangat mengagumi dan mencintai Indonesia. Selama menjabat sebagai konsul, ia bercita-cita menghadiahkan sesuatu sebagai kenang-kenangan kepada bangsa Indonesia. Keinginan tersebut pada tahun 1963 dinyatakan kepada Dubes RI di Italia yang waktu itu dijabat Hadi Thayeb dan disarankan untuk membuat patung para pahlawan nasional Indonesia, ternyata yang dipilih adalah Pangeran Diponegoro.

     Patung Diponegoro dibuat seorang pemahat kenamaan Italia yakni Cobertaldo, yang dikirim langsung oleh Dr. Mario Pitta ke Indonesia. Untuk memulai pekerjaan tersebut, Cobertaldo ditugaskan mengadakan penelitian mengenai berbagai tipe orang Indonesia sambil mempelajari sejarah dan kebudayaan Indonesia. Berhari-hari ia mempelajari berbagai macam posisi kuda yang sering dipakai Diponegoro. Setelah meresapi perjuangannya, dibuatlah patung tersebut, sang pangeran berjubah dan bersorban putih sedang menunggang kuda putih dengan kedua kaki depan diangkat ke atas. Dibuat dengan bahan perunggu dan dikerjakan selama setahun pada 1965 di Italia. Setelah dikirim ke Jakarta, patung tersebut diletakkan di dalam Taman Monas sebagai pintu gerbang dari Monumen Nasional.

Patung Arjuna (Asta Brata)

 Patung Arjuna Wijaya ini dibangun pada bulan Agustus 1987. Patung ini menggambarkan sosok Arjuna dalam perang Baratayudha yang kereta perangnya ditunggangi oleh Batara Kresna. Adegan patung karya pematung Nyoman Nuarta itu diambil dari fragmen saat mereka melawan Adipati Karna. Oleh orang-orang jakarta, patung ini biasa dikenal dengan nama Patung kuda setan, atau juga Patung delman.

     Kereta pada patung tersebut ditarik oleh delapan kuda, yang melambangkan delapan ajaran kehidupan yang diidolakan oleh Presiden Soeharto. Asta Brata itu meliputi falsafah hidup yang mengajarkan kita harus mencontoh bumi, matahari, api, bintang, samudra, angin, hujan dan bulan. Di bagian patung itu menempel prasasti yang bertuliskan “Kuhantarkan kau melanjutkan perjuangan dengan pembangunan yang tidak mengenal akhir”.
      Proses pembuatan patung ini pernah mengalami keterbatasan dana, sehingga patung itu dibuat dari bahan poliester resin yang punya kelemahan mudah rapuh jika terkena sinar ultraviolet. Sampai dengan tahun 2003, patung Arjuna Wijaya mengalami kerusakan, sehingga akhirnya patung ini direnovasi kembali dengan menelan biaya 4M. Bahan material patung itu sendiri diganti dengan bahan tembaga.

Patung Pemuda Membangun 

Patung Pemuda Membangun terletak di bunderan air mancur Senayan. Monumen yang terletak tidak jauh dari pertokoan Ratu Plaza ini, dibuat oleh tim patung yang tergabung dalam Biro Insinyur Seniman Arsitektur (ISA) di bawah pimpinan Imam Supardi. Penanggung jawab pelaksanaan ialah Munir Pamuncak.

     Keberadaan patung ini bertujuan untuk mendorong semangat membangun yang pada hakekatnya harus dilakukan oleh para pemuda atau orang-orang yang berjiwa muda. Oleh karena itu patung ini diberi nama "Patung Pemuda Membangun". Patung tersebut diletakkan di bunderan air mancur Senayan, karena praktis dan strategis. Praktis karena tempatnya luas, cukup memenuhi persyaratan untuk memasang patung besar dan strategis karena tempat tersebut merupakan titik pertemuan dari dan ke segenap penjuru kota Kebayoran Baru dan sekitarnya. Selain itu keberadaannya juga dekat dengan kompleks olah raga Senayan serta tidak jauh dari Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat.

     Patung ini dibuat dari beton bertulang dengan adukan semen dan bagian luarnya dilapisi dengan bahan teraso. Pekerjaan dimulai bulan Juli 1971 dan diresmikan bulan Maret 1972. Rencana semula peresmiannya akan dilakukan pada acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1971, namun saat itu patung belum selesai dibangun sehingga peresmiannya pun tertunda beberapa bulan. Seluruh pendanaan pembuatan patung disandang oleh perusahaan minyak yang saat ini bernama Pertamina. Ketika itu pimpinan tertingginya, Ibnu Sutowo, ikut memegang peranan.

     Dinamakan pemuda membangun karena patung tersebut menggambarkan seorang pemuda membawa obor dengan semangat yang berkobar. Dari jauh patung ini terlihat bagai tanpa busana, guratan-guratan urat dan gumpalan otot ditonjolkan untuk mendukung ekspresi gerak dari tokoh pemuda. Makna obor adalah sebagai alat penerang dan dalam artian filosofis adalah untuk menerangi hati dan jiwa yang gelap. Diharapkan kaum muda mengambil peran penting dalam pembangunan bangsa. Partisipasi aktif dalam memajukan tanah air sangat diperlukan karena melalui tangan pemuda lah terletak cita-cita dan harapan masa depan.

Patung ini berukuran cukup tinggi. Upaya perawatannya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain melalui oleh Dinas Pertanaman dan Dinas Pemadam kebakaran untuk ‘memandikan’ patung.

Patung Pembebasan Irian Barat


Nama Lapangan Banteng masih populer sampai sekarang. Pertama kali kawasan ini diberi nama “Weltevreden”. Karena pada 1828 Belanda membangun Monumen Waterloo, maka diganti menjadi Lapangan Waterloo. Di atas monumen itu ada patung singa, sehingga masyarakat pribumi menyebutnya Lapangan Singa. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menamainya Lapangan Banteng. Soekarno menganggap banteng adalah simbol gerakan nasionalisme Indonesia.

     Ketika berada di Yogyakarta, Soekarno berpidato. Dengan berapi-api beliau menggerakkan massa rakyat untuk bertekad membebaskan Irian Barat (sekarang Papua) dari belenggu penjajahan Belanda. Pada 1962 memang terjadi puncak konflik antara Indonesia dengan Belanda mengenai masalah status Irian Barat. Gagasan ini kemudian ‘diterjemahkan’ oleh Henk Ngantung dalam bentuk sketsa (Sejarah Singkat Patung-patung dan Monumen di Jakarta, 1985).

     Patung tersebut menggambarkan seseorang yang telah berhasil membebaskan belenggu (memutuskan rantai besi di tangan), maksudnya penjajahan Belanda. Pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh tim pematung Keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso. Patung terbuat dari bahan perunggu seberat sekitar 8 ton. Tinggi patung dari kaki sampai ujung tangan sekitar 11 meter, sementara tinggi kaki patung dari landasan bawah adalah 20 meter. Lama pembuatan sekitar satu tahun. Presiden Soekarno berkenan meresmikan patung ini pada 17 Agustus 1963.


     Patung ini, yang kemudian dikenal sebagai Patung Pembebasan Irian Barat, ditempatkan di Lapangan Banteng. Tempat tersebut dianggap strategis, luas, dan memenuhi persyaratan untuk sebuah patung berukuran tinggi. Apalagi Lapangan Banteng merupakan pintu gerbang tamu-tamu yang datang dari lapangan terbang Kemayoran. 

(Dikutip  dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...