Friday, February 22, 2019

Sejarah Pulau ONRUST

Pendahuluan

Dewasa ini untuk mencapai pulau onrust dan sekitarnya sangat mudah, sebab paling tidak ada tiga pelabuhan laut yang dapat mengantar penumpang ke pulau tersebut, yakni ancol, pelabuhan muara angke, dan pelabuhan muara kamal. Dari ketiga pelabuhan tersebut, muara kamal adalah yang paling dekat dengan pulau onrust, sepuluh sampai lima belas menit untuk mencapai pulau Onrust. Memang pulau Onrust adalah suatu pulau kawasan kepulauan seribu yang letaknya berdekatan dengan pantai jakarta. Berdasarkan garis kordinat dari titik nol greenwich. Pulau Onrust terletak pada 106 o 44” 0BT. Dan 6o 02,3 LS.

Bagi orang awam, kondisi pulau onrust sekarang lebih menunjukan kesan angker dan berantakan sebab sebagian bangunan bersejarahnya telah menajadi puing. Bahkan pulau ini tidak ada penduduknya, kecuali penjaga pulau berikut keluarganya. Sebenarnya sisa bangunan tersebut sangat bermakna bagi kepentingan sejarah. Berdasarkan data tertulis paling tidak pulau ini mengalami empat kali bangun ulang akibat serangan inggris yang setiap kali serangan menghancurkan bangunan yang ada, dan setiap kali perang usai, Belanda membangun kembali pulau tersebut.

Sisa bangunan yang kini terlihat di pulau onrust adalah sisa dari bangunan terakhir (empat), sedangkan sisa bangunan dari periode satu, dua dan tiga sudah tak terlihat di atas permukaan lagi karena hancur akibat serangan, dan bahan bangunannya dimanfaatkan untuk pembangunan periode terakhir. Untuk melacak sisa bangunan periode satu, dua dan tiga tentunya tidak bisa terlaksanakan sekaligus, sebab untuk meneliti sisa bangunan satu periode saja diperlukan waktu yang tidak sedikit

Berangkat dari pemikiran diatas dinas museum dan sejarah DKI Jakarta memilih satu periode sejarah pulau onrust sebagai semple penelitiannya, yakni periode pertama (1615-1800). Pemilihan periode ini didasarkan adanya peta yang dibuat oleh Heydt tahun 1740 yang menggambarkan keletakan bangunan-bangunan di pulau tersebut. pada gambar tersebut tertera denah benteng besar berbentuk segi lima nampaknya merupakan bangunan utama di pulau tersebut. selain itu tertera pula denah yang cukup menarik, yaitu dua buah kincir angin yang terletak di bagian kiri kanan utara benteng. Bangunan-bangunan ini sejak tahun 199 telah diteliti oleh para arkeolog baik dari dinas museum dan sejarah DKI Jakarta, Kanwil P & K Universitas Indonesia yang semuanya di koordinasikan oleh pemda DKI Jakarta.




Sejarah Onrust

Penduduk di lingkungan kepulauan seribu mengenal pulau ini dengan nama pulau kapal. Sebab asal muasalnya pada pertengahan abad 17 hingga 18 di pulau ini banyak berlabuh kapal-kapal VOC yakni kongsi dagang belanda yang oleh orang Indonesia yang saat itu disebut KOMPENI. Karena banyaknya kapal di pulau itu, maka banyak penduduk sekitar atau nelayan menyebutnya sebagai pulau kapal.

Sebenarnya pulau yang disebut pulau kapal telah diberi nama oleh orang-orang belanda, namun itupun mengacu kepada kondisi pulau yang tak pernah henti-hentinya membongkar muat barang-barang komoditi dan kegiatan perbaikan kapal-kapal namanya adalah ONRUST. Onrust ini berasal dari bahasa belanda yang berarti ‘tanpa istirahat’. Nama ini dikenal sejak abad ke 17. Namun dikenal oelh kalangan belanda saja dan pada buruh yang dipekerjakan di pulau tersebut. sedangkan penduduk setempat tetap mengenalnya sebagai pulau kapal.

Kini, akibat gencarnya dilakukan penelitian arkeologis dan publikasi pada media massa, nama onrust berangsur-angsur mulai dikenal oleh masyarakat diseluruh indoensia, akibatnya berangsur-angsur pula melupakan nama kapal. Nama onrust dan kapal kiranya memang dapat diberikan kepada pulau inikarena sesuai peranannya yang selalu disibuki dengan kegiatan perkapalan, pertahanan, perdagangan dan bongkar muat barang-barang komoditi : lada, gula, beras, tekstil dan lainnya yang laku diperdagangkan. Jika kita simak masa lampau pulau onrust dan sekitarnya secara jelas peranannya terlihat pada masa kolonial belanda sekitar abad 17. Naun sebelumnya, pulau-pulau tersebut dan pulau lainnya di perairan teluk jakarta menjadi tempat peristirahan raja-raja banten sebelum belanda memanfaatkan bagi kepentingan penjajahan.

Segera setelah VOC mengirimkan armada pertamanya ke Asia memerlukan dibuatkan tempat pertemuan. Terlebih-lebih setelah mereka gagal dalam usaha memonopoli perdagangannya di banten. Tahun 1610, akhirnya VOC memutuskan jakarta sebagai tempat usaha perdagangannya. Belanda meminta izin kepada pangeran Jayakarta untuk menggunakan salah satu pulau di teluk jakarta maka dilakukan perjanjian kedua belah pihak. Pihak belanda diwakilkan oleh L. Hermit dan Jayakarta oleh pangerannya sendiri. perjanjian ini berhasil disepakati pada tanggal 10-13 November 1610. Isi perjanjian itu adalah memperbolehkan orang-orang belanda mengambil kayu untuk pembuatan kapal-kapalnya di teluk jakarta.

Kapal-kapal yang berlayar ke asia tenggara dan tinggal beberapa lama sering memerlukan perbaikan kapal akibat perjalanan panjang. atas dasar ini VOC berniat membangun sebuah galangan kapal di teluk jakarta. Niat tersebut di ijinkan oelh pangeran jayakarta dan VOC menggunakan salah satu pulau yang ada di perairan teluk jakarta. Pulau tersebut adalah pulau onrust yang luasnya 12 Hektar dan jaraknya 14 km dari jakarta.

Tahun 1615 VOC memulai pembangunan di pulau onrust dengan mendirikan sebuah galangan kapal dan sebuah gudang kecil. Dalam hubungan ini Jan Pieterzoon Con mengharapkan pulau onrust selain sebagai galangan kapal, juga ada koloni. Oleh karena itu VOC mengirim keluarga Cina ke pulau onrust dengan diberikan berbagai fasilitas, diantaranya persediaan air minum yang cukup. Selanjutnya Jan Pieterzoon Con menjadikan pulau onrust sebagai pertahanan terhadap akibat memuncaknya ancaman banten dan inggris. Pada tahun 1618.

Pada tahun-tahun berikutnya di pulau onrust dilakukan pembangunan sarana fisik untuk kepentingan VOC Belanda. Diantaranya pada tahun 1656 dibangun sebuah benteng kecil bersegi empat dengan dua bastion (bangunan yang menjorok keluar berfungsi sebagai pos pengintai). Pada tahun 1671 bangunan benteng tersebut diperluas menjadi benteng persegi lima dengan bastion pada tiap-tiap sudutnya namun bentuk tidak simetris. Bangunan benteng ini seluruhnya terbuat dari bata dan karang. Pada tahun 1674 di pulau onrust dibuat gudang-gudang penyimpanan barang, gudang penyimpanan besi dan Dok tancap. Semua ini dikerjakan oleh 74 tukang kayu dan 6 tukang lainnya.
Tahun 1674 dibangun sebuah kincir anign untuk keperluan penggergajian kayu. Gudang-gudang kemudian dibangun untuk menyimpan barang-barang yang akan dikirim ke eropa. Karena gudang-gudang yang di pulau onrust sudah tidak dapat menampung,maka pulau cipir yang ada disebelah selatannya dimanfaatkan pula untuk penyimpanan sementara barang-barang komoditi.

Masa-masa berikutnya, VOC giat melakukan pembangunan atas pulau onrust seperti pada tahun 1691 dibangun sebuah kincir angin kedua, sebelumnya pada tahun  1695 terdapat 148 abdi kompeni dan 200 budak. Pulau onrust nampak semakin kuat sebagai pertahanan dan depot logistik VOC.

Dalam hubungan perang di eropa tahun 1795, kedudukan belanda di batavia semkain tak menentu. Terlebih-lebih ketika armada inggris dibawah pimpinan  H.L. Ball pada tahun 1800 melakukan blokade terhadap batavia. Dalam blokade tersebut, pertama-tama inggris mengepung pulau onrust dan sekitarnya, lalu semua bangunan-bangunan yang terdapat di permukaan pulau tersebut dimusnahkan.

Setelah pulau onrust hancur, pada tahun 180 belanda merencanakan pembangunan kemabli atas pulau onrust sesuai dengan rencana Kolonel D.M. Barbier. Namun baru saja selesai dibangun, inggris menyerang kembali pada tahun  1806 mengakibatkan pulau onrust dan sekitarnya hancur berantakan. Serangan inggris yang kedua ini dipimpin oleh  Admiral Edward Pellow. Sisa-sisa bangunan yang masih berdiri dihancurkan lagi oleh inggris pada tahun 1810. Dengan di dudukinya batavia oleh inggris 1810, inggris telah memperbarui bangunan-bangunan di pulau onrust dan sekitarnya dan digunakan untuk keperluan mereka hingga mereka angkat kaki dari indonesia tahun 1816.

Pulau ini mendapat perhatian kembali pada tahun 1827 masa gubernur G.A. baron Van der Capellen. Pekerjaannya dimulai pada tahun 1828 dengan pekerja-pekerja yang terdiri dari orang-orang pribumi dan orang-orang cina, diantaranya pula orang-orang tahanan. Baru pada tahun 1848 kegiatan di pulau Onrust dapat berjalan kembali. kemudian pada tahun 1856 arena pelabuhan ditambah lagi dengan sebuah dok terapung yang memungkinkan perbaikan kapal di laut. Setelah dibangunnya pelabuhan Tanjung Periok pada tahun 1883 maka pulau Onrust semakin hiloang peranannya dalam dunia perkapalan dan pelayaran.

Baru kemudian pada tahun 1905 pulau Onrust mendapat perhatian lagi dengan didirikannya stasiun cuaca di pulau ini dan pulau Kuyper (Cipir). Namun pada tahun 1911 pulau Onrust diubah fungsi menjadi karatantina haji hingga tahun 1933. Sejak tahun 1933 sampai 1940 pulau Onrust dijadikan sebagai tempat tawanan para pemberontak yang terlibat dalam “peristiwa Kapal Tujuh”(Zeven Provincien). Kemudian pada tahun 1940dijadikan sebagai tempat tawanan orang-orang jerman, yang ada di indonesia, diantaranya adalah Stenfurt, mantan kepala Administrasi Pulau Onrust.

Setelah jepang menguasai batavia pada tahun 1942, peranan pulau Onrust dan sekitarnya semakin tak penting. Jepang telah memperhitungkan bahwa pulau-pulau tersebut tidak potensial sebagai pertahanan sebab telah dikenali pesawat tempur udara. Pulau-pulau tersebut hanya berpotensi ketika teknologi perang dengan kapal laut sebelum perang dunia. Jepang hanya menjadikan pulau Onrust sebagai penjara bagi apra penjahat kriminal kelas berat.

Pada masa Indoensia merdeka pulau ini dimanfaatkan sebagai rumah sakit karantina bagi penderita penyakit menular dibawah pengawasan departemen kesehatan R.I. hingga awal tahun 1960-an. Ruah Sakit ini kemudian dipindah ke Pos VII Pelabuhan Tanjung Periok.


Sumber : Buku Penelitian Arkeologi Pulau Onrust terbitan Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah Tahun 1993.

Friday, February 8, 2019

Pengertian Demokrasi



PENGERTIAN DEMOKRASI

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.[1]
 
Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",[2] yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi.[3] Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Prancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke IV SM sampai dengan abad ke VI SM. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.[4]
 
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini[5] sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.[6]
 
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Prancis.[7]

(Wikipedia) 

 

Nilai-nilai Dasar Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis

Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik Unika Widya Mandala Surabaya

Tulisan ini ingin mengajukan satu argumen sederhana, bahwa demokrasi berpijak pada tiga nilai dasar, yakni pengetahuan yang memadai tentang apa yang sungguh terjadi di masyarakat, otonomi individu sekaligus otonomi masyarakat di dalam membuat kebijakan-kebijakan publik, serta kesetaraan antar manusia sebagai subyek hukum yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Argumen ini merupakan pengembangan dari pemikiran Ros Harrison di dalam bukunya tentang demokrasi yang saya coba dialogkan dengan situasi Indonesia. Dalam konteks filsafat, pertanyaan kunci di dalam tulisan ini bisa dirumuskan begini, kondisi-kondisi apakah yang memungkinkan terciptanya masyarakat demokratis?

Demokrasi, secara harafiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam arti ini, secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung, di mana rakyat secara langsung menentukan apa yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam perwakilan rakyat, dan mereka inilah yang memastikan, bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat. Dari sudut pandang ini, menurut saya, demokrasi mengandaikan nilai-nilai moral tertentu di dalam prakteknya, seperti nilai kejujuran, keadilan, keterwakilan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat yang lebih tinggi, dan bukan pada kepentingan sebagian kecil kelompok ataupun golongan yang ada di masyarakat.

Sejauh pengalaman di Indonesia pasca reformasi 1998 lalu, demokrasi dilihat dengan hati yang mendua. Di satu sisi, banyak orang memuja demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang paling pas untuk mengantarkan bangsa Indonesia menuju keadilan dan kemakmuran. Di sisi lain, banyak juga orang mengutuk demokrasi, karena membiarkan kekacauan terjadi, atas nama kebebasan berpendapat. Karena banyak kekacauan yang bersembunyi dibalik adagium kebebasan berpendapat, maka usaha-usaha konkret untuk sungguh membangun keadilan dan kemakmuran di Indonesia pun terhambat. Pada level ontologis, yakni pada dirinya sendiri, konsep demokrasi pun juga sudah mengundang pro dan kontra. Banyak orang mendukung nilai-nilai dasar demokrasi, seperti kebebasan dan kesetaraan antar manusia. Namun, banyak juga yang berpendapat, bahwa nilai-nilai tersebut merusak tata sosial yang telah berabad-abad menyangga masyarakat manusia.[1]

Sepanjang sejarah pemikiran manusia, konsep demokrasi pun terus mengundang perdebatan. Para filsuf politik, mulai dari masa Yunani Kuno sampai sekarang, tidak memiliki pendapat yang sama, ketika mereka berbicara soal demokrasi. Seperti dicatat oleh Harrison, Jeremy Bentham, filsuf utilitarian asal Inggris, setuju dengan ide-ide dasar demokrasi.[2] Namun, Jean-Jacques Rousseau, filsuf politik Prancis, menolak konsep dan penerapan demokrasi, sebagaimana diterapkan di Indonesia sekarang ini. Baginya, di dalam demokrasi, rakyat harus berpartisipasi langsung, dan tidak bisa diwakilkan. Perwakilan politik, seperti pada DPR di Indonesia, hanyalah berujung pada penyelewengan kehendak rakyat. Pada hemat saya, persis itulah yang sekarang terjadi di Indonesia. Perwakilan rakyat justru menjadi aktor utama yang menyelewengkan kehendak serta kepentingan rakyat. Karl Marx, filsuf politik asal Jerman, juga memiliki versi demokrasinya sendiri, yakni demokrasi yang digerakan oleh kepentingan kaum pekerja, dan diciptakan melalui revolusi politik dan perjuangan kelas.

Di masa Yunani Kuno, yang menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, para filsuf pun masih berdebat tentang hakekat demokrasi, serta cara-cara penerapannya. Cukup untuk diketahui, bahwa Plato dan Aristoteles, dua filsuf yang paling berpengaruh di masa Yunani Kuno, tidak setuju menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Bagi Plato, pemimpin dari sebuah masyarakat haruslah seorang filsuf raja, yakni pimpinan yang hidup untuk mencari apa “yang baik”, dan menerapkannya di dalam pola pemerintahannya. Lepas dari perdebatan ini, sekarang ini, di seluruh dunia, demokrasi sudah menjadi semacam paradigma politik, yakni suatu pandangan yang diakui bersama sebagai pandangan yang dominan.[3] Mengapa ini bisa terjadi? Menurut Harrison, ini terjadi, karena demokrasi memiliki nilai-nilai dasar yang memiliki aspek universal, dalam arti diakui oleh cukup banyak orang sebagai nilai-nilai yang baik.[4] Pada bagian ini, dengan berpijak pada pemikiran Harrison, saya akan mencoba menjabarkan nilai-nilai dasar yang menopang paham maupun sistem politik demokratis.

Nilai pertama sebagaimana dinyatakan oleh Harrison adalah nilai pengetahuan. Semua kebijakan di dalam masyarakat demokratis haruslah berpijak pada pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan diterapkan juga dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang konteks yang ada. Artinya, tidak hanya data yang cocok dengan realitas, tetapi penerapan kebijakan-kebijakan publik di dalam masyarakat demokratis harus juga dengan cara-cara yang tepat. Untuk itu, pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan amatlah dibutuhkan. Dapat juga dikatakan, menurut saya, bahwa masyarakat demokratis adalah masyarakat pengetahuan. Demokrasi tidak dapat berfungsi, jika pengetahuan tidak dikembangkan melalui penelitian-penelitian yang bermutu. Di sisi lain, pengetahuan juga harus selalu mempertimbangkan nilai kedua dari demokrasi, yakni nilai otonomi.

Menurut Harrison, otonomi adalah nilai yang bersifat universal baik. Dalam arti, manusia, apapun latar belakangnya, adalah manusia yang utuh, jika ia mampu menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dengan demikian, otonomi adalah nilai yang baik, karena membiarkan manusia mengatur dirinya sendiri.[5] Harrison juga menegaskan, bahwa di dalam masyarakat demokratis, nilai otonomi, yakni kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri, amatlah penting. Otonomi adalah salah satu nilai dasar dari demokrasi. Tanpa otonomi, tidak akan ada demokrasi. Pada level individual, orang-orang yang hidup di alam demokrasi adalah individu-individu yang mengatur dirinya sendiri, dan siap bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya dalam hidup. Pada level kolektif, masyarakat demokratis adalah masyarakat yang mengatur dirinya sendiri. “Ide sentral dari demokrasi,” demikian tulis Harrison, “adalah tata kelola diri sendiri. Di dalam demokrasi rakyat mengatur dirinya sendiri.”[6]

Di dalam masyarakat demokratis, ada dua hal yang kiranya amat perlu diperhatikan di dalam pembuatan kebijakan publik. Yang pertama, tentu saja, isi dari kebijakan-kebijakan publik yang dibuat. Seperti sudah disinggung sebelumnya, di dalam masyarakat demokratis, kebijakan publik haruslah dibuat dengan berpijak pada penelitian-penelitian bermutu yang telah dilakukan sebelumnya. Yang kedua adalah proses-proses dari pembuatan kebijakan publik tersebut. Proses tersebut haruslah terbuka untuk publik, dan dibuat melalui proses diskusi maupun konsultasi dari masyarakat sekitar, yang terdiri dari orang-orang yang otonom, yakni mampu mengatur dirinya sendiri. Konsep demokrasi radikal, dimana setiap orang diajak ikut serta di dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik, berdiri di atas fondasi dasar, bahwa setiap orang adalah manusia yang otonom, yakni yang mampu membuat keputusan, dan mengontrol dirinya sendiri, lalu bekerja sama untuk membuat kebijakan-kebijakan publik yang baik untuk kepentingan bersama.[7]

Di dalam filsafat politiknya, Hegel sudah melihat adanya masalah dalam pandangan ini. Baginya, hukum yang ada di masyarakat tidaklah pernah identik dengan moralitas, yang merupakan pandangan yang berada di dalam hati individu. Logikanya begini, ketika setiap orang mampu menentukan dan mengatur dirinya sendiri, maka seringkali apa yang dipikirkannya tidak identik dengan apa yang terjadi di luar dirinya, yakni di masyarakat. Moralitas, yang ada di dalam diri manusia, tidak selalu bisa sejalan dengan hukum yang berlaku di masyarakat. Jika ini yang terjadi, maka orang menjalankan sesuatu, karena hukum mengharuskannya, dan bukan karena kehendak dari dalam dirinya. Dengan kata lain, pada detik orang terlibat dalam hidup sosial, otonominya terancam, sehingga tidak lagi utuh, melainkan tinggal separuh, karena ia, mau tidak mau, harus bernegosiasi dengan orang dan situasi sekitarnya. Pada hemat saya, ini adalah keniscayaan politis, yakni sesuatu yang tak terelakkan dalam hidup bersama. Oleh karena itu, menurut saya, pada hakekatnya, demokrasi adalah demokrasi deliberatif, yakni demokrasi, dimana setiap kebijakan dibangun atas dasar diskusi rasional antara semua pihak yang berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Dengan pola ini, otonomi setiap individu bisa tetap terjaga, walaupun memang status mutlaknya tak bisa dipertahankan.

Nilai ketiga yang, menurut Harrison, menjadi fondasi demokrasi adalah kesetaraan. Menurutnya, di masa Yunani Kuno dulu, “kebebasan dan kesetaraan adalah ciri utama dari demokrasi.”[8] Dengan kata lain, semakin besar kebebasan dan kesetaraan di dalam suatu masyarakat, maka semakin demokratislah masyarakat tersebut. Di dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia, dorongan untuk menciptakan masyarakat demokratis amatlah kuat, dan ini terlihat dari semakin besarnya tuntutan atas kesetaraan di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang politik. “Setiap kekuasaan penerus”, demikian tulis Harrison, “bertambah sebagai tanda meningkatnya kesetaraan, membuat kelompok-kelompok yang berbeda masyarakat memiliki kekuatan politik yang lebih setara.”[9] Bersama dengan status pengetahuan yang sahih dan nilai otonomi, kesetaraan adalah fondasi ketiga dari demokrasi. Dengan kata lain, ketiga konsep ini adalah kondisi-kondisi kemungkinan bagi terciptanya demokrasi.

Di sisi lain, menurut Harrison, kesetaraan adalah suatu nilai politis. Dan sama seperti nilai politis lainnya, makna dari kata kesetaraan pun terus berubah, dan terus menjadi bagian dari perdebatan politik di masyarakat. Ada beragam tafsiran tentang apa makna sesungguhnya dari kesetaraan. Semua tafsiran tersebut mengklaim, bahwa mereka adalah fondasi yang terpenting dari demokrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Harrison, kesetaraan memungkinkan terciptanya demokrasi, dan demokrasi, pada akhirnya, juga memperbesar atmosfer kesetaraan di masyarakat. Pertanyaan yang cukup penting disini adalah, apakah benar, bahwa kesetaraan akan meningkatkan kualitas demokrasi di masyarakat, dan, dengan demikian, meningkatkan keadilan, kemakmuran, serta kecerdasan masyarakat? Dan yang lebih mendasar dari itu adalah, apakah kesetaraan di dalam realitas kehidupan sosial politik itu mungkin? Inilah dua pertanyaan yang, pada hemat saya, perlu untuk didalami dan ditanggapi lebih jauh.

Satu hal yang membedakan demokrasi dengan sistem pemerintahannya lainnya, seperti teokrasi, oligarki, ataupun monarki, adalah perlakuannya yang melihat semua warganya sebagai subyek-subyek hukum yang setara, yang memiliki harkat maupun martabat yang sama. Bagaimanapun juga, seperti dinyatakan oleh Harrison, demokrasi adalah “pemerintahan oleh semua, yang jelas bertentangan dengan pemerintahan oleh satu orang (monarki), ataupun pemerintahan oleh beberapa orang (oligarki).”[10] Dengan kata lain, ketika kita berbicara tentang demokrasi, konsep kesetaraan antar manusia sebagai subyek hukum yang memiliki harkat dan martabat yang sama sudah selalu terkandung di dalamnya. “Tidak lagi, itu dapat dipikirkan, dapat dan perlu dikatakan,” demikian tulis Harrison, “kesetaraan secara praktis ikut dari makna kata tersebut (demokrasi-Reza).”[11]

Namun, ada masalah dalam ide ini. Secara konseptual, kita bisa langsung menerima, bahwa kesetaraan adalah ide dasar dari demokrasi, bahkan sudah inheren di dalam konsep demokrasi itu sendiri. Namun, di level penerapan, demokrasi pada akhirnya menjelma menjadi voting, dan suara terbanyaklah yang menentukan keputusan tertinggi. Dengan kata lain, demokrasi berakhir pada dominasi suara mayoritas atas suara minoritas. Hal ini tidak terelakkan, karena prosedur demokrasi niscaya akan mengantarkan seluruh proses pembuatan keputusan pada situasi semacam itu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa demokrasi tidak mendorong terciptanya kesetaraan, melainkan sebaliknya, yakni demokrasi justru menciptakan kesenjangan antara kepentingan mayoritas dan kepentingan minoritas. Inilah yang kerap kali disebut dengan demokrasi sebagai tirani mayoritas.

Menurut saya, lepas dari segala kekurangannya, demokrasi tetap merupakan bentuk pemerintahan yang terbaik di antara berbagai bentuk pemerintahan lainnya yang lebih buruk. Ini terjadi, karena demokrasi memiliki mekanisme pengecekan kekuasaan yang paling tinggi, sehingga tidak ada satu pun kekuasaan yang bisa diselewengkan untuk waktu yang lama. Dengan mekanisme pengecekan ini, proses-proses yang adil untuk mendirikan masyarakat yang cerdas, adil, dan makmur bisa dipastikan berjalan. Ini tentu saja mengandaikan, bahwa proses-proses demokrasi, dengan nilai-nilai dasarnya, seperti pengetahuan yang mencukupi, kesetaraan, dan otonomi warga negara, cukup kuat tertanam di masyarakat.

[1] Untuk selanjutnya, saya terinspirasi uraian dari Harrison, Ros, Democracy, Routledge, London, 1993, hal. 217. Democracy has been seen to be good for reasons and also bad for reasons. Indeed the same kind of value, such as equality or liberty, has been found at different times to be ranked on both sides of the evaluation, counting both for and against democracy.”
[2] Ibid, hal. 132. In the first chapter it was remarked that throughout most of human history democracy has not been thought to be of value. Even the selected group of philosophers discussed in the succeeding historical chapters turned out to be equivocal about it. Bentham approved of it, at least towards the end of his life.”
[3] Wattimena, Reza A.A., (ed), Filsafat Politik untuk Indonesia, Pustakamas, Surabaya, 2012.
[4] Harrison, Ros, Democracy, …., hal. 132. So, as we now move to the present, and to the second, more analytical, part of this book, the chief task is to find out whether this near universal agreement about the goodness of democracy is justified. In so doing, we want to find out not so much whether democracy is of value but rather why it is. For even if we all agree that our ancestors were wrong and that we, by contrast, are right, we do not agree why they were wrong or why we are right. We must therefore now investigate the foundations of this supposedly valuable thing, democracy. If we can discover why it is of value, we should also discover what its actual value is.”
[5] Ibid, hal. 162. I say that autonomy is a natural moral value, because it is normally thought to be a good thing for people to have control of their own lives.”
[6] Ibid, “Yet the central idea of democracy is also self-rule. In democracy the people rule themselves.”
[7] Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
[8] Harrison, Ros, Democracy, …., hal. 177. Ever since the Greeks, liberty and equality have been taken to be the central marks of democracy.”
[9] Ibid, Each successive increase of the franchise marked a growth of equality, rendering different groups of society more equal in their political power.”
[10] Ibid, hal. 178. The very name suggests that it, is the rule by everyone, as opposed to rule by one person (monarchy) or by a few (oligarchy).”
[11] Ibid, “No more, it might be thought, needs to be said; equality practically follows from the very meaning of the term.”

Sumber (https://rumahfilsafat.com/2012/07/21/nilai-nilai-dasar-demokrasi-sebuah-telaah-filosofis/)


Demokrasi menurut Para Ahli

Demokrasi memiliki banyak pengertian yang luas, yang memiliki arti berbeda-beda yang di kemukakan oleh para ahli yang memberikan pengertian demokrasi yang di lihat dari berbagai macam sumber ilmu pengetahuan yang kemudian akan dirangkum menjadi arti luas mengenai demokrasi
Berikut adalah pengertian dari demokrasi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah :
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Menurut KBBI, Demokrasi memiliki 2 arti, yaitu :

  • Demokrasi merupakan suatu bentuk atau sistem pemerintahan dimana seluruh rakyatnya ikut serta dalam memerintah, yaitu melalui perantara wakil-wakil terpilih mereka.
  • Demokrasi merupakan suatu gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi semua warga negaranya.
2. Menurut Abraham Lincoln
Dalam pidato Gettyburgnya, Presiden Amerika Serikat yang ke-16  Abraham Lincoln menyatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan, dimana masing-masing dari mereka memiliki hak dalam memperoleh kesempatan serta hak dalam bersuara yang sama dalam upaya mengatur kebijakan pemerintahan. Dalam sitem ini, keputusan diambil berdasarkan hasil suara terbanyak.
3. Menurut H. Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985)
Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan rakyat. Artinya rakyat atau orang banyak merupakan pemegang kekuasaan dalam pemerintahan. Mereka memiliki hak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi diri mereka dari adanya paksaan dari wakil-wakil mereka, yaitu orang-orang atau badan yang diserahi wewenang untuk memerintah.
4. Menurut Hannry B. Mayo
Dalam demokrasi suatu kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang secara efektif diawasi oleh rakyat melalui berbagai macam pemilihan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip kesamaan politik serta diselenggarakan dalam suasana dimana kebebasan  politik terjadi.
5. Menurut Charles Costello
Dalam kontek kontemporer, demokrasi merupakan suatu sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan dalam melindungi hak-hak individu warga negara.
Dalam demokrasi, terdapat pengakuan terhadap kehendak rakyat yang dijadikan sebagai landasan dalam legitimasi serta kewenangan pemerintahan (kedaulatan rakyat). Kehendak tersebut nantinya akan dituangkan dalam suatu iklim politik terbuka, yaitu dengan melaksanakan pemilihan umum yang diadakan secara bebas dan berkala. Tiap-tiap warga negara memiliki hak untuk memilih pihak-pihak yang akan memerintah serta juga dapat menurunkan pemerintahan yang sedang berjalan kapanpun mereka mau.
6. Menurut John L Esposito
Pada dasarnya, demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi, baik berperan aktif maupun pada saat melakukan pengontrolan terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain daripada itu, dalam lembaga resmi pemerintahan terdapat pemisahan berbagai macam unsur seperti unsur eksekutif, legislatif, maupun unsut yudikatif secara jelas.
7. Menurut Hans Kelsen
Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini, wakil-wakil rakyat yang terpilih merupakan pelaksana kekuasaan negara, dimana rakyat telah memiliki keyakinan bahwa segala kehendak serta kepentingan mereka akan selalu diperhatikan dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
8. Menurut Sidney Hook
Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan rakyat yang telah berusia dewasa secara bebas.
9. Menurut C.F. Strong
Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana kebanyakan dari anggota dewan yang berasal dari masyarakat turut serta dalam kegiatan politik yang berdasarkan pada sistem perwakilan, dimana pada akhirnya pemerintah dapat menjamin serta mempertanggungjawabkan segala tindakannya pada mayoritas tersebut.
10. Menurut Meriam, Webster Dictionary
Demokrasi dapat didefisikan sebagai :

  • suatu pemerintahan oleh rakyat, terutama kedaulatan mayoritas
  • Suatu pemerintahan dimana kekuasaan yang tertinggi dipegang oleh rakyat, yang secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaannya dilakukan oleh mereka melalui sistem perwakilan yang dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum secara berkala.
11. Menurut Samuel Hutington
Demokrasi akan tercipta apabila para pemberi keputusan yang kuat dalam suatu sistem pemerintahan dipilih melalui suatu proses pemilihan umum yang jujur dan adil secara berkala. Di dalam sistem tersebut, para kandidat atau calon pemimpin bebas untuk melakukan persaingan guna memperolah suara. Selain itu, negara yang telah berusia dewasa berhak untuk memberikan suara dalam sistem tersebut.
12. Menurut International Commission of Journalist
Demokrasi merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan dimana warga negara memiliki hak untuk ikut membuat keputusan-keputusan politik melalui wakil-wakil rakyat yang mereka pilih dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui sebuah pemilihan yang bebas.
13. Menurut Yusuf Al Qordhawi
Warga masyarakat dapat menunjuk seseorang untuk mengurus maupun mengatur segala urusan mereka melalui suatu wadah yang dinamakan demokrasi. Dalam kondisi tersebut, ada beberapa hal yang harus mereka perhatikan, seperti :
  • Pemimpin bukanlah orang yang dibenci oleh masyarakat
  • Peraturan-peraturan yang berlaku bukanlah merupakan peraturan yang tidak mereka kehendaki
  • Masyarakat berhak untuk meminta pertanggungjawaban kepada pemimpin atau wakil yang mereka pilih apabila bersalah.
  • Masyarakat juga memiliki hak untuk memecat atau menurunkan para pemimpin atau wakil terpilih apabila terbukti melakukan penyelewengan.
  • Masyarakat tidak boleh dibawa dalam suatu sistem pemerintahan yang tidak mereka kenal dan mereka sukai, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, serta politik.
14. Menurut Abdul Ghani Ar Rahhal
Dalam bukunya yang berjudul Al Islamiyyin wa Sarah Ad Dimuqrathiyya, Abdul Ghani Ar Rahhal menyatakan bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk kekuasaan rakyat oleh rakyat.dengan kata lain rakyat adalah sumber kekuasaan. Beliau juga menyakan bahwa plato adalah orang yang pertama kali mengungkapkan tentang teori demokrasi, dimana sumber kekuasaan adalah keinginan yang satu dan bukan majemuk. Seorang penulis lain bernama Muhammad Quthb dalam bukunya yang berjudul Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah juga menyatakan hal yang sama tentang definisi demokrasi.
15. Menurut Affan Gaffar
Terdapat 2 makna demokrasi menurut Affan Gaffar, yaitu :
  • Demokrasi yang secara ideal ingin diwujudkan oleh negara yang disebut sebagai demikrasi normatif
  • Demokrasi yang terwujud dalam dunia politik yang disebut sebagai demokrasi empirik.
16. Menurut Amien Rais
Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar suatu negara disebut sebagai negara demokrasi. Kriteria tersebut antara lain adalah :
  • Keikutsertaan dalam pembuatan keputusan
  • Memiliki kesamaan di hadapan hukum
  • Pendistribusian pendapat yang dilakukan secara adil
  • Memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan
  • Ketersediaan serta keterbukaan informasi
  • Memperhatikan atau mengindahkan fatsoen atau tata krama politik.
  • Kebebasan perorangan atau individu
  • Semangat untuk bekerja sama
  • Adanya hak untuk melakukan protes
Terdapat 4 macam kebebasan, yakni :
  1. Kebebasan dalam berpendapat
  2. Kebebasan dalam persuratkabaran
  3. Kebebasan dalam berkumpul atau berorganisasi
  4. Kebebasan dalam beragama.
17. Menurut Robert A Dahl
Idealnya, suatu sistem demokrasi harus memiliki :
  • Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang bersifat mengikat.
  • Adanya partisipasi yang efektif. Artinya semua warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam proses pembuatan keputusan yang dilakukan secara kolektif.
  • Pembeberan kebenaran, yaitu adanya kesamaan peluang bagi setiap warga negara dalam rangka memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik serta pemerintahan secara logis.
  • Kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus maupn tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan tersebut kepada orang lain atau lembaga-lembaga yang dapat mewakili mereka
  • Pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasaterkait dengan hukum.
18. Menurut Abdul Wadud Nashruddin
Demokrasi merupakan suatu sistem kehidupan dimana pendapat rakyat ditempatkan sebagai prioritas utama dalam mengambil kebijakan-kebijakan. Pendapat tersebut harus memenuhi beberapa kriteria seperti :
  1. Agama
  2. Susila
  3. Hukum
  4. Semangat untuk menjunjung kemaslahatan bersama.
Suara atau pendapat dari rakyat harus disertai dengan adanya rasa tanggung jawab. Adanya komitmen positif atas pelaksanaannya harus melalui tahap evaluasi secara kontinyu agar sesuai dengan kebutuhan bersama. Selain sebagai alat politik, demokrasi juga bertindak sebagai alat pembentuk aspek-aspek tata masyarakat lainnya seperti aspek ekonomi, aspek sosial, maupn aspek budaya. Hanya masyarakat yang mampu bertanggung jawab serta faham terkait dengan pendapat yang mereka sampaikan baik secara keilmuan, syar’i, maupun sosial.
19. Menurut Sumarno AP dan Yeni R. Lukiswara
Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, serta kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat. Dalam Declaration of Independent, demokrasi berarti of the people, for the people, and by the people.
20. Menurut Joseph A. Schumpeter
Suatu sistem politik bisa dikatakan bersifat demokratis apabila para pengambil keputusan kolektifnya yang terkuat dipilih melalui suatu pemilihan umum yang dilakukan secara berkala yang di dalamnya terdapat hak bagi manusia dewasa untuk memilih. Sebuah demokrasi mencakup 2 hal, yaitu persaingan dan partisipasi.
21. Menurut Ranny
Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana penataan serta pengorganisasiannya dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
  • Kedaulatan rakyat (popular soveragnity)
  • Kesamaan politik (political equality)
  • Konsultasi atau dialog dengan masyarakat (political consultation)
  • Aturan mayoritas
22. Menurut Philippe C. Schmitter
Demokrasi merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa suatu negara supaya tanggap terhadap kebutuhan maupun kepentingan warganya, dimana mereka harus ikut berpartisipasi dalam merumuskan kebutuhan serta mengungkapkan kepentingan-kepenting secara aktif dan bebas. Tidak hanya harus berpengertian jelas, tetapi harus memiliki berbagai sumber serta keinginan untuk melibatkan dirnya dalam perjuangan politik yang diperlukan agar preferensi mereka nantinya menjadi suatu bahan pertimbangan bagi para penguasa atau juga dengan berusaha menduduki jabatan di pemerintahan.
23. Menurut Sarjen
Tiap-tiap sistem demokrasi selalu didasarkan pada ide-ide bahwa negara harus terlibat dalam berbagai macam hal tertentu baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang telah mereka pilih di dewan perwakilan di bidang pembuatan keputusan-keputusan politik.




Demokrasi Menurut Segi Pandang Rakyat

Demokrasi merupakan suara atau pendapat dari rakyat ke rakyat sehingga demokrasi dapat diartikan sendiri oleh rakyat yang menurut pandangan rakyat yang memiliki arti luas yang di ungkapkan melalui suara rakyat terhadap pemerintah atau lembaga negara lainnya.
Jika dipandang dari segi pertisipasi yang diberikan oleh rakyat, demokrasi dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
 1. Demokrasi langsung (Direct Democracy)
Merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana sebagai warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas, rakyat secara langsung ikut serta dalam pembuatan keputusan politik di negara tersebut.
2. Demokrasi Tidak langsung (Indirect Democracy)
Merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana peran rakyat dalam pembuatan keputusan politik di negara tersebut dilakukan oleh orang-orang yang telah dipilih rakyat itu sendiri sebagai wakil mereka melalui pemilihan umum. Dengan kata lain, kekuasaan untuk pembuatan keputusan dilimpahkan atau diwakilkan kepada orang-orang yang telah dipilihnya melalui pemilihan umum.
Dalam perkembangannya, demokrasi merupakan suatu tatanan dalam pemerintahan yang hampir dipakai oleh seluruh negara-negara di dunia ini. Adapun ciri-ciri dari pemerintahan yang menganut sistem demokrasi antara lain adalah :

  • Dalam pengambilan keputusan politik, secara langsung maupun tidak langsung rakyat ikut terlibat di dalamnya.
  • Negara mengakui, menghargai, serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  • Semua warga negara (rakyat) memiliki persamaan hak dalam segala bidang.
  • Dalam rangka menegakkan hukum dalam pemerintahan, maka dibentuklah lembaga-lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen.
  • Adanya pengakuan kebebasan serta kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  • Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi serta mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  • Untuk memilih wakil rakyat yang duduk di Lembaga perwakilan rakyat, maka diadalaka pemilihan umum yang dilakukan secara periodik.
  • Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil untuk menentukan atau memilih pemimpin negara, pemerintahan, serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  • Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan baik itu suku, agama, golongan, dan lain sebagainya.

Bentuk-Bentuk Demokrasi

Terdapat beberapa bentuk dari demokrasi, dimana masing-masing memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Bentuk-bentuk tersebut adalah :
Sistem demokrasi parlementer yang dianut oleh suatu negara memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Kekuasaan legislatif secara kontinyu dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah serta jalannya pemerintahan tersebut.
Melalui mosi tidak percaya, Dewan Perwakilan Rakyat bisa kapan saja menjatuhkan pemerintah.
Contoh negara yang menganut sistem demokrasi perlementer adalah negara Inggris.

Prinsip dan Asas Pokok Demokrasi

Demokrasi juga memiliki beberapa prinsip dan asas pokok demokrasi yang ikut peran membantu berjalannyan demokrasi dengan baik sesuai dengan aturan undang-undang serta hukum yang berlaku.
Berikut adalah penjelasan mengenai prinsip demokrasi dan asas pokok demokrasi :
Menurut Almadudi, prinsip-prinsip demokrasi adalah :
  • Adanya kedaulatan rakyat
  • Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah (rakyat)
  • Kekuasaan mayoritas
  • Hak-hak minoritas
  • Adanya jaminan hak asasi manusia
  • Pemilihan yang bebas, adil dan jujur
  • Persamaan di depan hukum
  • Proses hukum yang wajar
  • Pembatasan pemerintah secara konstitusional
  • pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
  • Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat
(Sumber : https://guruppkn.com/pengertian-demokrasi)

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...