Tuesday, October 13, 2015

Menggambar : Suatu Proses Kreatif

Menggambar


Menggambar adalah membuat guratan diatas sebuah permukaan yang secara grafisnya menyajikan kemiripan mengenai sesuatu. Proses menyalin ini memang mudah, ini adalah aksi yang ampuh bagi manusia untuk membuat suatu ekspresi visual. Walaupun semua itu berakar kuat dalam kemampuan kita untuk melihat. Menggambar tidak pernah dapat menciptakan kembali benda nyata yang kita lihat. Gambar hanya dapat membuat kita mempersepsikan apa yang terlihat sebagai realitas diluar sana dan visi yang ada di dalam mata fikiran kita.

Dalam proses menggambar, kita menciptakan realitas yang terpisah yang setara dengan pengalaman-pengalaman kita. Penyajian secara grafis yang demikian adalah cara yang vital untuk mencatat hasil observasi, memberi bentuk pada apa yang kita visualisasikan, dan mengkomunikasikan berbagai pemikiran dan konsep yang kita miliki.


Proses Menggambar

Intisari dalam semua gambar adalah suatu proses interaktif dari melihat, memvisualisasikan, dan mengekspresikan imej yang kita lihat memperkaya penemuan baru kita tentang dunia. Imej yang kita visualisasikan memungkinkan kita berfikir dalam terminologi visual dan untuk memahami apa yang kita lihat. Imej yang kita gambar memungkinkan kita mengekspresikan dan mengkomunikasikan pemikiran dan persepsi kita,


Melihat

Penglihatan adalah saluran sensor utama dimana melaluinya kita membuat kontak dengan dunia di luar diri kita. Penglihatan adalah indera kita yang paling maju, paling jauh menggapai, dan yang paling kita andalkan untuk kegiatan kita sehari-hari. Lebih jauh lagi, kemampuan kita untuk melihat memberi bahan dasar bagi persepsi kita dan pada akhirnya untuk apa yang kita gambarkan.



Memvisualisasikan

Data visual yang diterima oleh mata di proses, di manipulasi dan disaring oleh pikiran dalam pencarian aktif terhadap struktur dan maknanya . Mata fikiran menciptakan imej dari apa yang kita lihat, dan itulah imej benda yang coba kita gambarkan. oleh karena itu menggambar lebih dari sekedar keterampilan manual. menggambar adalah proses pemikiran visual yang bergantung pada kemampuan kita, tidak hanya untuk melihat tetapi juga untuk memvisualisasikan.





Mengekspresikan

Dalam menggambar, kita membuat guratan pada sebuah permukaan sebagai usaha untuk menyajikan persepsi kita secara grafis dan memahami tampak luar dari apa yang kita lihat dan bayangkan dalam mata fikiran kita. jadi menggambar adalah sarana ekspresi yang vital dan merupakan suatu reaksi alami terhadap apa yang kita lihat dan kita visualisasikan. Menggambar menciptakan dunia Imej yang terpisah yang berbicara pada mata kita.

Imej yang digambar menjadi bagian dari dunia visual kita. dan kemampuan yang dimilikinya untuk mengekspresikan dan menyampaikan pesan bergantung pada kemampuan kita untuk melihat ke dalam imej tersebut, membaca guratan-guratannya, dan mengenali pola-pola dan hubungan-hubungan yang di timbulkannya.


Sumber : Menggmbar Suatu Proses Kreatif (Francis D.K Ching)

Wednesday, September 23, 2015

Catatan Hari ini : Kepada Seseorang dan Dalam Diriku

Kepada Seseorang dan Dalam Diriku

Hampir setiap hari, saat kesendirian menghampiriku
bayangan seseorang yang tersenyum menghibur jenuhku
sulit rasanya untuk berpaling dari lamunan

Dibalik hari esok yang dipenuhi tanda tanya
aku menuliskan sebuah asa yang tak pernah bisa ku ungkapkan dengan jujur dan lantang
tentang garis demi garis yang ku kumpulkan pada sebuah sketsa penantian
tentang tangis dan air mata ketakutan dari sebuah penjuru dunia
yang mencari perdamaian dengan perang, dan menghilangkan kehidupan seseorang
bagaimana bisa?
aku duduk dengan tenang di depan meja kerja setiap harinya
sementara ribuan orang bertaruh nyawa mengarungi lautan dengan berdesak-desakan dikapal yang tak layak
menerjang ombak dan badai yang tak kenal belas kasih
bagaimana bisa?
aku menyantap makan siang dengan setengah hati dan menyisahkannya untuk bakteri
sementara ribuan orang kelaparan di tenda-tenda pengungsian yang mirip peternakan
tak bisa menangis, tak bisa bersedih, hanya terlelap yang mereka bisa untuk bisa berdamai dengan perutnya

Kau yang disana,
apakah kau merasakannya?
sisi kemanusiaan yang kadang kita lupakan?
kapitalisme memaksa kita terus bergerak untuk kepentingan diri kita sendiri
tak membiarkan kita lengah di jalan yang bernama kekuatan, kekuasaan
menutup jendela-jendela nurani dengan tirai neraca dan pergerakan ekonomi
memacu kita untuk terus hidup bukan sebagai manusia, tapi sebagai mata uang dan komoditas
sehingga kita sering merasa bahwa 'Sepi' adalah bagian dari diri kita
sehingga kita sering berfikir bahwa 'Kesepian' adalah nama lain dari diri kita yang monoton
kau tahu?
kurasa 'Sepi' itu adalah bentuk kekecewaan kita terhadap sesuatu yang hilang dari diri kita
kurasa 'Kesepian' itu adalah wujud kejumawaan kita terhadap kepemimpinan yang semakin tak berdaya
dan secara perlahan, kita hanya menjadi pion-pion dalam percaturan dunia
dimainkan seenaknya oleh tangan-tangan tanpa wajah mencuat kepermukaan

Kepada seseorang,
dan kepada si peragu dalam diriku
Aku ingin hidup bersamamu dan membangun sebuah bahtera
berlayar mengarungi samudera kehidupan yang dalam dan penuh ketidakpastian arah angin
mencari dan menjangkau orang-orang terkucil, yang tergelincir bukan pada nasibnya
berpartisipasi untuk dunia dan perdamaian yang lebih bersahabat
bukan dunia yang saling bersaing
bukan juga perdamaian yang saling berkepentingan
tapi untuk dunia yang saling merangkul dan beriringan
tapi untuk perdamaian yang saling mengerti dan memberi arti

Aku pun Tahu,
cinta dan mimpi-mimpi adalah keniscayaan di zaman yang seperti ini
lebih mudah menemukan nafsu dan slogan-slogan palsu
semudah kau menemukan perokok di negara ini
Semakin lama, semakin bertambah usia, dan aku belum bisa berpaling dari keadaan
sejujurnya, aku ingin menuruti isi hatiku yang belum tersampaikan,
namun lembaran memo yang jatuh dari tumpukan meja kerja memecahkan lamunanku
aku tersadar dan kembali pada kenyataan
aku sadar, aku tak sekuat itu
hatiku memang baik, sama halnya dengan hati kebanyak orang
namun ketakutan dalam dirilah yang membuatnya jahat
yang membuatnya sulit, tak bisa berbuat
dan yang membuat kebaikan hati berkarat...


Jakarta, 24 September 2015



Syarif Hidayatullah

Link Terkait

Tuesday, July 21, 2015

Puisi : Mengamati, Dan (Jatuh) Cinta

Bertemu dengan seseorang secara terus menerus ditempat yang sama dan waktu yang sama kadang memancing rasa penasaran untuk mencari tahu siapa dan bagai mana dirinya. Dan jika itu terus berlangsung, ada sesuatu yang rasanya tumbuh secara perlahan dan lama-lama sulit untuk mengakuinya. Musim semi yang jatuh bukan pada musimnya.

Berikut sebuah Puisi yang menggambarkan hal serupa :

Mengamati, Dan (Jatuh) Cinta

Senyumku dalam diam, entah untuk apa
mengingat dirimu yang masih menjadi pemilik segala mimpi dan keterjagaanku disetiap malamnya


Kau yang selalu nampak seorang diri dan kesepian,
kau yang selalu menunggu di sudut peron kereta, menyendiri
kau yang selalu duduk di kursi kereta tersepi,
Kau yang duduk disudut kursi kereta saat berangkat dan pulang kerja,
tanpa sadar menyudutkan dirimu sendiri dari keriuhan bernama sepi

Kau berparas cantik,
tapi aku selalu melihat hal lain yang lebih nyata dari itu
Kau yang menjelma egois dan ambisius,
menukar kebebasan tangan, jemari dan fikiranmu dengan kesibukan monoton di depan layar komputer sewaan perusahaan
mulai pagi sampai sore
kau yang menukar model sepatumu yang Sport dengan High Heel yang penuh keraguan

Ya, Kau!
kau yang rela mengenakan kacamata agar terlihat pantas menggunakan simbol intelektual borjuis,
kau yang kekurangan jam istirahat,
kau yang rela makan siang di restoran bersama orang-orang yang pandai membual dan berspekulasi
kau yang rela menukar kata kerja 'Berkarya' menjadi 'Berkarier' ke meja perkantoran

Ya, Kau!
kau yang rela kesepian diantara hiruk pikuk yang glamor dan penuh dusta,
kau yang rela memangkas waktu istirahat malammu untuk lembur menyelasaikan pekerjaan yang tak pernah berkurang
meski kau membunuhnya lagi dan lagi

Kau yang rela mengorbankan masa remajamu di dalam gedung bertingkat yang bermandikan cahaya lampu dan pendingin ruangan yang berlebihan,
dimana kau dibuatkan sangkar kecil dan diberi sekat-sekat pembatas antara kau dan teman sepekerjaanmu
kau yang rela dituntut dan dikejar target kapitalistis,
kau mengorbankan keinginan nuranimu akan kemanusiaan yang memiluhkan hatimu dan terus mengganggu tidurmu bergantian dengan target,
keduanya berdesakan di mimpi malamu

Kau yang rela dipaksa mendengarkan presentasi-presentasi omong kosong rekanan-rekanan penjilat,
menggantikan kesukaanmu mendengarkan radio dan MP3 dari Hand Phone-mu

Kau yang menyesali diri ketika tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf kepada orang lain yang kau sakiti,
kau yang menatap masa depan dengan bayangan wajah seseorang yang terlalu jauh,
kau yang selalu berdoa untuk kebaikan dan perdamaian dunia tanpa ada yang mengetahuinya,
kau yang melamun diantara sajak-sajak tua Chairil Anwar, WS Rendra,
Al-Khansa, Toeti Heraty, ataupun Emily Dickinson yang mewarnai ruang-ruang Relungmu yang pudar

Kau yang tak pernah memiliki teman untuk mendiskusikan sebuah Novel yang baru selesai kau baca,
berdiskusi dengan diri sendiri tanpa pernah mendapat kesimpulan,
kau hanya menciptakan berbagai persepsi liar lainnya untuk hidupmu

Kau yang kadang menulis sajak-sajak cinta, lalu mencoretnya dengan wajah yang muram, dan kelam
seperti wajah malam yang sering membuatmu terjaga hingga larut

Kau yang merayakan Ulang Tahunmu di meja makan sebuah Restoran minimalis seorang diri,
berdoa, menyalakan lilin harapan di dalam dadamu, dan meniupnya sampai padam,
padam di sisi kenangan dan lembar terpencil dari dalam catatan diary-mu,

Kau yang hatinya tak berpenghuni, selain sepi dan kesendirian,
Tidakkah kau jenuh?
Kau yang selalu gagal jadi perbincangan,
Kau yang selalu cemerlang dan penyabar di dalam diam,
kau yang terlalu tabah menghadapi keegoisan pekerjaan,
kau yang terlalu memikirkan orang lain ketimbang dirimu sendiri,

Kau yang selalu menutup diri dari orang lain tentang beban dan permasalahan yang melanda,
kau yang memutuskannya untuk menanggung dan menghadapinya sendiri saja
Kau yang selalu membaca buku di dalam kereta selama perjalanan pergi dan pulang,
kau yang membayangkan dan mempertanyakan kontradiksi yang terjadi diantara kata-kata dalam buku dan dunia nyata-nya

Kau yang selalu menyuguhkan tanya ketika bercermin,
"Apakah aku pemilik utuh atas diriku sendiri?"

Kau yang selalu mudah mentoleransi kesalahan-kesalahan orang lain
kau yang terlalu lapang dada,
untuk penghianatan dan pendustaan yang pernah menikammu sampai kau hampir mati di ujung waktu pada se-tetes titik hujan yang menggantung di sebuah ranting pohon yang kering

Kau!
Ya, Kau!

Mengagumi dan jatuh cinta padamu
adalah senyumku dalam diam,
diam yang dalam, teramata dalam
dengan matamu yang tanpa kacamata, coba lihatlah mataku lebih dalam
dengan hatimu yang tanpa keduniawian, coba galilah hatiku lebih dalam
agar aku tak lagi hanya tersenyum dalam diam
tapi dalam kebahagiaan dan suara yang merdu semerdu-merdunya lagu cinta


Jakarta-Bekasi 2015



Syarif Hidayatullah

Sunday, June 21, 2015

Aku masih berharap dapat melihatmu sekali lagi

Entah berapa lama lagi aku harus melaluinya
hari yang pudar
musim yang tak bernama
dan ketidakberdayaanku dalam melalui waktu-waktu tanpa dirimu

Dalam setiap perjalanan menuju tempat kerja
tak ku pungkiri, aku masih berharap dapat melihatmu sekali lagi
di lampu merah-lampu merah saat para pejalan kaki menyeberang jalan
aku selalu berharap dapat menemukan sosokmu diantara mereka
di antrian pintu masuk stasiun-stasiun,
di bangku-bangku stasiun yang diam di dalam keramaian
di aliran langkah orang-orang yang keluar dari kereta-kereta commuter
di kerumunan orang-orang yang menyeberangi peron demi peron
atau di peron berlawanan, ketika aku sendirian menunggu kereta terakhirku
juga di jalan yang tertutup palang pintu ketika kereta melintas,
di kursi-kursi kereta yang terisi penuh,
di deretan orang-orang yang berdiri di tali-tali pegangan
di antara kumpulan orang yang bersandar di sudut-sudut pintu kereta yang tertutup
dan juga di antara penumpang yang masuk ketika kereta berhenti sejenak di sebuah stasiun transit
meskipun aku tahu,
kau tak mungkin ada di tempat seperti itu

Malam yang memutuskan lukisan mimpi dalam tidurku
harapan yang selalu menghiasi dinding paling tertutup dalam diriku
aku hanya mempertemukan diriku pada banyanganku sendiri yang penuh ketakutan
luka dari kehilangan yang kupendam seorang diri
berharap, kehangatannya berubah menjadi cahaya
cahaya yang setara dengan cahaya yang dapat menggantikan malam kelam menjadi pagi yang riang
sehingga aku dapat sekali lagi menyeberang dari masa sulitku

Entah berapa lama lagi aku harus melaluinya
hari-hari ketika aku merasa jenuh,
aku menatap rute perjalanan yang ada di setiap sudut pintu kereta
dengan kegelisahan dan permasalahan kantor yang membayang-bayang disaat yang bersamaan
dan beberapa menit kemudian aku telah berbalik arah dari tujuan yang seharusnya
perasaan yang kosong, kegelisahan yang tak tergolong
langkah membawaku ke tempat-tempat baru yang tak seharusnya ku telusuri

Dan lagi,
aku masih berharap dapat melihatmu
di suatu pematang yang sepi, menatap langit biru yang masih meluas dalam anganku
aku masih berharap dapat melihatmu lagi di tempat itu,
walaupun aku tahu, kau mungkin sedang berada di suatu gedung perkantoran,
duduk menatap layar monitor,
dan berhadapan dengan angka dan tabel-tabel perhitungan,
atau juga sedang berdiri di depan meja yang melingkar,
dihadapan orang-orang yang memeras ide dan tenagamu
dan ketika membayangkan hal itu,
sebuah angin datang dan berhembus sampai ke hatiku
meniup lembutkan sebuah ladang gersang di dalam diriku
dan tiba-tiba aku teringat lagi senyummu saat itu
Senyummu dalam diam,
senyummu dalam merahasiakan hal-hal yang tak ingin kau umbar
dan tatapan mata yang jauh dari omong kosong tentang masa depan
aku merasakan sesuatu merembas dalam hatimu, dan ingatanku

Aku masih berharap dapat melihatmu sekali lagi
meskipun hal itu, mungkin hanyalah keajaiban yang sialan!
dan tololnya,
aku orang yang percaya dengan 'Keajaiban'




Jakarta 21 Juni 2015


Syarif Hidayatullah



Sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)


1.      Latar Belakang Terbentuknya PDRI
            Pemimpin republic di Jawa telah menduga kemungkinan agresi Belanda II dan telah membuat rencana menghadapi kemungkinan itu. Pada bulan November 1948, wakil presiden Hatta mengajak Mr. Syafruddin Prawiranegara- Menteri kemakmuran Republik- ke Bukittinggi, dan Hatta kembali ke Yogyakarta Syafruddin tetap tinggal untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan sebuah pemerintahan darurat di Sumatra- seandainya ibu kota Republik di Jawa jatuh ke tangan Belanda. Pertengahan Desember 1948, perdana menteri India Jawaharlal Nehru mengirim sebuah pesawat untuk membawa Soekarno dan Hatta keluar Jawa. Dalam perjalanan keluar Jawa, pesawat itu akan singgah di bukitinggi, disini hatta akan tinggal untuk mengepalai pemerintahan darurat sementara presiden soekarno terbang ke New Delhi, dan dari sana ke New York mengajukan masalah Republik ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi sebelum pesawat Nehru sampai di Yogyakarta, pesawat tersebut tertahan di Singapura karena pemerintah Belanda menolak member izin melintasi daerah mereka dan memberikan hak mendarat di Jakarta.[1] Jadi, Soekarno dan Hatta masih berada di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember ketika belanda menyerang dan menduduki kota itu.[2]
            Di Bukitinggi, ketika mendengar berita belanda menyerang Yogyakarta Syafruddin pada mulanya tidak percaya bahwa pemerintahan Republik dapat hancur sedemikian cepatnya atau bahwa hampir smua anggota cabinet, termasuk Soekarno dan Hatta telah membiarkan diri mereka tertahan. Dia menduga bahwa laporan itu mungkin hanya propaganda Belanda,[3] dan merasa kurang pasti dengan legalitas kekuasaanya, dia menunda pembentukan pemerintahan darurat di Sumatra sampai sesudah dia, bersama dengan para pemimpin pemerintahan provinsi Sumatra dan komandan militer Sumatra yang baru colonel Hidayat, meninggalkan bukitinggi dan mundur ke Halaban, kira-kira 16 km di tenggara Payakumbuh. Mereka sampai disana 21 Desember dan segera di ikuti residen Sumatra Barat Rasjid.
            Di Halaban mereka segera menyusun strategi untuk menjawab serangan belanda. Yakin bahwa pada  saat itu pemimpin-pemimpin Republik di Jawa telah di tahan belanda,[4] maka pada tanggal 22 Desember Syafrudin mengumumkan berdirinya pemerintahan darurat republic Indonesia (PDRI), dia sendiri sebagai ketua, gubernur Sumatra Mr. Tengku Moh D. Hassan sebagai wakil ketua dan Mr. Rasjid sebagai menteri keamanan.[5] Cabinet mengangkat panglima angkatan darat, laut dan udara, dan menunjuk perwakilan Indonesia di India, Mr. Maramis sebagai menteri luar negeri dan menugaskannya agar membawa masalah Indonesia ke PBB.[6] Mereka kemudian menunjuk Susanto- seuanya menteri dalam cabinet Hatta yang luput dari penangkapan Belanda ketika mereka meyerang Yogyakarta.
            Sejak itu PDRI memainkan peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan melawan Belanda tetap di pimpin oleh pemerintahan yang sah yang di akui oleh republic di seluruh nusantara. PDRI merupakan symbol nasional dan faktor pemersatu, khususnya bagi pasukan gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatra, karena pemerintahan Syafruddin diakui oleh pasukan Republik (dibawah panglima besar sudirman). Sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno dan Hatta. Penulis sejarah Sumatra Barat Mestika Zed mempertanyakan apa yang akan terjadi bagi perjuangan kemerdekaan Republik seandainya PDRI tidak mendapatkan kesetiaan dari Sudirman dan perwira bawahannya di Jawa dan Sumatra.
            Sebelum meninggalkan Halaban, pemimpin republic memencar. Syafruddin dan kebanyakan menterinya berangkat ke selatan unuk mendirikan pemerintahan mobil di bidang alam, di perbatasan Sumatra barat dengan Jambi. Colonel Hidayat dan komandemen militer Sumatra bernagkat ke utara, berhenti untuk beberapa minggu di rao, di bagian utara Sumatra barat dan kemudian melanjutkan “long march” ke Aceh disana Hidayat membentuk markas komando, militer Sumatra di daerah yang tidak pernah terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan anggata pemerintahan Sumatra Barat pindah ke Kototinggi, suatu nagari di pegunungan di luar Suliki, sebelah utara Payakumbuh. Ia ditemani oleh Catib Sulaiman dan Anwan Sutansaidi, sampai disana 24 desember dan membentuk pemerintahan militer Sumatra barat di kantor perwakilan nagari.[7]
2.      Tokoh Sjafruddin Prawiranegara serata Peranannya dalam PDRI
            Mr. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada tanggal 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Tokoh yang lahir di Anyar Kidul memiliki nama kecil “kuding”, yang berasal dari kata Udin pada nama Sjafruddin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah.
            Sebelum kemerdekaan, Sjafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), Petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, Ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang  bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
            Agresi Militer Belanda II atau operasi gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya. Pemerintahan resmi lumpuh. Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh dewan siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintahan Pusat. Pemerintahan Sjafruddin ini kemudian dikenal sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
            Di sebuah dangau kecil yang belakangan dikenal sebgai “Dangau Yaya” Syafruddin Prawiranegara mengumumkan berdirinya PDRI pada Rabu 22 Desember 1948. Dari sudut pandang seorang pemuda pengikutnya, Kamil Koto, mengalirlah kisah presiden Sjahfruddin Prawiranegara yang selama 207 hari nyaris melanjutkan kemudi kapal besar bernama Indonesia yang sedang oleng dan nyaris karam. Sebuah perjuangan yang mungkin terlupakan, tetapi sangat krusial dalam memastikan keberlangsungan Indonesia. Atas usaha Pemerintahan Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan siding antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah Menteri kedua Kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta. Meskipun hanya sementara memegang jabatan Presiden, namun memiliki arti penting pada masanya. Tetapi sosok Syafruddin Prawiranegara seolah tenggelam ketika penguasa Orde Baru menebar jaring kepatuahan tanpa reserve. Tampaknya Syafruddin Prawiranegara memang berseberangan dengan Suharto.
Peranan Syafruddin Prawiranegara dalam PDRI
            Mr. Sjafruddin adalah seorang yang berjasa dalam menyelamatkan eksistensi Negara Republik Indonesia. Di sini ada suatu peranan yang diberikan oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah tetap membuat Indonesia berada dalam pemerintahan yang merdeka dan berdaulat. Karena kita ketahui bahwa ketika Soekarno ditahan oleh Pemerintah Belanda akibat dari Agresi Militer II maka Presiden memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin ini untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kita telah mengetahui bahwa Negara merupakan integrasi dari kekuatan politik, Negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepala Negara adalah suatu simbol dari pemerintahan yang merdeka dan berdaulat karena didalamnya terdapat mengenai unsure-unsur yang ada dalam suatu Negara.
            Dengan adanya PDRI dan Mr. Sjafruddin dipilih sebagai pejabat Presiden sementara maka eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena dihadapan pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto di pimpin oleh Soekarno dari penjara, meskipun sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan berdaulat. Jadi, dengan diberikan mandat dari Presiden kepada kepala pemerintahan darurat RI maka posisi Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara (Ketua PDRI) dan bukan dianggap sebagai Presiden RI yang utuh karena ia hanya sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang diterimanya dari mandatory yaitu Presiden Pertama RI sendiri. Maka dari fakta sejarah ini, Mr. Syafruddin Prawiranegara tidak menyalahgunakan amanah pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden PDRI melainkan hanya sebagai ketua PDRI.
            Ketika PDRI sendiri Mr. Syafruddin ini sendiri selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil dikarenakan pemerintahan PDRI sangat dicari oleh pihak kolonial belanda untuk dihancurkan. Namun ini bukan berarti pemerintahan darurat ini tanpa adanya perlawanan karena pada tanggal 1 Januari 1949 PDRI ini membentuk lima wilayah pemerintahan militer di Sumatra yaitu Aceh dengan gubernur Militer Tgk Daud Beureuh. Daerah Tapanuli dan Sumatra Timur Bagian Selatan dengan Gubernur Militer dr. Ferdinand Lumban Tobing sedangkan Riau dengan Gubernur Militer R.M Utoyo. Sumatra Barat dipimpin oleh Gubernur Militer Mr. Sultan Muhammad Rasjid dengan Wakil Gubernur Militer Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Sementara Sumatra Selatan denagn Gubernur Militer dr. Adnan Kapau Gani. Mungkin pembentukan ini dengan maksud sebagai alat bertahan dan melakukan dari gerakan mobilisasi tentara pemerintahan Belanda sehingga Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tetap terlindungi dari serangan musuh dan eksistensi Negara Indonesia tetap ada.
3.      Kronologi dari PDRI
            Setelah terjadinya peristiwa pengkudetaan PKI di Madiun 19 September 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948 tepatnya pukul 06.00 pagi. Serangan ini dilakukan oleh pihak Belanda sebagai serangan terakhir yang bertujuan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta. Dengan keberhasilan ini maka Belanda beranggapan bahwa mereka dapat dengan mudah menduduki dan melumpuhkan ibu kota Republik Indonesia. Dengan adanya Agresi Militer II ini secara fisik Belanda berhasil menangkap dan menawan Presiden Soekarno yang diterbangkan ke Prapat dan kemudian dipindahkan ke Bangka, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan di Bangka, dan beberapa petinggi lainnya seperti Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohammad Roem dan beberapa menteri lainnya.
            Sebelum para petinggi Republik Indonesia ini di tawan oleh pihak Belanda, mereka mengadakan sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk memberikan mandat melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Syarifuddin Prawiranegara  yang sedang berada di Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada menit-menit terakhir sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr. Syarifuddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
            Dengan tertangkapnya para petinggi Republik Indonesia lantas tidak berarti bahwa pemerintah Republik Indonesia telah berakhir. Pada umumnya tentara Republik Indonesia tidak dapat memahami alasan menyerahnya para politisi sipil pada Belanda sementara para prajurit mengorbankan jiwa mereka demi Republik. Seluruh kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta di perintahkan keluar kota untuk bergerilya. Pasukan-pasukan Republik Indonesia mengundurkan diri ke luar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis Van Mook. Selain menteri kawat yang dikirimkan kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara, wakil presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji Agoes Salim mengirim Kawat kedua kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis di New Delhi.
            Materi kawat atau radiogram itu ternayata tidak pernah diterima oleh Mr. Syarifuddin, hal ini diperkirakan bahwa dalam keadaan perang itu sangat dituntut mobilitas yang tinggi dengan berpindah-pindah kedudukan yang dimaksudkan untuk menghindari serangan dari lawan. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan Hatta mengirimkan radiogram kepada Dr. Sudardono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis. Namun, kontroversi mengenai sampai tidaknya radiogram itu berhenti pada tanggal 22 Desember 1948, ketika di desa Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatra Barat, diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya memutuskan untuk membentuk pemerintah darurat. Mr. Syafruddin Prawiranegara, terpilih sebagai PDRI dan pada tanggal 31 Maret 1949 berhasil membentuk pemerintah darurat.
Susunan Kabinet PDRI
1.      Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan
2.      Mr. Soesanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda
3.      Mr. AA. Maramis: Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India)
4.      dr. Soekirman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
5.      Mr. Loekman Hakiem: Menteri Keuangan
6.      Mr. IJ. Kasimo: Menteri Kemakmuran dan Pengawas Makanan Rakyat
7.      KH. Masjkoer: Menteri Agama
8.      Mr. T. Moh. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
9.      Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
10.  Ir. Mananti Sitompoel: Menteri Pekerjaan Umum
11.  Mr. St. Moh. Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial
                        Dari fakta sejarah ini, Mr. Syarifuddi Prawiranegara tidak menyalahgunakan          amanah pembentukan PDRI untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden PDRI.      Melainkan hanya sebagai Ketua PDRI (Suryanegara, 2010: 268).
            Perjalanan singkat PDRI
            Setelah ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan beberapa Menteri lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948 bahwa seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta diperintahkan ke luar kota untuk melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah membagi wilayah pertahanan republik menjadi dua komando, yaitu Jawa dan Sumatra siap melaksanakan rencana di bidang pemerintahan tersebut. Untuk melancarkan rencananya telah disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan. Konsepsi tersebut dituangkan dalam perintah siasat nomor 1 tahun 1948 yang pokok isinya adalah sebagai berikut:
1.      Tidak melakukan pertahanan yang linear
2.      Memperlambat setiap majunya serbuan  musuh dan pengungsian total, serta bumi hangus total
3.      Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai kompleks di beberapa pegunungan, dan
4.      Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis musuh dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
            Siasat ini berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan ara TNI ini bergerilya ke luar Yogyakarta. Di jawa, berdasarkan siasat tersebut berlangsung long march siliwangi yang sangat terkenal itu. Sejumlah 11 Bathalion Divisi Siliwangi dengan keluarga mereka dan penduduk lainnya mulai bergerak kembali ke Jawa Barat dengan jalan kaki. Namun, setibanya di Jawa Barat mereka dihadang oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Namun, setelah dua bulan melkaukan long march, mereka berhasil untuk menguasai atau memperoleh kedudukan di Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.
            Berkat Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi Sumatra Barat dan exile government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku wakil Indonesia di PBB, menyebabkan dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949.
              Kemudian pada yanggal 1 maret1949 terjadilah serangan umum terhadap kota Yogyakarta yang diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangan inii dilakukan oleh TNI dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Komandan Brigade 10 daerah wehrkreise ketiga yang membawahi daerah Yogyakarta. Awal penyerangan ini dibentuk sektor-sektor untuk mempermudah pengepungan. Seckor barat dipimpin oleh major Fentje Sumual, sektor untuk selatan dan timur dipimpin oleh major Sarjono, sektokr utara dipimpin oleh major Kusno. Untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan dilakukan dari berbagai penjuru kota, sehingga dalam waktu 6 jam Yogyakarta behasil di kepung dan di kuasai oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil mencapai tujuannya yaitu mendukung perjuangan secara diplomasi dan meninggikan moral rakyat serta TNI  yang sedang bergerilya, menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan ofensif serta mematahkan moral pasukan Belanda.
              Akhir dari PDRI
          Belanda menerima himbauan PBB supaya mengadakan gencatan senjata pada tanggal 31 Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatra, tetapi perang gerilya terus berlangsung. Sebagian besar satuan tentara beroperasi secara otonom selama perang gerilya ini. Di samping banyak kemenangan kecil mereka atas pihak Blanda, pasukan-pasukan Republik yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto mendapat suatukemenangan besar ketika mereka berhasil merebutkembali dan menguaasai Yogyakarta selama eman jam pada tanggal 1 Maret 1949.[8]
          PBB dan Amerika Serikat mulai mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Dengan memberikan berbagai tekanan dan ancaman yang dilakukan oleh militer Rrepublik dan Amerika Serikat, akhirnya pada bulan April Belanda telah sepakat untuk menyerah , tetapi mendesak untuk mengadakan perbincangan-perbincangan dengan pemerintah Republik. Pada tangal 6 Juli 1949 pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.[9]
          Berahkirnya keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan Roem-Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Dan membebaskan tahanan  politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948 tersebut, hal ini juga berarti pemerintahan kedaulatan akan segera di serahkan oleh Belanda kepada Padaris, ditambah dengan menginggalnya Panglima Militer Belanda Simon H. Spoor yaitu salah satu tokoh yang memprakarsai perebutan kedaulatan pemerintah Indonesia.
          Walaupun begitu, pertahanan Indonesia di Sumatra tak sepenuhnya aman Belanda yang berkubu di Bukittinnggi beruasaha berkali-kali mengusir pasukan kita yang berpangkal di Palupuh. Hingga sampai pada penyerahan kedaulatan oleh Belanda ke Republik Indonesisa. Pertempuran-pertempuran tidak sering terjadi terlebih setelah case fire gerakan Belanda yang tertuju pada keamanan saja.
          Beberapa tokoh agak sedikit bertentangan dengan delegasi-delegasi Belanda yang berdampak pada putusan pengembalian mandat PDRI kepada pemerintahan di Yogyakarta. Pemerintahan yang berlangsung kurang lebih selama 7 bulan ini berakhir ketika penyerahan mandat dari PDRI kepada Hatta pada tanggal 14 Juli 1948. Setelah perjanjian Rpem-Royen disahkan dan Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang dan menyelesaikan duailisme pemerinytahan yang ada pada saat itu.


[1] George Kahin, Nasionalism and Revolusion, hlm.337.
[2] Penjelasan lengkap tentang serangan ini dan jatuhnya Yogyakarta, lihat ibid., hlm 337-39
[3] Wawancara dengan Syafruddin Prawiranegara, ( Jakarta ) 30 September 1976.
[4] Setelah menyerang Yogyakarta, belanda menangkap Soekarno, hatta, syahrir, dan sebagian besar anggota cabinet republic termasuk menlu haji agus salim. Pada 22 Desember mereka menerbangkan sebagian besar tawanan ini ke pulau Bangka. Pada bulan pertama soekarno, syahrir dan agus salim dipisahkan dari tawanan-tawanan lain dan ditahan di Brastagie dan Prapat Sumatra Utara. Ketika soekarno dan agus salim diperbolehkan bergabung dengan para tawanan di Bangka, syahrir di izinkan pergi ke Jakarta karena pada waktu itu dia bukan anggota cabinet republic. Lihat George Kahin. Nasionalism and Revolution, hlm. 337-38
[5] Mnegenai nama-nama anggota cabinet lain dan kedudukannya, lihat Audrey Kahin, “Strunggle for independence”, hlm . 291
[6] Wawancara dengan Syafruddin Prawiranegara, ( Jakarta ) 30 September 1976; kementrian penerangan provinsi Sumatra tengah, hlm. 170-71.
[7] Wawancara dengan Mr. Rasjid (Jakarta) 2 November 1976. Daerah ini juga sangat di kenal oleh Rasjid sejak kecil ketika mengikuti ayahnya yang menjadi pejabat kabupaten di daerah ini.
[8] Ricklefs M.C . Sejarah Indonesia Modern, hal. 348-349
[9] Ricklefs M.C . Sejarah Indonesia Modern, hal. 349
Sumber : http://www.idsejarah.net/2015/02/pemerintahan-darurat-republik-indonesia.html

Tuesday, January 13, 2015

KH. Noer Alie dan Ekonomi

Mengutip Tulisan dari Bapak Cecep eM-Ha  

http://ekonomi-keuangan-syariah.blogspot.com/2013/01/kh-noer-alie-dan-ekonomi.html

Tidak mudah menulis pemikiran seseorang yang telah wafat. Tidak mungkin misalnya melakukan wawancara. Apalagi yang bersangkutan tidak meninggalkan jejak berupa buku atau artikel di majalah dan koran. Yang tertinggal darinya hanyalah apa yang diceritakan orang lain tentangnya dan tidak bisa lagi dikonfirmasi.

Tapi tidak demikian halnya dengan KH. Noer Alie. Kiai yang amat popular di kalangan masyarakat Bekasi dan Jawa Barat ini, meskipun tidak meninggalkan tulisan, tapi ajarannya masih melegenda. Beliau telah menghadap Yang Kuasa sejak tahun 1992, tapi kenangan dan cerita tentangnya begitu hidup di kalangan murid, sahabat dan bahkan cucu-muridnya. Hal ini dikarenakan pengabdian beliau yang nyaris tidak terhenti sepanjang hidupnya, terutama bagi perbaikan dan pengembangan masyarakat. Mulai dari keterlibatannya dalam revolusi fisik melawan penjajah Belanda, menjadi Ketua Dewan Pemerintahan Kabupaten Bekasi, mendirikan lembaga pendidikan, dan mengajar keliling ke berbagai masjid. Tidak heran jika almarhum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah atas jasa-jasanya dalam rangka ikut berjuang melawan penjajah Belanda dan mempertahankan Republik Indonesia.

Sayangnya tulisan tentang riwayat hidup dan perjuangan beliau masih sedikit. Diantaranya buku yang ditulis oleh Ali Anwar dengan judul "KH. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang" atau kumpulan tulisan dalam blognya http://noeralie.wordpress.com. Selebihnya masih berbentuk legenda dan cerita dari mulut ke mulut. Karena itu tulisan mengenai berbagai aspek lain tentang beliau mutlak diperlukan.

Tulisan ini mencoba menggali pemikiran KH. Noer Alie dalam hal pembangunan dan pengembangan ekonomi Islam, sebuah subyek yang kini dipelajari secara serius oleh dunia akademis di Indonesia khususnya. Bidang ini mulai mendapat perhatian ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan masih terasa dampaknya sampai sekarang. Sejak saat itu orang mulai mempertanyakan sistem ekonomi yang dianut oleh Indonesia. Sistem yang dibangun selama 30 tahun oleh Soeharto bersama Orde Barunya hancur dalam sekejap meninggalkan masalah keuangan, ekonomi bahkan kemanusiaan. Bencana itu masih terasa dampaknya bagi masyarakat, sampai sekarang.

Mengaitkan KH. Noer Ali dengan masalah ekonomi ibarat mencari bayang-bayang dalam cahaya temaram. Dia ada disana, tapi diperlukan kejelian menemukannya. Pasti ada yang terselip diantara kebijakannya dalam memimpin Yayasan Attaqwa selama 30 tahun. Atau dalam ceramah-ceramahnya yang tersebar di berbagai kaset rekaman milik murid-muridnya..

KH. Noer Alie dan Konsep Pembangunan

Jaman Orde Baru (1967-1998) adalah jaman dimana kata “pembangunan” sangat sering diucapkan dan dikampanyekan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena pemerintah ingin membangun Indonesia menjadi negara maju. Karena itu perlu membangun di berbagai bidang. Sedemikian berkuasanya program itu, sehingga seringkali pihak yang tidak setuju dengan pemerintah dicap sebagai “anti pembangunan” atau “menghambat pembangunan.”

KH. Noer Alie mengkritik konsep “pembangunan di segala bidang” yang dikatakannya sebagai konsep yang kontradiktif. Ia melihat pemerintah tengah berusaha menjadikan manusia Indonesia dengan kepribadian ganda, yaitu kepribadian yang memiliki karakter yang saling bertentangan. Di satu sisi, pemerintah berusaha mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang agamis dengan mengadakan lomba Tilawah Quran (MTQ), lomba Tafsir Quran, dan lomba Qasidah, tapi disisi lain juga mendorong masyarakat untuk mengembangkan tradisi yang justru merusak agama, dengan dalih pembangunan budaya, seperti aliran kepercayaan dan kebatinan. Oleh karena itu, menurutnya, “pembangunan di segala bidang” akan gagal.[i]

Baginya, pembangunan ekonomi harus dimulai dengan pembangunan karakter manusia. Dan karakter manusia hanya dapat dibangun berdasarkan agama. Nilai-nilai yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi seperti kerja keras, kejujuran, kedisiplinan dan keteraturan hanya mungkin tercipta apabila manusia menghayati Islam sebagai agama dengan system yang komprehensif, meliputi kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, menurutnya, system pendidikan harus menciptakan manusia yang “pinter” (pandai) dan “bener” (baik). Konsep ini mirip dengan yang dikemukakan oleh BJ Habibie, sewaktu menjadi Menteri Riset dan Teknologi di jaman Soeharto, dengan adagium “iptek” (ilmu pengetahuan) dan “imtak” (iman dan taqwa). Konsep Habibie yang kemudian diadopsi oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) sebagai salah satu pilar pengembangan SDM ini, juga pada dasarnya bertujuan menciptakan manusia Indonesia yang pintar, cerdas dengan landasan kebenaran yang berdasarkan Islam.

Mungkin sebuah kebetulan apabila pada tahun 1973 Khurshid Ahmad, seorang ahli ekonomi Islam mengemukakan konsep yang mirip tentang pembangunan ekonomi dalam Islam.[ii] Ia mengatakan pembangunan ekonomi dalam Islam bukan semata pembangunan ekonomi fisik, tapi berawal pada pembangunan mental dan karakter manusia. Ia mengemukakan, bahwa untuk bisa melakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan selamat bagi ummat manusia, ada empat hal yang harus dijadikan dasar. Pertama Tauhid, kedua Rububiyyah, ketiga Khilafah (peran manusia sebagai khalifah di dunia) dan keempat penyucian diri (tazkiyah nafs).

KH. Noer Alie dan Kemandirian Ekonomi

“Noer Alie adalah seorang Ghandi. Bedanya, ia berasal dari Bekasi Utara” kata seorang rekan. Ia mengomentari sosok sang kiai itu, setelah menyaksikan begitu banyak upaya yang dilakukan agar yayasan yang dipimpinnya, bahkan kampung tempat tinggalnya (Ujungharapan), mandiri dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ekonomi. Ia menyamakannya dengan Mahatma Ghandi, pejuang kemerdekaan India yang terkenal dengan metode non-koperatif dan tanpa kekerasan dari kolonialis Inggris, yang terkenal dengan semboyan Swadhesi.

KH. Noer Alie memang pernah memimpikan kampungnya menjadi kampung syurga. Murid-murid yang belajar agama darinya, menafsirkannya sebagai impian untuk menjadikan kampungnya sebagai pusat pengembangan agama Islam, dimana semua ajaran Islam dilaksanakan secara kaffah. Tapi bagi Noer Alie sendiri, kampung syurga bermakna kampung yang penduduknya sejahtera secara lahir dan batin. Artinya secara ekonomi kampung itu harus cukup sehingga masyarakatnya dapat membiayai sendiri kehidupan lahiriyah, dan secara agamis masyarakat bersandar kokoh kepada aqidah, syariah dan akhlaq. Ia mengumpamakan masyarakat kampung seperti itu memiliki “kampung yang bersih dan teratur; sawah yang airnya cukup dan panen yang berlimpah, dengan penduduk yang rajin beribadah dan berzikir kepada Allah SWT.”

KH. Noer Alie mencontohkan sendiri bagaimana tujuan itu harus dicapai. Tidak jarang ia mencangkul sendiri kebunnya untuk ditanami berbagai tanaman. Ia juga turun ke sawah bersama petani untuk menanam benih padi, memanennya tatkala musimnya tiba. Ketika pemerintah daerah datang menawarkan bantuan, ia meminta mereka memperbaiki saluran air dan memastikan tersedianya bibit tanaman dan pupuk. Ia bahkan merelakan tanah di sekitar pondok pesantren dijadikan “basecamp” sebuah developer untuk pembangunan infrastruktur berupa jalan aspal dari Ujungharapan ke Babelan. Ia juga yang mempelopori pembangunan jalan tembus dari Ujungharapan ke Teluk Pucung dan dari Ujungharapan ke Kebalin, dua desa di sebelah timur Ujungharapan.

KH. Noer Alie juga mendidik para santri untuk bisa mandiri. Ketika para santri meminta bantuan dana untuk mendirikan gedung koperasi santri, ia meminta mereka untuk ikut memotong padi ketika sawah milik yayasan memasuki musim panen.[iii] Hasil itu kemudian dijual dan dibelikan bahan bangunan.

KH. Noer Alie dan kompetisi yang adil

Yayasan yang dipimpin KH. Noer Alie mengelola aset wakaf yang sangat banyak. Aset itu tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bekasi, seperti Babelan, Tarumajaya, Penggarutan, Kaliabang, Kebalen, Gabus, Teluk Pucung, Pekayon dan lain-lain. Kebanyakan asset ini dalam bentuk tanah sawah. Karena kekurangan pengurus untuk mengelolanya, KH. Alie mengizinkan para petani untuk menggarap tanah sawah milik yayasan itu dengan sistem bagi hasil.

Pada menjelang musim tanam, para petani yang berminat untuk mengelola sawah milik yayasan diundang untuk melakukan tender. Apabila petani yang datang untuk mengelola sawah yayasan di daerah tertentu hanya satu orang, maka tawar menawar dilakukan langsung antara pengurus yayasan dengan petani dimaksud. Jika pengelolanya lebih dari satu orang, maka kepada mereka ditawarkan untuk melakukannya bersama. Jika tidak, maka penentuan akan dilakukan dengan lelang; siapa yang menawarkan bagi hasil lebih tinggi kepada Yayasan, maka dialah yang berhak mengelolanya.

Meskipun memahami kurangnya pendidikan di kalangan para petani, itu nampaknya KH. Noer Alie tidak bisa meninggalkan asas leissez faire dalam penentuan hasil ekonomi yang optimal. Dia mengerti betul bahwa ia bisa saja melakukan intervensi dengan menunjuk salah satu dari petani-petani itu untuk mengelola tanah wakaf yang diamanatkan kepadanya. Tapi cara itu justru akan bersifat koruptif, yaitu menentukan kekuasaan seorang petani atas petani lainnya. Jika demikian yang terjadi, maka hasilnya justru tidak optimal. Sang petani akan cenderung melakukan monopoli atas tanah yang dikelolanya dan kepentingan pribadi yang lebih luas akan jadi dominan.

KH. Noer Alie dan Pemerataan

Berdasarkan cerita yang berkembang di kalangan Dewan Masjid, KH. Noer Alie pernah meminta pengurus melakukan pendataan jamaah masjid beserta mushalla. Daftar jamaah dari berbagai mushalla itu diperintahkannya untuk diberi kode hijau atau merah. Kode hijau berarti jamaah itu sudah berada garis “aman”, sedangkan kode merah bermakna jamaah tersebut perlu dibantu.

Berdasarkan daftar jamaah itu, zakat, infaq dan sadaqah didistribusikan. Ia mengatur sendiri bagaimana dana-dana sosial itu disalurkan. Ada yang memang langsung dibagikan kepada mustahiq, tapi ada yang berupa pinjaman. Maksudnya adalah untuk mendidik agar penerima bantuan itu dapat berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan cara menjadikan bantuan itu sebagai modal usaha.



KH. Noer Alie dan bunga bank

Perdebatan tentang hukum bunga bank telah terjadi di berbagai forum kajian ormas Islam.[iv] Muhammadiyah telah memulainya dalam forum Majlis Tarjih muktamar tahun 1971 di Situbondo. Majlis Tarjih menyimpulkan bahwa hukum bunga bank adalah "musytabiha". Untuk itu boleh hukumnya mengambil bunga dari bank-bank Pemerintah, tapi tidak boleh dari bank komersial.

Nahdlatul Ulama melalui Bahtsul Masail pada Muktamar 1992 di Bandar Lampung mengeluarkan fatwa bahwa hukum bunga bank ada 3, yaitu haram, halal dan syubhat. Fatwa dengan substansi yang sama didahului oleh MUI yang melakukan silaknas pada tahun 1990 di Cisarua, Bogor, tentang hukum bunga bank. Fatwa ini kemudian mendorong lahirnya Bank Muamalat, bank umum syariah pertama di Indonesia, dua tahun kemudian.

Jika menelusuri sejarah lebih kebelakang, perdebatan tentang bunga bank ternyata sudah ada sejak tahun 1934. Pada Sidang Majelis Tarjih pertama KH. Mas Mansur menyatakan bahwa Muhammadiyah mengambil pendapat bahwa bunga bank tidak dibolehkan, tapi karena tidak ada cara lain yang lebih maslahat menyimpan dan melakukan pembayaran kecuali melalui bank, maka hukumnya menjadi darurat.

Meskipun KH. Noer Alie anggota elit Masyumi, dimana saat itu kebanyakan dari pengurusnya dari kalangan moderenis[v], seperti M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, yang menganggap bunga bank tidak bertentangan dengan agama, namun KH. Noer Alie teguh dengan pendapatnya yang berbeda. Bunga bank baginya sama dengan riba dan yang namanya riba dilarang oleh Alquran. Oleh karena itu ia meminta para pengurus Yayasan untuk tidak mengambil bunga tabungan dari rekening Yayasan, yang digunakan untuk menerima bantuan dari luar negeri.






KH. Noer Alie dan Zakat Produktif

Fenomena baru yang muncul dengan kemunculan perbankan syariah pada tahun 1990an adalah Qardhul Hasan yang secara harfiah berarti pinjaman kebajikan. Pinjaman ini diberikan kepada fakir miskin yang dikembangkan dari "zakat produktif", yaitu memberikan zakat dengan menjadikannya modal usaha para mustahiq.

Para ulama berbeda pendapat mengenai zakat yang dijadikan pinjaman modal.[vi] Sebagian menganggap bahwa hal itu tidak dibolehkan mengingat zakat bersifat tamlik artinya memberikan milik kepada para dhuafa, fakir dan miskin. Artinya sekali zakat diberikan maka ia menjadi milik mustahik, terserah untuk tujuan apapun mereka menggunakannya, termasuk untuk konsumtif. Di Indonesia, almarhum Prof. KH. Ibrahim Hosen LML, termasuk yang menganut pendapat ini. Sebagian lain berpendapat hal itu dibolehkan dengan dasar maslahat, yaitu maslahat tarbiyah. Yang dimaksud maslahat tarbiyah dalam hal ini adalah mendidik para dhuafa untuk dapat mandiri dengan cara diberikan modal usaha yang diambil dari dana zakat, sehingga mereka tidak lagi menjadi mustahiq, tapi juga muzakki.

Jauh sebelumnya KH. Noer Alie telah melakukannya untuk jamaah masjidnya yang termasuk golongan kurang mampu. Ia memerintahkan para pengurus untuk mendata jamaah yang layak menerima zakat dan yang kurang layak. Lalu meminta mereka mengkategorikan nama-nama mereka dengan dua warna, hijau dan merah. Yang hijau artinya keluarga mampu sedangkan merah berarti mesti dibantu.


KH. Noer Alie dan Pemeliharan Lingkungan

Menanam pohon. Itulah hobi yang dilakukan KH. Noer Alie selama hidupnya. Ia amat senang dengan kebun jambu yang ada di samping pondok pesantren putra. Kebun itu ia kelola sendiri bersama pembantu kesayangannya yang bernama Inen. Terkadang ia cuma tersenyum lucu mendengar berita santrinya mencuri beberapa butir jambu dari kebun itu, sekedar menutupi rasa lapar ketika mereka menjadi piket jaga malam di pondok. Selain itu ia juga terlihat sedang mencangkuli tanah di samping mushalla pesantren putri, untuk ditanami sayuran, sambil mengawasi santri-santrinya yang duduk tertib di tepi kebun, yang salah satunya tengah membaca kitab.

Ketika pemerintah memberikan bantuan berupa tanaman rimbun (akasia) pada tahun 1980an, ia sangat antusias menerimanya. Beberapa batang darinya diperintahkan ditanam di pondok pesantren putra sebagai pertanda bahwa pesantrennya mencintai lingkungan yang hijau dan asri. Sampai saat ini tanaman itu masih ada dan menjelma menjadi tanaman rimbun yang menghiasi halaman depan pondok pesantren putra.

Ia juga memperhatikan saluran-saluran air yang menjadi sumber pengairan bagi pesawahan di sekitar kampung. Tidak jarang ia mengajak penduduk kampung untuk bekerja bakti membersihkan saluran air di tepi jalan agar tidak menjadi sarang penyakit dan tidak tersumbat ketika musim hujan tiba.

Green Economy kata orang sekarang. Semua kegiatan ekonomi yang dirancang oleh Noer Alie senantiasa berwawasan lingkungan. "Lingkungan mesti dipelihara sebagai salah satu peninggalan yang amat berharga selain ilmu pengetahuan..."

Wallahu A'lam


Referensi:

1. Rifyal Ka’bah, “Hukum Islam di Indonesia,” UI Press, 1998
2. “Studies in Islamic Economics,” the Islamic Foundation, Leicester, 1980
3. “Economics of Zakah,” seminar paper, International Research and Training Institute-IDB, Jeddah, 1998
4. "KH. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang" ahttp://noeralie.wordpress.com.










[i] KH. Noer Alie tidak sempat menyaksikan ramalannya menjadi kenyataan karena keburu wafat pada tahun 1992. Ketika terjadi kerusuhan tahun 1998, yang mengakibatkan krisis berbagai dimensi, termasuk dimensi kemanusiaan. Taufiq Ismail sempat mengungkapkan kegundahannya tentang krisis kemanusiaan itu dengan puisinya yang terkenal “Malu Aku Menjadi Manusia Indonesia”


[ii] Khurshid Ahmad, “Economic Development in an Islamic Framework,” dalam “Studies in Islamic Economics, the Islamic Foundation,” Leicester, 1980


[iii] Kegiatan ini terkenal dengan sebutan “Ngeblek” (dengan ejaan e seperti dalam kata ember). Cerita santri diajak Ngeblek sangat popular sampai saat ini karena hanya terjadi di jaman KH. Noer Alie


[iv] Lihat Rifyal Ka’bah, “Hukum Islam di Indonesia,” UI Press, 1998


[v] Nurcholis Madjid pernah mengklaim bahwa bolehnya bunga merupakan “mazhab Masyumi” karena kebanyakan para pemimpin Masyumi berpendapat seperti itu. Klaim seperti ini tidak tepat, karena Masyumi merupakan partai politik yang tidak mengeluarkan fatwa mengenai masalah keagamaan.


[vi] Economics of Zakah, collection of seminar paper, International Research and Training Institute-IDB, Jeddah, 1998

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...