Tuesday, July 21, 2015

Puisi : Mengamati, Dan (Jatuh) Cinta

Bertemu dengan seseorang secara terus menerus ditempat yang sama dan waktu yang sama kadang memancing rasa penasaran untuk mencari tahu siapa dan bagai mana dirinya. Dan jika itu terus berlangsung, ada sesuatu yang rasanya tumbuh secara perlahan dan lama-lama sulit untuk mengakuinya. Musim semi yang jatuh bukan pada musimnya.

Berikut sebuah Puisi yang menggambarkan hal serupa :

Mengamati, Dan (Jatuh) Cinta

Senyumku dalam diam, entah untuk apa
mengingat dirimu yang masih menjadi pemilik segala mimpi dan keterjagaanku disetiap malamnya


Kau yang selalu nampak seorang diri dan kesepian,
kau yang selalu menunggu di sudut peron kereta, menyendiri
kau yang selalu duduk di kursi kereta tersepi,
Kau yang duduk disudut kursi kereta saat berangkat dan pulang kerja,
tanpa sadar menyudutkan dirimu sendiri dari keriuhan bernama sepi

Kau berparas cantik,
tapi aku selalu melihat hal lain yang lebih nyata dari itu
Kau yang menjelma egois dan ambisius,
menukar kebebasan tangan, jemari dan fikiranmu dengan kesibukan monoton di depan layar komputer sewaan perusahaan
mulai pagi sampai sore
kau yang menukar model sepatumu yang Sport dengan High Heel yang penuh keraguan

Ya, Kau!
kau yang rela mengenakan kacamata agar terlihat pantas menggunakan simbol intelektual borjuis,
kau yang kekurangan jam istirahat,
kau yang rela makan siang di restoran bersama orang-orang yang pandai membual dan berspekulasi
kau yang rela menukar kata kerja 'Berkarya' menjadi 'Berkarier' ke meja perkantoran

Ya, Kau!
kau yang rela kesepian diantara hiruk pikuk yang glamor dan penuh dusta,
kau yang rela memangkas waktu istirahat malammu untuk lembur menyelasaikan pekerjaan yang tak pernah berkurang
meski kau membunuhnya lagi dan lagi

Kau yang rela mengorbankan masa remajamu di dalam gedung bertingkat yang bermandikan cahaya lampu dan pendingin ruangan yang berlebihan,
dimana kau dibuatkan sangkar kecil dan diberi sekat-sekat pembatas antara kau dan teman sepekerjaanmu
kau yang rela dituntut dan dikejar target kapitalistis,
kau mengorbankan keinginan nuranimu akan kemanusiaan yang memiluhkan hatimu dan terus mengganggu tidurmu bergantian dengan target,
keduanya berdesakan di mimpi malamu

Kau yang rela dipaksa mendengarkan presentasi-presentasi omong kosong rekanan-rekanan penjilat,
menggantikan kesukaanmu mendengarkan radio dan MP3 dari Hand Phone-mu

Kau yang menyesali diri ketika tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf kepada orang lain yang kau sakiti,
kau yang menatap masa depan dengan bayangan wajah seseorang yang terlalu jauh,
kau yang selalu berdoa untuk kebaikan dan perdamaian dunia tanpa ada yang mengetahuinya,
kau yang melamun diantara sajak-sajak tua Chairil Anwar, WS Rendra,
Al-Khansa, Toeti Heraty, ataupun Emily Dickinson yang mewarnai ruang-ruang Relungmu yang pudar

Kau yang tak pernah memiliki teman untuk mendiskusikan sebuah Novel yang baru selesai kau baca,
berdiskusi dengan diri sendiri tanpa pernah mendapat kesimpulan,
kau hanya menciptakan berbagai persepsi liar lainnya untuk hidupmu

Kau yang kadang menulis sajak-sajak cinta, lalu mencoretnya dengan wajah yang muram, dan kelam
seperti wajah malam yang sering membuatmu terjaga hingga larut

Kau yang merayakan Ulang Tahunmu di meja makan sebuah Restoran minimalis seorang diri,
berdoa, menyalakan lilin harapan di dalam dadamu, dan meniupnya sampai padam,
padam di sisi kenangan dan lembar terpencil dari dalam catatan diary-mu,

Kau yang hatinya tak berpenghuni, selain sepi dan kesendirian,
Tidakkah kau jenuh?
Kau yang selalu gagal jadi perbincangan,
Kau yang selalu cemerlang dan penyabar di dalam diam,
kau yang terlalu tabah menghadapi keegoisan pekerjaan,
kau yang terlalu memikirkan orang lain ketimbang dirimu sendiri,

Kau yang selalu menutup diri dari orang lain tentang beban dan permasalahan yang melanda,
kau yang memutuskannya untuk menanggung dan menghadapinya sendiri saja
Kau yang selalu membaca buku di dalam kereta selama perjalanan pergi dan pulang,
kau yang membayangkan dan mempertanyakan kontradiksi yang terjadi diantara kata-kata dalam buku dan dunia nyata-nya

Kau yang selalu menyuguhkan tanya ketika bercermin,
"Apakah aku pemilik utuh atas diriku sendiri?"

Kau yang selalu mudah mentoleransi kesalahan-kesalahan orang lain
kau yang terlalu lapang dada,
untuk penghianatan dan pendustaan yang pernah menikammu sampai kau hampir mati di ujung waktu pada se-tetes titik hujan yang menggantung di sebuah ranting pohon yang kering

Kau!
Ya, Kau!

Mengagumi dan jatuh cinta padamu
adalah senyumku dalam diam,
diam yang dalam, teramata dalam
dengan matamu yang tanpa kacamata, coba lihatlah mataku lebih dalam
dengan hatimu yang tanpa keduniawian, coba galilah hatiku lebih dalam
agar aku tak lagi hanya tersenyum dalam diam
tapi dalam kebahagiaan dan suara yang merdu semerdu-merdunya lagu cinta


Jakarta-Bekasi 2015



Syarif Hidayatullah

No comments:

Post a Comment

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...