Saturday, October 20, 2018

Puisi-Puisi Goenawan Mohamad


1

Aktor
untuk Moh. Sunjaya

Aktor terakhir menutup pintu
"Chaesar, aku pulang."
dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin
seperti wajah tua yang ditinggalkan

 Siapapun pulang, Meski pada jas dengan punggung yang berlobang
ia masih rasakan ujung pisau itu menikam dan akerdeon bernyanyi pada saat kematian

"Teater," sutradara selalu bergumam,"hanya kehidupan dua malam."
"Tetapi tetap kehidupan." ia ingin menjawab
ia selalu berasa bisa menjawab

Ia menyukai suaranya sendiri
dan beberapa kata-kata
tapi pada tiap rertuntukan panggung
ia lupa kata-kata

Pada tiap reruntukan panggung
ia hanya ingin tiga detik - tiga detik yang yakin :
Dalam lorong kapai-kapai, abu tak berhenti
hanya karena cahaya tak ada lagi

Ia tak menyukai melankoli

2012

2

Teleskop

Ia memandangimu dari jauh : sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum : pejalan cahaya yang sebenarnya takut menyentuhmu

itu sebabnya, nak, pada sebuah sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang itu
tempat kau pada suatu hari duduk. tak ada jejak disana
mungkin tubuhmu selamanya tak menginjak bumi : seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap yang bergetar berulang kali

Ia tahu tanganmu menanting jam
berkeringat
tapi ia tak akan berani menghambur ke depan menawarkan akhir yang lain
ia hanya akan kembali memandangimu dari jarak yang tak tentu
merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang yang memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu

Di saku jaketnya
sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam di depan pintu itu,
ia sudah ingin berkata : lihat, aku tak menguntitmu
tapi ia tak pernah yakin kepada siapa ia berkata
ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan
hanya jam itu, di tanganmu, yang selamanya mengejutkan

2009

3

Dalam Kemah

sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori : Cinta adalah potongan-potongan pendek interupsi-lima menit, tujuh menit, empat ... dan aku akan menatapmu dalam tidur

apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan?
mungkin sebenarnya kita terlena oleh suara hujan di terpal kemah
di ruang yang melindungi kita untuk sementara ini aku, optimis,
selalu menyangka gerimis sebenarnya ingin menghibur,
hanya nyala tak ada lagi : kini petromaks seakan-akan terbenam
jam jadi terasa kecil
dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi

kemudian kau mimpi. kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asp nafasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan keluar hutan
aku tak bisa memanggilnya

Aku dekap kamu
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita

2010




Sek
 
2012hak Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu. Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu sebelum saatnya. Dan seekor kuda rubuh. Dua bidak lari ke sudut. Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.” Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap. ”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.” Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!” Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti. Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”. Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu. 2010

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu. Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu sebelum saatnya. Dan seekor kuda rubuh. Dua bidak lari ke sudut. Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.” Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap. ”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.” Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!” Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti. Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”. Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu. 2010

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu. Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu sebelum saatnya. Dan seekor kuda rubuh. Dua bidak lari ke sudut. Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.” Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap. ”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.” Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!” Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti. Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”. Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu. 2010

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu. Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu sebelum saatnya. Dan seekor kuda rubuh. Dua bidak lari ke sudut. Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.” Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap. ”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.” Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!” Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti. Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”. Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu. 2010

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu. Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu sebelum saatnya. Dan seekor kuda rubuh. Dua bidak lari ke sudut. Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.” Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap. ”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.” Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!” Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti. Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”. Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu. 2010

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.
Sekhak Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu. Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu sebelum saatnya. Dan seekor kuda rubuh. Dua bidak lari ke sudut. Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.” Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap. ”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.” Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!” Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti. Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”. Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu. 2010

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi- Puisi Goenawan Mohamad", https://nasional.kompas.com/read/2010/02/21/03115919/Puisi..Puisi.Goenawan.Mohamad.

No comments:

Post a Comment

Roman Cinta dan Sepi II

  Chapter II Ia Muncul Lagi   Di sebuah peron yang sepi, lelaki itu, yang tak kuketahui namanya itu, duduk menatap langit tanpa kata-k...